Dan masih banyak pertanyaan yang menumpuk dalam dada, tapi semua itu tertahan oleh sebuah tangisan, derita demi derita yang kualami sejak kecil hingga sekarang terbayang begitu saja.Aku tergugu sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan, selama ini kukira hanya ibu yang jahat ternyata bapak pun sama, ia malah memberikanku pada wanita yang jahatnya melebihi seekor singa."Karena wanita itu ga pantas dipanggil ibu, Naura, seandainya aku tak merawatmu mungkin sekarang kamu ga akan nikah dengan lelaki baik-baik, mungkin kamu udah jadi pel*cur," sahut ibu tanpa rasa berdosa."Oh ya, lalu apa bedanya aku diasuh kamu? selama ini kamu hanya menyiksa batinku saja!" teriakku murka.Rasa hormatku hilang pada wanita yang selama ini kupanggil ibu, jika menuruti napsu ingin kucekik saja wanita yang sudah merawatku itu."Aku kecewa karena Bapak diam aja, kalau Bapak ga mau kasih tahu keberadaan ibuku maka aku bisa sendiri mencarinya."Lekas aku berdiri sambil mengalungkan tas ke bahu dan mela
"Bapak tahu ibu kandungmu tak lebih baik dari ibu tirimu, Ra, makanya Bapak lebih memilih menyembunyikan ini dari pada kamu kecewa pada akhirnya." Naura hanya diam tak mampu lagi menyangkal ucapan sang bapak, dirinya mencoba berdamai dengan perasaan emosi yang memuncak "Naura, soal motormu Bapak minta maaf karena ga berhasil merebutnya dari ibu, kita ke rumah lagi yuk mengambil hak kamu," ucap Pak Endang lagi dengan penuh penyesalan. Sebagai seorang ayah sebenarnya hatinya tak terima saat Naura diperlakukan tak adil oleh sang istri. Namun, bagaimana lagi ia takut jika protes maka istrinya itu akan membocorkan rahasia yang selama ini ia tutup rapat-rapat. "Biarin aja lah, Pak, toh dia ngambilnya secara paksa, aku yakin duitnya ga akan berkah," jawab Naura sambil berusaha menguatkan hati. Walau sebenarnya tak rela tapi ia terpaksa ikhlas dari pada kembali berdebat, toh sekarang ia bisa beli motor yang lebih bagus, begitu pikirnya "Yang ikhlas ya, Nak, in syaa Allah akan ada gantin
Naura tiba ketika adzan zuhur berkumandang, agak sedikit malas ia melangkah ke rumah mertuanya yang mewah itu.Suara cekikikan terdengar saat kaki Naura menapaki ruang tamu, ada Jeni dan juga ketiga temannya yang sedang mengobrol di sofa warna abu tua itu."Assalamualaikum." Dengan malu dan ragu perempuan yang mengenakan kulot biru jeans dan atasan hitam itu berucap."Wa'alaikumussalam." Para wanita yang hobi bergosip itu menoleh serempak."Oh ini istrinya Feri itu, Jen?" tanya perempuan berambut pirang.Naura hanya tersenyum kaku."Sini dulu dong, kita ngobrol-ngobrol," pinta salah satu diantara mereka.Naura terpaksa gabung bersama ibu-ibu menor itu, ia sungguh berbeda dengan mereka, dari segi penampilan dan gaya bicara."Naura 'kan namanya?""Iya, Mbak." Naura berusaha tersenyum percaya diri."Kerja di mana?" tanya perempuan berambut pirang tadi."Di garmen, Jeng, jadi buruh loh bagian ngejait," sahut Jeni sambil tersenyum mengejek.Teman-temannya jelas pura-pura kaget walau ia sud
(Flashback)Mata Feri terpukau dan enggan berpaling ke arah mana pun, mata coklatnya itu tetap lurus menatap seorang perempuan yang sedang bicara di depan sana, di depan banyak orang dalam sebuah acara seminar. Gadis yang mengenakan rok hitam dengan kemeja warna hijau army kekinian dipadukan dengan Khimar menutup dada dengan warna senada terus bicara dengan elegan di hadapan orang banyak."Dia siapa sih?" tanya Feri pada teman di sebelahnya."Lu tadi denger 'kan, namanya Naura Permatasari, salah satu mahasiswa manajemen berprestasi, ga tahu dari campus mana gua lupa lagi." Teman Feri yang bernama Faisal itu terkekeh.Feri hanya diam menikmati pemandangan yang menakjubkan di depan sana, saat itu Feri baru lulus kuliah dan langsung diajak bergabung mengurus pabrik oleh papanya.Karena ingin memulai bisnis ia sering mengikuti seminar wirausaha dengan harap bisa mendapatkan ilmu-ilmu di sana.Dalam acara itu Feri tak memiliki keberanian untuk mendekati Naura ia hanya kagum setelah tahu
Usai lelaki itu pergi Naura kembali bertanya. "Emang mau ngomong apa?""Emm ... apa ya ... jadi lupa gara-gara ada cowok tadi.""Ya udah pikirin aja dulu."Naura hanya manggut-manggut merasa aneh, sementara Feri hanya mengaduk-aduk mie ayam tanpa menyantapnya."Aku ...." Feri terdiam, seketika Naura menoleh keheranan."Ya?""Aku ...." Lagi-lagi bibir Feri terasa berat untuk bicara."Aku aku terus, kenapa sih?" Naura makin penasaran."Aku mau kita lebih dekat, Ra, kamu mau 'kan jadi pacarku?" Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirnya, hingga kemudian wajah klemis Feri menghangat.Naura diam sejenak merasa aneh, setahun lebih mereka saling kenal, tapi selama itu mereka jarang komunikasi."Maaf aku ga bisa," jawab Naura"Gitu ya." Feri menunduk kecewa."Aku ga bisa pacaran, Fer, maaf ya," ujar Naura lagi, seketika Feri menoleh."Kalau menikah mau?" tanya Feri antusias.Wajah Naura langsung merah jambu."Kalau serius datang aja ke rumah sama orang tuamu," jawab Naura."Ini serius, R
Bab 14. A MSNaura menangis di hadapan suaminya, malam yang seharusnya dilalui dengan kehangatan itu harus terlewat lantaran Naura tak bisa memendam kesedihannya."Aku tuh bukan anak kandung ibu, Mas, pantesan aja sejak dulu Ibu ga pernah menyayangi aku."Feri terdiam lalu mendekap sang istri."Emang tadi bapak bilang apa gitu?" tanya Feri sambil mengelus punggung istrinya."Ibu marah saat aku ga izinin jual motor yang sering kupakai dulu itu loh, mungkin ibu keceplosan bilang aku bukan anaknya, Mas, dan mau ga mau Bapak yang selalu menutupi rahasia ini pun akhirnya ngasih tahu." Naura menangis kembali.Dan mengalirlah cerita demi cerita yang ia lalui tadi siang bersama bapaknya."Ya sudah kalau gitu besok kita cari ibumu ya." Feri menenangkan istrinya."Tapi 'kan besok Mas kerja." Naura mendongak menatap suaminya."Engga lah, ada papa, Mas akan bicara besok pagi.""Terima kasih, Mas." Semenjak menikah dengan Feri Naura memiliki kekuatan untuk hidup, berbeda dengan dulu ia tak ubahny
"Masa sih, Bu, maksud saya Bu Nani adiknya Bu Nendah." Naura menyebut nama ibunya."Oh berarti bukan Bu Nani itu, coba Neng cari lagi di RT sebelah, kayaknya Bu Nani yang dimaksud bukan warga RT sini deh, Neng," ucap ibu itu lagi membuat dada Naura menjadi lega."Emang ini RT berapa, Bu?" tanya Naura."Ini RT tiga."Naura melirik secarik kertas pemberian bapaknya, pantas saja salah ternyata memang beda RT. Feri pun melajukan motor lagi melewati kebun dan area pesawahan."Udah, Mas, berhenti sini aja." Naura menepuk punggung Feri, ia pun mulai tersenyum pada dua orang warga yang sedang mencari kutu di teras rumahnya, setelah itu ia mengucap salam."Saya mau tanya rumah Bu Nani sebelah mana ya?"Kedua perempuan itu saling pandang."Nama Bu Nani ada dua, Neng.""Emm ... Bu Nani adiknya Bu Nendah," jawab Naura."Oh kalau Bu Nani yang itu udah pindah, Neng, dari sini Eneng jalan melewati pesawahan, motor ga bisa masuk taruh aja di sini aman kok."Hati Naura sudah lelah ingin menyerah, ia
Naura menatap Bu Nani dengan pandangan penuh tanya, berbeda dengan Feri ia sudah merasakan sesuatu ketika pertama kali melihat mata ibu mertuanya itu."Ibu sakit apa, Bi?" tanya Naura.Perempuan berdaster lusuh itu tersenyum. "Sebaiknya ngobrol di dalam yuk, di sini ga enak takut Eneng jijik."Naura menggeleng cepat. "Engga, Bi, cerita di sini aja, aku ga jijik."Bu Nani mengangguk."Teh Nendah depresi karena ditinggalkan bapakmu sekaligus berpisah dari Eneng, awalnya dia sering nangis sendiri terus melamun, makan ga mau, lama-lama Teh Nendah suka bicara sendiri, kadang nimang-nimang buntelan kain seolah itu anaknya yang dibawa pergi sama Endang."Bu Nani menyeka pelan sudut matanya yang basah, orang tua Bu Nani telah lama tiada, selama ini ia bertanggung jawab mengurus kakaknya yang depresi, karena saudara yang lain tak ada yang sudi mengurusnya."Kata orang Teh Nendah gila, Neng, padahal enggak, Teh Nendah cuma kangen sama anaknya," lanjut Bu Nani sambil menangis.Sedangkan wanita y