Bunda Zia dan Mama Dara duduk berdampingan langsung saling pandang. Keduanya serempak berdiri dari duduknya setelah apa yang dia lihat. Tanpa menunggu segera berlari menghampiri Anggara disusul Kakek Cakra begitu juga dengan Ayah Rasyid.“Bun, tadi Eva makan apa?”“Ma, apa yang terjadi? Eva tidak punya riwayat penyakit serius, kan?”Suara Anggara terdengar panik. Mulutnya terus merancau dengan tangan menepuk pipi Eva pelan.“Langsung bawa ke mobil. Lama menunggu petugas medis,” sarkas Kakek Cakra. Raut wajahnya tidak terbaca, beda dengan Mama Dara dan Bunda Zia keduanya saling pandang seolah paham situasi saat ini.“Dulu aku hamil Anggara sering pingsan,” celetuk Bunda Zia pelan. Tatapan tidak lepas pada Anggara berjalan cepat dengan wajah pucat Eva. Sudah beberapa kali bertemu dengan menantunya dan ingin mengatakan, tapi rasanya begitu enggan merasa tidak pantas untuk bertanya.Seketika sedikit kegaduhan terjadi di acara yang sebelumnya Punuh hikmat, romantis dan begitu meriah.“Ayo
“Ayah apa tadi juga mendengarkan?” Anggara masih dengan raut datarnya. Tidak ada kebahagiaan juga tidak ada keraguan.Semua yang menunggu di kursi tunggu terlihat sama terkejutnya. Meski Bunda Zia dan Mama Dara sudah menduga tetap berita yang barusan didengar sangat mengejutkan bagi mereka. Kecuali Eyang Cakra, ia nampak melebarkan senyum merekah dibibirnya.“Alhamdulillah, aku mau dapat cucu buyut,” celetuknya begitu terdengar senang, “pasti istriku dan sahabatku juga sama bahagianya mendengarkan ini disana,” lanjut Eyang Cakra bergumam semakin pelan.“Rasyid tidak menyangka Tuhan memberi waktu yang panjang sampai saat ini meski aku kesepian,” adunya pada putra semata wayangnya. Jari telunjuknya menyeka ujung mata sungguh terharu.Sementara Anggara masih mencerna, begitu yang lain. Kondisi tidak bisa dikatakan mudah, apalagi kondisi keduanya bukan seperti hubungan seharusnya. Beberapa kali Bunda Zia mengatur napasnya. Rasa sesak, bahagia dan malu secara bersamaan sebagai orang tua di
Eva membuka matanya dan botol infus yang menggantung serta ruang serba bercat putih menjadi pemandangan pertamanya ketika kelopak mata terbuka sempurna. Ringisan pelan keluar dari mulutnya ketika merasakan denyutan di kepalanya kembali terasa.“Aku dimana?” batin Eva berusaha mengingat kejadian sebelumnya. Terakhir dalam ingatannya terakhir di pelaminan akan berdansa.“Kenapa bisa kesini?” gumannya pelan. Tangannya menyapu tubuhnya terbalut selimut, tidak ada gaun indah sebelumnya, riasan tebal tidak terasa juga di wajahnya, begitu juga dengan rambutnya sudah tergerai rapi meski rasanya masih ada begitu tidak nyaman.Eva menoleh ke sisi kiri. Terlihat Anggara tidur di sampingnya. Pantas tangannya terasa hangat saat ini. Eva menatap langit-langit ruang rawatnya. Apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu sudah bangun, aku gak mimpi, bukan?” Suara Anggara membuyarkan lamunan Eva sesaat.Eva menoleh cepat. “Aku mau minum,” lirihnya merasa tenggorokan begitu terasa kering, mengabaikan pertanyaan
Anggara terpaku mendengarkan ucapan Eva. Meski begitu pelan, tapi sangat jelas menggema hingga membuat telinganya berdengung. Gelengan kepala pria itu lakukan, mulutnya bergerak ragu-ragu segera menyela tidak terima.“Maafkan aku, biarkan aku menemani kamu, Eva.” Suara begitu rendah, nyaris seperti terdengar bisikan.Eva menoleh, wajahnya begitu datar. Kedua tangan di bawah selimut masih terpaku di atas perut, tidak bergerak hanya meletakkan bersamaan rasa bersalah sekaligus menyayangkan kehadirannya tanpa rencana sama sekali. Berharap sedikit pun tidak pernah apalagi mengharapkan kehadiran di sela kehidupannya entah dikatakan rumah tangga atau rumah duka yang dialami ini.“Biarkan aku disini, kamu boleh meminta yang lain kecuali itu dan perpisahan.” Anggara masih mengeluarkan suara pelan, terdengar tanpa semangat dan sedikit pirau.“Tolong biarkan aku sendiri,” lirih Eva. Kemudian membuang muka, tidak ingin berdebat karena yang Eva inginkan tidak melihat Anggara.Sesaat langsung kehe
“Biarkan, Eva pasti perlu waktu untuk menerima. Bagaimanapun kedatangan anak juga perlu persiapan dan rencananya kedepannya, mungkin berita ini membuat Eva cukup terkejut.” Bunda Zia menatap pintu di depannya yang kini tertutup sempurna. Anggara sudah memastikan beberapa kali dan pintu terkunci. Pria yang terlihat sangat buruk itu hanya terkulas malas, lemas dan seolah tidak ada semangat hidup bersandar pada kursi yang didudukinya.Ayah Rasyid hanya diam menyimak. Sejak Anggara bercerita apa yang terjadi tidak ada sepatah kata yang dikeluarkan pria paruh baya itu. Tatapan tidak terbaca sesekali mengatur napasnya dengan hembusan napas keluar.“Aku sudah jahat banget, ya, Bun?” seloroh Anggara bertanya.Dengusan pelan dilakukan oleh Ayah Rasyid. “Kamu masih saja begitu ditanyakan? terus pas kamu melakukan apa yang kamu pikirkan? memang kamu bodoh kalau soal perempuan, entah kamu nurun siapa, Anggara, perasaan Eyang dan aku tidak pernah buruk memperlakukan pasangan.”Bunda Zia mendelik.
“Ssst, ayo naik dan istirahat. Mama suapi, Mama lama tidak menyuapi kamu.” Mama Dara berusaha keras untuk menahan kesedihannya.“Kenapa dia memilih aku jadi ibu, Ma?”“Karena kamu wanita kuat. Jangan sesali, Sayang. Kamu tidak sendiri, ada Mama.” Mama Dara mengatakan dengan suara lembutnya.Eva menundukkan kepalanya. Membiarkan Mama Dara menyelimuti bagian kakinya. “Eva takut tidak bisa merawatnya.” Eva mengatakan dengan ragu. Membayangkan ada makhluk tubuh di bagian tubuhnya.“Kenapa tidak bisa, nanti Mama bantu. Pasti makin ramai nanti.” Mama Dara tersenyum dengan lebar. Meski sebenarnya senyum paksa ia lakukan.Eva memejamkan matanya sesak. “Aku tidak ingin ketemu dia, Ma!”Mana Dara menghentikan gerakan tangannya. Gerakan tangan ingin menyiapkan sarapan untuk Eva langsung terhenti.“Minum susunya dulu. Kita fokus untuk kesehatan kamu dan cucu Mama, ya.” Mama Dara mengatakan dengan ragu, tidak mendukung juga tidak menolak keputusan Eva.“Rasanya aku kesal ketika melihatnya. Bayang
Anggara menghentikan langkahnya. Helaan napas panjang kembali pria itu lakukan. Bukan Anggara kalau begitu saja menuruti permintaan Eva. langkahnya cepat kembali masuk dan menutup rapat ruang Eva. "Aku ingin disini, sama kamu." Anggara mengatakan dengan santai.Eva berdecak dengan raut wajah datar. "Tapi aku tidak ingin."Anggara menanggapi dengan senyuman. "Kenapa? apa itu dinamakan ngidam?" Ucapan Eva dibalikkan dengan kembali bertanya.Anggara menarik kursi di sisi ranjang rawat Eva. menduduki dengan pelan, wajahnya terlihat biasa saja. "Keluarlah, Gara!" sarkas Eva dengan tajam.Semua yang ada diruang Mama Dara, Aluna dan Akbar dalam diam menyaksikan drama keduanya. Kedua mata mereka tidak lepas dengan pergerakan keduanya. "Gak mau, Sayang," balas Anggara terdengar dengan rengekan."Anggap aku pernah baru kalau kamu masih kesal. Aku ingin siaga menjaga kalian. Kata dokter perut kamu, kram, apa masih sakit?"Eva merebahkan tubuhnya. Memiringkan badannya memunggungi Anggara. Sang
“Ayo kita pulang, biarkan Kakak kamu istirahat.” Mama Dara mengatakan dengan suara pelan takut Eva terganggu. Cukup pelan mengalun lembut ketika berbicara, obrolan ringan sudah kembali tercipta, meski semua tidak tahu bahwa rasa khawatir menyelimuti hati Anggara setelah apa yang Mama Dara katakan tadi.“Pulang? kita gak nginap, Ma? Aluna gak ada jadwal kuliah, hari ini free.”Mama Dara menggeleng, tidak setuju dengan ajakan Aluna. “Kita pulang, biarkan Kakak kamu istirahat agar segera pulang.”“Aluna gak akan ramai, Ma. Mama saja pulang dulu, Bang Akbar anter Mama, ya?” Aluna dengan alasannya.Mama Dara mulai beranjak. “Mama sudah hubungi supir. Anggara, Mama titip Eva, hubungi Mama kalau perlu bantuan atau memerlukan sesuatu.”Anggaran mengangguk, kemudian tidak lama bergerak mengikuti langkah Mama Dara.“Salam buat Eva kalau bangun nanti. Sepertinya efek obat yang disuntikkan. Kamu harus sabar ibu hamil suka rewel,” kata Mama Dara pelan. Meski dalam hati tidak rela, masih ada rasa