Natasya berdiri kaku memakai dress yang termasuk dalam properti jasa sewa pacar. Ia menunggu aba-aba dari Abian yang akan memakai jasanya dan Irvan.
“Dok, buat bayaran saya, akan dokter transfer segera ‘kan?” Irvan sibuk merapikan rambutnya, “Aku udah transfer uangnya ke kamu, Sya. Oyah, jangan formal dong. Aku-kamu aja. Biar lebih meyakinkan kita saling panggil—sayang?” Natasya mengangguk mengerti. “Kita gladi resik dulu. Sayang, kamu udah makan ‘kan?” Natasya tersenyum amat manis, “Belum, sayang, kalo kamu?” Irvan membayangkan mereka tak hanya jadi pacar bohongan didepan Abian dan mamanya, tapi bisa jadi sepasang kekasih betulan seperti keinginannya sejak lama. Ponsel Irvan bergetar, “Abian udah suruh kita kesana, sayang.” Natasya berjalan menggandeng tangan Irvan. Mereka seolah akan makan disini dan tidak sengaja bertemu Abian dan mamanya. “Sayang, kita duduk disini aja?” Irvan menunjuk meja yang tak jauh dari meja Abian. “Iya, boleh, sayang.” Mereka duduk. Mama Abian yang melihat Natasya duduk berdua dengan Irvan, sahabat anaknya menggoncangkan lengan Abian, “Bi, itu—bukannya Natasya?” Natasya bisa mendengar jelas suara mama Abian. Ia terus berakting seolah jadi pasangan yang bahagia dengan Irvan. Abian pura-pura kaget, “Eh, dokter Nat, Van? Kalian—disini juga? Gabung aja sama kita.” Natasya dan Irvan pura-pura berunding. Tak lama mereka pindah duduk satu meja dengan Abian dan mamanya. “Malam, bu. Ibu sudah merasa lebih baik sekarang?” tanya Natasya. “Dokter Natasya—pacarnya itu—Irvan?” Natasya dan Irvan saling pandang, “Iya, bu. Ibu kenal sama mas Irvan?” Abian terbatuk. Panggilan mas tidak termasuk dalam brieffing mereka. “Irvan itu sahabat Abian dari kecil. Kok tante baru tahu ya, Van, kamu pacaran sama—dokter Natasya? Bukannya kamu—jomblo?” “Ah, si tante suka gitu. Saya sengaja gak umbar karena takut a’in. Sekarang malah gak sengaja ketemu kalian disini. Jadi, ya kepaksa aja hubungannya aku umbar.” Wajah mama Abian berubah mendung sejak melihat Natasya, calon menantu yang di gadang-gadang harus menikah dengan anaknya, ternyata adalah kekasih sahabat Abian. Abian melirik Irvan untuk mengatakan kalimat yang sudah mereka rancang di kantin rumah sakit. “Tante bisa anggap Natasya sebagai anak tante. Akhir tahun ini kita akan menikah. Berhubung mamaku udah gak ada, tante mau ‘kan duduk di pelaminan nemenin papa?” Mama Abian tersenyum pahit. Tak lama mama bangkit. “Ma, mau kemana?” “Mama—mau—” BRUK! Abian begitu kalut saat mama sedang di observasi dokter jaga di UGD. Ia tak tahu kalau rencana gilanya untuk meminta Natasya dan Irvan pura-pura pacaran akan mengantakan mama yang kesehatannya sedang menurun langsung drop. Dokter jaga keluar. “Gimana nyokap gue?” Abian begitu panik karena takut terjadi apa-apa pada mama. “Ya seperti yang lo tahu. Kayaknya malam ini harus segera ke ICU dan diambil tindakan operasi.” Abian menggeleng dan menangis. Natasya dan Irvan yang masih disana berusaha menenangkannya. “Bro, lo turutin aja permintaan nyokap buat lo putus dari Aca. Dari pada nyokap lo kenapa-napa.” “Masalahnya bukan itu lagi, Van. Nyokap minta—Natasya nikah sama gue!” Irvan melirik Natasya yang berdiri terpaku menatap ke arah ranjang, dimana mama Abian sudah bangun, “Ya gak bisa dong kalo gitu. Natasya itu—” “Ma!” Abian berlari menghampiri ranjang, “Ma, mama harus sehat, mama harus baik-baik aja. Aku mohon jangan tinggalin aku.” Mama menatap Natasya yang berdiri dibelakang tubuh Abian. Natasya menangis, karena tiba-tiba ingat mamanya yang entah ada dimana. “Natasya...” Natasya menggenggam tangan mama Abian, “Ma-ma.” “Nat, kamu mau ‘kan menikah sama Abian?” Natasya melirik Abian yang menggeleng. Dalam keadaan genting begini, dokter siluman itu masih memikirkan egonya. Padahal ia bisa berbohong barang untuk sementara. “Aku—” “Mama gak akan pernah mau operasi. Kalian dokter bedah Kardiotoraks, kalian tahu betul kondisi mama seburuk apa.” “Aku gak bisa menikahi perempuan selain Aca, ma.” Mama membuang muka, “Suatu saat kamu akan tahu seburuk apa dia, Bi. Makannya mama bersikeras melarang kamu menikah dengan dia.” “Mama cuma salah paham sama Aca. Aku bakal buktikan kalo Aca gak seperti yang mama kira.” Mama Abian membalikkan tubuhnya, “Pergi sana, mama gak butuh kamu, Bi!” Abian melangkah pergi. Sebelumnya ia menoleh, “Ma, seperti yang mama bilang, menikah adalah sesuatu yang sakral, yang harus dilaksanakan sekali seumur hidup. Maka aku akan memilih menjalani hal sakral itu dengan Aca, tidak dengan yang lain. Aku bakal tunggu di ruangan sampe mama tenang.” Irvan yang sedari tadi menunggu di luar UGD, pergi menyusul Abian. Natasya mengutuk Abian. Seharusnya ia berusaha membahagiakan sang mama saat masih memiliki kesempatan itu. Tidak seperti dirinya. Sang mama pergi ketika ia masih SMP, demi hidup nyaman dengan lelaki kaya. Sampai saat ini, ia tidak tahu sama sekali kabarnya seperti apa. “Ma, aku temani disini, ya?” Mama menangis, “Harusnya Abian mau menikah sama kamu.” Natasya tersenyum kecil. Si Abian itu pasti kegeeran sendiri, karena ia selalu diam saja jika diminta mamanya mau menikah dengannya. Padahal ia hanya mau membuat mamanya bersedia melakukan operasi. Tadi ia sudah melihat rekam medis ibu dari dokter konsulennya. Keadaannya cukup mengkhawatirkan jika tidak di operasi segera. Dan si manusia siluman itu masih diam saja, meracau menyebut nama Aca? Keterlaluan. Mama membalikkan badannya menatap Natasya. “Kamu mencintai Abian, Natasya?” “Hm?” Natasya bingung harus menjawab apa. Tapi demi menjaga ritme jantung mama, ia terpaksa berbohong, “Eum.. meskipun galak dan sering marah-marah, aku—sedikit suka sama—dokter Abian, ma.” Mama tersenyum, “Mama janji, kalian pasti akan menikah. Dan kamu akan jadi anak dan menantu mama.” Natasya mengangguk. “Mama langsung yakin kamu orang baik, begitu ada yang bilang Abian bersedia melakukan operasi semalam. Maaf ya, mama langsung cari tahu banyak soal kamu.” “Maksud mama?” “Mama tahu kehidupan pribadi kamu. Mulai dari kamu tinggal sama papamu yang pensiunan dokter, dan—perginya mama kamu 12 tahun lalu.” Natasya langsung berpikir keras, kenapa mama Abian langsung tahu semua itu ya? Apa beliau menyewa detektif swasta? Artinya, mereka orang kaya? Kok ia baru tahu, ya?Natasya mengoleskan minyak angin di leher dan dahinya banyak-banyak selesai menemani visit pasien. Pekerjaannya menumpuk sekali hari ini. “Baru keramas kemaren, udah lepek lagi nih rambut. Gini nih kalo pake sampo rakyat, gue harusnya maksain beli yang buat keturunan ningrat biar gak usah keramas satu minggu.” Natasya duduk di pojok meja jaga. Ia sibuk mencatatat obat yang baru saja diberikan pada belasan pasien. Sambil menulis, tangannya sibuk merogoh ponsel. Ada notifikasi masuk dari aplikasi pacar sewaan. “Malam ini? Duh, gak bisa lagi. Gue jaga malam. Ini kliennya dokter disini juga ‘kan ya? Dokter apaan?” Selama melihat profil singkat klien yang menyewanya malam ini, Natasya tak sadar sedang diperhatikan oleh Abian dari tadi. Ia nyaris berteriak ketika mereka beradu pandang. “Dokter! Saya bisa dilariin ke UGD nih!” “Kamu bisa tidak, mengerjakan tugas dengan baik? Jangan sedikit-sedikit membuka pekerjaan sampingan kamu itu.” Natasya menaruh ponselnya, “Yang pent
Satu minggu kemudian... Akad sudah dilaksanakan dengan lancar. Abian mengucapkan janji suci itu dalam satu kali nafas. Membuat Natasya yang duduk disebelahnya merasa sedikit baper. Ternyata dia serius juga jika berhadapan dengan orang banyak. Selesai akad, Natasya masih menyalami tamu yang kebanyakan adalah keluarga. Namun, ketika tamu mulai berdatangan dari rumah sakit, ia sembunyi. Ia enggan di cap penghianat oleh pengikut grup kebenciannya. “Kamu ngapain!” suara Abian membuat Natasya terlonjak ketika memainkan ponselnya di bilik kamar mandi ballroom hotel. “Dok!” “Mas Abian!” “Oh iya, mas—Abian. Ah, kita lagi berdua ini. Ada apa?” “Tamu mencari kamu.” “Bilang aja lagi—diare.” Abian menatap Natasya jijik, “Kamu—sebenci itu pada saya, sampai tidak mau menemui staf rumah sakit? Kamu malu nikah sama saya?” “Luma—” “Nat!” “Sya aja. Jangan Nat-Nat, kesannya dokter manggil saya Donat!” “Keluar!” “Tapi, dok—” “Saya kasih uang lima ratus juta bukan untuk ka
“Aduh... dok, ini gak bisa ganti tema, ya?” Abian melirik sinis saat menatap Natasya dari cermin ketika ia berkaca, melihat seberasa hot penampilannya sebelum memulai pemotretan panas dengan istri bayarannya. Natasya duduk tidak nyaman menutupi bagian tubuh atasnya dengan selimut, “Pemotretan ini buat saya—gak nyaman.” Abian menghampiri Natasya, “Kamu pikir saya nyaman?” “Ya gak tahulah, dok. Lagian kenapa sih kita harus ngelakukan ini? Buat apa?” Abian memberikan ponselnya yang sudah ia siapkan chat dari seseorang untuk Natasya baca. Natasya mengernyit mendapati pesan dari kontak bernama Aca Sayangku. Pesannya berisi pembatalan acara pernikahan yang akan digelar hari ini. Entah ada masalah apa diantara mereka, tapi ia memang mendengar sedikit masalah ini dari mama Abian. “Juga ini,” Abian menunjukkan chat lain dari mama, “Mama mau bukti kalo kita—malam pertama kayak pengantin lain.” Natasya menatap Abian takut. Abian mengambil ponselnya kasar, “Jangan kamu pikir ki
Sebelum pintu terbuka, ponsel Abian terdengar berdering kencang. “Halo? Bagaimana tanda vitalnya? Berapa nilai INR nya? Beri dua FFP.. Saya mau lihat hasil tes keseluruhannya. Kirim ke email segera, saya tunggu.” Abian mungkin langsung ke sofa atau ranjang. Karena dari bawah pintu tak terlihat bayangan tubuhnya lagi. Natasya membuang nafas lega, “Untungnya ada yang nelpon.” Ia mengedarkan mata ke sekeliling kamar mandi yang luas, “Gue—tidur dimana ini? Ah, itu ada bathub. Hmmm... enak juga nikah sama orang kaya. Nikah di ballroom hotel, malem pertamanya di kamar hotel. Mungkin kalo yang sewa gue bukan dokter se-kaya dokter Abian, dan terjadi hal kayak gini, gue harus tidur di bak mandi.” Natasya mengambil handuk untuk dijadikan bantalnya malam ini. Bathub yang berukuran besar membuatnya tersenyum lebar, karena ia yang sering silat saat tidur, merasa leluasa. “Nyamannya.” Natasya menutup mata ketika kepalanya menyentuh bantal dari handuk, “Gak buruk lah, meskipun harusnya yan
Natasya berkedip lebih cepat dari biasanya. Ia juga menahan nafas, mengantisipasi hal-hal yang tak di inginkannya terjadi. Abian adalah dokter bedah kardiotoraks yang hebat. Natasya takut suara degup jantungnya terdengar olehnya. “Suara—perut kamu. Katanya laper, kenapa malah bahas kucing?” Abian menggeser tubuhnya ke tempat semula, “Makan.” “Iya, dok.” Mereka makan dengan tenang. Natasya yang tak mengira kalau Abian tidak segalak dan sedingin perkiraannya, memilih diam dan menghentikan pedekate, karena ia takut akan terus terjadi hal-hal seperti tadi. “Kamu bersiap. Kita pergi hari ini.” “Kemana, dok?” “Belanja. Keperluan saya banyak yang habis. Nanti sekalian aja kamu beli keperluan kamu.” “Oh, iya, dok.” Ponsel Natasya berdering kencang di atas kasur. Ia berlari untuk segera mengangkatnya. Ia pikir yang menelpon adalah papa atau teman kelompok residennya, ternyata bukan. “Kenapa gak dia angkat? Berisik.” Natasya mematikan telpon, “Eum, gak papa, dok.” Ia duduk ditepian r
Natasya terbatuk untuk menyembunyikan rasa tegangnya. Ia berdiri menjauhi Abian yang mendapat telpon. “Kenapa?” Natasya menatap wajah Abian yang berubah pucat. “Gue ke rumah sakit sekarang.” “Dok, ada apa?” Abian mengatur nafasnya, “Mama—masuk ICU. Kita ke rumah sakit sekarang.” Abian membawa mobil percis sedang balapan. Natasya yang duduk disebelahnya tentu tahu kalau suami bayarannya pasti tengah ketakutan karena tahu-tahu mamanya masuk ICU. Ia pun sedikit khawatir pada kondisi mertuanya. “Dok, tenang ya. Aku tahu dokter Abian takut banget mama—kenapa-napa. Tapi kalo bawa mobilnya sengebut ini, justru kita yang akan celaka.” Abian melirik Natasya sebentar. Ia memelankan laju mobil, “Mama gak bilang sama kita kalo dadanya terasa nyeri sehabis acara kemarin. Kalo kita tahu lebih awal, mama—” Natasya tentu mengerti dengan rasa khawatir itu. Ia pernah merasakan apa yang Abian rasakan, tapi bukan pada mamanya. Ia merasakan itu pada Alan, ketika mereka kecelakaan empat t
Abian tak berhenti berjalan mondar-mandir di ruang tunggu operasi ditemani Natasya dan papa. Ia terus melihat jam tangan, memperkirakan kapan operasi akan selesai. “Dok, duduk aja. Operasinya baru jalan dua jam.” Papa melirik Natasya, “Sya, kok panggil Abian dokter?” Natasya dan Abian saling lirik. “Hehehe, aku—kebiasaan manggil dia dokter, pa. Maksud aku—mas Abian.” Abian duduk disamping Natasya. Wajahnya sedikit pucat. Natasya yang baru kecolongan dari papa barusan, berusaha memberikan perhatian seorang istri pada suaminya. “Mas, minum dulu.” Natasya memberikan botol tumblernya pada Abian. Abian menerima botol itu dan meneguk air cukup banyak. “Mas, tenang, ya, yang operasi mama adalah teman sejawat kamu. Dokter Farhan pasti sehabat kamu, yang tahu banyak hal, yang sudah berpengalaman. Kita bantu doa disini.” Abian melirik istrinya. Jujur, mendengar ucapannya membuatnya jauh lebih tenang. Ia menggenggam tangan Natasya erat, “Makasih ya, sayang.” Natasya menganggu
“Mas, tunggu.” Abian tak mengindahkan panggilan Natasya. Ia sudah memakai masker dan baju khusus untuk bertemu mama di ICU, “Ma?” “Bi, Natasya mana?” Natasya tertawa diluar ICU. Ia bersiap memakai masker lalu masuk, “Ma?” “Sini, sayang.” Natasya menggenggam tangan mama erat, “Mama udah gak akan sakit lagi sekarang. Aku seneng mama akan sehat dan terus nemenin mas Abian.” Mama tersenyum, “Nemenin kamu juga, nemenin cucu-cucu mama nanti dari kalian.” Natasya dan Abian saling beradu pandang. “Mama bersyukur sekali operasinya lancar. Mama gak merasakan takut sama sekali ketika mengingat janji kamu tadi.” Abian mengernyit, “Janji apa?” Mama menatap Abian, “Natasya janji sama mama, kalo hari ini mama mau operasi, kalian akan memenuhi apapun mau mama.” “Memang mama mau apa? Liburan ke luar negeri? Atau beli mobil baru?” tebak Abian. “Mama mau sesuatu yang gak bisa dibeli pakai uang, yaitu cucu.” Abian menahan marah selama dihadapan mama. Setelah yakin mama baik-ba
Mama dan Abian membuang nafas kesal ketika tahu yang datang adalah papa. Sedang Natasya hanya mengeratkan tubuh Haikal pada tubuhnya karena takut terjadi pertengkaran antara papa dan mama.“Mau apa lagi kamu kesini?” tanya mama lugas.“Mira, maafkan aku. Setelah resmi bercerai, aku merasa—tidak bisa kehilanganmu. Aku yakin kamu dan Abian juga begitu. Apa tidak sebaiknya kita kembali?”Mama tertawa, “Kembali? Jangan mimpi kamu! Aku dan Abian sangat baik-baik saja setelah kita tidak lagi terikat pernikahan. Berani sekali kamu menginjakkan kaki di rumahku lagi. Pergi!”Papa bersimpuh di kaki mama, “Tolong berikan kesempatan kedua, Mir. Aku tidak punya apa-apa lagi sekarang.”Mama tertawa lagi, “Bukankah kamu punya perempuan itu? Tinggallah bersamanya dan jangan ganggu kami lagi!”“Mir, Aca menjual semua asetku tanpa diketahui. Kamu benar, dia memang perempuan ular. Aku mohon terima aku kembali.”Mama melirik Abian sebelum pergi, “Mama mau istirahat.”
Tujuh bulan kemudian... Natasya kesusah berjalan, ketika kehamilannya mencapai usia tiga puluh empat minggu. Ia sudah cuti sejak dua bulan lalu karena sempat keluar flek. Abian, mama mertua, papa-mama, serta Vina dan Irvan tentu sangat khawatir dan memintanya untuk cuti. Natasya setuju. Ia rela tak lulus tepat waktu asalkan anaknya baik-baik saja. “Mas, plis aku mau ikut ke rumah sakit.” Natasya mengejar Abian yang bolak-balik membawa laptop dan jurnal di ruang kerja. “Mending kamu istirahat deh, mau ngapain sih ke rumah sakit?” “Aku bosen tahu di rumah terus. Habis keliling poli bedah kardiotoraks aku pulang kok.” Abian tertawa, “Kamu pengen anak kita juga jadi bagian bedah kardiotoraks?” “Oh iya dong, dia harus ikutin jejak kita.” Natasya diam sejenak, “Enggak deh, mending dia ambil spesialis lain. Mas, ya, plisss. Aku gak akan capek-capek kok.” Abian membalikkan badan. Ia mengelus perut bulat
“Nat! Jangan dipukul-pukul! Nat!” Abian berusaha mengambil tangan Natasya yang terus memukul-mukuli perutnya. Pintu terbuka. Semua orang yang semula menunggu di luar ruangan, masuk karena mendengar suara pekikkan Natasya. “Nat?” Vina memanggil lirih. “Vin, tolong panggilin perawat!” Vina mengangguk. Ia berlari keluar ruangan untuk memanggil perawat jaga. Tak lama dua perawat masuk membuntut dibelakang tubuhnya. “Tenang, ya, bu. Yang lain boleh menunggu diluar.” Abian melepaskan pelukannya yang kencang pada tubuh Natasya. Ia terpaksa keluar karena tak mau mengganggu proses pemeriksaan. Setelah pintu ditutup, satu perawat menenangkan Natasya, dan yang lain menyuntikkan obat penenang dosis rendah yang aman untuk wanita hamil pada punggung tangannya. Perlahan, tubuh Natasya yang mengamuk mulai tenang. “Bu, tenang ya. Ibu sedang hamil muda. Stress sedikit pun akan mempengaruhi tumbuh kem
Tok-Tok-Tok“Sya? Papa mohon kita bicara dulu.” Papa mengernyit, “Kok sepi, ya?”Ceklek.“Sya!” papa melotot melihat Natasya pingsan, “Sya, bangun, Sya!”Papa menangis sambil merogoh ponsel di saku celana. Papa langsung menelpon seseorang, “Angkat Abian, angkat.”“Halo, pa?”“Bi, pulang ke rumah, Natasya pingsan.” kata papa dengan panik.“Iya, pa, saya kesana sekarang.”Papa mengangkat tubuh Natasya ke atas ranjang, “Ya ampun, Sya, kamu kenapa begini sih?”Tak lama Abian datang bersama Haikal yang masih bersamanya.“Nat?” Abian mendekati Natasya, “Kapan Natasya pingsan, pa?”“Papa gak tahu. Tadi pulang-pulang dia langsung masuk kamar. Papa gak tahu kenapa Natasya pingsan.”“Tadi Natasya sempet mual dan muntah karena aroma kari. Mungkin asam lambungnya kambuh. Kita bawa Natasya ke rumah sakit, pa.”***Natasya membuka matanya perlahan saat membaui bau obat yang kentara. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mencari seseo
“Gimana mungkin aku percaya? Kamu ajak aku sama Ical kesini, dan tiba-tiba ada dia. Kamu pikir aku bisa nyangka semuanya kebetulan?”“Aca lewat depan resto dan gak sengaja liat aku. Begitu ‘kan, Ca?”Aca menatap Natasya, “Gue sama Abian janjian disini, Nat, seperti yang udah-udah. Lo mungkin pernah denger kalo restoran ini adalah tempat pertama kita ketemu. Gue—menyesali perbuatan kemarin dan berniat—”Abian melotot tak percaya pada ucapan Aca, "Ca! Kamu ngomong apa sih? Jelas-jelas kamu tadi bilang gak sengaja liat aku sama Ical ada disini.”.Natasya menggeleng, “Udah cukup, mas, kamu nyakitin aku! Keputusannya udah aku pikirin baik-baik. Aku mau kita pisah!” ia membawa tas tangan dan berjalan keluar dengan cepat.“Mami!” Haikal mengejar Natasya.“Nat, tunggu! Nat, semua gak seperti yang kamu pikirin. Tanya aja sama Ical, dia denger semuanya.” Abian berlari mengejar Natasya yang terus berjalan ke luar pelataran resto.Natasya menemukan taksi yang
Selesainya sesi foto dan pembagian hadiah, Natasya langsung memesan taksi online. Ia menatap baju kaos putih yang dikenakannya masih bersih. Matanya mengedar, melihat baju para orang tua dan wali lain—penuh dengan cat. Ia tak bisa mengikuti lomba karena saat baru menuangkan pewarna pada wadah, Abian harus mengangkat telpon dan mereka di diskualifikasi.Natasya membuang nafas berkali-kali saat sadar Haikal marah padanya dan Abian. Semua memang salahnya. Mungkin kalau ia tak membahas rahasia pernikahan kontrak itu, mereka masih bisa sama-sama dan pergi menagih traktiran dari Abian.TAP!Sebuah tangan menempel dibelakang baju Natasya, membuatnya refleks menoleh, “Ical?”Wajah Ical yang cemberut berubah ceria. Mulutnya tersenyum, menampilkan gigi rapinya berderes cantik, “Baju kita bersih, aku gak suka. Mami mau bikin kenang-kenangan gak di baju aku?”Natasya mengangguk.Haikal menuangkan cat warna dari botol pada telapak tangan Natasya, “Tempelin, mi,
Masih banyak perlombaan yang harus di ikuti, tapi Abian terus mendapat telpon darurat. Untungnya ia tak perlu ke rumah sakit, hanya perlu memantau kondisi pasien melalui via telpon.“Mas?” Abian menoleh.Natasya membawakan minuman yang dibagikan pihak sekolah, “Minum dulu.”“Makasih.”Mereka duduk di bawah pohon saat lomba masih berlangsung. Kini tengah di adakan lomba bakiak antar keluarga.“Ical gak ngambek karena kita di diskualifikasi dari lomba?”“Enggak kok. Temen-temennya juga banyak yang gak bisa ikut karena orang tuanya gak dateng.”Abian melirik Natasya, “Kamu seneng hari ini?”Natasya tersenyum, “Banget, mas. Lumayan lah kita menang di dua lomba.”“Pengennya pasti kamu menang di semua lomba.”Natasya melirik Abian dan mengangguk, “Oh iya dong, harusnya semua lomba. Hadiahnya ‘kan lumayan.”“Nanti aku yang akan kasih hadiah buat kamu dan Ical.”Senyum Natasya luntur, “Gak usah, mas, buat Ical aja.”Haik
“Ical kebagian lomba apa? Katanya orang tua atau walinya harus ikutan ya?” Natasya berusaha mengalihkan topik.“Banyak lombanya, mi. Semua anak harus ngikutin semua kegiatan sama orang tuanya. Mama papa aku gak bisa dateng. Untungnya kalian bisa. Makasih ya, mi, pi.”“Sama-sama, Cal.” Abian mengacak-acak rambut Haikal yang sudah tumbuh.“Ya udah kita ke lapang, mi, pi.”Haikal berlari lebih dulu ke tengah lapang. Sedang Abian menarik lengan Natasya yang baru akan melangkah.“Nat, untuk hari ini aja, kita lupain gencatan senjata yang ada di depan Ical.”“Iya, mas.”“Ya udah kita kesana.” Abian menuntun Natasya ke lapang.Sebelum memasuki lapang, panitia memberikan kaos putih berlengan pendek untuk dikenakan semua orang tua atau wali. Siswa sendiri sudah memakai baju itu sedari dari rumah.“Untuk orang tua wali langsung berbaris ya di barisan orang tua sesuai angkatan siswa. Kami sudah memberikan tanda disetiap sudut.” panitia memberikan ar
Natasya baru selesai jaga malam. Sudah tiga hari ia menginap di rumah papa dan tidur berdua dengan mama. Papa mengalah. Papa memilih menginap di rumah temannya karena tidak mungkin satu atap dengan mama meski ada anak mereka. “Balik kemana sekarang?” tanya Vina yang juga baru selesai jaga malam. “Gak balik gue.” Natasya sibuk menalikan sepatunya. “Jangan gila lo. Kita gak tidur semaleman karena bangsal lagi rame. Kita juga bolak-balik UGD terus.” “Gue mau ke suatu tempat.” “Kemana?” Natasya menutup pintu loker dan merapikan bajunya, “Ada aja. Gak mau bilang, takut lo ikut.” “Idih. Gue sibuk kali, mau ngurus bocah. Eh, lo—kapan kasih keputusan sama dokter Abian?” Natasya diam. Vina menyikut, “Jangan lama-lama. Kalo lo emang mau lepasin dia ya udah. Banyak residen tahun pertama yang antre tuh.” “Hah? Mereka gak tahu dia suami gue?!” Vina tertawa, “Lo tuh maruk amat