“Bunda ….”“Bun ….”“Bunda dimana?”Anggara keluar kamarnya dengan terburu-buru. Tanpa berpikir untuk sekedar mengeringkan rambutnya yang masih menetes. Dengan telanjang dada mencari ibunya.“Bunda ….”“Astaga, kenapa terus teriak, Angga? ini rumah bukan hutan, Anggara!” Bunda Zia yang sibuk di dapur segera keluar. Celemek berwarna pink melekat pada bagian depan tubuhnya. Spatula di acungkan menyambut kedatangan Anggara berteriak kencang berdiri di ambang pintu dapur.“Kemana Eva, Bun?” Anggara menoleh, masuk ke dapur hanya terdapat pelayan yang menutup matanya, kemudian membalikan tubuhnya dan meja makan kosong.“Dikamar gak ada,” jelasnya.“Eva?” ulang Bunda Zia.“Iya, Eva istriku. Dia gak ada di kamar. Mana kursi roda juga di kamar,” kesal Anggara mengatakan dengan mata terus mengedarkan sekitar. Bergerak tidak tentu arah mencari sosok Eva.“Dulu aja di sia-siakan, disakiti, berkhianat, cari pacar bawang-bawangan! eh, sekarang tinggal lima menit gak ada aja sudah dicari-cari.”“Bun
Makan malam dominan banyak terisi dengan suara Anggara. Baik Eyang maupun Ayah Rasyid lebih banyak diam menikmati hidangan makanan malamnya. Keduanya tampak tidak bercengkrama seperti sebelumnya.Eva melirik piring makan Anggara masih utuh, tanda pria itu belum menyuapkan satu suapan masuk ke mulutnya. Pria itu sibuk memisahkan duri dari ikan yang Eva pilih. Memilih lauk dan menawarkan banyak hal.“Makan yang banyak, kamu tidak makan sendiri sekarang. Sejak pagi dan siang kamu selalu makan sedikit.” Anggara tampak antusias, apalagi kini Eva begitu lahab menikmati masakan Bunda Zia.Eva mengangguk sekali. Mulutnya terus tanpa henti menyuapkan makanan, membalas pertanyaan Anggara lebih banyak dengan bahasa tubuh atau sekedar iya maupun tidak. Apa yang dikatakan Anggara sangat benar, lidahnya terasa enak untuk mengecap dan perutnya begitu tidak protes merasa mual ketika makan malam saat ini, tidak seperti biasa seperti hari-hari sebelumnya.“Masakan Bunda enak, biasanya aku mual, Bun.”
Suapan terakhir langsung terasa tersendat dan sulit tertelan bersamaan dengan pernyataan Eva. Anggara segera meraih kasar dan meneguk cepat air minumnya dengan tergesa-gesa. Napas lega dilakukan ketika sudah bisa lagi menelan makanan yang seolah berhenti di tenggorokan begitu menyakitkan.TakSuara gelas yang sudah tandas diletakkan dengan kasar beradu dengan meja makan terdengar kencang.Masih tanpa merespon atau menjawab ucapan Eva, pria itu segera beranjak berdiri dengan kasar. Suara kaki kursi beradu dengan lantai terdengar menggema sangking kerasnya memekik telinga.KrakEva reflek langsung memejamkan matanya. Tangan mencengkram erat pegang kursi rodanya. Bibir bagian dalam tanpa sadar dia menggigitnya, gerakan reflek akhir-akhir ketika melihat kemarahan Anggara. Bedanya biasanya dengan suara nyaring, namun kali ini Eva belum mendengarkan sepatah kata satupun.Saat kedua mata terbuka kursi rodanya mulai berjalan perlahan didorong Anggara.Dorongan tidak cepat juga tidak lambat. Ev
“Keputusan aku tidak salah kan, Fian? sudah memberi kesempatan dia untuk mendampingi putri kita. Dulu kita dijodohkan juga, banyak badai yang juga kita berdua lalui. Apa aku salah, Fian? putri kita juga sepertinya ada rasa.”Tawa kecil lolos dari Mama Dara. Tawa dengan air mata yang sama juga mengalir melalui ujung matanya. “Kalau aku memisahkan mereka, kasihan cucu kita. Disini tidak ada sosok dirimu, terus aku memaksa masuk dalam sini. Pasti kamu paham, Fian. Tidak ada sosok laki-laki disini.”Mama Dara memeluk erat pigura foto suaminya. Tidak ada rasa lelah, kadang dicium, bahkan hampir tiap malam. Di kamar juga ada.Aluna melotot melihat apa yang dia lihat. Matanya mulai mengembun melihatnya, bahkan mulutnya langsung tertutup rapat kembali mengurungkan segera menyapa. Hatinya sedikit miris ternyata ini alasan mamanya selalu banyak alasan ketika membahas Eva dan Anggara.“Besok aku akan berkunjung ke tempat kamu. Istirahat yang tenang,” ucap Mama Dara segera mengusap kasar pipinya
Mama Dara mengurungkan niatnya untuk berbaring. Kembali duduk dengan tatapan teduh melekat tertuju pada Aluna. Dalam pikirannya waktu benar-benar sudah cepat berlalu. “Kenapa tanya seperti itu?” Mama Dara mengatakan pelan. Melanjutkan menarik selimut dan membenarkan bantal di sandaran ranjang sebelum bersandar nyaman.Aluna menggeleng pelan, kemudian mengangguk. “Yah, kalau itu benar terjadi dan ada tiba-tiba Aluna harus persiapkan diri. Paling tidak Aluna akan ikut bela diri dasar siapa tahu laki-laki itu belok atau ada pelakor bisa Aluna hajar.”Mama Dara menanggapi dengan tertawa pelan. Tidak kaget karena Aluna memang sw bar-bar itu.“Tidak,” jawab Mama Dara.Aluna langsung tidak puas. Duduk semakin mendekati Mama Dara. “Tidak apanya, Ma? tidak salah?”Mama Dara menggeleng dengan tingkah ramainya Aluna. Satu ruang hanya ada dia dan Aluna, tapi terasa sudah ramai dan cukup selalu menghibur disela seperti ini.“Tidak ada, Aluna. Perjodohan hanya kakak kamu dan Anggara. Anak pertama,
Eva melototkan matanya. Perasaan baru beberapa hari tidak memegang ponsel dan yang terjadi sangat luar biasa. Berita tentang pernikahan menjadi trending, begitu juga kehamilannya menduga karena tragedi saat resepsi dan dibenarkan oleh Anggara. Bahkan di akun media sosialnya biasanya sepi saat ini sangat ramai sekali.“Apa-apaan ini?” Eva sampai tidak berkedip. Notifikasi tidak berhenti ketika ponselnya mulai menyala. Bagaimana bisa akunnya di temui oleh orang-orang. Bahkan karyawannya banyak yang tidak tahu jadi sekarang tahu. Apalagi komentar yang bermunculan tidak berhenti.“Astaga! dia banyak idola!” Eva menggeleng melihat tag dirinya dengan Anggara.“Dia milikku!” lirih Eva dengan muka mulai serius. Dahi berkerut dengan alis terangkat.“Apa maksudnya? akun tidak jelas!” Eva mengatakan dengan pelan. Dua kata aneh dengan tanda seru tidak hanya sekali begitu banyak dibaca berulang-ulang oleh Eva. Belum lagi akun tidak ada nama yang jelas pemiliknya bisa dikatakan akun palsu.Guratan
“Semua sudah aku urus. Berkas perceraian yang naik sudah aku tarik. Pengalihan sudah tidak jelas semua harta akan berpindah pada kamu dan anak kita.” Anggara kembali dengan kertas di tangannya. Suaranya terdengar tenang, tapi beda dengan Eva sangat penasaran apa yang dimaksud atas apa yang Anggara katakan.“Maksudnya?” Eva menautkan alisnya. Ponselnya sudah diabaikan dan fokusnya pada Anggara.“Kamu bisa baca sendiri.” Anggara tersenyum tipis. Menyerahkan kertas pengalihan harta yang baru diterimanya tidak lama. Bahkan pengesahannya tepat saat Eva masuk ke rumah sakit, itu artinya saat peresmian sekaligus pesta pernikahan yang berakhir dengan berita kehamilan. Dan saat ini tepatnya kemarin semua berubah isinya.Eva menerima dan setiap kata tertulis, angka hingga huruf tidak lepas dari kedua mata Eva. Ia butuh dua kali untuk membaca untuk menyakinkan semua, meski kenyataannya isinya sangat jelas dan sebenarnya bukan pertama kalinya membaca meski dengan konsep dan isi yang berbeda berb
“Kamu mau kemana? kenapa sudah cantik sekali?” Anggara menatap Eva. Tubuhnya mulai terlihat lebih berisi, meski setiap malam selalu mual-mual hingga muntah parah.Bila kebanyakan ibu hamil merasakan morning sick parah setelah bangun pagi, beda dengan Eva lebih sering mual di malam hari di dua Minggu terlahir ini.Eva melanjutkan menyisir rambutnya. Menatap Anggara dengan balutan pakaian olahraga dari kaca riasnya. Dokter kandungan sudah mengatakan janinnya sudah kuat, bahkan Eva tidak mengalami flek lagi. Bisa dikatakan dua Minggu hampir tiga minggu diperlakukan Anggara seperti orang lumpuh berhasil membuat kehamilannya aman, atau bisa dikatakan emang bayi tanpa rencana yang hidup di rahimnya memilihnya untuk jadi ibu.“Ke kantor. Lama gak ke kantor.” Eva mengatakan dengan tenang. Masih melanjutkan merapikan ribut dan mengaplikasikan skincare ke wajahnya.“Apa!” Anggara tampak terkejut. Keringat terlihat menetes di wajahnya, rambut tampak lembab. Langkahnya segera berayun cepat mendek