"Hah!" Napas Dara terengah-engah melihat suaminya tergeletak di lantai dengan wajah penuh kesakitan, sedangkan dari dalam dadanya keluar darah dengan derasIa baru tersadar jika tindakannya barusan memang dikuasi setanDara beringsut mundur sambil menutup mulutnya, tubuh kurus itu bergetar ketakutan."Mas." Dara menggoncangkan tubuh suaminya menggunakan kaki.Tapi Pak Bagus tak bergerak, bahkan matanya melotot tanpa berkedip.Dara semakin panik, matanya liar melihat ke sekeliling ruangan, beruntung tak ada yang menyaksikan karena sanak saudara Bu Nisa telah pulang tadi malam.Perempuan itu pun mundur perlahan lalu pergi dengan berlari kencang, keluar dari perumahan itu baru ia bisa berhenti berlari karena napasnya terengah-engah."Ya Tuhan, apa Mas Bagus meninggal?" Seluruh tubuhnya bergetar hebat.Ia pun segera naik angkot lalu pulang ke rumah melewati ibunya yang sedang mengemas barang dagangan."Gimana, Ra? Pak Bagus ngasih uang?" tanya Dara.Bahkan ia lupa jika dompet suaminya ya
"Soal itu kami masih menyelidikinya Pak Feri jangan khawatir kita akan menemukan pelakunya secepat mungkin."Usai berbincang dengan aparat kepolisian jenazah Pak Bagus pun diperbolehkan pulang, seluruh keluarga besar Bu Nisya dan Pak Bagus datang kembali ke rumah itu.Mereka tak menyangka Pak Bagus akan meninggal dalam waktu berdekatan dengan istrinya, ada yang menganggap ini cinta sejati antara mereka ada juga yang menganggap karma."Fer, apa kamu melihat Dara?" tanya Farhan."Tidak, aku sudah menelpon Pak Endang mungkin dia di perjalanan sekarang," jawab Feri.Benar saja beberapa menit kemudian Pak Endang dan Bu Rita datang memakai pakaian serba hitam."Saya ikut berduka cita, Nak Feri," ucap Pak Endang."Terima kasih.""Oh ya mana anakmu si Dara itu? Kenapa dia ga ke sini?" tanya Jeni yang duduk di dekat suaminya.Saat ini jenazah Pak Bagus sedang dimandikan di belakang rumah.Pak Endang tak menjawab ia malah melirik istrinya."Mungkin sebentar lagi," jawab Bu Rita, karena sebenarn
"Pak Polisi?" Tenggorokan Dara tercekat.Bagaimana tak panik teman-teman yang digadang -gadangkan akan melindunginya malah hilang entah ke mana. Sekarang ia mendapati dirinya dalam keadaan mengkhawatirkan."Ini surat penangkapan Anda, saya harap Anda bisa diajak kerja sama." Polisi itu menyerahkan secarik kertas yang membuat Dara kian panik."Tapi ... saya ga bersalah kok, Pak polisi." "Ikut saja ke kantor ya. Ayo." Pimpinan aparat itu menyuruh bawahannya yang berjenis kelamin wanita agar membawa Dara."Sial!""Sial!"Ke mana Yopi, Clara dan yang lainnya? Lalu ada apa dengan tubuhku? Apa yang mereka lakukan semalam?Selama digiring pihak kepolisian Dara terus bertanya-tanya dalam hatinya, tiba-tiba ia langsung teringat Yopi.Apa jangan-jangan lelaki itu sudah menj*mah tubuhku? Kurang ajar kau Yopi, lihat saja nanti.Di ruang penyelidikan Dara terus di bombardir pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya kehilangan konsentrasi karena pertanyaan tersebut hanya itu-itu saja dan dilontar
Naura mematung dengan tangan mengepal erat, di dadanya ada amarah yang membuncah hebat.Ia benci embusan napas itu, ia juga benci seringai menjijikkan itu yang hampir merenggut kesuciannya beberapa tahun silam, andai Naura tak pandai bela diri tentu sekarang dirinya sudah menjadi sampah."Maaf sekali, Pak Burhan, sepertinya saya berubah pikiran.""Maksud Anda?" Pria berjas silver bernama Burhan itu mengerenyitkan dahinya."Ya, tanah ini tidak jadi saya jual, mohon maaf ya, Pak."Lelaki bernama Burhan itu melirik Naura dengan intens, lalu melirik kliennya yakni Bagas."Maaf kalau boleh tahu apa alasan Bu Naura membatalkan jual beli tanah ini? Bukankah sebelumnya kita sudah sepakat soal harga? Di depan kita sudah ada pembeli yang berani menawar dengan harga tinggi loh, Bu."Naura terdiam sejenak menatap lelaki bernama Bagas yang sangat ia benci setengah mati."Alasannya karena saya tidak menyukai dia." Naura menunjuk dada Bagas dengan tatapan dingin.Sontak saja Bu Nendah dan Pak Burhan
"Kecuali apa!" bentakku sambil menatapnya tajam."Loh, Sayang, kok kamu bentak-bentak Pak Bagas gitu? Ada apa?" tanya Mas Dari yang tiba-tiba datang dari arah belakang.Aku sudah tak tahan dengan semua ini, lantas berdiri dan menatap tajam wajah Bagas."Mas, lebih baik tolak bantuan dari lelaki ini!" telunjukku mengarah ke wajah Bagas.Lelaki itu sedikit panik dan ketakutan, ia pikir aku akan diam saja ditekan olehnya, jangankan menggertak mencoba membunuhnya saja aku berani.Ya, tepat dua tahun yang lalu Bagas mencoba melecehkanku di vilanya yang berada di puncak Bogor, mereka sengaja memberikan obat tidur pada ketiga temanku lalu dengan santainya menggodaku hingga berusaha melecehkanku di tempat itu.Namun, aku tak Sudi disentuh olehnya, saat itu aku melawan sekuat tenaga hingga berhasil memukul kepalanya dengan bangku, kepala Arvin berdarah, tetapi lelaki itu tak menyerah terus menyerangku untuk mengoyak diri iniHingga akhirnya aku kalap lalu menancapkan pisau daging ke perut dan
"Mimpi apa kita, Pak, mau nikahkan anak pertama tanpa pesta, Ibu malu," ucap ibu sambil cemberut sinis."Eh Dara, nanti kamu cari suami yang kaya jangan seperti kakakmu ini, punya suami miskin, bikin pesta resepsi aja ga mampu, mau dikasih makan apa kamu nanti?" Ibu nyerocos lagi, meski Dara sudah memiliki kekasih.Besok adalah hari pernikahanku, diadakan di rumah tanpa mengundang banyak orang hanya mengundang saudara dekat, kami pun hanya memasak untuk tamu dari pihak Feri saja--calon suamiku--"Biarin lah, Bu, yang penting suaminya Naura tanggung jawab dan ngerti agama," sahut bapak santai.Lelaki itu memang tak mata duitan seperti ibu dan Dara, ia juga yang menerima lamaran Feri meski calon suamiku itu hanya memberikan uang masak yang sedikit."Eh, Naura, kalau nanti udah nikah kamu ga punya beras jangan balik ke sini, makan aja tuh cinta!" Ibu melirikku dengan tatapan meledek.Aku yang sedang memotong cabe dan ngupas bawang hanya mengedikkan bahu saja.Aku harus pokus memasak en
"Sah." "Sah." Usai kata itu menggema beberapa bait doa teruntai, mendoakan kami berdua yang sedang berbahagia. Namun, beberapa detik kemudian semua berubah kacau. Ibu pingsan. Semua orang berhamburan mengerubungi tubuh ibu untuk membangunkannya, aku sempat kesal karena momen hari ini harus dirusak olehnya. "Pak! Bapak!" Akhirnya wanita cerewet itu membuka mata, ia panik mencari bapak. "Beneran mahar Naura satu milyar?" tanya ibu dengan suara bergetar. Aku melihat papa dan mama Feri saling lirik, mereka merasa aneh dengan kelakuan ibuku itu. "Bener, Bu, kamu ini kenapa sih pakai pingsan segala, ayo bangun," jawab bapak dengan nada sedikit ketus. "Kamu ... kamu dapat uang dari mana sebanyak itu hah? apa kamu minjam ke bank? atau ke rentenir?" tanya ibu sambil menatap suamiku. "Sudah! Jangan tanyakan itu sama mantuku, ayo bangun!" Bapak terlihat ketus, ia pasti malu sekali. Bapak segera minta maaf pada papa dan mama Feri, mereka tersenyum memaklumi,
"Berhenti!" teriakku. Bapak dan Feri langsung masuk ke ruang tengah, mereka menatap kami keheranan. "Ada apa ini?" tanya bapak. "Dia!" Aku menunjuk wajah ibu. "Dia ngambil uang maharku, Pak," lanjutku dengan derai air mata Sakit rasanya diperlakukan zalim oleh ibu dan Dara, sejak kecil mereka tak pernah membiarkanku bahagia. "Ya ampun, Bu! Balikin, malu sama mantu kita," sergah bapak. "Aku ga ngambil, Pak, cuma nyimpen, takut aja Naura boros," sanggah ibu seperti tak berdosa. "Itu uangnya Naura, mau dia boros kek ya terserah dia lah, cepat balikin!" bentak bapak emosi "Sudah sudah. Sayang, ayo kita masuk kamar ya, biarkan kotak itu Ibu yang pegang." Feri menghampiri sambil merengkuh pundakku. "Tapi, Mas, itu uangku." Feri mendekatkan bibir ke telingaku, lalu berbisik. "Rekeningmu ga ada di kotak itu." Seketika aku diam. "Yuk masuk kamar," ajak Feri sambil menggandeng bahuku, kamar kukunci dengan rapat, sementara di luar bapak masih terdengar berdebat dengan ibu. "Mas,