“Mas, tunggu.” Abian tak mengindahkan panggilan Natasya. Ia sudah memakai masker dan baju khusus untuk bertemu mama di ICU, “Ma?” “Bi, Natasya mana?” Natasya tertawa diluar ICU. Ia bersiap memakai masker lalu masuk, “Ma?” “Sini, sayang.” Natasya menggenggam tangan mama erat, “Mama udah gak akan sakit lagi sekarang. Aku seneng mama akan sehat dan terus nemenin mas Abian.” Mama tersenyum, “Nemenin kamu juga, nemenin cucu-cucu mama nanti dari kalian.” Natasya dan Abian saling beradu pandang. “Mama bersyukur sekali operasinya lancar. Mama gak merasakan takut sama sekali ketika mengingat janji kamu tadi.” Abian mengernyit, “Janji apa?” Mama menatap Abian, “Natasya janji sama mama, kalo hari ini mama mau operasi, kalian akan memenuhi apapun mau mama.” “Memang mama mau apa? Liburan ke luar negeri? Atau beli mobil baru?” tebak Abian. “Mama mau sesuatu yang gak bisa dibeli pakai uang, yaitu cucu.” Abian menahan marah selama dihadapan mama. Setelah yakin mama baik-ba
Natasya tak banyak bicara setelah Vina menyampaikan praduganya. Ia juga kembali fokus dengan kegiatannya.Pintu ruang piket terbuka. Irvan yang masuk. Ia yang tak menduga ada Natasya disini, langsung merapikan penampilannya.Vina melirik Irvan sekilas, “Gak usah rapi-rapi amat, Natasya udah jadi istri orang.”Irvan dan Natasya saling lirik.“Apaan sih.” Irvan salah tingkah karena ketahuan.“Saya tahu dokter Irvan suka sama Natasya.” cuap Vina sambil menggerakkan kedua alisnya.“Vin, lo ngomong apa sih?” sikut Natasya.Irvan duduk dihadapan Natasya, “Kok kamu ada disini, Sya? Eh—maksudnya dokter Nat—”“Gak papa, dok, panggil Sya aja.”Irvan manggut-manggut, “Abian—mana?”“Lagi nyiapin senjata.” sahut Vina. “Senjata? Emang ada perang apa?”Vina tertawa, “Mau bikin dede lah, dok. Mamanya dokter Abian ‘kan udah nagih cucu. Jadi mereka harus rajin bikinnya.”Wajah Irvan seketika pucat.“Kaki Natasya sampe biru-biru karena mereka—mainnya sangat bergairah.” Vina yang ekspresif
Natasya sudah menyiapkan diri untuk mendapatkan amukan suaminya. Tentu ia sudah terbiasa selama dua tahun ini, menyiapkan jantungnya untuk menerima bentakan yang keluar hampir setiap hari. Abian hanya tidak membentaknya saat ia libur. Terbayang ‘kan bagaimana Natasya tahu betul karakter suaminya? “Kamu—pinter juga.” Natasya tak percaya dengan apa yang ia dengar, “Hah?” “Saya udah kirim foto-foto pemotretan kita sama Aca. Dia gak bales sama sekali. Mungkin dia marah banget. Dia pasti tambah marah setelah tahu kalo—kita main gila sebelum nikah.” Natasya mendelik, “Gak gratis ya itu, dok. Aku udah pasang muka beton waktu bilang itu. Malu tauk merendahkan diri jadi residen yang merangkap ani-ani.” “Gampang. Saya bayar double, karena—kamu pinter.” Natasya tersenyum sumringah, “Serius, dok? Ahhh, makasih banyak ya, dok.” “Kita temuin mama. Katanya mama maksa pengen ketemu kamu.” Natasya memberikan tanda hormat, “Siap, yang ini gak perlu di bayar.” “Geer. Emang kamu pikir
Semalaman Natasya tidur di ruang bangsal VIP dimana nanti mama akan dibawa kesini jika kondisinya sudah stabil. Abian menemaninya, tapi entah ia tiba-tiba menghilang saat Natasya bangun pagi buta. “Dia ke ICU kali.” Natasya meraba nakas mencari ponselnya, “Gue masih cuti hari ini. Apa—gue jenguk Alan aja sebentar? Udah dua minggu gue gak liat kondisinya.” Natasya enggan beranjak dari ranjang. Ia baru kali ini merasakan pagi damai tanpa drama heboh dikejar laporan rekam medis anak ko-as yang masih berantakkan, drama dikejar jadwal konsultasi rawat jalan, visit dan operasi juga. “Kalo bisa gue berhenti jadi dokter. Tapi Alan pengen banget gue bisa ngejar mimpi gue. Mimpi gue sederhana kok. Gue cuma mau jadi istri Alan dan punya dua anak lucu dan pinter. Gue anterin mereka ke sekolah, habis itu gue masak dan berduaan sama Alan. Tapi—keadaan Alan yang sakit bikin gue harus kerja sendirian.” Natasya menangis, “Ini semua gara-gara gue. Kalo waktu itu gue gak maksa kita pulang naek mot
“A-ku... aku ke rumah sakit sekarang. Aku tutup ya, dok.” Pikiran Natasya bercabang ketika motor melaju pelan karena jalanan macet. Ia mendengar nafas Abian seperti menahan diri. Apakah terjadi sesuatu pada mama? Macet tambah parah ketika dekat dengan gedung rumah sakit. Ada banyak ambulance yang keluar masuk. “Bang, saya turun disini aja.” Natasya membuka helmet, “Makasih ya.” Natasya berlari memasuki lobi. Lift yang tak kunjung terbuka membuatnya terpaksa harus menaiki tangga evakuasi. Ia yang tak tahu apakah mama masih di ruang ICU atau sudah pindah ke bangsal, harus berlari ke lantai empat menuju ICU. Nafas Natasya tak beraturan. Ia jongkok ketika sampai lantai empat. Saat itu Abian yang sedang bicara dengan Irvan dan Vina menghampirinya. “Kamu tuh bisa gak sih gak hilang begini tanpa kabar!” Natasya berdiri, “Maaf—mas, aku—” Abian membantu istrinya berdiri. Ia juga memegangi kedua bahunya, “Kamu gak papa ‘kan?” Natasya mengangguk. Abian langsung memeluknya, “Syukurlah k
“Eum... saya kurang tahu, bu. Saya bisa rekomendasikan dokter bedah kardiotoraks yang lain pada ibu.” Ibu pasien itu menggeleng, “Saya hanya mau dokter Abian yang jadi dokter utamanya.” Natasya bingung harus menjelaskan bagaimana. Abian tidak mungkin tiba-tiba berubah pikiran lagi seperti kejadian malam itu. Abian datang. Ia menghampiri Natasya yang masih diam memikirkan jawaban terbaik untuk merayu wali pasien. “Dokter Natasya, segera tunggu di bangsal. Kita akan visit sebentar sebelum praktik. Saya akan melihat pasien kecelakaan sebentar.” “Dokter Abian?” Abian menoleh. Ia menatap wali pasien datar, “Ada yang bisa dibantu, bu?” “Dokter mungkin lupa pada saya. Dulu, lima tahun lalu, suami saya dokter yang operasi dengan kasus Kardiomiopati. Hari ini, anak saya juga mengalami hal yang sama. Dan dokter ini mengatakan harus segera diambil tindakan operasi.” “Lalu?” “Saya mau dokter Abian yang mengoperasi anak saya.” Abian melirik Natasya. “Saya sudah jelaskan dok,
Mama sudah diperbolehkan pulang setelah dirawat di bangsal perawatan selama empat hari. Begitu tiba di rumah, Abian meminta perawat yang ia minta khusus untuk menemani mama selama ia di rumah sakit, untuk memperlakukan mama dengan baik. Kalau tidak ia akan memarahinya. Ia juga meminta sang mama untuk tidak bandel dan nurut apa kata perawat. “Ya ampun, mas, suster pasti rawat mama dengan baik kok. Mama juga pasti nurut. Kamu sampe ngomong begitu.” Natasya kesal karena Abian sudah memperingatkan perawat beberapa kali. Mama tertawa, “Begitulah kalau sudah mode dokter, Nat. Dari dulu mama udah biasa di marahin terus.” “Harusnya mas jangan begitu. Kenapa sih marah-marah terus? Gak mungkin karena kekurangan kasih sayang mama ‘kan?” Abian mendecek, “Ini lagi, baru jadi istri saya satu minggu, kerjanya ngomel terus.” Perawat menahan tawa, “Mungkin balas dendam sama dokter Abian selama di rumah sakit.” Abian membuang nafas kesal, “Ma, aku tinggal ke kamar dulu, ya.” Abian beranj
Abian berdiri, “Siapa yang minta kamu kesini? Saya reservasi meja kamu diluar.” “Mas, kita—” Aca berdiri, “Natasya, cinta yang sudah ada selama tiga tahun, kamu pikir akan kalah dengan cinta paksaan dengan dalih restu?” Natasya tak langsung menjawab. Ia mencerna kejadian yang tengah dihadapainya. Abian marah padanya ketika ia menghampirinya kesini. Katakanlah mereka ketahuan. Tapi sikap Aca membuatnya meyakini sesuatu. Kalau pertemuan mereka bukan tidak sengaja. “Aku pulang.” Natasya melewati meja mereka. “Nat—” Abian menahan lengan Natasya. “Apa? Jadi yang mau berduaan malam ini kalian?” Aca tertawa, “Lo berharap Abi bener-bener menikahi lo karena mau nurut sama mamanya gitu? Nat, serius lo sepolos ini?” Natasya tersenyum. Ia jelas tahu Abian menikahinya hanya untuk membuat mama mau melakukan operasi. Tidak ada cinta diantara mereka. Tapi kalau Abian mau tetap berhubungan dengan Aca dibelakang mama, seharusnya suami bayarannya itu bicara padanya, tidak perlu diam-diam
Pov Abian Abian menurunkan tubuh Aca perlahan, “Mana mungkin aku ngelakuin itu sama Natasya. Aku udah bilang, kalau kita—gak pernah tidur satu ranjang.” “Tapi ucapan kamu menjurus ke sana, Bi. Kamu seolah cuma bisa ngelakuin itu sama dia.” Aca pura-pura ngambek. “Sayang, maksud aku itu kamu. Aku harus menikahi kamu dulu sebelum ngelakuin itu.” Aca mengelus pelan rahang Abian, “Tapi aku mau memberikannya secara suka rela, Bi, aku ikhlas.” “Ini bukan masalah ikhlas atau nggak. Aku punya adik perempuan, aku—mana mungkin ngerusak kamu? Aku juga gak mau kalo adikku—diperlakukan sama.” Aca mendelik, “Gak akan ada yang ngelakuin itu sama adik kamu, Bi.” Abian bangkit dari ranjang. Ia baru ingat, kalau sedang mencari tahu kenapa ada parfum lelaki disini, “Kenapa tadi kamu kaget waktu aku bilang mau kesini?” Aca berdiri. Ia menghentakkan kakinya, “Kamu tuh kenapa sih? Kamu curiga sama aku, iya?” “Aku cuma tanya. Kenapa sekarang kamu malah marah?” “Ya habis kamu aneh banget
Pov Abian Abian mendekati mama yang sedang membuka kotak obat. Perawat sudah tak lagi menemani disini, karena mama merasa sudah lebih sehat dan bisa melakukan aktivitas seperti biasa. “Mau kemana, Bi?” “Aku—ada yang mau dibeli, ma, buat besok.” “Udah, besok aja. Atau kamu pesen online. Udah malem.” “Barangnya agak susah kalo beli online atau besok.” Mama melirik keseluruhan ekspresi anaknya, “Kamu mau beli apa sih?” “Hm..” ia menyentuh lehernya, “Anu, ma.” Mama menarik lengan Abian agar duduk, “Kamu bukan mau kabur ketemu Aca ‘kan?” “Aca? Mama apa sih, aku udah janji sama mama gak akan ketemu dia lagi. Aku ngaku salah kemarin. Aku gak akan mengulangi kesalahan yang sama.” “Mama bisa pegang omongan kamu ‘kan?” “Iya dong. Mama tahu aku.” Mama mendecek, “Karena mama tahu kamu, makannya mama gak langsung percaya.” Abian menggenggam tangan mama, “Ma, aku ambil cuti ke Bali untuk memperbaiki hubungan aku sama Natasya. Aku emang belum mencintainya, tapi aku berusah
Natasya yang masih keukeuh tidak mau pulang, memutuskan untuk tidur di ruang piket. Tak ada yang mau digantikan shift olehnya, membuatnya ia uring-uringan sendiri. Ia pikir, berdiam diri diruang piket akan membuatnya senang dan nyaman. Nyatanya justru stress. Ia sudah biasa bekerja keras bagai Kuda, sehingga tidak cocok mode bermalas-malasan bagai Koala. Pintu ruang piket terbuka dan tak tertutup lagi. “Tutup lagi pintunya!” seru Natasya kesal. Beberapa dokter residen yang sedang menghapal dan hanya main ponsel, langsung berdiri. Mereka tak bicara apapun karena diminta diam oleh si orang yang baru masuk itu. Natasya mendengus kesal, “Kan udah dibilangin, tutup pintunya!” Tak ada pergerakkan pintu ditutup atau jawaban. Natasya bangkit dari kasur lantai atas. Ia yang sudah siap mengamuk, langsung diam saat Abian menatapnya tanpa bicara, “Dok?” “Ayo pulang.” “Tapi—” “Kamu lagi gak jaga malam ‘kan?” Natasya menatap dokter residen yang memperhatikan percakapan merek
Natasya merasa lega setelah mendapatkan hati mama kembali. Ia senang kalau Abian akan mendapatkan masalah dari perbuatannya sendiri. “Salah sendiri. Siapa suruh nuduh gue selalu milih Irvan? Dia tuh keterlaluan tahu gak! Harusnya di surat kontrak tertulis kalau pihak pertama gak bisa seenak jidat sama pihak kedua. Tapi gue puas, karena mama sekarang udah kembali ada dipihak gue.” Natasya berjalan menuju ruang operasi. Ia akan jadi asisten utama operasi kali ini. Menjelang ujian dan ia akan menjadi dokter bedah utama, ia menyibukkan diri di ruang operasi. “Dokter Farhan udah dateng?” tanyanya pada perawat. “Belum. Dia lagi ngobrol sama suami dokter.” “Dimana?” Natasya sedikit penasaran karena suami bayarannya ternyata masih ada disini. “Di depan. Dokter Abian dapat diskors selama tiga hari dari komisi disiplin, eh beliau malah nawar jadi satu minggu. Dokter Abian tuh aneh banget. Cuma dia yang berani nawar durasi diskors.” “Hah?” Natasya mematikan kran ketika melakukan as
Natasya turun dari taksi ketika sampai depan rumah. Ia memukul-mukul pundaknya yang terasa pegal. Mama menyambutnya. “Kamu mandi terus istirahat ya. Atau mau makan dulu?” “Aku tidur dulu deh, ma.” “Oh ya udah, nanti kita makan sama-sama ya.” “Mama duluan aja, ‘kan mama harus minum obat.” “Gak papa, tadi mama udah makan kue basah, jadi minum obatnya udah. Yaudah gih, istirahat.” Natasya masuk ke dalam rumah. Ia berlari menaiki tangga agar cepat sampai ke kamar Abian yang jadi kamarnya juga. Pintu kamar dibuka. Natasya terkejut melihat ada Abian, “Mas?” Abian yang sedang tiduran di ranjang, bangkit. Ia tengah memakai baju rumahan. “Mas, kamu—” “Iya, saya kena diskors. Puas kamu?” Natasya membuang nafas pelan, “Ya lagian, siapa suruh berantem sama Irvan di rumah sakit. Kayak baru pertama jadi dokter aja.” “Kamu nyalahin saya?” “Bukan nyalahin, tapi mengingatkan, kenapa bisa-bisanya dokter berantem? Terus kalau sekarang dokter dapet hukuman, emang itu salah aku
Semua orang mengerubungi Abian dan Irvan. Dokter Farhan yang akan mengambil ponsel di ruangannya, berusaha memisahkan dua sahabat yang entah kenapa malah saling pukul disini. “Bi, Van, lepas!” “Gue gak terima lo khianati gue begini, Van!” “Gue gak mengkhianati lo, Bi!” Abian memberikan satu pukulan lagi di rahang Irvan. “Abian! Jaga kewarasan lo!” teriak dokter Farhan, “Lo bisa dapet pendisiplinan!” “Gue gak peduli!” Abian menunjuk Irvan, “Inget ya, gue gak sudi temenan lagi sama lo, bajingan!” Irvan diam saja. Ia tentu ingin sekali membalas ucapan Abian, tapi tidak enak dengan yang lain. Ia juga tidak ingin mendapatkan pendisiplinan. Natasya yang pikir Abian pergi sudah pergi, mendapat laporan kalau suaminya bertengkar dengan Irvan sampai main pukul. Ia yang sudah ganti baju jaga, berlari mendekati TKP. “Mas?” Abian membuang nafas kasar melihat Natasya. Pikirannya melayang, mengingat Natasya dan Irvan bermain gila dibelakangnya. Ia pergi begitu saja meninggalkan l
“Mas Abian—aku dan dia suka lupa semuanya kalo udah mulai. Lagian dia lagi visit, Van, aku gak mau ganggu dia kerja. Aku mohon kamu bantu aku hilangin efek obat ini, aku mohon. Kamu mungkin tahu aku harus ngapain untuk menghentikan ini.” Irvan mengangguk, “Iya, aku tahu. Ayo ikut aku ke ruangan.” Natasya pasrah dituntun Irvan. Ia yakin sahabat suaminya itu tidak akan berani macam-macam, ia kenal baik siapa orang yang ia mintai bantuan. Irvan mempersilakan Natasya duduk. Ia menurunkan suhu AC dan memberikan air mineral dingin, “Minum, Sya.” Natasya meminum air itu. “Sebentar, aku ambil obatnya.” Irvan membuka laci meja, ia mencari obat yang semoga saja bisa membantu Natasya, “Sya, kamu minum ini. Kita coba ya, semoga berhasil.” Natasya mengangguk. Ia akan melakukan apapun untuk membuat dirinya lepas dari reaksi obat terkutuk ini. “Kita tunggu reaksi obatnya. Kalau gak berhasil kamu bisa mandi.” Natasya bangkit, ia berlari ke toilet untuk mandi. “Sya?” Kucuran shower
“Jadi tadi kamu nangis waktu saya cium karena ini?” Natasya menunduk. Sungguh ia yang oon, karena mengakui ini. Sekarang ia pusing sendiri menghadapi pertanyaan Abian. Abian mengelus bahu Natasya, “Maaf ya, saya gak tahu. Ke depannya saya usahakan tidak akan cium kamu lagi depan Irvan.” Abian pergi. Ia harus kembali ke ruang prakteknya, karena masih ada sisa pasien yang masih antre. Natasya sungguh menyesal menyebut nama Irvan, “Dokter Abian jadi agak gitu. Harusnya tadi gue sebut nama dokter lain, yang dia gak kenal. Meskipun dia kenal hampir semua dokter sih meskipun nyebelin dan galak.” Karena merasa harus istirahat setelah membantu operasi, Natasya bertolak ke ruang piket. Rencananya setelah tidur selama lima belas menit, akan membuat rekam medis dan menemani Abian visit. Di ruang piket, Natasya membuka kulkas kecil untuk membawa minuman dingin. Cuaca hari ini panas sekali. “Dokter Natasya.” Natasya menoleh, “Iya?” Dokter ko-as itu mendekati kulkas, ia mengambil
Natasya melotot dalam kungkungan tubuh Abian yang dua kali lipat lebih besar darinya. Ia mendorong tubuh suami bayarannya, tapi Abian malah lebih merapatkan tubuh mereka. Ia tidak tahu kenapa Abian melakukan itu tiba-tiba padanya. Mana pintu ruangan tidak ia tutup lagi. Sungguh Abian yang ceroboh. “Hmmmmpppp.” Natasya masih berusaha mendorong Abian. Kali ini berhasil. “Dok!” Abian tersenyum. Ia menyentuh bibir Natasya pelan. Natasya memukul dada Abian, “Dokter tuh—” “Ssssst!” “Apa sih?” Abian mendekati pintu. Ia melihat situasi diluar sana. Entah mencari apa, karena tak lama ia langsung menutup pintu, “Tadi ada Irvan ikutin kita. Saya—cuma mau mematahkan teori dia mengenai kamu hanya istri sewaan.” Natasya diam. Masuk akal juga yang dikatakannya, “Tapi jangan dadakan juga dong, cium akunya!” “Kalo saya kasih aba-aba, apa menurut kamu Irvan bisa percaya kita beneran nikah?” Kedua mata Natasya merah menahan tangis. Selama ini ia hanya melakukan ciuman dengan Alan,