Eva beranjak dari tidurnya. Kepala menoleh di sampingnya, kosong tidak ada. Melihat ke sisi sofa terlihat Anggara dengan tidak nyaman tertidur di sofa terlihat sangat tidak tenang. Tidur tanpa selimut dengan sofa yang tidak bisa menampung tubuh tegapnya. Pria itu melakukan sesuai dengan perjanjiannya.“Kenapa aku tidak bisa tega?” guman Eva bergeming, “tapi kenapa dia dulu begitu cuek aku tidur hingga leherku sakit ketika bangun.”Eva tidak melupakan kejadian itu. Bahkan setiap perlakuan Anggara begitu tersimpan dalam memorinya seakan tidak mampu untuk di hapus dengan mudah.Tubuh kembali berbaring. Memunggungi Anggara yang terlihat tidur di sofa dengan mata terpejam. Berusaha abai dan tidak peduli lagi. Namun, beberapa menit berlalu kantuknya seolah hilang. Ada perasaan kasihan.“Akhirnya aku tidak bisa tidak peduli.” Eva meletakkan selimut menutupi Anggara dengan pelan. Setidaknya perempuan itu perlu merasa tenang, sedikit menyesal antara lega melakukan dan takut Anggara berpikir ja
“Kita sepertinya akan melakukan prewedding dulu. Kamu ada keinginan dimana atau ada tempat khusus. Luar atau dalam negeri, sambil cari gedung yang cocok dan konsep yangclain.” Anggara menoleh ke Eva. Meski ditanggapi acuh, pria yang biasanya tidak peduli dan acuh kini terdengar cerewet.Eva berwajah murung. Bahkan ketika sarapan dia tidak mengeluarkan sepatah kata, apalagi menolak tindakan Anggara untuk mengantarkan seperti sekarang. Rasanya percuma, perkara baju olahraga Anggara sungguh sangat berlebihan, Eva tidak biasa dengan perubahan Anggara begitu tiga ratus enam puluh derajat sangat berbeda.“Minggu ini bisa? atau kamu senggangnya kapan?” Anggara melupakan momen yang ia inginkan. Bahkan seharusnya besok peresmian itu terjadi dan membuat pria itu semakin sibuk.Eva membuang napasnya kasar. Semakin didiamkan semakin menjadi.“Kamu yakin ini?”“Kenapa tidak. Kita urus bersama, pilih sesuai impian pesta pernikahan idaman kamu.”“Aku gak ada impian apapun, Gara. Bukannya besok kamu
“Kenapa harus di lombok?” Eva menatap tiket dan koper yang sudah disiapkan Anggara menyambut kepulangan. Pulang bukan sapaan ramah, Anggara menyambut antusias atas rencananya. Beberapa hari yang lalu keduanya sudah tinggal bersama. Eva lebih merasa tidak enak dengan sikap Anggara pada Mama dan Aluna yang takut semakin memupuk kebencian yang membara. Walau keputusannya membuat khawatir Mama dan Aluna. “sekitar sini ada bukan?” Eva memejamkan matanya. Tangan memegang pelipis. Tempat yang dituju cukup jauh menurutnya apalagi dia tidak bisa lepas begitu saja sama perusahaan. Sangat membutuhkan waktu dan tidak efisien. Eva menuju sofa di ruang tengah rumah hadiah pernikahan mereka. Sudah Eva tebak Bik Lastri yang menyiapkan semua. “Kemarin aku tanya jawabnya terserah dan kamu setuju konsep pantai. Makanya aku pilih lombok dengan keindahannya daripada yang Raja Ampat sangat jauh!” Anggara berkata dengan suara tanpa bebannya. Eva berdecak dengan tatapan malas. “Tapi tidak sejauh
Eva menatap bangunan menjulang tinggi di depan jendela. Langit tampak cerah, tapi tatapan tidak secerah langit saat ini. Begitu juga suasana tidak mengubah hatinya saat ini. Meski tidak ada yang berubah beberapa hari yang berlalu. Tetap tekad Anggara masih sesuai yang pria itu inginkan. Bahkan besok dan selanjutnya acara padat sudah pria itu jadwalkan.Suara pintu terbuka tanpa mengetuk. Eva yang tampak melamun langsung terkejut dan membalikkan badannya.“Kakak ….” Aluna nampak tergesa-gesa menghampirinya.“Biasakan masuk dan ketuk pintu, Aluna.” Eva melipatkan tangannya di dada. Menoleh sekilas kemudian kembali menatap cerahnya dengan gedung kantor seolah bersaing ketinggiannya.“Iya, besok gak lagi. Kakak beneran? apa keputusan Kakak?” Aluna menyamakan berdiri di samping Eva. Menoleh menatap kakaknya terlihat tatapan datar lurus ke depan.“Apa yang beneran? apa ada yang terjadi. Mama sehat?” Eva sesekali berkunjung. Dua hari sekali kadang setiap hari menyempatkan mampir, itu kalau
“Sialan! kalian niat kerja atau tidak! laporan kalian membuat saya telat menjemput istri saya!” Anggara mengatakan dengan tajam dan wajah mengeras begitu marah. Kedua mata memancing melotot.“Kamu … saya pecat!” Anggara menunjukkan perempuan berpakaian seksi dan kembali melayangkan pemecatan. Setiap hari seperti itu, belum ada sekertaris bertahan lama hingga paling tidak seminggu. Selepas penentuan keputusan CEO niat ingin memudahkan bekerja dengan menambah sekertaris dan Ayah Rasyid sudah mulai pelan-pelan memberikan sepenuhnya pada Anggara meski belum seratus persen.“Beri saya kesempatan.” Perempuan itu menunduk. Berita yang beredar bahwa Anggara mudah di rayu dan pemuja wanita semua adalah kebohongan tidak dibenarkan perempuan itu. Dia merasakan perlu kerja keras belum tiga hari nyatanya sudah kembali pengangguran.Perempuan itu cukup yakin bahwa wanita mantan Anggara hanya pencitraan saja. Dan begitu cukup yakin semua omongannya omong kosong belaka. Hanya untuk ajang pamer semata
Anggara berdecak melihat penampilan Eva kali ini. Entah semakin lama dia mengakui pesona Eva semakin nampak terlihat. Sekian kalinya dia bertanya-tanya apa sebelumnya dia buta atau kemarin-kemarin matanya minus hingga tidak melihat kecantikan istrinya sendiri.“Apa ada yang perlu saya benarkan untuk penampilan Mbak Eva?” Ketua tim make up membawa Eva menghampiri Anggara. Langkahnya semakin dekat, membuat Anggara semakin jelas melihat paras Eva.Keduanya sudah disibukkan untuk acara hari ini. Lebih tepatnya Eva selepas subuh sudah diganggu tim make up, bahkan kini belum matahari muncul sudah berpenampilan paripurna. Selian Anggara dirinya sendiri juga terpesona hasil karya tangan make up yang Anggara pilih, luar biasa Eva mengakui cocok untuknya.“Tidak.” Anggara masih belum mengalihkan tatapannya. Tidak membalas kontak mata lawan bicaranya. Tatapan terus tertuju pada Eva.Petugas tersenyum tersenyum puas. Tugasnya selesai, tinggal menemani sesi foto dan mengganti beberapa pakaian dan
Anggara melihat perubahan ekspresi Eva begitu berbinar ketika selepas makanan. Apa karena tadi sebuah keterpaksaan? atau saat tadi begitu dia menahan lapar. Melirik jam tangan belum terlalu telat menurut Anggara untuk makan pagi dan belum sepenuhnya terlambat. Apalagi kegiatan tadi dikatakan lebih awal dari jadwal seg“Apa ingin mampir dulu atau main?” tanya Anggara.Eva yang akan masukin ponselnya dalam tas segera mendongak. “Ada tempat yang kamu tuju atau mau ke pantai lagi atau aku dengar ada taman baru di dekat sini atau mau beli ...."Eva mulai sedikit tertarik sebenarnya, tapi mengingat pergi bersama Anggara dan kegiatan intim tadi membuatnya segera menggelengkan kepalanya cepat.“Tidak, aku ingin pulang saja. Kalau kamu ingin singgah aku bisa naik mobil ojek atau ikut tim tadi.”Anggara terdengar berdecak. Wajahnya tergurat rasa kecewa, senyum masam terukir di bibirnya. “Ayo, pulang!” Suara Anggara terdengar dingin. Eva kembali menoleh dan mengangkat bahunya acuh. Sudah tida
Anggara terhenyak dengan tawa Eva kali ini. Suara terdengar renyah, entah apa yang membuatnya tertawa. Terdengar begitu candu di dengarkan Anggara. Ia melangkah mendekat mengurungkan niatnya untuk menuju ke lantai dua ia urungkan.“Bik Darmi bisa saja. Seger tahu, aku lama tidak makan ini rujak. Saat di luar negeri ini makan dirindukan.”“Kapan-kapan Bik Darmi buatkan, Bu. Di jamin lebih mantul, apalagi ditambah mangga muda. Tapi ini Ibu bukan ngidam, kan?” Bik Darmi meringis, melihat Eva makan rujak seperti makan sup buah yang segar dan manis.“Eva tunggu, Bik. Eva suka segala buah.” Eva hampir saja tersedak. Untung menetralisir dengan tenang. Meski sebenarnya ketenangan mulai terusik kembali, apalagi dirinya beneran telat saat ini masih berharap besok kedatangan tamu bulanannya.“Ngidam,” beo Anggara mendengarkan obrolan itu. Kemudian pikirannya berkelana selintas terlintas hubungannya dengan Eva.“Aku tidak pakai pengaman waktu itu. Apa benar hamil?” batin Anggara menduga. Kemudian
“Bagaimana kerja kamu hari ini?” Anggara dengan balutan baju tidur keluar dari kamar mandi. Langkahnya pelan menghampiri Eva yang sibuk dengan ponselnya.Kedua pasangan menginap di rumah Mama Dara tentu Aluna berhenti berdebat karena suara rendah Mama Dara. Entah perempuan muda masih belum menerima kenyataan kakaknya yang disakiti, atau mungkin karena sesama perempuan dengan ego tinggi merasa tidak terima dengan perlakuan Anggara dengan mudah mendapatkan maaf kakaknya.Eva mendongak kepalanya dengan cepat. Beberapa saat aktivitasnya terhenti ketika mendengarkan pertanyaan Anggara. Bukan merasa aneh, lebih tepatnya kenapa Anggara perlu bertanya, merasa tidak biasa.“Kamu tanya?” balas Eva dengan nada malas.Anggara segera duduk di sofa kosong tepat di sebelah Eva. Anggukan kepala Eva lakukan, kemudian membalas tatapan Eva dengan sorot mata menunggu jawaban dari Eva.“Bukannya laporan Sarah tidak telat, bukan?” balas Eva dengan nada sindiran, “kurang kerjaan banget ada Sarah.”“Kamu bis
“Mama ….” Eva memeluk Mama Dara. Pelukan begitu erat seakan lama tidak bertemu.“Sudah mulai bekerja lagi?” Mama Dara membalas pelukan dengan lembut. Tatapan beralih pada kedatangan putri sulungnya yang tidak sendiri, ada David dan perempuan yang baru ditemuinya.“Baru hari ini, Ma.” Eva melepaskan pelukan dengan pelan.“Kenapa David tidak bercerita?” Kedua mata Mama Dara menatap David, kemudian bergerak cepat beralih menatap Sarah hari ini hanya punya kerjaan satu hari penuh tidak menjauh meninggalkan Eva.“David juga baru tahu, Ma.” David mengatakan tanpa ekspresi seperti biasanya.“Sore, Tante.” Sarah menyadari tatapan Mama Dara segera mengulurkan tangannya. Tersenyum dengan sopan santun.“Sore, Sayang. Ini siapa? Mama baru lihat. Pacar kamu David?” Mama Dara tertawa seraya menatap anak laki-laki dengan gelengan kepala.David nampak terhenyak beberapa saat karena terkejut tuduhan tiba-tiba Mama Dara, sementara Eva sudah duduk di sofa.“Tidak menyangka sekali, ini sangat peningkatan
Eva menatap bingung dengan kelakuan Anggara. Masih dengan wajah tidak mengerti ucapan terakhirnya, lebih tepatnya di saat ini merasakan jantungnya terpompa lebih cepat karena tindakan Anggara yang menciumnya di depan David. Meski pria terlihat datar tidak peduli tetap Eva tidak merasa biasa.“Ibu ukuran sandalnya berapa?” Sarah bertanya dengan pelan ketika Anggara sepenuhnya tidak terlihat lagi. Suaranya terdengar memburu sepertinya tadi cukup menguras tenaganya membawa barang brand tidak hanya satu, melainkan cukup memenuhi kedua tangannya.Eva segera tertarik dari lamunannya sekilas hanyut jauh menatap Anggara yang keluar ruangannya. Langkahnya begitu nampak terburu-buru, bahkan mengabaikan sekertarisnya Sarah yang masih tertinggal.“Tiga sembilan, kenapa?” kata Eva menatap Sarah mulai mengeluarkan sandal-sandal yang dibawanya.“Syukurlah.” Sarah membuang napasnya lega.“Kenapa?” Eva masih belum mencerna.“Mau minum dulu?" David menyerahkan air mineral. Tidak menunggu Sarah menerim
“Davit, kapan kamu datang?” Eva tidak kuasa untuk langsung menghamburkan memeluk adiknya.Davit segera membalasnya, memeluk dengan wajah cuek, datar, senyum sekilas tampak sedikit langsung lenyap dalam hitungan beberapa detik.“Apa sekolah kamu selesai? ada agenda apa pulang? kenapa tidak ngabarin?” Eva melepaskan pelukan. Pertanyaan muncul dengan beruntun dan berbicara terdengar sangat cepat.“Dua hari yang lalu. Hampir selesai, doakan segera selesai.” David melenggang menuju sofa. Dimana Anggara yang menyaksikan adegan pelukan itu dengan rasa dongkol dan cemburu karena ia tidak seluassa dan sebebas Davit memeluk Eva yang tampak mesra.Eva segera mengikuti. Masih mengenakan sandal bulu miliknya. “Kenapa tidak ngasih kabar. Kamu baik-baik saja, bukan?”Davit hanya membalas dengan anggukan sekali. Kemudian tatapannya menoleh teralih menatap Anggara. “Kak Angga, aku sudah kirim email. Aplikasi baru milik Kakak luar biasa.”Eva mengerutkan dahinya. Apalagi respon Anggara terlihat mengang
Eva menatap tampilannya saat ini. Entah sudah tidak terhitung berapa kali dia melihat tampilannya kini, hingga sampai di kantor semakin membuat Eva memelankan langkahnya setelah menyadari tatapan tidak biasa para karyawan sejak keluar mobil.Ekor matanya melirik Anggara tidak melepaskan belitan tangan menggenggam tangannya sejak keluar mobil. Pria yang terkenal, sombong, arogan dan bermulut pedas tanpa ekspresi melangkah satu langkah lebih dulu dari langkahnya.“Ada apa? apa merasakan sakit?” tanyanya sangat jelas terdengar. Semakin membuat suara bisik-bisik dan perhatian karyawan tertuju pada Eva dan Anggara.Eva menggeleng pelan. Merapatkan langkahnya mendekati Anggara. “Tampilanku jelek banget? mereka melihat terus.”“Mereka punya mata.”Anggara mengatakan dengan santai. Menoleh sekilas dan mata mengedarkan ke sekitar menurutnya hal biasa.“Bukan itu,” kesal Eva.“Kamu seksi dan cantik, Sayang. Jangan lupakan kalau suami kamu cukup sangat tampan, jadi biasakan seperti ini.”Eva lant
“Duduk dulu. Tunggu sebentar.” Anggara datang dengan kursi meja rias. Wajahnya tampak sangat datar tidak terbaca. Suara tidak sekeras sebelumnya, terdengar merendah penuh penekanan seperti menahan amarahnya.Eva masih tidak mengerti menautkan alisnya. Tangan kanan masih memegang handle pintu yang belum terbuka sepenuhnya.“Duduk, jangan kemana-mana.” Anggara mengatakan tegas. Menarik Eva dan mendudukkannya pelan.Eva tidak bisa mengelak banyak. Apalagi gerakan Anggara kali ini. Kemudian nampak pria itu mulai berlari menuju walk in closet dengan langkah cepat terburu-buru.“Apasih? gak jelas.” Eva mengatakan dengan kesal. “Aku tidak tuli,” geramnya mengingat tidak terima atas suara keras Anggara yang terkejut, tapi di terima Eva seperti bentakan perintah.“Ganti sepatu kamu.” Anggara datang dengan sandal rumahan milik Eva. Sandal berbulu imut tanpa hak yang dibelikan Bunda Zia, beberapa waktu lalu. Sandal trepes satu-satunya miliknya.“Apa!” Eva memekik kaget. Menatap sepatu berhak tid
“Kamu mau kemana? kenapa sudah cantik sekali?” Anggara menatap Eva. Tubuhnya mulai terlihat lebih berisi, meski setiap malam selalu mual-mual hingga muntah parah.Bila kebanyakan ibu hamil merasakan morning sick parah setelah bangun pagi, beda dengan Eva lebih sering mual di malam hari di dua Minggu terlahir ini.Eva melanjutkan menyisir rambutnya. Menatap Anggara dengan balutan pakaian olahraga dari kaca riasnya. Dokter kandungan sudah mengatakan janinnya sudah kuat, bahkan Eva tidak mengalami flek lagi. Bisa dikatakan dua Minggu hampir tiga minggu diperlakukan Anggara seperti orang lumpuh berhasil membuat kehamilannya aman, atau bisa dikatakan emang bayi tanpa rencana yang hidup di rahimnya memilihnya untuk jadi ibu.“Ke kantor. Lama gak ke kantor.” Eva mengatakan dengan tenang. Masih melanjutkan merapikan ribut dan mengaplikasikan skincare ke wajahnya.“Apa!” Anggara tampak terkejut. Keringat terlihat menetes di wajahnya, rambut tampak lembab. Langkahnya segera berayun cepat mendek
“Semua sudah aku urus. Berkas perceraian yang naik sudah aku tarik. Pengalihan sudah tidak jelas semua harta akan berpindah pada kamu dan anak kita.” Anggara kembali dengan kertas di tangannya. Suaranya terdengar tenang, tapi beda dengan Eva sangat penasaran apa yang dimaksud atas apa yang Anggara katakan.“Maksudnya?” Eva menautkan alisnya. Ponselnya sudah diabaikan dan fokusnya pada Anggara.“Kamu bisa baca sendiri.” Anggara tersenyum tipis. Menyerahkan kertas pengalihan harta yang baru diterimanya tidak lama. Bahkan pengesahannya tepat saat Eva masuk ke rumah sakit, itu artinya saat peresmian sekaligus pesta pernikahan yang berakhir dengan berita kehamilan. Dan saat ini tepatnya kemarin semua berubah isinya.Eva menerima dan setiap kata tertulis, angka hingga huruf tidak lepas dari kedua mata Eva. Ia butuh dua kali untuk membaca untuk menyakinkan semua, meski kenyataannya isinya sangat jelas dan sebenarnya bukan pertama kalinya membaca meski dengan konsep dan isi yang berbeda berb
Eva melototkan matanya. Perasaan baru beberapa hari tidak memegang ponsel dan yang terjadi sangat luar biasa. Berita tentang pernikahan menjadi trending, begitu juga kehamilannya menduga karena tragedi saat resepsi dan dibenarkan oleh Anggara. Bahkan di akun media sosialnya biasanya sepi saat ini sangat ramai sekali.“Apa-apaan ini?” Eva sampai tidak berkedip. Notifikasi tidak berhenti ketika ponselnya mulai menyala. Bagaimana bisa akunnya di temui oleh orang-orang. Bahkan karyawannya banyak yang tidak tahu jadi sekarang tahu. Apalagi komentar yang bermunculan tidak berhenti.“Astaga! dia banyak idola!” Eva menggeleng melihat tag dirinya dengan Anggara.“Dia milikku!” lirih Eva dengan muka mulai serius. Dahi berkerut dengan alis terangkat.“Apa maksudnya? akun tidak jelas!” Eva mengatakan dengan pelan. Dua kata aneh dengan tanda seru tidak hanya sekali begitu banyak dibaca berulang-ulang oleh Eva. Belum lagi akun tidak ada nama yang jelas pemiliknya bisa dikatakan akun palsu.Guratan