Satu minggu kemudian...
Akad sudah dilaksanakan dengan lancar. Abian mengucapkan janji suci itu dalam satu kali nafas. Membuat Natasya yang duduk disebelahnya merasa sedikit baper. Ternyata dia serius juga jika berhadapan dengan orang banyak. Selesai akad, Natasya masih menyalami tamu yang kebanyakan adalah keluarga. Namun, ketika tamu mulai berdatangan dari rumah sakit, ia sembunyi. Ia enggan di cap penghianat oleh pengikut grup kebenciannya. “Kamu ngapain!” suara Abian membuat Natasya terlonjak ketika memainkan ponselnya di bilik kamar mandi ballroom hotel. “Dok!” “Mas Abian!” “Oh iya, mas—Abian. Ah, kita lagi berdua ini. Ada apa?” “Tamu mencari kamu.” “Bilang aja lagi—diare.” Abian menatap Natasya jijik, “Kamu—sebenci itu pada saya, sampai tidak mau menemui staf rumah sakit? Kamu malu nikah sama saya?” “Luma—” “Nat!” “Sya aja. Jangan Nat-Nat, kesannya dokter manggil saya Donat!” “Keluar!” “Tapi, dok—” “Saya kasih uang lima ratus juta bukan untuk kamu sembunyi disini. Keluaaar!” “Iya-iya. Heran, punya konsulen tantruman gini. Mana sekarang jadi suami lagi.” Abian menunjuk keluar. “Iya, mas Abianku sayang. Ayo kita keluar, mas.” Natasya menggenggam tangan Abian dengan erat ketika banyak mata memperhatikannya. Tatapan itu kebanyakan tatapan intimidasi. Ia yang sering menyuarakan untuk menghindari pernikahan residen dan konsulen, malah melakukannya. Ia termakan sumpahnya sendiri. Natasya mengatur nafasnya sebaik mungkin. Ini demi uang lima ratus juta itu. “Wah, kita ketinggalan berita penting, ya. Tahu-tahu dokter Abian menikah. Sama—residen lagi nikahnya.” sindir dokter konsulen lain yang terkenal memang banyak bicara. “Ya begitulah jodoh. Saya pun tidak menyangka kalau akan menikahi residen sendiri.” “Padahal—dokter Natasya ini terang-terangan loh mengatakan membenci dokter Abian.” Abian mengecup punggung tangan Natasya, “Saya tahu. Benci jadi cinta. Itu indah bukan?” Natasya terkikik geli. Dalam hati ia ikut mengutuk dirinya sendiri. Kalau tidak ada bayaran, mana mungkin pernikahan ini ada. Tapi moto hidupnya realistis saja, ‘dari pada jadi Ani-Ani, mending jadi pacar sewaan’ kini ia mengupgrade dirinya jadi ‘istri sewaan’. “Kami permisi. Masih banyak tamu yang belum kami temui.” Untungnya Abian buru-buru membawa mereka pergi dari barisan dokter menyebalkan. Mereka kini duduk di meja yang sama dengan mama Abian dan papa Natasya. “Papa gak pernah nyangka kalian akan menikah.” Mama melirik papa, “Ada apa, besan?” Natasya menggeleng. Ia meminta kerja sama papa agar tidak mengadu pada mertuanya. Papa tertawa, “Bukan apa-apa, besan. Di awal residen, Natasya sering curhat kalau dia—ingin ganti konsulen, karena—nak Abian ini katanya—pemarah.” Mama tertawa, “Oh itu. Iya, Abian memang—sedikit pemarah. Tapi saya pastikan, bahwa Abian akan jadi suami yang baik untuk Natasya.” “Semoga, besan. Natasya adalah anak saya satu-satunya. Hanya dia yang saya punya. Kalau nak Abian—menyakitinya, saya akan sedih sekali.” tutur papa dengan suara bergetar. Natasya menggenggam tangan papa, “Paaa.” “Kamu denger, Bi? Mertua kamu akan sedih kalau kamu macam-macam. Mama juga. Mama gak terima menantu kesayangan mama kamu sakiti.” Acara pernikahan selesai. Acara yang digelar di ballroom sudah satu paket dengan penginapan di hotel. Sehingga untuk dua malam, Natasya dan Abian akan bermalam disini. Natasya membersihkan seluruh makeupnya dengan kapas dan cairan pembersih, sedang Abian sedang memisahkan bajunya dan istrinya. “Saya bermalam di kamar sebelah.” “Hm.” Abian mendekati Natasya yang langsung menghindar. “Gak ada sentuhan, gak ada gerakkan aneh-aneh, atau dokter akan kena kartu kuning!” Abian menarik merek baju yang masih tergantung di piyama tidur Natasya yang mama belikan, “Kamu emang biasa pake baju dengan merknya?” Natasya melirik merk yang masih tergantung itu dengan malu, “Ish! Sana pergi!” Abian berjalan menenteng tas kecil yang sudah ia siapkan. Begitu membuka pintu, ia menutupnya kembali, “Kita terpaksa tidur satu kamar malam ini.” Natasya mengernyit, “Kenapa?” Natasya penasaran. Ia bangkit dan mengintip lubang ditengah pintu, “Itu—siapa?” “Orang suruhan mama.” “Dia takut kita—kabur?” “Dia takut saya pindah kamar.” Natasya menatap Abian, “Hm, saya paham sekarang. Jadi dokter mau tidur dimana?” “Di mana lagi? Masa di kamar mandi?” Natasya mendelik kesal, “Kita gak satu ranjang ‘kan, dok? Saya kalo tidur kayak orang silat loh.” “Kamu pikir saya mau deket-deket dengan ketua dari sebuah organisasi pembenci konsulennya sendiri?” Natasya melotot. Abian sudah tahu statusnya di grup? Untuk mempertahankan diri dan menunjukkan ia tak takut sama sekali pada Abian, Natasya melipat kedua tangannya, “Katanya dokter tahu saya benci dokter?” “Gak sampai ngajak orang lain.” “Saya gak ngajak! Mereka yang mau join!” “Di ajak juga gak papa. Itu tandanya kamu cukup lemah untuk melawan saya sendiri.” Natasya menghentakkan kakinya. Ia berjalan ke ranjang dan merebahkan tubuh dan menguasai kasur, “Enaknya.” “Nat,” “Jangan Nat!” “Istriku...” Natasya bangun sekaligus. Ia menghampiri Abian yang masih berdiri ditempat, “Apa?” Abian menunjuk sebuah koper yang ternyata sudah ada disini, “Saya sudah tunaikan kewajiban saya untuk membayar kamu.” Mata Natasya berbinar. Enaknya bekerja sama dengan orang berduit, “Oke.” “Maka... saya berhak mengambil hak saya dari bayaran itu ‘kan?” Natasya berjalan mundur hingga mentok terduduk di ranjang. Ia menelan ludahnya sakit, “Dok-ter ma-u a-pa?” Abian tersenyum. Ia mengambil dagu Natasya dan membisikkan sesuatu ditelinganya. “APA?!!!!”“Aduh... dok, ini gak bisa ganti tema, ya?” Abian melirik sinis saat menatap Natasya dari cermin ketika ia berkaca, melihat seberasa hot penampilannya sebelum memulai pemotretan panas dengan istri bayarannya. Natasya duduk tidak nyaman menutupi bagian tubuh atasnya dengan selimut, “Pemotretan ini buat saya—gak nyaman.” Abian menghampiri Natasya, “Kamu pikir saya nyaman?” “Ya gak tahulah, dok. Lagian kenapa sih kita harus ngelakukan ini? Buat apa?” Abian memberikan ponselnya yang sudah ia siapkan chat dari seseorang untuk Natasya baca. Natasya mengernyit mendapati pesan dari kontak bernama Aca Sayangku. Pesannya berisi pembatalan acara pernikahan yang akan digelar hari ini. Entah ada masalah apa diantara mereka, tapi ia memang mendengar sedikit masalah ini dari mama Abian. “Juga ini,” Abian menunjukkan chat lain dari mama, “Mama mau bukti kalo kita—malam pertama kayak pengantin lain.” Natasya menatap Abian takut. Abian mengambil ponselnya kasar, “Jangan kamu pikir ki
Sebelum pintu terbuka, ponsel Abian terdengar berdering kencang. “Halo? Bagaimana tanda vitalnya? Berapa nilai INR nya? Beri dua FFP.. Saya mau lihat hasil tes keseluruhannya. Kirim ke email segera, saya tunggu.” Abian mungkin langsung ke sofa atau ranjang. Karena dari bawah pintu tak terlihat bayangan tubuhnya lagi. Natasya membuang nafas lega, “Untungnya ada yang nelpon.” Ia mengedarkan mata ke sekeliling kamar mandi yang luas, “Gue—tidur dimana ini? Ah, itu ada bathub. Hmmm... enak juga nikah sama orang kaya. Nikah di ballroom hotel, malem pertamanya di kamar hotel. Mungkin kalo yang sewa gue bukan dokter se-kaya dokter Abian, dan terjadi hal kayak gini, gue harus tidur di bak mandi.” Natasya mengambil handuk untuk dijadikan bantalnya malam ini. Bathub yang berukuran besar membuatnya tersenyum lebar, karena ia yang sering silat saat tidur, merasa leluasa. “Nyamannya.” Natasya menutup mata ketika kepalanya menyentuh bantal dari handuk, “Gak buruk lah, meskipun harusnya yan
Natasya berkedip lebih cepat dari biasanya. Ia juga menahan nafas, mengantisipasi hal-hal yang tak di inginkannya terjadi. Abian adalah dokter bedah kardiotoraks yang hebat. Natasya takut suara degup jantungnya terdengar olehnya. “Suara—perut kamu. Katanya laper, kenapa malah bahas kucing?” Abian menggeser tubuhnya ke tempat semula, “Makan.” “Iya, dok.” Mereka makan dengan tenang. Natasya yang tak mengira kalau Abian tidak segalak dan sedingin perkiraannya, memilih diam dan menghentikan pedekate, karena ia takut akan terus terjadi hal-hal seperti tadi. “Kamu bersiap. Kita pergi hari ini.” “Kemana, dok?” “Belanja. Keperluan saya banyak yang habis. Nanti sekalian aja kamu beli keperluan kamu.” “Oh, iya, dok.” Ponsel Natasya berdering kencang di atas kasur. Ia berlari untuk segera mengangkatnya. Ia pikir yang menelpon adalah papa atau teman kelompok residennya, ternyata bukan. “Kenapa gak dia angkat? Berisik.” Natasya mematikan telpon, “Eum, gak papa, dok.” Ia duduk ditepian r
Natasya terbatuk untuk menyembunyikan rasa tegangnya. Ia berdiri menjauhi Abian yang mendapat telpon. “Kenapa?” Natasya menatap wajah Abian yang berubah pucat. “Gue ke rumah sakit sekarang.” “Dok, ada apa?” Abian mengatur nafasnya, “Mama—masuk ICU. Kita ke rumah sakit sekarang.” Abian membawa mobil percis sedang balapan. Natasya yang duduk disebelahnya tentu tahu kalau suami bayarannya pasti tengah ketakutan karena tahu-tahu mamanya masuk ICU. Ia pun sedikit khawatir pada kondisi mertuanya. “Dok, tenang ya. Aku tahu dokter Abian takut banget mama—kenapa-napa. Tapi kalo bawa mobilnya sengebut ini, justru kita yang akan celaka.” Abian melirik Natasya sebentar. Ia memelankan laju mobil, “Mama gak bilang sama kita kalo dadanya terasa nyeri sehabis acara kemarin. Kalo kita tahu lebih awal, mama—” Natasya tentu mengerti dengan rasa khawatir itu. Ia pernah merasakan apa yang Abian rasakan, tapi bukan pada mamanya. Ia merasakan itu pada Alan, ketika mereka kecelakaan empat t
Abian tak berhenti berjalan mondar-mandir di ruang tunggu operasi ditemani Natasya dan papa. Ia terus melihat jam tangan, memperkirakan kapan operasi akan selesai. “Dok, duduk aja. Operasinya baru jalan dua jam.” Papa melirik Natasya, “Sya, kok panggil Abian dokter?” Natasya dan Abian saling lirik. “Hehehe, aku—kebiasaan manggil dia dokter, pa. Maksud aku—mas Abian.” Abian duduk disamping Natasya. Wajahnya sedikit pucat. Natasya yang baru kecolongan dari papa barusan, berusaha memberikan perhatian seorang istri pada suaminya. “Mas, minum dulu.” Natasya memberikan botol tumblernya pada Abian. Abian menerima botol itu dan meneguk air cukup banyak. “Mas, tenang, ya, yang operasi mama adalah teman sejawat kamu. Dokter Farhan pasti sehabat kamu, yang tahu banyak hal, yang sudah berpengalaman. Kita bantu doa disini.” Abian melirik istrinya. Jujur, mendengar ucapannya membuatnya jauh lebih tenang. Ia menggenggam tangan Natasya erat, “Makasih ya, sayang.” Natasya menganggu
“Mas, tunggu.” Abian tak mengindahkan panggilan Natasya. Ia sudah memakai masker dan baju khusus untuk bertemu mama di ICU, “Ma?” “Bi, Natasya mana?” Natasya tertawa diluar ICU. Ia bersiap memakai masker lalu masuk, “Ma?” “Sini, sayang.” Natasya menggenggam tangan mama erat, “Mama udah gak akan sakit lagi sekarang. Aku seneng mama akan sehat dan terus nemenin mas Abian.” Mama tersenyum, “Nemenin kamu juga, nemenin cucu-cucu mama nanti dari kalian.” Natasya dan Abian saling beradu pandang. “Mama bersyukur sekali operasinya lancar. Mama gak merasakan takut sama sekali ketika mengingat janji kamu tadi.” Abian mengernyit, “Janji apa?” Mama menatap Abian, “Natasya janji sama mama, kalo hari ini mama mau operasi, kalian akan memenuhi apapun mau mama.” “Memang mama mau apa? Liburan ke luar negeri? Atau beli mobil baru?” tebak Abian. “Mama mau sesuatu yang gak bisa dibeli pakai uang, yaitu cucu.” Abian menahan marah selama dihadapan mama. Setelah yakin mama baik-ba
Natasya tak banyak bicara setelah Vina menyampaikan praduganya. Ia juga kembali fokus dengan kegiatannya.Pintu ruang piket terbuka. Irvan yang masuk. Ia yang tak menduga ada Natasya disini, langsung merapikan penampilannya.Vina melirik Irvan sekilas, “Gak usah rapi-rapi amat, Natasya udah jadi istri orang.”Irvan dan Natasya saling lirik.“Apaan sih.” Irvan salah tingkah karena ketahuan.“Saya tahu dokter Irvan suka sama Natasya.” cuap Vina sambil menggerakkan kedua alisnya.“Vin, lo ngomong apa sih?” sikut Natasya.Irvan duduk dihadapan Natasya, “Kok kamu ada disini, Sya? Eh—maksudnya dokter Nat—”“Gak papa, dok, panggil Sya aja.”Irvan manggut-manggut, “Abian—mana?”“Lagi nyiapin senjata.” sahut Vina. “Senjata? Emang ada perang apa?”Vina tertawa, “Mau bikin dede lah, dok. Mamanya dokter Abian ‘kan udah nagih cucu. Jadi mereka harus rajin bikinnya.”Wajah Irvan seketika pucat.“Kaki Natasya sampe biru-biru karena mereka—mainnya sangat bergairah.” Vina yang ekspresif
Natasya sudah menyiapkan diri untuk mendapatkan amukan suaminya. Tentu ia sudah terbiasa selama dua tahun ini, menyiapkan jantungnya untuk menerima bentakan yang keluar hampir setiap hari. Abian hanya tidak membentaknya saat ia libur. Terbayang ‘kan bagaimana Natasya tahu betul karakter suaminya? “Kamu—pinter juga.” Natasya tak percaya dengan apa yang ia dengar, “Hah?” “Saya udah kirim foto-foto pemotretan kita sama Aca. Dia gak bales sama sekali. Mungkin dia marah banget. Dia pasti tambah marah setelah tahu kalo—kita main gila sebelum nikah.” Natasya mendelik, “Gak gratis ya itu, dok. Aku udah pasang muka beton waktu bilang itu. Malu tauk merendahkan diri jadi residen yang merangkap ani-ani.” “Gampang. Saya bayar double, karena—kamu pinter.” Natasya tersenyum sumringah, “Serius, dok? Ahhh, makasih banyak ya, dok.” “Kita temuin mama. Katanya mama maksa pengen ketemu kamu.” Natasya memberikan tanda hormat, “Siap, yang ini gak perlu di bayar.” “Geer. Emang kamu pikir
Mama dan Abian membuang nafas kesal ketika tahu yang datang adalah papa. Sedang Natasya hanya mengeratkan tubuh Haikal pada tubuhnya karena takut terjadi pertengkaran antara papa dan mama.“Mau apa lagi kamu kesini?” tanya mama lugas.“Mira, maafkan aku. Setelah resmi bercerai, aku merasa—tidak bisa kehilanganmu. Aku yakin kamu dan Abian juga begitu. Apa tidak sebaiknya kita kembali?”Mama tertawa, “Kembali? Jangan mimpi kamu! Aku dan Abian sangat baik-baik saja setelah kita tidak lagi terikat pernikahan. Berani sekali kamu menginjakkan kaki di rumahku lagi. Pergi!”Papa bersimpuh di kaki mama, “Tolong berikan kesempatan kedua, Mir. Aku tidak punya apa-apa lagi sekarang.”Mama tertawa lagi, “Bukankah kamu punya perempuan itu? Tinggallah bersamanya dan jangan ganggu kami lagi!”“Mir, Aca menjual semua asetku tanpa diketahui. Kamu benar, dia memang perempuan ular. Aku mohon terima aku kembali.”Mama melirik Abian sebelum pergi, “Mama mau istirahat.”
Tujuh bulan kemudian... Natasya kesusah berjalan, ketika kehamilannya mencapai usia tiga puluh empat minggu. Ia sudah cuti sejak dua bulan lalu karena sempat keluar flek. Abian, mama mertua, papa-mama, serta Vina dan Irvan tentu sangat khawatir dan memintanya untuk cuti. Natasya setuju. Ia rela tak lulus tepat waktu asalkan anaknya baik-baik saja. “Mas, plis aku mau ikut ke rumah sakit.” Natasya mengejar Abian yang bolak-balik membawa laptop dan jurnal di ruang kerja. “Mending kamu istirahat deh, mau ngapain sih ke rumah sakit?” “Aku bosen tahu di rumah terus. Habis keliling poli bedah kardiotoraks aku pulang kok.” Abian tertawa, “Kamu pengen anak kita juga jadi bagian bedah kardiotoraks?” “Oh iya dong, dia harus ikutin jejak kita.” Natasya diam sejenak, “Enggak deh, mending dia ambil spesialis lain. Mas, ya, plisss. Aku gak akan capek-capek kok.” Abian membalikkan badan. Ia mengelus perut bulat
“Nat! Jangan dipukul-pukul! Nat!” Abian berusaha mengambil tangan Natasya yang terus memukul-mukuli perutnya. Pintu terbuka. Semua orang yang semula menunggu di luar ruangan, masuk karena mendengar suara pekikkan Natasya. “Nat?” Vina memanggil lirih. “Vin, tolong panggilin perawat!” Vina mengangguk. Ia berlari keluar ruangan untuk memanggil perawat jaga. Tak lama dua perawat masuk membuntut dibelakang tubuhnya. “Tenang, ya, bu. Yang lain boleh menunggu diluar.” Abian melepaskan pelukannya yang kencang pada tubuh Natasya. Ia terpaksa keluar karena tak mau mengganggu proses pemeriksaan. Setelah pintu ditutup, satu perawat menenangkan Natasya, dan yang lain menyuntikkan obat penenang dosis rendah yang aman untuk wanita hamil pada punggung tangannya. Perlahan, tubuh Natasya yang mengamuk mulai tenang. “Bu, tenang ya. Ibu sedang hamil muda. Stress sedikit pun akan mempengaruhi tumbuh kem
Tok-Tok-Tok“Sya? Papa mohon kita bicara dulu.” Papa mengernyit, “Kok sepi, ya?”Ceklek.“Sya!” papa melotot melihat Natasya pingsan, “Sya, bangun, Sya!”Papa menangis sambil merogoh ponsel di saku celana. Papa langsung menelpon seseorang, “Angkat Abian, angkat.”“Halo, pa?”“Bi, pulang ke rumah, Natasya pingsan.” kata papa dengan panik.“Iya, pa, saya kesana sekarang.”Papa mengangkat tubuh Natasya ke atas ranjang, “Ya ampun, Sya, kamu kenapa begini sih?”Tak lama Abian datang bersama Haikal yang masih bersamanya.“Nat?” Abian mendekati Natasya, “Kapan Natasya pingsan, pa?”“Papa gak tahu. Tadi pulang-pulang dia langsung masuk kamar. Papa gak tahu kenapa Natasya pingsan.”“Tadi Natasya sempet mual dan muntah karena aroma kari. Mungkin asam lambungnya kambuh. Kita bawa Natasya ke rumah sakit, pa.”***Natasya membuka matanya perlahan saat membaui bau obat yang kentara. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mencari seseo
“Gimana mungkin aku percaya? Kamu ajak aku sama Ical kesini, dan tiba-tiba ada dia. Kamu pikir aku bisa nyangka semuanya kebetulan?”“Aca lewat depan resto dan gak sengaja liat aku. Begitu ‘kan, Ca?”Aca menatap Natasya, “Gue sama Abian janjian disini, Nat, seperti yang udah-udah. Lo mungkin pernah denger kalo restoran ini adalah tempat pertama kita ketemu. Gue—menyesali perbuatan kemarin dan berniat—”Abian melotot tak percaya pada ucapan Aca, "Ca! Kamu ngomong apa sih? Jelas-jelas kamu tadi bilang gak sengaja liat aku sama Ical ada disini.”.Natasya menggeleng, “Udah cukup, mas, kamu nyakitin aku! Keputusannya udah aku pikirin baik-baik. Aku mau kita pisah!” ia membawa tas tangan dan berjalan keluar dengan cepat.“Mami!” Haikal mengejar Natasya.“Nat, tunggu! Nat, semua gak seperti yang kamu pikirin. Tanya aja sama Ical, dia denger semuanya.” Abian berlari mengejar Natasya yang terus berjalan ke luar pelataran resto.Natasya menemukan taksi yang
Selesainya sesi foto dan pembagian hadiah, Natasya langsung memesan taksi online. Ia menatap baju kaos putih yang dikenakannya masih bersih. Matanya mengedar, melihat baju para orang tua dan wali lain—penuh dengan cat. Ia tak bisa mengikuti lomba karena saat baru menuangkan pewarna pada wadah, Abian harus mengangkat telpon dan mereka di diskualifikasi.Natasya membuang nafas berkali-kali saat sadar Haikal marah padanya dan Abian. Semua memang salahnya. Mungkin kalau ia tak membahas rahasia pernikahan kontrak itu, mereka masih bisa sama-sama dan pergi menagih traktiran dari Abian.TAP!Sebuah tangan menempel dibelakang baju Natasya, membuatnya refleks menoleh, “Ical?”Wajah Ical yang cemberut berubah ceria. Mulutnya tersenyum, menampilkan gigi rapinya berderes cantik, “Baju kita bersih, aku gak suka. Mami mau bikin kenang-kenangan gak di baju aku?”Natasya mengangguk.Haikal menuangkan cat warna dari botol pada telapak tangan Natasya, “Tempelin, mi,
Masih banyak perlombaan yang harus di ikuti, tapi Abian terus mendapat telpon darurat. Untungnya ia tak perlu ke rumah sakit, hanya perlu memantau kondisi pasien melalui via telpon.“Mas?” Abian menoleh.Natasya membawakan minuman yang dibagikan pihak sekolah, “Minum dulu.”“Makasih.”Mereka duduk di bawah pohon saat lomba masih berlangsung. Kini tengah di adakan lomba bakiak antar keluarga.“Ical gak ngambek karena kita di diskualifikasi dari lomba?”“Enggak kok. Temen-temennya juga banyak yang gak bisa ikut karena orang tuanya gak dateng.”Abian melirik Natasya, “Kamu seneng hari ini?”Natasya tersenyum, “Banget, mas. Lumayan lah kita menang di dua lomba.”“Pengennya pasti kamu menang di semua lomba.”Natasya melirik Abian dan mengangguk, “Oh iya dong, harusnya semua lomba. Hadiahnya ‘kan lumayan.”“Nanti aku yang akan kasih hadiah buat kamu dan Ical.”Senyum Natasya luntur, “Gak usah, mas, buat Ical aja.”Haik
“Ical kebagian lomba apa? Katanya orang tua atau walinya harus ikutan ya?” Natasya berusaha mengalihkan topik.“Banyak lombanya, mi. Semua anak harus ngikutin semua kegiatan sama orang tuanya. Mama papa aku gak bisa dateng. Untungnya kalian bisa. Makasih ya, mi, pi.”“Sama-sama, Cal.” Abian mengacak-acak rambut Haikal yang sudah tumbuh.“Ya udah kita ke lapang, mi, pi.”Haikal berlari lebih dulu ke tengah lapang. Sedang Abian menarik lengan Natasya yang baru akan melangkah.“Nat, untuk hari ini aja, kita lupain gencatan senjata yang ada di depan Ical.”“Iya, mas.”“Ya udah kita kesana.” Abian menuntun Natasya ke lapang.Sebelum memasuki lapang, panitia memberikan kaos putih berlengan pendek untuk dikenakan semua orang tua atau wali. Siswa sendiri sudah memakai baju itu sedari dari rumah.“Untuk orang tua wali langsung berbaris ya di barisan orang tua sesuai angkatan siswa. Kami sudah memberikan tanda disetiap sudut.” panitia memberikan ar
Natasya baru selesai jaga malam. Sudah tiga hari ia menginap di rumah papa dan tidur berdua dengan mama. Papa mengalah. Papa memilih menginap di rumah temannya karena tidak mungkin satu atap dengan mama meski ada anak mereka. “Balik kemana sekarang?” tanya Vina yang juga baru selesai jaga malam. “Gak balik gue.” Natasya sibuk menalikan sepatunya. “Jangan gila lo. Kita gak tidur semaleman karena bangsal lagi rame. Kita juga bolak-balik UGD terus.” “Gue mau ke suatu tempat.” “Kemana?” Natasya menutup pintu loker dan merapikan bajunya, “Ada aja. Gak mau bilang, takut lo ikut.” “Idih. Gue sibuk kali, mau ngurus bocah. Eh, lo—kapan kasih keputusan sama dokter Abian?” Natasya diam. Vina menyikut, “Jangan lama-lama. Kalo lo emang mau lepasin dia ya udah. Banyak residen tahun pertama yang antre tuh.” “Hah? Mereka gak tahu dia suami gue?!” Vina tertawa, “Lo tuh maruk amat