“Biarkan, Eva pasti perlu waktu untuk menerima. Bagaimanapun kedatangan anak juga perlu persiapan dan rencananya kedepannya, mungkin berita ini membuat Eva cukup terkejut.” Bunda Zia menatap pintu di depannya yang kini tertutup sempurna. Anggara sudah memastikan beberapa kali dan pintu terkunci. Pria yang terlihat sangat buruk itu hanya terkulas malas, lemas dan seolah tidak ada semangat hidup bersandar pada kursi yang didudukinya.Ayah Rasyid hanya diam menyimak. Sejak Anggara bercerita apa yang terjadi tidak ada sepatah kata yang dikeluarkan pria paruh baya itu. Tatapan tidak terbaca sesekali mengatur napasnya dengan hembusan napas keluar.“Aku sudah jahat banget, ya, Bun?” seloroh Anggara bertanya.Dengusan pelan dilakukan oleh Ayah Rasyid. “Kamu masih saja begitu ditanyakan? terus pas kamu melakukan apa yang kamu pikirkan? memang kamu bodoh kalau soal perempuan, entah kamu nurun siapa, Anggara, perasaan Eyang dan aku tidak pernah buruk memperlakukan pasangan.”Bunda Zia mendelik.
“Ssst, ayo naik dan istirahat. Mama suapi, Mama lama tidak menyuapi kamu.” Mama Dara berusaha keras untuk menahan kesedihannya.“Kenapa dia memilih aku jadi ibu, Ma?”“Karena kamu wanita kuat. Jangan sesali, Sayang. Kamu tidak sendiri, ada Mama.” Mama Dara mengatakan dengan suara lembutnya.Eva menundukkan kepalanya. Membiarkan Mama Dara menyelimuti bagian kakinya. “Eva takut tidak bisa merawatnya.” Eva mengatakan dengan ragu. Membayangkan ada makhluk tubuh di bagian tubuhnya.“Kenapa tidak bisa, nanti Mama bantu. Pasti makin ramai nanti.” Mama Dara tersenyum dengan lebar. Meski sebenarnya senyum paksa ia lakukan.Eva memejamkan matanya sesak. “Aku tidak ingin ketemu dia, Ma!”Mana Dara menghentikan gerakan tangannya. Gerakan tangan ingin menyiapkan sarapan untuk Eva langsung terhenti.“Minum susunya dulu. Kita fokus untuk kesehatan kamu dan cucu Mama, ya.” Mama Dara mengatakan dengan ragu, tidak mendukung juga tidak menolak keputusan Eva.“Rasanya aku kesal ketika melihatnya. Bayang
Anggara menghentikan langkahnya. Helaan napas panjang kembali pria itu lakukan. Bukan Anggara kalau begitu saja menuruti permintaan Eva. langkahnya cepat kembali masuk dan menutup rapat ruang Eva. "Aku ingin disini, sama kamu." Anggara mengatakan dengan santai.Eva berdecak dengan raut wajah datar. "Tapi aku tidak ingin."Anggara menanggapi dengan senyuman. "Kenapa? apa itu dinamakan ngidam?" Ucapan Eva dibalikkan dengan kembali bertanya.Anggara menarik kursi di sisi ranjang rawat Eva. menduduki dengan pelan, wajahnya terlihat biasa saja. "Keluarlah, Gara!" sarkas Eva dengan tajam.Semua yang ada diruang Mama Dara, Aluna dan Akbar dalam diam menyaksikan drama keduanya. Kedua mata mereka tidak lepas dengan pergerakan keduanya. "Gak mau, Sayang," balas Anggara terdengar dengan rengekan."Anggap aku pernah baru kalau kamu masih kesal. Aku ingin siaga menjaga kalian. Kata dokter perut kamu, kram, apa masih sakit?"Eva merebahkan tubuhnya. Memiringkan badannya memunggungi Anggara. Sang
“Ayo kita pulang, biarkan Kakak kamu istirahat.” Mama Dara mengatakan dengan suara pelan takut Eva terganggu. Cukup pelan mengalun lembut ketika berbicara, obrolan ringan sudah kembali tercipta, meski semua tidak tahu bahwa rasa khawatir menyelimuti hati Anggara setelah apa yang Mama Dara katakan tadi.“Pulang? kita gak nginap, Ma? Aluna gak ada jadwal kuliah, hari ini free.”Mama Dara menggeleng, tidak setuju dengan ajakan Aluna. “Kita pulang, biarkan Kakak kamu istirahat agar segera pulang.”“Aluna gak akan ramai, Ma. Mama saja pulang dulu, Bang Akbar anter Mama, ya?” Aluna dengan alasannya.Mama Dara mulai beranjak. “Mama sudah hubungi supir. Anggara, Mama titip Eva, hubungi Mama kalau perlu bantuan atau memerlukan sesuatu.”Anggaran mengangguk, kemudian tidak lama bergerak mengikuti langkah Mama Dara.“Salam buat Eva kalau bangun nanti. Sepertinya efek obat yang disuntikkan. Kamu harus sabar ibu hamil suka rewel,” kata Mama Dara pelan. Meski dalam hati tidak rela, masih ada rasa
Anggara segera beranjak dari duduknya. Membenarkan membantu posisi setengah berbaring yang dilakukan Eva tanpa mengatakan sepatah kata. Tindakan tidak lepas dari kedua mata Lucky seolah menilai penasaran dan perempuan asing itu sama layaknya membandingkan tindakan sangat jauh berbeda perlakuan Anggara yang ia tahu dan lihat saat ini.“Dia Sarah sekretaris baruku,” jelas Anggara pelan setelah memastikan Eva nyaman.Eva masih diatas keterkejutan. Bagaimana dia sebelumnya nampak terkejut dengan adanya Lucky dan perempuan baru ditemuinya. Tidak sadar bahwa masih ada Anggara tidak jauh dari ranjang rawatnya. Ternyata pria itu beneran tidak mengikuti perintahnya untuk tidak nampak.“Hem,” balas Eva dengan deheman. Kemudian fokusnya kembali teralih pada Lucky.“Bagaimana dengan pekerjaanku Lucky? aku belum membuka email. Kamu kirim saja yang perlu aku kerjakan, meski tidak bisa secepat biasanya.” Eva bertutur kata tegas dan lembut. Terdengar sangat ramah dan enak bagi Sarah yang baru terhit
“Kenapa kamu begitu perhatian dengan orang dikenal?” Anggara bertanya dengan penasaran. Kondisi ruangan tinggal mereka berdua. Baik Aluna dan Akbar juga sudah kembali, entah mereka kemana. Eva menggeleng. Tidak menanggapi karena dirinya juga tidak tahu alasan utamanya. Intinya melihat Sarah terlihat begitu tertekan mengingat dia juga pernah di posisinya begitu tertekan saat awal pernikahan dulu itu. “Mau kemana?” tanya Anggara segera bergerak menghampiri cepat dan segera membantu Eva sudah bergerak menuruni ranjang rawatnya. “Aku bisa sendiri.” Eva mengatur napas dan menegakkan tubuhnya. Meski rasa pusing masih dia rasakan, tapi tidak separah kemarin hingga kepala terasa akan pecah dan semua nampak gelap. “Aku bantu. Bagaimana kalau pingsan tiba-tiba lagi?” Anggara tidak menghiraukan penolakan Eva kesekian kalinya. Eva membuang napasnya kasar. Baru beberapa langkah ia lakukan kembali terhenti, tiang infus dirampas dan didorong oleh Anggara. Meski desakan kantung kemih Eva ras
“Kamu anak nomor tiga, ya?” Akbar menoleh sebentar, kemudian menatap kembali ke depan fokus ke kemudi.Aluna mengangguk cepat sebagai tanggapannya. “Perasaan Abang pernah bertanya.”“Benarkah? lupa! kakak kedua kamu cowok, ya? almarhum papa kamu jarang ekspos tentang keluarga. Kalaupun dikenalkan tidak sering, jadi jarang menghafalkan.” Akbar tertawa kecil terdengar.“Kami jarang ada yang suka acara begitu. Apalagi kedua kakakku hobinya belajar terus. Tidak ada hari tanpa belajar, jadi wajar mereka lulusan luar negeri."“Kamu gak suka belajar? kapan lulus?” Akbar kembali mengajukan pertanyaannya.“Biasa saja, mungkin karena anak bungsu jadi kapasitas pembagi otaknya jadi sisa mungkin. Jadi tidak sepandai kedua kakakku.” Aluna menanggapi dengan tertawa.“Mana ada konsep seperti itu? aku baru saja mendengarnya. Btw jadi kapan kamu lulusnya?” Akbar kembali mengutarakan pertanyaan yang belum mendapatkan jawabannya.“Masih lama, Kak. Dua atau mungkin bisa lebih.”“Kenapa mungkin,” cecar Ak
“Ingat, meski sudah diizinkan pulang tetap istirahat total,” ucap Anggara sudah tidak terhitung.Eva mengangguk malas. “Kamu sudah dua puluh kali mengatakan itu!”Anggara tertawa, tawa membuat Eva yang sudah bersiap menatap dalam diam. Raut wajahnya tidak terbaca.“Kamu menghitungnya? tunggu sebentar Sarah bentar lagi datang anter kursi roda.”“Sarah lagi? bukanya dia habis kamu suruh ke kantor? kenapa sudah sampai sini lagi? kamu mengerjakan Sarah sebagai sekertaris atau pesuruh?” tanya Eva.Anggara mengusap dagunya dengan jambang tipis menghiasi. Wajahnya tampak berpikir keras. “Keduanya boleh! aku membayarnya mahal.”Eva berdecak dengan menggelengkan kepalanya. “Tidak kasihan sepertinya itu memang karakter kamu! kursi roda di depan ada! aku juga bisa jalan pelan. Merepotkan orang lain!” cetus Eva.toktok.tokKetukan pintu terdengar menghentikan perdebatan pasangan yang sering berdebat. Tidak lama Sarah masuk dan tidak sendiri.“Tuan Anggara, maaf sedikit terlambat,” lirih Sarah d