Eva menatap bangunan menjulang tinggi di depan jendela. Langit tampak cerah, tapi tatapan tidak secerah langit saat ini. Begitu juga suasana tidak mengubah hatinya saat ini. Meski tidak ada yang berubah beberapa hari yang berlalu. Tetap tekad Anggara masih sesuai yang pria itu inginkan. Bahkan besok dan selanjutnya acara padat sudah pria itu jadwalkan.Suara pintu terbuka tanpa mengetuk. Eva yang tampak melamun langsung terkejut dan membalikkan badannya.“Kakak ….” Aluna nampak tergesa-gesa menghampirinya.“Biasakan masuk dan ketuk pintu, Aluna.” Eva melipatkan tangannya di dada. Menoleh sekilas kemudian kembali menatap cerahnya dengan gedung kantor seolah bersaing ketinggiannya.“Iya, besok gak lagi. Kakak beneran? apa keputusan Kakak?” Aluna menyamakan berdiri di samping Eva. Menoleh menatap kakaknya terlihat tatapan datar lurus ke depan.“Apa yang beneran? apa ada yang terjadi. Mama sehat?” Eva sesekali berkunjung. Dua hari sekali kadang setiap hari menyempatkan mampir, itu kalau
“Sialan! kalian niat kerja atau tidak! laporan kalian membuat saya telat menjemput istri saya!” Anggara mengatakan dengan tajam dan wajah mengeras begitu marah. Kedua mata memancing melotot.“Kamu … saya pecat!” Anggara menunjukkan perempuan berpakaian seksi dan kembali melayangkan pemecatan. Setiap hari seperti itu, belum ada sekertaris bertahan lama hingga paling tidak seminggu. Selepas penentuan keputusan CEO niat ingin memudahkan bekerja dengan menambah sekertaris dan Ayah Rasyid sudah mulai pelan-pelan memberikan sepenuhnya pada Anggara meski belum seratus persen.“Beri saya kesempatan.” Perempuan itu menunduk. Berita yang beredar bahwa Anggara mudah di rayu dan pemuja wanita semua adalah kebohongan tidak dibenarkan perempuan itu. Dia merasakan perlu kerja keras belum tiga hari nyatanya sudah kembali pengangguran.Perempuan itu cukup yakin bahwa wanita mantan Anggara hanya pencitraan saja. Dan begitu cukup yakin semua omongannya omong kosong belaka. Hanya untuk ajang pamer semata
Anggara berdecak melihat penampilan Eva kali ini. Entah semakin lama dia mengakui pesona Eva semakin nampak terlihat. Sekian kalinya dia bertanya-tanya apa sebelumnya dia buta atau kemarin-kemarin matanya minus hingga tidak melihat kecantikan istrinya sendiri.“Apa ada yang perlu saya benarkan untuk penampilan Mbak Eva?” Ketua tim make up membawa Eva menghampiri Anggara. Langkahnya semakin dekat, membuat Anggara semakin jelas melihat paras Eva.Keduanya sudah disibukkan untuk acara hari ini. Lebih tepatnya Eva selepas subuh sudah diganggu tim make up, bahkan kini belum matahari muncul sudah berpenampilan paripurna. Selian Anggara dirinya sendiri juga terpesona hasil karya tangan make up yang Anggara pilih, luar biasa Eva mengakui cocok untuknya.“Tidak.” Anggara masih belum mengalihkan tatapannya. Tidak membalas kontak mata lawan bicaranya. Tatapan terus tertuju pada Eva.Petugas tersenyum tersenyum puas. Tugasnya selesai, tinggal menemani sesi foto dan mengganti beberapa pakaian dan
Anggara melihat perubahan ekspresi Eva begitu berbinar ketika selepas makanan. Apa karena tadi sebuah keterpaksaan? atau saat tadi begitu dia menahan lapar. Melirik jam tangan belum terlalu telat menurut Anggara untuk makan pagi dan belum sepenuhnya terlambat. Apalagi kegiatan tadi dikatakan lebih awal dari jadwal seg“Apa ingin mampir dulu atau main?” tanya Anggara.Eva yang akan masukin ponselnya dalam tas segera mendongak. “Ada tempat yang kamu tuju atau mau ke pantai lagi atau aku dengar ada taman baru di dekat sini atau mau beli ...."Eva mulai sedikit tertarik sebenarnya, tapi mengingat pergi bersama Anggara dan kegiatan intim tadi membuatnya segera menggelengkan kepalanya cepat.“Tidak, aku ingin pulang saja. Kalau kamu ingin singgah aku bisa naik mobil ojek atau ikut tim tadi.”Anggara terdengar berdecak. Wajahnya tergurat rasa kecewa, senyum masam terukir di bibirnya. “Ayo, pulang!” Suara Anggara terdengar dingin. Eva kembali menoleh dan mengangkat bahunya acuh. Sudah tida
Anggara terhenyak dengan tawa Eva kali ini. Suara terdengar renyah, entah apa yang membuatnya tertawa. Terdengar begitu candu di dengarkan Anggara. Ia melangkah mendekat mengurungkan niatnya untuk menuju ke lantai dua ia urungkan.“Bik Darmi bisa saja. Seger tahu, aku lama tidak makan ini rujak. Saat di luar negeri ini makan dirindukan.”“Kapan-kapan Bik Darmi buatkan, Bu. Di jamin lebih mantul, apalagi ditambah mangga muda. Tapi ini Ibu bukan ngidam, kan?” Bik Darmi meringis, melihat Eva makan rujak seperti makan sup buah yang segar dan manis.“Eva tunggu, Bik. Eva suka segala buah.” Eva hampir saja tersedak. Untung menetralisir dengan tenang. Meski sebenarnya ketenangan mulai terusik kembali, apalagi dirinya beneran telat saat ini masih berharap besok kedatangan tamu bulanannya.“Ngidam,” beo Anggara mendengarkan obrolan itu. Kemudian pikirannya berkelana selintas terlintas hubungannya dengan Eva.“Aku tidak pakai pengaman waktu itu. Apa benar hamil?” batin Anggara menduga. Kemudian
“Apa benar undangan yang beredar itu, Bu.” Lucky tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Bukan dia beberapa karyawan juga terkejut sekaligus tidak menyangka. Apalagi jelas didalam undangan tertera kapan mereka menikah dan rentetan perjalanan mereka.Eva menahan napasnya sejenak. Belum masuk ke ruangannya sudah di brondong oleh beribu pertanyaan yang muncul sesuai dugaannya. Bukan hanya itu, tatapan ketika baru beberapa langkah masuk lobby kantor seolah semua tatapan karyawan menguliti rasa penasaran di sorot matanya menimbulkan pertanyaan. Seolah tertulis apakah benar? kurang lebih sama yang diungkapkan oleh Lucky saat ini.“Apa undangan belum cukup? perlu lampiran buku nikah Lucky?” Anggara mengatakan dengan tegas. Apalagi dari sudut matanya ada beberapa karyawan seolah melebarkan telinganya mendengarkan obrolan keduanya.Lucky cepat menggeleng. “Bukan begitu, saya cukup syok. Apalagi berita ini cukup luar biasa, Bu. Kalau begitu selamat atas pernikahan, Ibu. Tapi saya masih ti
“Apa sedang akting kembali? bagaimana kalau akting aku buruk.” Eva melihat tangannya digenggam erat oleh Anggara rasa hangat menjalar hingga hatinya.Anggara berdecak pelan. “Senatural saja, bukan akting. Anggap saja agar terbiasa saat acara nanti.” Anggara menghentikan ucapannya. Tatapan begitu memindai Eva kali ini. “Aku juga ingin menunjukkan kalau kamu milikku.”Eva hampir tersedak ludahnya sendiri. Bahkan terbatuk kecil mendengar pengakuan Anggara di kalimat terakhirnya.“Kamu tidak cemburu aku ditatap banyak karyawan kamu.” Anggara menarik pelan tangan Eva. Tidak memberi kelonggaran melepaskan meski terasa tangan lembut dan putih itu berusaha untuk melepaskan diri.Eva menggeleng pelan. Tawa kecil yang sebelumnya terhenti kembali terdengar kembali. Orang lain melihat pasti terlihat kebahagiaan, tidak tahu bahwa sebenarnya bukan itu yang terjadi. Eva tertawa karena pertanyaan konyol Anggara terdengar jauh dari kata masuk akal.“Apa, cemburu?” Eva bergumam bertanya. Anggara denga
Semua tamu undangan terpaku. Mulut yang membicarakan hal kecil dari sekedar basa-basi satu sama lain seketika langsung terhenti. Pembawa acara memberitahu ratu dan raja kali ini memasuki panggung pelaminan. Semua mata tertuju kepadanya, ketukan langkah berirama dan serasinya Eva dan Anggara menjadi magnet kali ini.Decak kagum terdengar, suara pujian saling bersautan, baik pria dan wanita mulut seketika terbuka. Mereka pengantin malam ini menjadi lebih primadona kali ini begitu berhasil menghipnotis semua tamu undangan. Seketika rasa penasaran, tidak percaya dan kekaguman semua bersatu jadi satu.“Cantik dan tampan, pasangan sempurna.” Semua hampir mengatakan hal sama. Bahkan kalimat indah pujian dilayangkan keduanya. Senyum tulus dan cantiknya Eva berhasil menutupi kekecewaannya, hingga obrolan tidak berujung sebelumnya berusaha untuk tidak mempengaruhi suasananya kali hingga semua tidak tahu dibalik senyum dan megahnya acara hingga keromantisan keduanya tersimpan pilu dan lara yang