Anggara melihat perubahan ekspresi Eva begitu berbinar ketika selepas makanan. Apa karena tadi sebuah keterpaksaan? atau saat tadi begitu dia menahan lapar. Melirik jam tangan belum terlalu telat menurut Anggara untuk makan pagi dan belum sepenuhnya terlambat. Apalagi kegiatan tadi dikatakan lebih awal dari jadwal seg“Apa ingin mampir dulu atau main?” tanya Anggara.Eva yang akan masukin ponselnya dalam tas segera mendongak. “Ada tempat yang kamu tuju atau mau ke pantai lagi atau aku dengar ada taman baru di dekat sini atau mau beli ...."Eva mulai sedikit tertarik sebenarnya, tapi mengingat pergi bersama Anggara dan kegiatan intim tadi membuatnya segera menggelengkan kepalanya cepat.“Tidak, aku ingin pulang saja. Kalau kamu ingin singgah aku bisa naik mobil ojek atau ikut tim tadi.”Anggara terdengar berdecak. Wajahnya tergurat rasa kecewa, senyum masam terukir di bibirnya. “Ayo, pulang!” Suara Anggara terdengar dingin. Eva kembali menoleh dan mengangkat bahunya acuh. Sudah tida
Anggara terhenyak dengan tawa Eva kali ini. Suara terdengar renyah, entah apa yang membuatnya tertawa. Terdengar begitu candu di dengarkan Anggara. Ia melangkah mendekat mengurungkan niatnya untuk menuju ke lantai dua ia urungkan.“Bik Darmi bisa saja. Seger tahu, aku lama tidak makan ini rujak. Saat di luar negeri ini makan dirindukan.”“Kapan-kapan Bik Darmi buatkan, Bu. Di jamin lebih mantul, apalagi ditambah mangga muda. Tapi ini Ibu bukan ngidam, kan?” Bik Darmi meringis, melihat Eva makan rujak seperti makan sup buah yang segar dan manis.“Eva tunggu, Bik. Eva suka segala buah.” Eva hampir saja tersedak. Untung menetralisir dengan tenang. Meski sebenarnya ketenangan mulai terusik kembali, apalagi dirinya beneran telat saat ini masih berharap besok kedatangan tamu bulanannya.“Ngidam,” beo Anggara mendengarkan obrolan itu. Kemudian pikirannya berkelana selintas terlintas hubungannya dengan Eva.“Aku tidak pakai pengaman waktu itu. Apa benar hamil?” batin Anggara menduga. Kemudian
“Apa benar undangan yang beredar itu, Bu.” Lucky tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Bukan dia beberapa karyawan juga terkejut sekaligus tidak menyangka. Apalagi jelas didalam undangan tertera kapan mereka menikah dan rentetan perjalanan mereka.Eva menahan napasnya sejenak. Belum masuk ke ruangannya sudah di brondong oleh beribu pertanyaan yang muncul sesuai dugaannya. Bukan hanya itu, tatapan ketika baru beberapa langkah masuk lobby kantor seolah semua tatapan karyawan menguliti rasa penasaran di sorot matanya menimbulkan pertanyaan. Seolah tertulis apakah benar? kurang lebih sama yang diungkapkan oleh Lucky saat ini.“Apa undangan belum cukup? perlu lampiran buku nikah Lucky?” Anggara mengatakan dengan tegas. Apalagi dari sudut matanya ada beberapa karyawan seolah melebarkan telinganya mendengarkan obrolan keduanya.Lucky cepat menggeleng. “Bukan begitu, saya cukup syok. Apalagi berita ini cukup luar biasa, Bu. Kalau begitu selamat atas pernikahan, Ibu. Tapi saya masih ti
“Apa sedang akting kembali? bagaimana kalau akting aku buruk.” Eva melihat tangannya digenggam erat oleh Anggara rasa hangat menjalar hingga hatinya.Anggara berdecak pelan. “Senatural saja, bukan akting. Anggap saja agar terbiasa saat acara nanti.” Anggara menghentikan ucapannya. Tatapan begitu memindai Eva kali ini. “Aku juga ingin menunjukkan kalau kamu milikku.”Eva hampir tersedak ludahnya sendiri. Bahkan terbatuk kecil mendengar pengakuan Anggara di kalimat terakhirnya.“Kamu tidak cemburu aku ditatap banyak karyawan kamu.” Anggara menarik pelan tangan Eva. Tidak memberi kelonggaran melepaskan meski terasa tangan lembut dan putih itu berusaha untuk melepaskan diri.Eva menggeleng pelan. Tawa kecil yang sebelumnya terhenti kembali terdengar kembali. Orang lain melihat pasti terlihat kebahagiaan, tidak tahu bahwa sebenarnya bukan itu yang terjadi. Eva tertawa karena pertanyaan konyol Anggara terdengar jauh dari kata masuk akal.“Apa, cemburu?” Eva bergumam bertanya. Anggara denga
Semua tamu undangan terpaku. Mulut yang membicarakan hal kecil dari sekedar basa-basi satu sama lain seketika langsung terhenti. Pembawa acara memberitahu ratu dan raja kali ini memasuki panggung pelaminan. Semua mata tertuju kepadanya, ketukan langkah berirama dan serasinya Eva dan Anggara menjadi magnet kali ini.Decak kagum terdengar, suara pujian saling bersautan, baik pria dan wanita mulut seketika terbuka. Mereka pengantin malam ini menjadi lebih primadona kali ini begitu berhasil menghipnotis semua tamu undangan. Seketika rasa penasaran, tidak percaya dan kekaguman semua bersatu jadi satu.“Cantik dan tampan, pasangan sempurna.” Semua hampir mengatakan hal sama. Bahkan kalimat indah pujian dilayangkan keduanya. Senyum tulus dan cantiknya Eva berhasil menutupi kekecewaannya, hingga obrolan tidak berujung sebelumnya berusaha untuk tidak mempengaruhi suasananya kali hingga semua tidak tahu dibalik senyum dan megahnya acara hingga keromantisan keduanya tersimpan pilu dan lara yang
Bunda Zia dan Mama Dara duduk berdampingan langsung saling pandang. Keduanya serempak berdiri dari duduknya setelah apa yang dia lihat. Tanpa menunggu segera berlari menghampiri Anggara disusul Kakek Cakra begitu juga dengan Ayah Rasyid.“Bun, tadi Eva makan apa?”“Ma, apa yang terjadi? Eva tidak punya riwayat penyakit serius, kan?”Suara Anggara terdengar panik. Mulutnya terus merancau dengan tangan menepuk pipi Eva pelan.“Langsung bawa ke mobil. Lama menunggu petugas medis,” sarkas Kakek Cakra. Raut wajahnya tidak terbaca, beda dengan Mama Dara dan Bunda Zia keduanya saling pandang seolah paham situasi saat ini.“Dulu aku hamil Anggara sering pingsan,” celetuk Bunda Zia pelan. Tatapan tidak lepas pada Anggara berjalan cepat dengan wajah pucat Eva. Sudah beberapa kali bertemu dengan menantunya dan ingin mengatakan, tapi rasanya begitu enggan merasa tidak pantas untuk bertanya.Seketika sedikit kegaduhan terjadi di acara yang sebelumnya Punuh hikmat, romantis dan begitu meriah.“Ayo
“Ayah apa tadi juga mendengarkan?” Anggara masih dengan raut datarnya. Tidak ada kebahagiaan juga tidak ada keraguan.Semua yang menunggu di kursi tunggu terlihat sama terkejutnya. Meski Bunda Zia dan Mama Dara sudah menduga tetap berita yang barusan didengar sangat mengejutkan bagi mereka. Kecuali Eyang Cakra, ia nampak melebarkan senyum merekah dibibirnya.“Alhamdulillah, aku mau dapat cucu buyut,” celetuknya begitu terdengar senang, “pasti istriku dan sahabatku juga sama bahagianya mendengarkan ini disana,” lanjut Eyang Cakra bergumam semakin pelan.“Rasyid tidak menyangka Tuhan memberi waktu yang panjang sampai saat ini meski aku kesepian,” adunya pada putra semata wayangnya. Jari telunjuknya menyeka ujung mata sungguh terharu.Sementara Anggara masih mencerna, begitu yang lain. Kondisi tidak bisa dikatakan mudah, apalagi kondisi keduanya bukan seperti hubungan seharusnya. Beberapa kali Bunda Zia mengatur napasnya. Rasa sesak, bahagia dan malu secara bersamaan sebagai orang tua di
Eva membuka matanya dan botol infus yang menggantung serta ruang serba bercat putih menjadi pemandangan pertamanya ketika kelopak mata terbuka sempurna. Ringisan pelan keluar dari mulutnya ketika merasakan denyutan di kepalanya kembali terasa.“Aku dimana?” batin Eva berusaha mengingat kejadian sebelumnya. Terakhir dalam ingatannya terakhir di pelaminan akan berdansa.“Kenapa bisa kesini?” gumannya pelan. Tangannya menyapu tubuhnya terbalut selimut, tidak ada gaun indah sebelumnya, riasan tebal tidak terasa juga di wajahnya, begitu juga dengan rambutnya sudah tergerai rapi meski rasanya masih ada begitu tidak nyaman.Eva menoleh ke sisi kiri. Terlihat Anggara tidur di sampingnya. Pantas tangannya terasa hangat saat ini. Eva menatap langit-langit ruang rawatnya. Apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu sudah bangun, aku gak mimpi, bukan?” Suara Anggara membuyarkan lamunan Eva sesaat.Eva menoleh cepat. “Aku mau minum,” lirihnya merasa tenggorokan begitu terasa kering, mengabaikan pertanyaan