Calvin dan Rosalina berjalan turun tangga bersama, menuju ruangan tempat keluarga mereka berkumpul. Sesampainya di sana, mereka segera menyapa kakak dan ipar Calvin dengan hangat. Rosalina, dengan sopan, juga memanggil mereka 'kakak' dan 'ipar', menunjukkan rasa hormatnya. Kemudian, mereka duduk berhadapan dengan kakak dan iparnya, siap untuk mengobrol.Olivia, ipar Calvin, menunjukkan kepeduliannya dengan segera menanyakan keadaan Rosalina. Dengan suara yang penuh perhatian, dia bertanya, "Rosa, kamu baik-baik saja, ‘kan?" “Nggak apa-apa, kok, Kak. Cuma bagian leher saja yang sedikit sakit. Terima kasih sudah menolongku, ya, Kak Oliv.” Rosalina merespons dengan rasa syukur.Olivia, dengan nada suara yang lembut namun serius, mengingatkan Rosalina, “Kita ‘kan keluarga. Nggak usah sungkan. Kamu kayaknya perlu didampingi pengawal pribadi deh demi keamanan kamu. Dengan begitu, kami ‘kan juga jadi lebih tenang. Hari ini untung saja aku lewat, kalau nggak, duh, entah apa yang akan terjadi
Stefan berkata, “Selain aku, kamu, dan Sandy, yang lainnya lagi di luar kota.”Sandy masih sekolah. Biasanya dia tinggal di asrama. Sandy pulang sebulan sekali. Calvin tertawa, “Aku lupa.”Para sepupu mereka, entah karena alasan pekerjaan harus berpergian atau sibuk mengejar pasangan, semuanya berada di luar kota. Hanya Calvin dan Stefan yang tetap di Mambera, karena urusan besar dalam hidup mereka sudah mereka dapatkan. "Nenek juga tidak ada di rumah," ujar Stefan lagi.Calvin dengan nada penuh rindu berkata, "Kalau nenek ada di rumah, kepalaku selalu terasa tegang. Takut melakukan sesuatu yang nggak disukai nenek terus jadi sasaran omelannya. Tapi kalau nenek pergi dan nggak ada di rumah, aku justru merindukannya."Stefan tidak menjawab, tapi sepenuhnya setuju. Di antara mereka berdua, nenek paling banyak menghabiskan pikiran untuk urusan hidup Stefan. Saat dia dan Olivia memiliki perselisihan dan tidak berbicara satu sama lain, nenek sangat khawatir sampai-sampai tinggal bersama
Dewi tentu saja sangat membantah jika ada yang mengatakan bahwa anaknya lah yang bermasalah. Dengan postur tubuh anak sulungnya yang kuat dan tegap itu, bagaimana mungkin dia bisa memiliki masalah?Handi mengambil resep obat dari tangan istrinya dan melihatnya sebentar. Dia tidak mengerti tentang farmasi dan tidak tahu manfaat dari nama-nama obat tradisional yang tertera di resep tersebut.Handi berkata, "Ini hanya sebuah resep, belum dikonsultasikan ke dokter. Bagaimana kita bisa tahu apa ini cocok atau nggak? Setiap orang punya kondisi yang berbeda-beda.""Lagi pula," tambahnya, "kita sudah bilang ‘kan kalau kita nggak akan memaksa mereka untuk cepat-cepat punya anak. Kalau kamu kasih resep ini sama Olivia, dia akan berpikir bahwa kita memaksa mereka, dan itu hanya akan menambah beban pikirannya. Dia sudah cukup tertekan. Dan, kalau kamu kasih resep ini ke anak kita, Stefan pasti akan merobeknya di depan matamu."“Master yang Mama undang dulu itu ‘kan juga sudah bilang kalau mereka b
“Saranku, sih, kamu nggak usah ngomongin masalah ini ke Oliv. Takut malah jadi perang keluarga. Mama nggak di rumah. Aku nggak bisa loh ya ngatur anakmu itu. Kalau kamu merasa bisa menasehati Stefan, kamu saja yang ngomong masalah ini.“‘Kan sudah dibilang nggak usah buru-buru. Mereka baru menikah setahun. Bukan delan sepuluh tahun. Ngapain buru-buru?” ujar Handi.Dewi diam sejenak kemudian berkata, “Sebenarnya, jauh di lubuk hatiku, aku berharap Olivia cepat hamil, cepat kasih cucu ke kita. Nanti setelah melahirkan ‘kan dia juga nggak perlu ngurusin anaknya sendiri. Dia bisa fokus lagi ke usahanya.“Semakin lama mereka nggak punya anak, semakin hal ini akan menjadi duri buatku. Sayangnya, aku juga nggak bisa terang-terangan ngejar mereka berdua buat cepat punya anak.” Dewi menghela napas. Dewi sebenarnya berharap Olivia menjadi seperti menantu-menantu keluarga lainnya yang hanya fokus pada urusan rumah tangga. Jika pun dia ingin melakukan sesuatu yang lain, paling banter hanya mengur
Setelah Dewi menyembunyikan resep obatnya, ia berdiri tegak dan berjalan keluar seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Handi bertanya kepada pelayan itu, “Russel ikut?”“Tidak lihat Den Russel, Pak.”Handi mengambil koran dan mulai membacanya, berkata, "Tanpa kehadiran si kecil, seorang ayah nggak perlu ke depan menyambut anaknya." Sang pelayan hanya bisa tersenyum mendengar komentar tersebut. Russel memang sangat disayangi oleh para anggota keluarga yang lebih tua karena kecerdasan dan kelucuannya. Di Vila Permai, di mana anak-anak sangat jarang terlihat, kedatangan Russel selalu menjadi momen yang sangat ditunggu. Russel selalu berhasil menjadi pusat perhatian dan mendapatkan kasih sayang dari semua orang, terutama dari Handi dan para anggota keluarga lainnya yang sudah mulai merasakan fase menjadi orang tua.Saat Dewi keluar dari rumah utama, dia disambut oleh anak dan menantunya yang berjalan bersisian dengan tangan saling menggenggam, sementara di tangan lainnya terdapat beberapa k
Olivia tak menyadari maksud tersembunyi dari kata-kata mertuanya yang ingin segera memiliki cucu, sambil tersenyum dia berkata, "Iya, sih, siapa yang nggak suka sama Russel begitu ketemu." "Di Vila Ferda juga gitu, semua orang di sana suka banget sama dia. Pas aku bawa dia pulang pertama kali, sampai neneknya nggak rela dia pulang." Olivia menggandeng lengan mertuanya kembali ke dalam rumah.Dewi tersenyum dan berkata, "Nenek Santoso itu sayang banget sama Russel, tapi nenekmu malah sayang banget sama putri kecilnya keluarga Santoso, sampai pengin nyulik dia buat dirawat sendiri." “Betul itu, nenek liat Audrey langsung klepek-klepek, bisa duduk di samping tempat tidur bayi seharian. Nggak bosan-bosan," sambung OliviaDewi tersenyum, "Kalau aku juga punya cucu perempuan, bisa duduk seharian ngelihatin bayi. Nggak bakal bosan." Keluarga Adhitama seperti biara. Mereka semua sangat menyukai gadis kecil. Tidak hanya nenek saja yang seperti itu.“Mama kalau bosan di rumah saja, bisa jala
Olivia tidak hanya duduk diam, ia meletakkan tasnya dan segera mengikuti Dewi masuk ke dapur. Stefan memanggil ayahnya, kemudian menaruh beberapa kotak suplemen di atas meja kopi sambil berkata, "Pa, ini Olivia beli untuk Papa dan Mama." Setelah itu, ia duduk di samping ayahnya, melirik koran sebentar, dan bertanya, "Apa yang Papa baca? Berita apa?""Hanya sekedar lihat-lihat, untuk menghabiskan waktu. Kenapa nggak bawa Russel? Kalau Russel ada, Ayah jadi nggak akan merasa bosan." Merawat anak memang melelahkan, tapi Handi menikmatinya. Jika Russel ada, ia suka mengikuti Russel bermain."Ayah Russel sudah sadar. Besok Kak Odel mau bawa dia ke rumah sakit untuk jenguk ayahnya." Handi mengangguk, "Oh, si Roni itu sudah bangun?" Mereka tahu bagaimana Roni pernah memperlakukan Odelina. Semua orang merasa bahwa apa yang terjadi pada Roni adalah karma. Beberapa bahkan berharap Roni tidak akan pernah bangun lagi. "Iya, dia sudah bangun, sekarang sudah bisa makan," jawab Stefan, "Dia beruntu
Handi, “….”Gawat, Stefan menemukan resep obat. Apa yang harus Handi lakukan agar istrinya tidak ketahuan?“Siapa yang letakkan kertas di bawah meja?” gumam Stefan.Stefan mengambil kertas yang terlipat itu dari bawah meja. Awalnya dia ingin langsung membuang kertas itu ke tempat sampah. Namun, dia melihat seperti ada tulisan di atas kertas. Dia yang merasa penasaran pun membuka kertas itu dan membacanya.Pada saat ini, Dewi dan Olivia baru saja keluar dari dapur. Dewi melihat Stefan sedang membuka kertas yang terlipat. Selain itu, posisi meja sofa sedikit berpindah. Wajah Dewi seketika memucat.Gawat, gawat. Bagaimana Stefan bisa menemukannya? Dewi sudah meletakkan resep obat itu di bawah meja, tapi Stefan tetap saja masih bisa menemukannya. Apa mungkin suaminya yang beritahu Stefan?Tidak mungkin. Dewi Yakin suaminya tidak mungkin mengkhianatinya. Dewi berusaha sekuat tenaga untuk tetap bersikap tenang, tidak boleh panik. Kalau Stefan bertanya, dia tidak akan mengakuinya.Stefan memb
Kalau bukan karena campur tangan Odelina, Fani tidak akan mati. Sekalipun kematian Fani disebabkan oleh banyak faktor, Ivan juga tidak bisa dan tidak berani melakukan apa pun pada ibu serta adiknya. Oleh karena itu, dia hanya bisa melampiaskannya kepada Odelina.Di belakang Odelina ada tiga keluarga besar. Namun, keluarga Adhitama, keluarga Lumanto dan keluarga Sanjaya berada di Kota Mambera. Di sini Kota Cianter. Selama Ivan tidak melakukannya secara terang-terangan, maka tidak akan ada masalah.Felicia tidak tahu apa yang dipikirkan kakaknya. Dia berjalan keluar dari gedung kantor. Baru saja masuk ke mobil, Felicia menerima hasil penyelidikan yang dikirim oleh Vandi. Setelah melihat hasil penyelidikan, Felicia bersikap seperti biasa saja. Dia mengemudikan mobilnya keluar dan meninggalkan perusahaan.Beberapa menit kemudian, Vandi menelepon. Felicia menepikan mobilnya dan mengangkat telepon dari Vandi.“Bu Felicia, Pak Ivan adalah dalang dibalik kejadian dua mobil yang menabrak Bu Ode
Felicia menatap Ivan sejenak, lalu berkata, “Baguslah kalau nggak ada. Sekarang aku sangat sibuk. Mama nggak ada di sini juga. Kalau Kak Ivan buat masalah, aku nggak ada waktu untuk bantu Kak Ivan.”“Tenang saja, nggak akan. Aku kerja setiap hari. Kalau nggak kerja juga pergi ke rumah mama mertuaku. Urusan dengan kakak iparmu saja nggak kelar-kelar, mana ada waktu untuk pergi buat masalah. Lagi pula, aku sudah tua. Kalau aku benar-benar buat masalah, aku akan bereskan sendiri. Aku mana berani minta kamu bantu aku.”“Baguslah kalau begitu. Kak Ivan kembali saja. Aku juga mau keluar,” kata Felicia.Usai berkata, Felicia berdiri dan berjalan keluar dari meja kerjanya. Keduanya keluar dari ruangan bersama-sama. Ivan ingin cari tahu apa yang Felicia lakukan di luar, tapi Felicia menutup rapat mulutnya. Alhasil, Ivan tidak mendapatkan informasi apa pun.Setelah masuk ke dalam lift, Felicia berdiri tegak di depan. Sedangkan Ivan di belakangnya. Dia yang mengenakan setelan formal benar-benar m
“Memangnya kenapa kalau dia punya banyak pendukung? Toh mereka semua ada di Kota Mambera. Mereka hanya punya bisnis kecil di Kota Cianter. Kamu kira mereka bisa ikut campur urusan keluarga kita?”“Memangnya kenapa kalau dia keturunan Tante? Tante sudah meninggal puluhan tahun yang lalu. Kepala keluarga yang sekarang adalah mama kita. Kalau kamu nggak mampu, wajar saja posisi kepala keluarga dikembalikan ke mereka. Tapi kamu mampu. Mana mungkin posisi ini dikembalikan ke mereka?”“Apakah Odelina punya kemampuan itu? Memangnya kenapa kalau dia buka perusahaan di Kota Cianter? Keluarga Gatara nggak ada yang kenal dia. Saat kamu baru pulang pun, banyak orang yang nggak anggap kamu bagian dari keluarga. Apalagi Odelina. Banyak orang yang nggak senang dengan Mama. Tapi mereka bisa apa?” ujar Ivan panjang lebar.Usai berkata, Ivan bergumam pelan, “Mungkin saja Odelina juga orang yang berumur pendek, seperti neneknya, meninggal di usia paruh baya.”Ivan sudah menyuruh orang untuk menabrak Odel
Felicia menatap dan berkata, “Keponakanku usianya hanya sepuluh tahun lebih muda dariku, nggak cocok jadi anakku. Kalau memang mau adopsi, keponakan yang paling kecil baru berusia beberapa tahun, dia lebih cocok.”Keponakan Felicia yang paling kecil adalah anak dari Erwin, kakak ketiga Felicia. Anak itu baru berusia enam tahun. Tentu saja, Felicia hanya asal bicara saja. Dia tidak akan benar-benar mengadopsi keponakannya untuk menjadi anaknya. Felicia ingin punya anak sendiri.Jika tidak ada pria lain, dengan Vandi pun tidak masalah. Nanti Felicia tinggal melakukan program bayi tabung dengan menggunakan benih dari Vandi. Dengan kecerdasan dan kemampuan Vandi, anak mereka pasti akan jadi anak yang pintar juga.Sebenarnya bakat beberapa keponakan Felicia boleh dibilang rata-rata, sulit untuk dilatih menjadi penerus keluarga. Kalau bisa, Patricia juga tidak akan terburu-buru untuk melatih Felicia. Begitu tahu Fani bukan anak kandungnya, perhatian Patricia sudah tertuju pada cucu-cucunya.
Patricia tidak ingin melanjutkan pembicaraannya dengan Ivan. Dia pun berkata, “Kalau nggak ada urusan lain, aku tutup dulu teleponnya.”“Ma, aku akan bantu Felicia. Nggak ada apa-apa, Ma. Mama lanjut kerja saja.”Patricia menutup telepon. Ivan spontan menghela napas lega setelah ibunya menutup telepon. Kemudian, dia mengangkat tangannya untuk menyeka keringat dingin di dahinya. Setelah bertindak impulsif dengan menuding ibunya, Ivan langsung berkeringat dingin. Di cuaca yang begitu dingin, dia masih bisa berkeringat. Itu membuktikan kalau dia sangat ketakutan.Felicia mengambil tisu dan memberikannya kepada Ivan. Ivan meletakkan ponsel dan mengambil tisu dari adiknya, lalu menyeka keringat di wajahnya sambil berkata, “Aku ketakutan setengah mati tadi. Aku bahkan nggak tahu kenapa aku berani ngomong seperti itu.”“Salah makan obat kali, makanya jadi berani.”Ivan memelototi Felicia dan menyalahkannya. “Gara-gara kamu. Kamu telepon sama Mama, kenapa pula kasih ponselmu ke aku. Sekarang a
“Ma.” Ivan terkekeh dan berkata, “Papa nggak mungkin marah Mama. Dia memang sudah berbuat salah, tapi Mama selalu ada di hatinya. Papa tinggal sama aku. Setiap hari dia selalu ngomong soal Mama. Dia bilang kalau Mama lagi kesal, siapa yang temani Mama cari angin segar? Setiap hari Papa baca novel dari ponselnya. Baca novel roman lagi. Dia sampai bilang mau minta maaf pada Mama seperti tokoh dalam novel.”Cakra sudah mengebiri dirinya sendiri. Tidak peduli secantik dan semuda apa perempuan di luar sana, Cakra juga tidak bisa menyentuh mereka lagi. Patricia telah menghancurkan satu-satunya kebanggaan Cakra.Namun, Cakra tidak mau bercerai. Sekalipun dia sangat membenci istrinya, dia juga tidak mau bercerai. Karena dia tahu, setelah cerai, dia tidak akan mendapatkan apa pun. Kemungkinan besar, dia harus pergi dengan tangan kosong.Di Kota Cianter, Cakra tidak akan pernah bisa mengalahkan Patricia. Kecuali dia bisa hidup lebih lama dari Patricia. Dengan begitu, setelah Patricia meninggal,
Ivan tidak memiliki perasaan apa pun terhadap istrinya lagi sekarang. Padahal dulu hubungan mereka sangat baik. Mereka punya putra dan putri. Ivan pun sangat sayang anak-anaknya. Dia paling sayang putrinya.Pada saat Ivan tahu kalau Fani bukan adik kandungnya, lalu adik kandungnya Felicia, terlihat seperti orang yang lemah dan tidak bisa apa-apa, Ivan merasa sangat senang. Dia berharap ibunya bisa mewariskan posisi sebagai kepala keluarga kepada putrinya.Meskipun sekarang putri Ivan tampak tidak memiliki kemampuan apa pun, itu karena putrinya masih kecil. Selama ibunya bersedia melatih cucunya sebagai penerus, Ivan yakin putrinya tidak terlalu buruk. Oleh karena itu, dia sangat menyayangi putrinya.Setelah mendengar pertanyaan Felicia, Ivan membuka mulutnya, ingin memberikan penjelasan. Namun, dia mendapati kalau dia sama sekali tidak bisa membantah. Dia hanya bisa diam.Felicia selesai membaca dokumen di tangannya dan merasa tidak ada masalah. Dia pun menelepon ibunya dan berkata kal
Felicia bertemu dengan Ivan yang baru keluar dari lift di pintu lift. Kedua saudara itu berhenti sejenak. Ivan keluar lebih dulu dari lift, sementara Felicia tidak terburu-buru masuk. "Felicia, kamu mau pergi?" Ivan memegang sebuah map dokumen, mungkin ada dokumen yang perlu ditandatangani Felicia. Karena ibu mereka sedang tidak berada di perusahaan, semua cap penting diserahkan kepada Felicia.Banyak dokumen penting harus ditandatangani dan dicap olehnya agar berlaku. Biasanya, urusan tanda tangan dokumen seperti itu selalu diserahkan kepada sekretaris, dan jarang Ivan datang langsung. Felicia dengan tenang menjawab, "Ya, ada sedikit urusan yang harus aku urus, Kak. Ada apa?" Dia melirik map dokumen di tangan Ivan. Namun, lelaki itu tidak langsung menyerahkan map itu, melainkan berkata, "Ada dokumen yang butuh tanda tangan dan cap darimu." "Bisa ditunda sebentar? Kamu mau pergi urus apa? Apakah penting sekali?" Nada Ivan terdengar ramah, tetapi ada sedikit nada menyelidik. Ke ma
Mereka sangat menyayangi Fani, dan itu tulus. Setelah pewaris yang sebenarnya kembali, mereka tetap tidak bisa menerimanya, selalu merasa Felicia adalah penyusup yang merebut semua yang seharusnya milik Fani. Di hati mereka, ada rasa benci terhadap Felicia. Karena sejak kecil dia hidup di lingkungan yang keras tanpa kasih sayang, Felicia tidak pernah berharap bahwa orang tua kandung atau saudara laki-lakinya akan memperlakukannya dengan baik, sebagaimana dia sendiri juga tidak memiliki banyak rasa terhadap mereka. Hubungan kasih sayang antara orang tua dan anak, saudara laki-laki dan perempuan, memang perlu dipupuk. Karena dia tidak tumbuh besar di sisi orang tua kandung atau saudara laki-lakinya, tidak ada hubungan emosional yang terbentuk. Meskipun sudah kembali ke sisi orang tua kandung selama dua tahun, tetapi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Fani yang tumbuh besar bersama keluarga Gatara sejak kecil. Sekarang, setelah Fani tiada, ayah dan tiga saudara laki-lakinya hanya