“Kakak sudah pulang, Ma.” Aluna yang tidak sabar menyambut kedatangan Eva.Baru masuk pintu utama Eva disambut suara adiknya. Terdengar ceria dan antusias, meski terlihat hanya sesaat karena Eva tahu Anggara berjalan di belakangnya.“Aluna pikir Kakak sendirian, kenapa tidak bisa dihubungi?” protes Aluna dengan nada tidak suka.“Assalamualaikum.” Eva mengucapkan salam. Mengabaikan pertanyaan adiknya dengan tatapan tidak suka terus tertuju pada Anggara.Eva berjalan menghampiri Mama Dara lebih dulu. Mengecup dahi dan meraih tangan terasa hangat untuk bersalaman dengan sopan dan hikmat.“Waalaikumsalam,” balas Mama Dara tersenyum. Sentuhan sapuan lembut terusap di puncak kepala Eva. Begitu nyaman dan entah Eva selalu menyukai perlakuan mamanya itu.“Sudah makan, Kak?” Mama Dara menatap putri bungsunya lekat-leket. Kemudian tangannya teralih bergantian karena uluran tangan Anggara selepas Eva bergeser duduk disebelahnya.“Sudah, Ma. Tadi ketemu Eyang dan menyempatkan makan sama Bunda Zia
Mama Dara tidak bisa menyembunyikan dari keterkejutannya. Walau sebelumnya sudah menebak apa yang akan dibicarakan Anggara, tetap tidak percaya hingga Anggara terdengar menangis bersimpuh di kakinya.“Bangunlah, Anggara. Kamu kenapa seperti ini?” Mama Dara masih seperti sebelumnya, pura-pura tidak mengerti dan lebih tepatnya tidak mau ikut campur terlalu dalam ruang tangga anaknya meski sudah seharusnya dikatakan sangat fatal.“Maafkan Anggara, Ma.”“Anggara salah, hukum saja Anggara, jangan seperti ini.”Anggara pertama kali menurunkan egonya didepan mertuanya, begitu merendah semakin sadar salah besarnya. Foto yang berjejer rapi, tulisan kecil di ujung pigura sebagai keterangan menggambarkan sosok bahwa Eva cukup dicintai oleh keluarganya. Merasa hatinya tercubit bahkan terasa teriris belati sangat tajam karena perlakuannya atas tidak suka keputusan Eva yang begitu cepat.Mama Dara menarik napas dan mengeluarkan dengan kasar. Beberapa melakukan itu dengan tatapan menatap Anggara mas
“Harus banget semua itu?” Eva sebenarnya masih belum bisa menerima.Anggara mengangguk lemah. “Iya, anggap saja salam perpisahan. Setidaknya kalau kamu tidak ingin bersama lagi, ada kenangan indah diantara kita.”Anggara akan berusaha untuk semaksimal mungkin. Untuk hasilnya ia akan berpikir lagi untuk mendapatkan perempuan didepannya ini.Eva dibuat kembali termenung. Bukan sebuah yang permintaan sulit sebenarnya, tapi bila dilakukan semua menjadi sangat rumit. Harusnya tinggal ketuk palu dan selesai, tapi ini apa? Anggara yang awalnya menolak go publik dan sekarang seperti ini. Bahkan dirinya tidak menuntut satu persen apapun selain berhubungan dengan baik.“Lakukan saja, seperti biasa kamu tidak mudah untuk di tolak. Tapi aku minta satu hal untuk tidak ada kontak fisik atau pemerkosaan,” balas Eva dengan satu kata terakhir pelan dan penuh penekanan.Anggara mendesah pelan. Tahu maksud Eva pasti tertuju pada kelakuan bejatnya.“Maafkan aku. Saat pertama itu memang aku pengaruh minu
Eva beranjak dari tidurnya. Kepala menoleh di sampingnya, kosong tidak ada. Melihat ke sisi sofa terlihat Anggara dengan tidak nyaman tertidur di sofa terlihat sangat tidak tenang. Tidur tanpa selimut dengan sofa yang tidak bisa menampung tubuh tegapnya. Pria itu melakukan sesuai dengan perjanjiannya.“Kenapa aku tidak bisa tega?” guman Eva bergeming, “tapi kenapa dia dulu begitu cuek aku tidur hingga leherku sakit ketika bangun.”Eva tidak melupakan kejadian itu. Bahkan setiap perlakuan Anggara begitu tersimpan dalam memorinya seakan tidak mampu untuk di hapus dengan mudah.Tubuh kembali berbaring. Memunggungi Anggara yang terlihat tidur di sofa dengan mata terpejam. Berusaha abai dan tidak peduli lagi. Namun, beberapa menit berlalu kantuknya seolah hilang. Ada perasaan kasihan.“Akhirnya aku tidak bisa tidak peduli.” Eva meletakkan selimut menutupi Anggara dengan pelan. Setidaknya perempuan itu perlu merasa tenang, sedikit menyesal antara lega melakukan dan takut Anggara berpikir ja
“Kita sepertinya akan melakukan prewedding dulu. Kamu ada keinginan dimana atau ada tempat khusus. Luar atau dalam negeri, sambil cari gedung yang cocok dan konsep yangclain.” Anggara menoleh ke Eva. Meski ditanggapi acuh, pria yang biasanya tidak peduli dan acuh kini terdengar cerewet.Eva berwajah murung. Bahkan ketika sarapan dia tidak mengeluarkan sepatah kata, apalagi menolak tindakan Anggara untuk mengantarkan seperti sekarang. Rasanya percuma, perkara baju olahraga Anggara sungguh sangat berlebihan, Eva tidak biasa dengan perubahan Anggara begitu tiga ratus enam puluh derajat sangat berbeda.“Minggu ini bisa? atau kamu senggangnya kapan?” Anggara melupakan momen yang ia inginkan. Bahkan seharusnya besok peresmian itu terjadi dan membuat pria itu semakin sibuk.Eva membuang napasnya kasar. Semakin didiamkan semakin menjadi.“Kamu yakin ini?”“Kenapa tidak. Kita urus bersama, pilih sesuai impian pesta pernikahan idaman kamu.”“Aku gak ada impian apapun, Gara. Bukannya besok kamu
“Kenapa harus di lombok?” Eva menatap tiket dan koper yang sudah disiapkan Anggara menyambut kepulangan. Pulang bukan sapaan ramah, Anggara menyambut antusias atas rencananya. Beberapa hari yang lalu keduanya sudah tinggal bersama. Eva lebih merasa tidak enak dengan sikap Anggara pada Mama dan Aluna yang takut semakin memupuk kebencian yang membara. Walau keputusannya membuat khawatir Mama dan Aluna. “sekitar sini ada bukan?” Eva memejamkan matanya. Tangan memegang pelipis. Tempat yang dituju cukup jauh menurutnya apalagi dia tidak bisa lepas begitu saja sama perusahaan. Sangat membutuhkan waktu dan tidak efisien. Eva menuju sofa di ruang tengah rumah hadiah pernikahan mereka. Sudah Eva tebak Bik Lastri yang menyiapkan semua. “Kemarin aku tanya jawabnya terserah dan kamu setuju konsep pantai. Makanya aku pilih lombok dengan keindahannya daripada yang Raja Ampat sangat jauh!” Anggara berkata dengan suara tanpa bebannya. Eva berdecak dengan tatapan malas. “Tapi tidak sejauh
Eva menatap bangunan menjulang tinggi di depan jendela. Langit tampak cerah, tapi tatapan tidak secerah langit saat ini. Begitu juga suasana tidak mengubah hatinya saat ini. Meski tidak ada yang berubah beberapa hari yang berlalu. Tetap tekad Anggara masih sesuai yang pria itu inginkan. Bahkan besok dan selanjutnya acara padat sudah pria itu jadwalkan.Suara pintu terbuka tanpa mengetuk. Eva yang tampak melamun langsung terkejut dan membalikkan badannya.“Kakak ….” Aluna nampak tergesa-gesa menghampirinya.“Biasakan masuk dan ketuk pintu, Aluna.” Eva melipatkan tangannya di dada. Menoleh sekilas kemudian kembali menatap cerahnya dengan gedung kantor seolah bersaing ketinggiannya.“Iya, besok gak lagi. Kakak beneran? apa keputusan Kakak?” Aluna menyamakan berdiri di samping Eva. Menoleh menatap kakaknya terlihat tatapan datar lurus ke depan.“Apa yang beneran? apa ada yang terjadi. Mama sehat?” Eva sesekali berkunjung. Dua hari sekali kadang setiap hari menyempatkan mampir, itu kalau
“Sialan! kalian niat kerja atau tidak! laporan kalian membuat saya telat menjemput istri saya!” Anggara mengatakan dengan tajam dan wajah mengeras begitu marah. Kedua mata memancing melotot.“Kamu … saya pecat!” Anggara menunjukkan perempuan berpakaian seksi dan kembali melayangkan pemecatan. Setiap hari seperti itu, belum ada sekertaris bertahan lama hingga paling tidak seminggu. Selepas penentuan keputusan CEO niat ingin memudahkan bekerja dengan menambah sekertaris dan Ayah Rasyid sudah mulai pelan-pelan memberikan sepenuhnya pada Anggara meski belum seratus persen.“Beri saya kesempatan.” Perempuan itu menunduk. Berita yang beredar bahwa Anggara mudah di rayu dan pemuja wanita semua adalah kebohongan tidak dibenarkan perempuan itu. Dia merasakan perlu kerja keras belum tiga hari nyatanya sudah kembali pengangguran.Perempuan itu cukup yakin bahwa wanita mantan Anggara hanya pencitraan saja. Dan begitu cukup yakin semua omongannya omong kosong belaka. Hanya untuk ajang pamer semata