Mama sudah diperbolehkan pulang setelah dirawat di bangsal perawatan selama empat hari. Begitu tiba di rumah, Abian meminta perawat yang ia minta khusus untuk menemani mama selama ia di rumah sakit, untuk memperlakukan mama dengan baik. Kalau tidak ia akan memarahinya. Ia juga meminta sang mama untuk tidak bandel dan nurut apa kata perawat. “Ya ampun, mas, suster pasti rawat mama dengan baik kok. Mama juga pasti nurut. Kamu sampe ngomong begitu.” Natasya kesal karena Abian sudah memperingatkan perawat beberapa kali. Mama tertawa, “Begitulah kalau sudah mode dokter, Nat. Dari dulu mama udah biasa di marahin terus.” “Harusnya mas jangan begitu. Kenapa sih marah-marah terus? Gak mungkin karena kekurangan kasih sayang mama ‘kan?” Abian mendecek, “Ini lagi, baru jadi istri saya satu minggu, kerjanya ngomel terus.” Perawat menahan tawa, “Mungkin balas dendam sama dokter Abian selama di rumah sakit.” Abian membuang nafas kesal, “Ma, aku tinggal ke kamar dulu, ya.” Abian beranj
Abian berdiri, “Siapa yang minta kamu kesini? Saya reservasi meja kamu diluar.” “Mas, kita—” Aca berdiri, “Natasya, cinta yang sudah ada selama tiga tahun, kamu pikir akan kalah dengan cinta paksaan dengan dalih restu?” Natasya tak langsung menjawab. Ia mencerna kejadian yang tengah dihadapainya. Abian marah padanya ketika ia menghampirinya kesini. Katakanlah mereka ketahuan. Tapi sikap Aca membuatnya meyakini sesuatu. Kalau pertemuan mereka bukan tidak sengaja. “Aku pulang.” Natasya melewati meja mereka. “Nat—” Abian menahan lengan Natasya. “Apa? Jadi yang mau berduaan malam ini kalian?” Aca tertawa, “Lo berharap Abi bener-bener menikahi lo karena mau nurut sama mamanya gitu? Nat, serius lo sepolos ini?” Natasya tersenyum. Ia jelas tahu Abian menikahinya hanya untuk membuat mama mau melakukan operasi. Tidak ada cinta diantara mereka. Tapi kalau Abian mau tetap berhubungan dengan Aca dibelakang mama, seharusnya suami bayarannya itu bicara padanya, tidak perlu diam-diam
Pagi saat hendak berangkat ke rumah sakit diantar supir keluarga, karena Abian tak terlihat batang hidungnya sama sekali sedari malam, Natasya melihat seseorang tengah tertawa dengan mama di teras rumah. “Ma, aku berangkat ke rumah sakit sekarang, ya?” Mama dan lelaki yang ternyata adalah Irvan membalikkan badannya. “Oh ya udah, kamu hati-hati.” “Van? Kamu ngapain disini? Kamu cari mas Abian, ya? Dia—” “Abian ke rumah sakit jam dua pagi, Nat. Katanya ada pasien yang kritis.” terang mama. “Oh, dia—pulang, ma?” “Iya, Abian pulang jam sepuluh. Kamu mungkin udah tidur nyenyak jadinya gak tahu.” “Hm iya, ma.” Natasya salim dan mencium sebelah pipi mama, “Pergi dulu ya, ma, jangan lupa obatnya di minum.” “Pasti.” “Sya, bareng aja, yuk.” ajak Irvan. Natasya masih ingat pesan mama semalam. Ia melirik mama lalu tersenyum, “Aku sama supir aja. Pak Ujang udah nunggu di depan. Kalo kamu masih mau disini nemenin mama, gak papa, Van.” “Iya, kamu disini dulu aja lah, tante ga
Natasya mengusap rambutnya dengan handuk kecil milik Irvan saat keluar dari ruangannya. Vina yang berjalan sambil bersenandung senang membawa puluhan rekam medis, menghentikan langkahnya. “Nat!” “Vin? Belum balik?” “Ini mau. Lo—ngapain disini?” Vina membaca nama yang tertera di pintu, “Dokter Irvan Aryanata, Sp.B? Lo gak salah masuk ruangan?” “Gue habis numpang mandi.” Vina memukul bahu Natasya, “Jangan gitu lo!” “Vin, sakit!” “Lo tuh punya suami. Ruangan pribadi suami lo ada kamar mandinya. Lo mandi lah disana. Jangan main gila lo, Nat!” “Numpang mandi namanya main gila? Lagian orangnya juga gak ada. Gak usah berlebihan, Vin.” “Ya elo kenapa numpang mandi di ruangan orang?” Natasya menggosok rambutnya, “Si siluman gak belain gue, jadi gue kesel.” “Ada apa sih, cerita sama gue.” “Gue baru dateng, mau gantiin lo shift. Seperti biasa gue naek tangga evakuasi. Lo tahu apa yang terjadi? Ada yang nyirem gue pake air bekas pel. Dan orang itu adalah mantan pacar si si
Natasya membuka baju operasi setelah menjadi asisten utama operasi SVC kiri pada pasien yang mengalami Perfusionist. Ia di ikuti dua dokter ko-as yang mengikuti jalannya operasi, untuk makan dikantin menggunakan fasilitas kartu akses milik dokter konsulen bedah tadi. “Kalian nanti mau masuk spesialis apa?” tanya Natasya mencoba mengakrabkan diri. “Saya masih bingung, dok. Saya dengar kalau masuk bedah kardiotoraks, waktu luang kita cuma sebentar ya, dok?” Natasya mengangguk, “Betul. Kalo kamu?” tanyanya pada anak ko-as lain. “Saya antara bedah umum atau spesialis kandungan, dok.” “Manteeep. Nanti kalo jadi masuk bedah kandungan, kabarin ya, saya mau konsul sama kamu. Nanti saya bantu rekomendasikan pada dokter lain.” “Terima kasih, dok. Kalo dokter jadi pasien saya, akan saya kasih gratis.” Natasya tertawa, “Jangan, gak usah begitu. Kamu kuliah udah mahal, belum lagi perjuangannya panjang banget. Kasih harga normal aja. Saya senang bisa bantu rekan sejawat.” “Kenapa do
Natasya terbangun setelah langit berubah gelap. Ia mengucek mata dan melotot terkejut bisa tidur di rooftop. Ia bangkit sekaligus. “Gue dimana?” Mendengar suara ambulance yang saling beradu, membuatnya berlari mendekati dinding pembatas untuk melihat halaman gedung rumah sakit. “Ini jam berapa?” Natasya menatap ponsel yang ada digenggaman tangannya yang mati, “Duh, mati lagi.” Natasya sangat kebingungan. Ingatan terakhirnya adalah ia sedang di UGD bersama Vina, membantu pasien yang mengalami henti jantung. Setelah itu ia tak mengingat apapun. “Apa bener dokter Abian bilang, kalo gue suka ngelindur jalan sendiri? Gue tadi ada di UGD, tapi sekarang ada—disini? Tapi kalo gue ngelindur gue harusnya lagi tidur. Tadi gue—tidur? Dimana?” Natasya cepat mendekati pintu. Ia membuka handelnya tapi tak terbuka. “Toloooong! Tolong bantu saya! Saya terkunci di rooftop!” “Siapapun yang ada diluar, tolong bantu saya!” Natasya memukul pintu, “ Sial! Pasti ada yang jebak gue disini. T
Natasya mengangguk pelan. Abian membuka jam tangannya. Ia terus menatap Natasya yang duduk bersandar diranjang, “Kamu siap?” “Jangan pegang apapun.” “Iya, saya ngerti.” Abian mendekati tubuh Natasya, “Aku buka sekarang, ya?” “Dok, apa—gak papa?” “Kamu gak percaya sama saya?” “Aku ganti baju sendiri aja.” Natasya berusaha turun dari ranjang. Abian bangkit. Ia ingin melihat seberapa bisa Natasya bergerak sendiri. Tubuh Natasya ambruk. “Coba kamu jalan sendiri ke kamar mandi.” Natasya mendelik kesal, “Gak mau bantu istrinya banget sih.” “Saya udah bantu kamu, dari tadi malah. Tapi kamu gak percaya ‘kan sama saya?” Abian membantu Natasya duduk di ranjang, “Jangan ngeyel. Saya buka baju kamu sekarang.” Natasya menutup matanya saat tangan Abian mengangkat baju jaga yang ia kenakan. Baju jaga itu sudah kotor, penuh dengan debu karena ia tidur seharian di rooftop. “Sekarang celananya.” “Dok!” “Ya udah kita mandi begini aja. Saya gendong ke kamar mandi.” Natasy
Natasya terus menutup wajahnya dengan bantal saat Abian selesai mandi dan mendekati ranjang. “Kamu udah makan?” “Ya itu ada bekasnya.” tunjuknya pada piring kosong di atas nakas. “Hm.” “Dokter mau aku ambilin makan gak?” “Saya gak suka kamar bau makanan.” Natasya menurunkan bantal, “Maaf. Nanti aku semprot pake pewangi ruangan.” “Gak papa. Kamu jangan langsung tidur, nanti—” “Aku ini dokter juga, aku tahu.” Abian meraih ponselnya di nakas. Natasya mengintip kegiatan Abian dari balik bantal yang masih ia pakai untuk menutup wajahnya, “Dokter gak keluar?” “Keluar mana? Ke luar angkasa?” “Ke luar—kamar.” “Kenapa? Kamu ngusir saya?” “Dokter ‘kan mau makan.” “Saya gak biasa makan sendiri di rumah. Berhubung mama pasti udah tidur, kamu harus temani saya makan.” Natasya menaruh bantal di ranjang, juga membawa piring dan gelas bekasnya, “Aku ke ruang makan duluan.” Natasya benar-benar tak habis pikir dengan sikap acuh Abian, seolah beberapa waktu lalu tidak t
Natasya yang masih keukeuh tidak mau pulang, memutuskan untuk tidur di ruang piket. Tak ada yang mau digantikan shift olehnya, membuatnya ia uring-uringan sendiri. Ia pikir, berdiam diri diruang piket akan membuatnya senang dan nyaman. Nyatanya justru stress. Ia sudah biasa bekerja keras bagai Kuda, sehingga tidak cocok mode bermalas-malasan bagai Koala. Pintu ruang piket terbuka dan tak tertutup lagi. “Tutup lagi pintunya!” seru Natasya kesal. Beberapa dokter residen yang sedang menghapal dan hanya main ponsel, langsung berdiri. Mereka tak bicara apapun karena diminta diam oleh si orang yang baru masuk itu. Natasya mendengus kesal, “Kan udah dibilangin, tutup pintunya!” Tak ada pergerakkan pintu ditutup atau jawaban. Natasya bangkit dari kasur lantai atas. Ia yang sudah siap mengamuk, langsung diam saat Abian menatapnya tanpa bicara, “Dok?” “Ayo pulang.” “Tapi—” “Kamu lagi gak jaga malam ‘kan?” Natasya menatap dokter residen yang memperhatikan percakapan merek
Natasya merasa lega setelah mendapatkan hati mama kembali. Ia senang kalau Abian akan mendapatkan masalah dari perbuatannya sendiri. “Salah sendiri. Siapa suruh nuduh gue selalu milih Irvan? Dia tuh keterlaluan tahu gak! Harusnya di surat kontrak tertulis kalau pihak pertama gak bisa seenak jidat sama pihak kedua. Tapi gue puas, karena mama sekarang udah kembali ada dipihak gue.” Natasya berjalan menuju ruang operasi. Ia akan jadi asisten utama operasi kali ini. Menjelang ujian dan ia akan menjadi dokter bedah utama, ia menyibukkan diri di ruang operasi. “Dokter Farhan udah dateng?” tanyanya pada perawat. “Belum. Dia lagi ngobrol sama suami dokter.” “Dimana?” Natasya sedikit penasaran karena suami bayarannya ternyata masih ada disini. “Di depan. Dokter Abian dapat diskors selama tiga hari dari komisi disiplin, eh beliau malah nawar jadi satu minggu. Dokter Abian tuh aneh banget. Cuma dia yang berani nawar durasi diskors.” “Hah?” Natasya mematikan kran ketika melakukan as
Natasya turun dari taksi ketika sampai depan rumah. Ia memukul-mukul pundaknya yang terasa pegal. Mama menyambutnya. “Kamu mandi terus istirahat ya. Atau mau makan dulu?” “Aku tidur dulu deh, ma.” “Oh ya udah, nanti kita makan sama-sama ya.” “Mama duluan aja, ‘kan mama harus minum obat.” “Gak papa, tadi mama udah makan kue basah, jadi minum obatnya udah. Yaudah gih, istirahat.” Natasya masuk ke dalam rumah. Ia berlari menaiki tangga agar cepat sampai ke kamar Abian yang jadi kamarnya juga. Pintu kamar dibuka. Natasya terkejut melihat ada Abian, “Mas?” Abian yang sedang tiduran di ranjang, bangkit. Ia tengah memakai baju rumahan. “Mas, kamu—” “Iya, saya kena diskors. Puas kamu?” Natasya membuang nafas pelan, “Ya lagian, siapa suruh berantem sama Irvan di rumah sakit. Kayak baru pertama jadi dokter aja.” “Kamu nyalahin saya?” “Bukan nyalahin, tapi mengingatkan, kenapa bisa-bisanya dokter berantem? Terus kalau sekarang dokter dapet hukuman, emang itu salah aku
Semua orang mengerubungi Abian dan Irvan. Dokter Farhan yang akan mengambil ponsel di ruangannya, berusaha memisahkan dua sahabat yang entah kenapa malah saling pukul disini. “Bi, Van, lepas!” “Gue gak terima lo khianati gue begini, Van!” “Gue gak mengkhianati lo, Bi!” Abian memberikan satu pukulan lagi di rahang Irvan. “Abian! Jaga kewarasan lo!” teriak dokter Farhan, “Lo bisa dapet pendisiplinan!” “Gue gak peduli!” Abian menunjuk Irvan, “Inget ya, gue gak sudi temenan lagi sama lo, bajingan!” Irvan diam saja. Ia tentu ingin sekali membalas ucapan Abian, tapi tidak enak dengan yang lain. Ia juga tidak ingin mendapatkan pendisiplinan. Natasya yang pikir Abian pergi sudah pergi, mendapat laporan kalau suaminya bertengkar dengan Irvan sampai main pukul. Ia yang sudah ganti baju jaga, berlari mendekati TKP. “Mas?” Abian membuang nafas kasar melihat Natasya. Pikirannya melayang, mengingat Natasya dan Irvan bermain gila dibelakangnya. Ia pergi begitu saja meninggalkan l
“Mas Abian—aku dan dia suka lupa semuanya kalo udah mulai. Lagian dia lagi visit, Van, aku gak mau ganggu dia kerja. Aku mohon kamu bantu aku hilangin efek obat ini, aku mohon. Kamu mungkin tahu aku harus ngapain untuk menghentikan ini.” Irvan mengangguk, “Iya, aku tahu. Ayo ikut aku ke ruangan.” Natasya pasrah dituntun Irvan. Ia yakin sahabat suaminya itu tidak akan berani macam-macam, ia kenal baik siapa orang yang ia mintai bantuan. Irvan mempersilakan Natasya duduk. Ia menurunkan suhu AC dan memberikan air mineral dingin, “Minum, Sya.” Natasya meminum air itu. “Sebentar, aku ambil obatnya.” Irvan membuka laci meja, ia mencari obat yang semoga saja bisa membantu Natasya, “Sya, kamu minum ini. Kita coba ya, semoga berhasil.” Natasya mengangguk. Ia akan melakukan apapun untuk membuat dirinya lepas dari reaksi obat terkutuk ini. “Kita tunggu reaksi obatnya. Kalau gak berhasil kamu bisa mandi.” Natasya bangkit, ia berlari ke toilet untuk mandi. “Sya?” Kucuran showe
“Jadi tadi kamu nangis waktu saya cium karena ini?” Natasya menunduk. Sungguh ia yang oon, karena mengakui ini. Sekarang ia pusing sendiri menghadapi pertanyaan Abian. Abian mengelus bahu Natasya, “Maaf ya, saya gak tahu. Ke depannya saya usahakan tidak akan cium kamu lagi depan Irvan.” Abian pergi. Ia harus kembali ke ruang prakteknya, karena masih ada sisa pasien yang masih antre. Natasya sungguh menyesal menyebut nama Irvan, “Dokter Abian jadi agak gitu. Harusnya tadi gue sebut nama dokter lain, yang dia gak kenal. Meskipun dia kenal hampir semua dokter sih meskipun nyebelin dan galak.” Karena merasa harus istirahat setelah membantu operasi, Natasya bertolak ke ruang piket. Rencananya setelah tidur selama lima belas menit, akan membuat rekam medis dan menemani Abian visit. Di ruang piket, Natasya membuka kulkas kecil untuk membawa minuman dingin. Cuaca hari ini panas sekali. “Dokter Natasya.” Natasya menoleh, “Iya?” Dokter ko-as itu mendekati kulkas, ia mengambil
Natasya melotot dalam kungkungan tubuh Abian yang dua kali lipat lebih besar darinya. Ia mendorong tubuh suami bayarannya, tapi Abian malah lebih merapatkan tubuh mereka. Ia tidak tahu kenapa Abian melakukan itu tiba-tiba padanya. Mana pintu ruangan tidak ia tutup lagi. Sungguh Abian yang ceroboh. “Hmmmmpppp.” Natasya masih berusaha mendorong Abian. Kali ini berhasil. “Dok!” Abian tersenyum. Ia menyentuh bibir Natasya pelan. Natasya memukul dada Abian, “Dokter tuh—” “Ssssst!” “Apa sih?” Abian mendekati pintu. Ia melihat situasi diluar sana. Entah mencari apa, karena tak lama ia langsung menutup pintu, “Tadi ada Irvan ikutin kita. Saya—cuma mau mematahkan teori dia mengenai kamu hanya istri sewaan.” Natasya diam. Masuk akal juga yang dikatakannya, “Tapi jangan dadakan juga dong, cium akunya!” “Kalo saya kasih aba-aba, apa menurut kamu Irvan bisa percaya kita beneran nikah?” Kedua mata Natasya merah menahan tangis. Selama ini ia hanya melakukan ciuman dengan Alan,
Vina turun dari taksi saat Abian dan Irvan saling tatap, dan Natasya hanya melirik mereka berdua datar. “Selamat pagi dokter Abian.” sapa Vina. “Pagi.” Abian berjalan cepat memasuki lobi. “Nat, lo gak masuk?” “Ini mau masuk. Van, sekali lagi makasih. Aku tinggal.” Vina yang tak tahu apa yang baru saja dilewatkannya, melirik Irvan, “Ada apa?” “Gak ada.” Vina memicinkan matanya, “Dokter jangan ganggu Natasya terus dong. Itu dokter Abian pasti cemburu.” Irvan berdehem, “Vin, kamu deket banget sama Natasya ‘kan?” Vina mengangguk semangat. “Sedeket apa?” “Sedeket nadi.” Irvan melotot. “Hehehe, bercanda. Sedeket itu lah, namanya sahabat.” Irvan mengedarkan matanya, “Kamu gak kaget waktu mereka nikah?” “Kaget, dok, sampe loncat waktu menyusui suami saya begitu Natasya kasih undangan digital.” Irvan mengernyit. “Ini ekspresi kaget atau heran nih, saya nyusuin suami saya?” “Bukan soal nyusuin. Kamu jangan bikin saya iri, dong. Saya ‘kan—juga mau nyusu, tapi—
Natasya memasukkan semua keperluannya ke dalam tas ransel yang akan ia bawa ke rumah sakit, di sofa ruang tamu. “Kamu udah gak papa, Nat?” tanya mama. “Gak papa kok, ma. Malem udah baikkan.” “Baikkan dong, ‘kan di urus sama suaminya.” tutur Abian mendekati Natasya. Mama tersenyum, “Makasih ya, Bi, udah mau ngurusin istrinya.” “Udah kewajiban aku, ma.” Abian membawa tas ransel Natasya, “Ma, berangkat, ya?” Abian salim dan mencium pipi mama. “Iya, hati-hati ya, kalian.” Natasya salim dan mencium pipi mama juga, “Ma, aku malam ini jaga malam, jadi gak pulang.” “Oh ya udah, nanti mama kirim makan malam buat kamu sama temen-temen ya.” “Makasih, ma.” Mama mengelus perut Natasya, “Gimana? Udah—proses belum?” Natasya menatap Abian, “Proses dong, ma.” jawabnya dengan optimis. Padahal yang di proses diperutnya hanya makanan, bukan janin seperti mau mama. “Semoga ini cepet jadi ya. Mama udah gak sabar mau nimang cucu, papamu juga.” Abian mencium pipi Natasya, “Pasti, ma