"Kita sudahi saja pernikahan ini!"
Anggara memutar kepalanya begitu Eva mengucapkan itu. Namun, Eva buru-buru membuang pandangannya lagi sambil menyembunyikan air mata. Baru satu bulan yang lalu ia kembali ke Indonesia, setelah menghabiskan hampir 6 tahun untuk pendidikannya di Jerman. Pada awalnya, Eva hanya ingin fokus berkarier, tapi tiba-tiba sang papa malah menyuruhnya menikah. Ia merelakan gelar dan kariernya bukan untuk menjadi istri yang dilecehkan seperti ini. Orang tuanya baik, tapi sangat ketat dan penuh disiplin. Eva tumbuh sebagai wanita sempurna yang anggun dan penuh tata krama. Walaupun di satu sisi, ia jadi sulit mengatakan apa kemauannya. Anggara yang sudah berpakaian rapi pun menatap Eva sejenak, sebelum mendengus. Ia berjalan mendekat ke arah Eva, membuat wanita itu refleks menggenggam erat selimutnya. Kepalanya tertunduk, takut menatap mata tajam Anggara. "Hentikan omong kosong itu! Bukankah kamu juga dapat keuntungan dari pernikahan ini!" ucap Anggara penuh penekanan. Dahi Eva berkerut. "Apa maksudnya?" Anggara mencengkram rahang Eva, lalu mendesis. "Aku tidak tahu rayuan apa yang kamu katakan pada Eyang, tapi... Jangan sampai kamu mengucapkan kata 'cerai' di depan orang tua itu sebelum aku berhasil menduduki kursi CEO!" Eva paham kenapa Anggara berkata seperti itu. Pernikahan ini adalah salah satu syarat agar dia mendapat warisan Eyang Cakra. Jika perceraian terjadi, apalagi Eyang Cakra masih dalam keadaan sakit, sudah pastii Anggara tidak akan mendapat apa pun. Namun, sungguh, Eva tidak mempunyai motif apa pun dari pernikahan ini. Ia hanya ingin menjadi cucu yang baik untuk Eyang Cakra, karena beliau mengingatkan Eva kepada mendiang kakeknya. Eyang Cakra sangat baik dengannya sejak dulu. Ini adalah salah satu permintaan terakhirnya. Eva tidak mau menyesal, seperti ketika tidak bisa menemani kakeknya saat sakit dulu. Sepertinya, Anggara melihat itu sebagai hal lain. "Jangan macam-macam di depan Eyang, atau kamu akan menyesal!" Anggara kembali menekannya, sebelum meninggalkan kamar. Eva mencengkram selimut yang menutupi tubuh polosnya. Kakinya terasa kaku untuk melangkah. Lagi-lagi kembali mendengarkan kalimat menyakitkan dari Anggara. Tidak ada yang bisa dia lakukan, hatinya semakin sakit, padahal baru beberapa jam status pernikahan ia dapatkan. *** Satu bulan berlalu, dan pernikahan dingin itu tetap berlangsung. Eva mencoba untuk tidak peduli lagi dengan Anggara, walaupun selalu merasa terganggu ketika melihat Anggara pulang dengan bau parfum wanita. Pria itu hampir lembur setiap hari. Kalau pun pulang tepat waktu, Anggara pasti akan langsung pergi lagi setelah itu. Eva sendiri juga akhirnya kembali bekerja lebih cepat dari waktu cutinya. Ia bekerja sebagai manajer pemasaran di perusahaan ayahnya. Hari ini adalah hari Minggu. Seperti biasa, karena tidak ada kegiatan, Eva hanya duduk sambil menonton TV di ruang tengah. Sampai tiba-tiba, Anggara meneleponnya, Pria itu lagi-lagi menghabiskan akhir pekan di kantor. Dia lebih suka bercinta dengan pekerjaannya daripada meminta maaf kepada Eva soal kejadian sebulan yang lalu. Dengan malas, Eva mengangkatnya. "Halo--" “Kenapa lama sekali?” Suara ketus Anggara terdengar. "Ada apa?" jawab Eva datar. "Dengar, Bunda meminta makan malam bersama nanti. Jadi, kamu harus dandan yang benar, dan nanti akan ada supir yang menjemput kamu.” Anggara mengucapkan itu tanpa jeda, seolah tidak membiarkan Eva membantahnya atau membahas hal lain. Eva pun hanya terdiam. Anggara seperti berbicara kepada bawahannya daripada kepada istrinya. “Dan ada Eyang di sana, jadi kamu tidak bisa lari hari ini,” lanjut Anggara. Selanjutnya, panggilan telepon terputus. Eva belum membalas atau menyanggupi ucapan Anggara. Bukan terdengar memberi tahu, tapi terdengar sebuah perintah dan Eva tidak perlu memberi pendapat atas hal itu. Eva ingin sekali menolak, bahkan mengadu kepada orang tuanya. Tapi ia yakin kalau itu percuma, mereka tidak akan peduli. Yang mereka pedulikan hanya martabat keluarga. Di satu sisi, Eva juga tidak tega melihat Eyang Cakra, eyangnya Anggara, yang sedang sakit itu. Ia sangat mengharapkan pernikahan dua keluarga itu. Bagaimana jadinya kalau tiba-tiba Eyang Cakra tahu kalau pernikahan mereka sangat dingin dan mengerikan? Bahkan, Eva sudah mengajukan cerai dalam waktu kurang dari 24 jam. Waktu berjalan tanpa terasa, dan sesuai ucapan Anggara, pada pukul 7 malam, supir datang menjemputnya. Namun sayangnya, tanpa kehadiran Anggara. “Di mana Anggara, Pak?” Eva terlihat ragu. Dia tidak terbiasa dengan orang asing, apalagi dulu hidup di asrama sekolah yang jarang keluar rumah. “Tuan Muda akan menyusul, Nyonya. Perkenalkan saya Johan supir dari rumah utama,” ucap Johan memperkenalkan diri. Eva mengangguk kemudian segera masuk duduk di bagian penumpang. Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata. Eva menatap keluar jendela. Hingga tidak membutuhkan waktu lama, mereka sudah memasuki halaman rumah tiga lantai milik mertuanya. Terlihat sepasang paruh baya menyambut kedatangannya. “Halo, menantu, Bunda.” Bunda Zia, ibunya Anggara, segera menghampiri Eva. Memeluknya meski baru kemarin ia bertemu dengan menantunya. "Kamu datang sendiri?" Eyang Cakra bertanya dengan suara serak. Ia duduk di kursi roda terlihat bingung karena Eva datang seorang diri. "O-oh itu... Angga--Mas Gara masih ada kerjaan di kantor," Eva menjawab dengan gugup dan terpaksa berbohong. Ia tidak mungkin bilang kalau Anggara tidak mau datang bersamanya. “Dia memang gila kerja, baru menikah saja tidak mau ambil cuti!" gerutu Eyang Cakra. “Tidak masalah, Eyang. Mungkin memang sibuk dan pernikahan kemarin juga mendadak,” bela Eva kemudian. Ia pun dipersilakan masuk sambil digandeng Bunda Zia. Mereka langsung menuju ruang makan, yang sudah terhidang banyak sekali makanan. Namun, sambil menunggu Anggara, mereka memutuskan untuk minum teh terlebih dulu. Wajah Eyang Cakra sudah lebih cerah, dan tampak bersemangat ketika membahas pernikahan Eva dan Anggara. Bunda Zia dan Ayah Rasyid, ayahnya Anggara, juga antusias bertanya ini-itu. 'Apakah aku berdosa karena berbohong soal pernikahan ini?' Eva bertanya dalam hati. 'Haruskah aku berkata jujur?' Eva memilin tangannya yang ada di pangkuan. Teh di depannya perlahan mulai dingin. “Eyang, sebenarnya—” Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat. Dan tiba-tiba saja, Eva merasakan seseorang memeluknya dari belakang. “Sayang, maaf membuatmu datang duluan.” Suara Anggara membuat Eva menegang. "Aku merindukanmu...."Pria itu pun membalikkan tubuh Eva ke arahnya dan sebuah kecupan mendarat di puncak kening Eva dengan lembut.Cup!"K-kamu...."Senyum manis Anggara langsung sirna, dan digantikan dengan wajah dingin. Karena posisinya membelakangi para orang tua, jadi hanya Eva yang bisa melihat perubahan ekspresi itu.“Eyang sedang memperhatikan kita,” bisik Anggara dengan penuh penekanan membuat Eva tidak jadi bertanya. "Jangan bertindak macam-macam di depan mereka."Tubuh Eva langsung kaku. Ia tidak mengangguk, atau hanya sekadar tersenyum. Saat Anggara membalikkan tubuhnya pun Eva hanya bisa menundukkan kepala.Makan malam pun berlangsung. Eva lebih banyak diam dan menikmati makanannya perlahan. Sepanjang makan malam, Anggara menunjukkan bagaimana ia adalah suami yang perhatian padanya.Anggara mengambilkan Eva piring, minuman, bahkan memotongkan dagingnya. Sikapnya berbeda 180 derajat dari kemarin. Meskipun begitu, hati Eva malah bertambah sakit.Pria ini seolah menganggap kejadian kemarin tidak
Eva keluar hotel bertepatan dengan senja akan datang. Kebetulan hotel yang ditempati tidak begitu jauh dari pantai, hanya berjalan sebentar sudah sampai.Suara ombak terdengar membuat Eva terpaku melihat keindahan air terlihat biru itu. Alas kaki segera ia lepas kemudian berlari kecil menghampiri. Sejenak pantai yang terkenal sedikit menyembuhkan Eva. Suara gemuruh sorak terdengar. Sorakan para pengunjung pantai menyaksikan senja yang akan datang dan sangat indah. Eva juga menyaksikan itu, tapi hanya terpaku dalam diam tangan terlipat menatap indahnya sinar oren itu.Hingga dalam sekejap malam sudah datang. Semua berubah menjadi gelap dan orang-orang mulai berhamburan pergi. Seiring dengan itu, perutnya mulai bernyanyi nyaring.“Aku lapar…,” guman Eva. Langkahnya asal menuju salah satu restoran. Hanya berbekal mengira-ngira, ia segera masuk. Tidak ada niat untuk kembali, bayangan panas. Anggara dengan perempuan itu terlintas tanpa dicegah.Dibandingkan dengan bulan madu, Eva malah s
“Sialan kau!” teriak Anggara sambil terus memukul. Eva membeku sejenak. Ia memang tahu kalau Anggara itu adalah orang yang arogan dan dingin, tapi ini adalah kali pertama Eva melihatnya mengamuk. Anggara memukul pria itu membabi buta, mulutnya juga tidak berhenti mengucapkan kata kasar. Tubuh Eva semakin bergetar. Rasa takutnya berganti. Suara bogem terdengar menyakitkan. ‘Bagaimana kalau Anggara membunuh pria itu?’ “Anggara! S-sudah!” dengan pikiran buruknya itu, Eva pun berteriak di tengah hujan. Tangannya terulur, meraih baju belakang Anggara. “Anggara… a-aku takut….” Mungkin karena merasakan tarikan di bagian belakang bajunya yang basah, Anggara akhirnya berhenti. Pria bertato itu pun sudah tak sadarkan diri dengan wajah babak belur. Anggara mendecih, lalu segera menarik tangan Eva dari sana. Ia membawanya masuk ke mobil yang terparkir tak jauh dari sana. “Apa kamu udah gila?!” bentak Anggara langsung begitu mereka berdua ada di mobil. Ia pun menjalankan kendaraan itu. Eva
Eva terbangun selalu terlambat. Anggara seperti biasanya akan bangun lebih dulu. Entah karena ia terlalu larut dalam kesedihan dan tidak tahu jam berapa ketika tertidur membuatnya terlambat bangun atau memang kebiasaan Anggara bangun lebih dulu.Aroma parfum maskulin menyeruak. Eva merasakan tubuhnya sakit karena memang posisi tidur di sofa sangat sempit dan tidak nyaman. “Mas Gara mau kemana?” tanya Eva.Anggara hanya melirik melalui ujung matanya. Kemudian melanjutkan aktivitasnya dan bersikap tak acuh seperti biasanya tidak menganggap ada sosok Eva. Setelah selesai ia segera menuju kursi khusus, ternyata sudah tersedia hidangan sarapan dan Eva baru menyadari itu.“Cepat pergi! tampilan kau buruk! merusak mood makanku!” Suara datar dan dingin Anggara kembali bagaikan belati yang menggores hatinya kembali.Eva menatap seluruh tubuhnya. Masih dengan baju tidur panjangnya dan rambutnya segera ia rapikan. Memang harus seperti apa tampilan ketika bangun tidur? tidak ingin bersedih maupu
“Cepat bangun!” Suara keras menggema satu kamar. Belum lagi tarikan keras selimut tebal yang digunakan Eva. Siapa lagi kalau bukan Anggara pelakunya.Eva terkejut. Langsung terduduk dengan tatapan linglung. Nyawanya seolah belum kembali menatap dan mengingat apa yang terjadi.“Ada apa? bisakah kamu sedikit punya hati untuk membangunkan orang tidur?” Eva memijat pelipisnya. Denyutan rasa sakit menerpa kepala karena bangun tidur dengan keterkejutan.“Aku tidak tuli.” Eva masih bergumam dengan kesal. Meski sebenarnya ia memperhatikan bajunya apakah masih sama seperti semalam. Anggara mendengus kesal. Eva menurutnya sangat pelor, akan percuma dengan cara halus dan menurutnya akan membuang waktu.“Cepat bereskan barang kamu! dua jam lagi ke Bandara.” Anggara berkata dengan ketus. Tidak ada kata maaf mengganggu tidur Eva.“Apa?” pekik Eva dengan sisa mengumpulkan nyawanya. “Bukanya harusnya besok? mau kemana?”Eva mengingat hari, benar harusnya besok dan kemarin tetap menjadi honeymoon ter
Eva menatap pria yang kini terpejam. Akhir-akhir ini Eva bangun lebih dulu dari Anggara. Andai pria itu mau berbicara baik, sedikit berdiskusi, setidaknya ia bisa berharap kecil sama pernikahan ini. Ada setitik harapan ingin bahwa pernikahan ini adalah sekali dalam seumur hidup, tapi sepertinya hanya mimpinya dulu yang terlalu percaya diri.Sepertinya memang dirinya berjuang sendiri dan mengakui pernikahan itu sendiri. Eva sadar, kalau selalu berjuang sendiri. Berjuang untuk tidak menyakiti orang tua, almarhum kakek dan tentu Eyang. Semua dikorbankan digantikan dengan rasa sakit hatinya.Setelah sekian lamanya berstatus istri, setelah kemarin menjalani drama bulan madu baru kali ini Eva melihat detail wajah Anggara dalam jarak dekat. Tidak buruk, secara fisik sempurna dan Anggara pria idaman untuk jadi suami. Sayang sikap dan ucapannya jauh dari nilai baik itu.Seberapa lama harus bertahan, seperti itu pertanyaan yang sering muncul sejak kedatangan kembali di rumah hadiah pernikahan m
“Apa yang terjadi, Sayang? kenapa? bukanya masih jam kantor? atau kamu hari ini belum masuk kantor?” Pertanyaan beruntun di layangkan Mama Dara.Eva memeluk begitu erat ibunya. Mengabaikan pertanyaan panjang Mama Dara yang seolah hanya masuk dan lewat gendang telinganya.Mama Dara paham membiarkan putri sulungnya. Meski sebenarnya awalnya sangat terkejut, ketika membuat kue mendapatkan kejutan pelukan tiba-tiba dari Eva, untung tidak ada riwayat jantung seperti suaminya.“Untung bukan Papa kamu yang kamu beginikan. Sudah pasti akan langsung ke rumah sakit,” kekhawatiran Mama Dara menunggu putrinya melepaskan pelukan erat itu.Eva melepas belitan tangannya. Aroma khas mamanya seolah memberi obat rasa sakit yang kurasakan tadi. Meski itu hanya sesaat, setidaknya lebih baik.“Mama tanya apa tadi?” kata Eva meletakkan oleh-oleh dari Bali yang baru sempat ia antar.“Darimana? kenapa gak ngabarin kalau mau datang, kata mertua kamu kemarin kalian bulan madu, apa Anggara tidak ikut,” kata Mam
“Istrimu kembali,” ucap perempuan berbeda kesekian kalinya menyambut kepulangan Eva.Eva memejamkan matanya sesaat. Suguhan adegan sudah tidak terhitung lagi. Lelah sekaligus muak, capek sekali apalagi ia pulang dari kerja. Mau tidak pulang, tapi tidak ada lagi tempatnya pulang kecuali rumah hadiah pernikahan ini.Anggara mengecup pipi kekasihnya. “Biarkan saja, Sayang!”“Apa dia tidak memberi servis terbaik? aku rasa tanpa kamu menjawab jawabannya sudah tentu, tidak!” ejek perempuan itu. Tatapan merendahkan begitu angkuh.“Biarkan saja,” tegas Anggara. Namun, wajahnya puas melihat wajah kekesalan Eva kali ini. “Tidakkah tempat diluar sana yang cocok untuk berpacaran,” kata Eva yang sudah tidak tahan lagi. Kalimat terdengar datar. Sudah ia tahan selama ini. Namun, tetap Anggara selalu dengan tingkahnya. Seolah ada ribuan cara untuk menguji besar kesabarannya.Seringai lebar nampak di wajah angkuh Anggara. Akhirnya, berhasil membuat Eva mengatakan protesnya.“Seharusnya dengan adanya