Anya, seorang peramal tarot berusia 22 tahun, menjalani hari-harinya dengan penuh kejutan dari klien-kliennya, baik yang datang langsung maupun konsultasi online. Kehidupannya berubah ketika ia mengikuti event Imlek dan membuka booth tarot. Di sana, ia bertemu dengan El, seorang pria asal Singapura berusia 34 tahun. Setelah sesi konsultasi, El mencium tangannya dengan lembut dan berjanji akan kembali setelah urusannya selesai di Singapura. Momen itu begitu menggetarkan hati Anya, bahkan mendapatkan vision aneh. Setelah event berakhir, nomor asing mengiriminya WhatsApp—ternyata El, yang menemukan nomor Anya dari kartu nama di booth. Sementara itu, pekerjaannya sebagai peramal tarot semakin menarik ketika ia harus membaca kartu untuk kliennya. Namun, sebuah fakta mengejutkan muncul. Saat iseng mencari nama lengkap El di Google, Anya menemukan bahwa El pernah terlibat kasus hukum—dituduh menyiksa ART yang diduga meracuni minumannya. Hal ini membuatnya ragu, apakah perasaannya pada El hanya sebatas fantasi atau benar-benar sesuatu yang bisa ia harapkan. Di sisi lain, Reza, karyawan kafe yang sering menggodanya, semakin agresif mendekati Anya. Dia bahkan membayar untuk diramal secara profesional, menunjukkan keseriusannya. Godaan dari Reza semakin menjadi. Anya mulai bimbang. Apakah harus menunggu El, pria misterius dengan masa lalu yang meragukan? Ataukah ia harus memberi kesempatan pada Reza, pria yang nyata di hadapannya? Ketika seorang pria datang untuk konsultasi bisnis restoran keluarga dan fotografi, Anya malah ditawari membuka booth tarot di restoran ibunya. Selain tawaran ini, yang juga mengejutkan, Reza bukan sekadar barista biasa, melainkan anak pemilik restoran dan pewaris banyak perusahaan besar. Meskipun Anya mulai membuka diri, ia tetap dibuat terkejut ketika mengetahui bahwa Reza ternyata tinggal di apartemen yang sama dengannya—hanya beda dua lantai! Kini, dengan semakin banyaknya keterikatan antara dirinya dan Reza, serta misteri yang masih menggantung soal El, apakah Anya siap menghadapi babak baru dalam kehidupannya? Setiap hari ada kisah seru dan terkadang menggairahkan dengan banyak klien yang berkonsultasi.
Lihat lebih banyakAku sudah pernah meramal nasib orang yang mau kawin tapi nggak jadi.
Aku juga pernah baca tarot buat bos besar yang takut ketahuan selingkuh. Tapi aku belum pernah… dicium tangannya sama klien sendiri. Dan bukan cuma dicium. Tatapannya? Seperti bara api yang menyelinap ke dalam darahku. Namaku Anya, 22 tahun, pembaca tarot profesional. Hari ini, aku jaga booth di event Imlek di sebuah mal besar di Jakarta. Biasanya, yang datang ke booth-ku antara dua: cewek-cewek galau yang mantannya nggak move on, atau ibu-ibu yang kepo kapan anaknya nikah. Tapi dia… bukan dua-duanya. Laki-laki itu muncul di depanku seperti aktor drama Korea yang kesasar ke dunia nyata. Usianya sekitar 34 tahun, tinggi, kulitnya terang khas orang Singapura, pakai kemeja biru yang entah kenapa bikin dia kelihatan makin mahal. "Duduklah," aku menyapanya profesional. Tapi aneh, suaraku sendiri terdengar lebih pelan dari biasanya. Dia duduk, tersenyum kecil. "Saya ingin membaca masa depan. Apakah perjalanan hidup saya masih panjang?" Aku menelan ludah. "Hidup Anda masih panjang, kecuali kalau ada yang mencelakai Anda malam ini." Dia tertawa. "Lucu sekali." Aku mulai mengocok kartu, tapi tanganku agak gemetar. Entah kenapa ada hawa aneh yang melingkupi kami. Ketika kartu pertama terbuka—The Lovers—aku menatapnya. "Kamu lagi jatuh cinta?" tanyaku spontan. Dia tersenyum kecil. "Mungkin." Tiap lembar kartu yang kubuka, semakin intens atmosfer di antara kami. Sampai akhirnya sesi selesai, dan dia berdiri. "Terima kasih, Anya." Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman. Tapi dia nggak sekadar menggenggam. Dia… mencium tanganku. Panas. Bibirnya yang hangat menyentuh punggung tanganku, pelan, seolah waktu sedang melambat. Lalu dia berbisik, "Aku akan ke Indonesia lagi, setelah pekerjaanku di Singapura selesai." Aku menahan napas. Detik itu juga, aku mendapatkan vision. Sebuah foto. Foto keluarga besar. Ada aku. Ada banyak orang. Dan di sampingku… dia. Air mata menetes di pipiku. Tapi sebelum aku sempat bilang apa pun, dia sudah pergi. Dan aku, untuk pertama kalinya dalam hidup, merasa kehilangan seseorang yang bahkan belum sempat kutemukan. Aku masih diam di tempat. Tanganku yang tadi dicium masih terasa hangat, seolah bibirnya meninggalkan jejak tak kasatmata. "Anyaaa~" Suara cempreng itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihat Rina, kasir dari EO acara ini, menyeringai penuh arti. "Gila, lo! Gue liat sendiri tadi!" Rina mencondongkan badan ke meja booth-ku. "Itu cowok Singapuranya… hadeuh! Udah ganteng, tajir, terus… ciuman tangan?!!" Aku masih linglung. "Iya…" "Iya? Iya?! IYAAA?! Lo sadar nggak sih tadi tuh kayak adegan drama yang dipotong sebelum episode abis?!" Rina melemparkan stroberi dari minuman boba-nya ke arahku. Aku menangkap stroberi itu. "Rin…" Aku menghela napas. "Gue tadi dapet vision." Rina mengunyah boba dengan slow motion, menatapku seperti aku habis bilang aku akan pindah ke planet Mars. "Vision? Vision kayak… 'Astagfirullah dia jodoh gue' gitu?" Aku menggeleng. "Bukan. Lebih kayak… gue liat foto keluarga besar, dan dia ada di situ." Mata Rina membulat. "Hah? Jadi lo bakal nikah sama dia?" Aku garuk kepala. "Gue nggak tahu, Rin! Bisa jadi vision, bisa jadi… halu efek cowok cakep pertama yang nyium tangan gue dalam 22 tahun hidup!" Rina ngakak. "Gue nggak nyalahin lo sih. Kalau gue di posisi lo, mungkin gue udah pesen tiket ke Singapura sekarang." Aku menatap meja booth-ku yang sekarang terasa lebih kosong. Rasanya aneh. Seakan energi cowok tadi masih tertinggal di udara. "Lo dapet namanya nggak?" Rina nanya. Aku menggeleng. Rina menepuk jidat. "Ya Tuhan, Anya! Lo tuh peramal, bukan admin restoran yang lupa nanya nomor pelanggan!" Aku "Ya salah dia juga! Kan dia yang langsung pergi!" "Fix. Ini skenario Tuhan biar lo penasaran." Rina menyeruput boba lagi. "Jadi sekarang pertanyaannya… Itu vision lo bakal kejadian beneran? Atau itu cuma… efek hormon kesepian?" Aku menghela napas panjang. Entah kenapa, untuk pertama kalinya dalam hidup, aku takut. Takut kalau ini cuma halusinasi. Takut kalau dia nggak akan balik lagi. Dan lebih takut lagi… kalau dia benar-benar datang kembali.Anya menatap Alaric dengan napas memburu. Kata-kata terakhirnya masih berputar di kepala: “Tubuhmu.” Jantungnya berdegup keras, seperti ingin memberontak keluar dari dada.“Apa maksudmu... tubuhku?” bisiknya nyaris tak terdengar.Alaric menunduk, suaranya dalam dan pelan, “Kamu bukan hanya keturunan, Anya. Kamu adalah wadah sempurna yang telah Nathan persiapkan sejak awal. Lahir dari garis darah yang dipilih... dan terikat oleh waktu.”“Tidak...” Anya menggeleng. “Aku bukan bagian dari ini. Aku hanya pembaca tarot. Aku hanya ingin tahu kebenaran.”“Justru karena itu,” Alaric melangkah mendekat, “intuisi dan jiwamu telah membuka portal yang tertutup. Setiap bacaanmu, setiap langkahmu, telah menggiringmu ke titik ini.”Rina menarik tangan Anya. “Kita harus pergi. Sekarang.”Namun Alaric menghentikan mereka dengan suara tegas, “Jika kamu pergi sekarang, kamu akan membiarkan Nathan menyatu denganmu. Tapi kalau kamu tetap di sini, aku bisa bantu... melepaskanmu dari garis nasib yang dia tu
Pagi itu mendung menggantung, seolah langit tahu bahwa akan ada rahasia yang terbongkar. Anya dan Rina berkendara menuju vila tua yang ada di foto, tempat yang disebut-sebut sebagai pusat aktivitas Nathan dan mungkin juga All.Jalan menuju vila itu dipenuhi pohon besar dan semak-semak tinggi. Udara dingin menusuk kulit. Saat mereka tiba, bangunan tua dengan cat terkelupas dan jendela-jendela tinggi itu berdiri angkuh, seperti menyimpan kisah kelam yang tak ingin diungkap."Ini tempatnya..." gumam Rina pelan, matanya menyapu setiap sudut bangunan.Mereka mendorong pintu kayu yang sudah rapuh. Bunyi deritnya menggema ke seluruh ruangan. Debu beterbangan, aroma kayu lembap menyeruak. Di dinding terdapat lukisan-lukisan abstrak, sebagian rusak dan jatuh. Tapi di tengah ruangan, ada sesuatu yang membuat Anya terdiam: sebuah papan altar spiritual, lengkap dengan lilin yang sudah meleleh dan simbol-simbol aneh di sekitarnya."Ada yang masih pakai tempat ini," bisik Anya.Rina berjalan ke sis
Anya berdiri di depan kaca di apartemennya malam itu, menatap bayangan dirinya yang samar, seolah mencoba membaca sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya lewat logika. Pikirannya sibuk dengan apa yang baru ia temukan di restoran. All—kembaran El—datang menyamar. Tapi apa niatnya?Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Nomor tak dikenal.“Anya,” suara berat terdengar di seberang. “Kamu belum tahu segalanya tentang All.”Anya terdiam. “Siapa ini?”“Aku seseorang yang pernah ada di lingkaran mereka. El dan All. Mereka tidak hanya kembar biasa. Mereka bagian dari eksperimen lama, dan hanya satu yang stabil. Tapi... yang satunya memiliki kemampuan spiritual lebih tinggi.”Jantung Anya berdegup cepat. “Kamu bicara soal All?”“Ya. All tidak hanya menyamar. Dia mengambil identitas El. Secara perlahan. El menghilang, dan All mulai menyusup ke hidup semua orang yang pernah dekat dengan El, termasuk kamu, Rina, bahkan Nathan.”“Kenapa?”“Karena El tahu sesuatu tentang kematian Larasati yang seharusnya ti
Pagi itu, Anya kembali membuka satu kotak tua yang sebelumnya belum sempat dibuka. Di dalamnya terdapat beberapa lembar jurnal, secarik peta kecil bergambar simbol aneh, dan sebuah liontin perak berbentuk bulan sabit.Ia memutar liontin itu, dan ternyata bisa dibuka. Di dalamnya ada potongan foto kecil—wajah seorang bayi laki-laki. Di belakangnya tertulis inisial: E.N."El dan… Nathan?" gumamnya pelan.Rio yang datang tanpa pemberitahuan langsung duduk di seberangnya. “Apa kamu tahu... kalau Nathan pernah ikut komunitas spiritual underground? Tempat orang-orang bicara soal reinkarnasi, manipulasi energi, bahkan eksperimen jiwa?”Anya mengangkat alis. “Kamu yakin ini bukan teori konspirasi?”“Aku baru saja pulang dari tempat itu. Dan kamu harus lihat ini,” kata Rio sambil membuka ponselnya. Ia menunjukkan video pendek yang direkam diam-diam. Terlihat Nathan sedang memimpin semacam ritual, mengenakan pakaian hitam dengan simbol bulan dan mata.Di belakang Nathan, tampak El berdiri… mata
Hujan belum reda saat Anya menyalakan lilin di sudut apartemennya. Listrik tiba-tiba padam sejak lima belas menit lalu. Petir menyambar, menggetarkan kaca jendela. Dan entah mengapa, malam ini terasa lebih sunyi, seolah ada sesuatu yang menahan waktu.Anya duduk di dekat jendela, sambil menggenggam satu kartu tarot—The Moon. Kartu yang selalu muncul belakangan ini. Simbol ilusi, kebohongan, dan kebenaran yang tersembunyi.Tiba-tiba, ponselnya menyala. Pesan suara dari Dinda."Anya… aku butuh bicara. Aku baru saja cek rekaman asli dari flashdisk kamu. Ada bagian yang seperti dimanipulasi. Seseorang mencoba menghapus satu detail penting. Tapi aku berhasil ambil kembali datanya. Ada nama lain yang terlibat. Bukan hanya Nathan."Jantung Anya berdebar cepat."Kita harus ketemu. Tapi jangan di tempat biasa. Aku takut kita sedang dipantau. Kirim aku lokasi yang aman. Dan satu lagi… hati-hati dengan Reza. Aku belum yakin, tapi—”Pesan berhenti. Terputus. Tidak selesai.Anya menatap ponselnya
Anya berdiri terpaku di depan jendela apartemennya. Langit malam Jakarta membentang kelabu, seperti menyembunyikan rahasia yang tak terucapkan. Pikirannya penuh oleh isi flashdisk dan pesan ancaman yang baru saja masuk. Tapi kali ini, ia tidak ingin lari.Ia menarik napas panjang dan menatap pantulan wajahnya di kaca. “Larasati sudah cukup berani… sekarang giliranku.”Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Reza.“Halo?” suara Reza terdengar khawatir.“Kita harus bicara. Sekarang. Aku tahu siapa yang terlibat… dan aku tahu kenapa Larasati dibunuh.”Reza tak menjawab seketika, lalu berkata dengan pelan, “Aku datang.”Tak butuh waktu lama, Reza tiba di apartemen. Anya memutar video itu lagi untuknya. Reza duduk dengan tubuh menegang, sorot matanya berubah serius.“Ini bisa menghancurkan banyak orang, Anya.”“Aku tahu,” jawabnya mantap. “Tapi ini juga bisa jadi keadilan untuk Larasati. Dan… mungkin untuk orang-orang yang pernah dibungkam Nathan selama ini.”Reza menatapnya, kagum dan khaw
Malam itu, setelah konfrontasi penuh emosi dengan Reza, Anya duduk di ruang tamu apartemennya. Cahaya lampu redup menemani kegelisahan dalam pikirannya. Di atas meja, kartu tarot yang tadi pagi ia gunakan masih berserakan.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil satu kartu secara acak.The Moon.Kartu kebohongan, ilusi, dan rahasia yang belum terungkap.Seolah semesta sedang berbicara. Anya menatap kartu itu lama, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Sudah cukup. Ini waktunya membuka semuanya, satu per satu.”Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal."Kau ingin tahu siapa yang membunuh Larasati? Temui aku di taman belakang gedung teater tua. Malam ini. Sendiri."Anya menelan ludah. Jantungnya berdetak cepat. Ia menatap ke luar jendela. Malam itu sunyi, tapi penuh firasat. Bukan hanya karena undangan misterius itu—tapi karena ia tahu, setiap langkah semakin mendekatkannya ke sisi tergelap dari kebenaran.Ia menggenggam ponsel erat-erat, lalu b
Malam turun dengan angin yang menusuk, membawa bisikan yang sulit dijelaskan secara logika. Anya duduk di atas sajadah, menenangkan hatinya dengan dzikir. Tapi entah mengapa, malam itu berbeda. Ada aura berat yang memenuhi udara, seperti pertanda akan sesuatu.Telepon genggamnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal: “Aku belum tenang. Lihat ke cermin.”Anya tertegun. Napasnya tercekat, tapi perlahan ia bangkit dan melangkah ke depan cermin besar di sudut kamarnya.Awalnya tak ada yang aneh. Tapi dalam kerlip kecil lampu meja, bayangan Larasati muncul di belakangnya. Tak marah. Tak sedih. Hanya tatapan mata penuh pesan. Mulutnya bergerak pelan, tapi tak ada suara.Anya menatapnya lewat cermin. “Apa yang kamu inginkan dariku, Laras?”Bayangan itu menunduk, lalu menunjuk ke arah laci meja kecil di kamar. Anya mendekat, membukanya, dan menemukan satu buku catatan lama—bukan miliknya. Ia memeriksa halaman pertama: “Catatan Larasati.”Tangan Anya bergetar. Di halaman berikutnya te
Anya merasakan ketegangan, detak jantungnya berpacu. Reza dan Rio saling bertukar pandang, mencari jalan keluar. Nathan masih berdiri di halaman, sementara seseorang yang tak terlihat semakin mendekat dari dalam rumah.“Kita harus keluar dari sini,” bisik Rio.Tanpa berpikir panjang, Reza meraih tangan Anya dan menariknya ke sisi balkon. Ada pohon besar di dekatnya, dengan cabang yang cukup kuat untuk menahan berat mereka.“Kita lompat ke sana,” ujar Reza mantap.Anya menelan ludah. Itu terlihat berbahaya, tapi lebih baik daripada terjebak di sini bersama Nathan.Rio melompat lebih dulu, mencengkeram cabang pohon dan dengan gesit turun ke tanah. Reza membantu Anya memanjat pagar balkon sebelum dia sendiri melompat turun dengan sigap.Mereka bertiga mendarat di rerumputan, napas memburu. Nathan tampak terkejut dengan aksi nekat mereka, tapi sebelum dia bisa bereaksi, mereka sudah berlari menembus pekarangan dan keluar dari area vila.“Ke mobil!” seru Rio.Namun, saat mereka hampir menc
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen