"Mimpi apa kita, Pak, mau nikahkan anak pertama tanpa pesta, Ibu malu," ucap ibu sambil cemberut sinis."Eh Dara, nanti kamu cari suami yang kaya jangan seperti kakakmu ini, punya suami miskin, bikin pesta resepsi aja ga mampu, mau dikasih makan apa kamu nanti?" Ibu nyerocos lagi, meski Dara sudah memiliki kekasih.Besok adalah hari pernikahanku, diadakan di rumah tanpa mengundang banyak orang hanya mengundang saudara dekat, kami pun hanya memasak untuk tamu dari pihak Feri saja--calon suamiku--"Biarin lah, Bu, yang penting suaminya Naura tanggung jawab dan ngerti agama," sahut bapak santai.Lelaki itu memang tak mata duitan seperti ibu dan Dara, ia juga yang menerima lamaran Feri meski calon suamiku itu hanya memberikan uang masak yang sedikit."Eh, Naura, kalau nanti udah nikah kamu ga punya beras jangan balik ke sini, makan aja tuh cinta!" Ibu melirikku dengan tatapan meledek.Aku yang sedang memotong cabe dan ngupas bawang hanya mengedikkan bahu saja.Aku harus pokus memasak en
"Sah." "Sah." Usai kata itu menggema beberapa bait doa teruntai, mendoakan kami berdua yang sedang berbahagia. Namun, beberapa detik kemudian semua berubah kacau. Ibu pingsan. Semua orang berhamburan mengerubungi tubuh ibu untuk membangunkannya, aku sempat kesal karena momen hari ini harus dirusak olehnya. "Pak! Bapak!" Akhirnya wanita cerewet itu membuka mata, ia panik mencari bapak. "Beneran mahar Naura satu milyar?" tanya ibu dengan suara bergetar. Aku melihat papa dan mama Feri saling lirik, mereka merasa aneh dengan kelakuan ibuku itu. "Bener, Bu, kamu ini kenapa sih pakai pingsan segala, ayo bangun," jawab bapak dengan nada sedikit ketus. "Kamu ... kamu dapat uang dari mana sebanyak itu hah? apa kamu minjam ke bank? atau ke rentenir?" tanya ibu sambil menatap suamiku. "Sudah! Jangan tanyakan itu sama mantuku, ayo bangun!" Bapak terlihat ketus, ia pasti malu sekali. Bapak segera minta maaf pada papa dan mama Feri, mereka tersenyum memaklumi,
"Berhenti!" teriakku. Bapak dan Feri langsung masuk ke ruang tengah, mereka menatap kami keheranan. "Ada apa ini?" tanya bapak. "Dia!" Aku menunjuk wajah ibu. "Dia ngambil uang maharku, Pak," lanjutku dengan derai air mata Sakit rasanya diperlakukan zalim oleh ibu dan Dara, sejak kecil mereka tak pernah membiarkanku bahagia. "Ya ampun, Bu! Balikin, malu sama mantu kita," sergah bapak. "Aku ga ngambil, Pak, cuma nyimpen, takut aja Naura boros," sanggah ibu seperti tak berdosa. "Itu uangnya Naura, mau dia boros kek ya terserah dia lah, cepat balikin!" bentak bapak emosi "Sudah sudah. Sayang, ayo kita masuk kamar ya, biarkan kotak itu Ibu yang pegang." Feri menghampiri sambil merengkuh pundakku. "Tapi, Mas, itu uangku." Feri mendekatkan bibir ke telingaku, lalu berbisik. "Rekeningmu ga ada di kotak itu." Seketika aku diam. "Yuk masuk kamar," ajak Feri sambil menggandeng bahuku, kamar kukunci dengan rapat, sementara di luar bapak masih terdengar berdebat dengan ibu. "Mas,
Suasana heboh lagi karena ibu pingsan, bapak dan papa mertua mengangkat tubuh ibu dan membaringkannya di sofa.Tak lama ia terbangun, matanya langsung melotot dan mengitari sekeliling rumah Feri."Bangun, Bu, ini di rumah orang," ucap bapak, dari suaranya ia seperti risih dengan sikap istrinya itu.Ibu pun bangun dibantu oleh bapak."Ini tuh beneran rumah Feri, Pak?" tanya ibu."Iya bener. Udah itu duduknya yang bener."Mama mertuaku tersenyum. "Gimana Bu besan? udah baikan?"Ibu mengangguk. "Udah," jawabnya datar."Naura, ini Farhan kakaknya Feri, dan Jeni istrinya, kalian pasti belum saling kenal 'kan?" tanya ibu memperkenalkan anak dan menantunya.Aku menatap mereka berdua sambil tersenyum, bahkan aku dan Kak Jeni saling berjabat tangan."Salam kenal ya, semoga betah di sini," ucap Kak Jeni ramah, sementara Kak Farhan hanya tersenyum sungkan."Iya, Kak," jawabku sungkan.Meski mama mertua baik dan rumahnya bagus tetap saja rasanya sungkan tinggal dengan mereka, itu kata teman-teman
Aku menangis di dalam kamar sendirian, tak menyangka akan memiliki ipar dan mertua bermuka dua, sepertinya aku harus membujuk Feri untuk cepat cari rumah dan memisahkan diri dari mereka."Loh kok nangis, Yang?" tanya Feri begitu masuk kamar.Dengan cepat aku mengusap air mata."Apa yang buat kamu sedih?" tanya Feri sambil duduk di sampingku."Begini, Mas. Barusan aku lewati kamar dekat tangga itu dan denger mama sama Kak Jeni ngobrol, mereka kayak ga suka sama aku, dan bahas soal mahar satu milyar itu, mereka nyangkanya aku yang meminta mahar sebanyak itu."Feri langsung berubah posisi dan menatap ke depan sana dengan datar."Padahal 'kan kamu tahu aku ga pernah meminta apa-apa, apalagi uang satu milyar," ucapku lagi, Feri terlihat tidak nyaman."Kamu ga salah dengar 'kan?" tanya Feri dengan serius"Engga, Mas." Aku menggeleng lemah."Sekarang ikut aku." Feri membawaku ke luar kamar dan menuruni tangga, setelah itu ia memanggil mama dan Kak Jeni.Dua wanita itu berhamburan ke luar men
"Sebenarnya apa, Bu?" tanyaku makin penasaran.Feri yang sedang memakai kemeja pun melirik, ia mengangkat dagunya kode bertanya."Dara sudah hamil, dia harus secepatnya nikah Ibu malu kalau tetangga tahu hal ini, pokoknya beri Ibu uang, ga mau tahu." Ibu terdengar ngotot.Aneh juga bukannya calon suami Dara itu katanya kaya, kenapa minta uang padaku?"Emang calon suami Dara ga ngasih uang buat acara nikahan, Bu? 'kan dia kaya?""Banyak tanya kamu ya, uang yang dikasih Alvin itu ga cukup buat pesta besar-besaran, pokoknya sekarang juga kamu transfer!" tegas ibu.Aku mematikan panggilan secara sepihak, benar-benar pusing dengan tingkah laku ibu, ia benar-benar gila pujian."Kenapa sih?" tanya Feri."Ibu minta uang, Mas.""Buat?" Dahi Feri mengerenyit."Acara pernikahan Dara."Feri terlihat menghela napas."Terus kamu mau ngasih?" tanya Feri sambil menatapku."Kayaknya engga deh, lagian itu duit juga dipakai foya-foya," jawabku dengan malas.Biarlah ibu semakin membenciku, lelah rasanya
Ibu melirik Dara sambil melotot, sedangkan Dara merenggut menahan jengkel, sesekali menatap kesal calon suaminya."Berarti kamu bohongi kami selama ini ya, Alvin, kamu bilangnya punya usaha, ke sini suka bawa makanan mahal, suka bawa mobil lagi," gerutu ibu, bibir merahnya seperti komat-kamit saat bicara.Sedangkan kedua orang tua Alvin saling lirik keheranan, mungkin baru tahu kelakuan besannya seperti mahluk jadi-jadian."Bohong apa, Bu? 'kan emang bener saya punya usaha, usahanya bikin cilok, abis itu saya nyuruh orang buat jual keliling, Ibu berdoa saja biar usaha saya makin sukses setelah nikah nanti," sahut Alvin biasa saja.Benar juga lelaki itu, sekecil apapun usaha yang kita miliki tetap saja kita akan dibilang pengusaha."Lalu itu mobil yang kamu pakai punya siapa?" tanya ibu lagi.Bapak geleng-geleng kepala menahan malu dengan kelakuan ibu yang matrenya ga ketulungan."Ibu jangan banyak tanya ke mana-mana, sekarang kita pokus ke pernikahan, ga usah ngadain pesta segala, kay
Kudengar ibu ngomel-ngomel di kamar Dara, wanita itu tak terima memiliki menantu tukang cilok, apalagi mobil Alvin yang selama ini dibanggakan ternyata bukan miliknya membuat ibu makin murka Sementara aku Mas Feri dan bapak makan nasi Padang karena sudah waktunya makan siang, Feri kemari membawa lima bungkus nasi sengaja ingin makan bersama di sini "Jadi Dara mau nikah secepatnya?" tanya Feri Di bibir belahnya yang merah ada cabai hijau yang menempel sebesar biji beras, membuatku gemas ingin mencoleknya tapi malu sama bapak "Iya, Mas," jawabku "Oh ya nanti kita pulang bareng aja ya, kamu di sini dulu sampai aku pulang." Usai makan ia salat di kamarku yang dulu, lalu ia keluar dengan wajah yang begitu segar, ada desiran halus yang kurasa, entah kenapa aku jadi pengen cepat-cepat malam. "Dih, biasa aja kali lihatin orang ganteng sampe segitunya." Ia terkekeh kepedean. Aku hanya mengulum senyum tak punya kemampuan untuk menggoda dengan kata-kata. "Gimana? mas