Suasana heboh lagi karena ibu pingsan, bapak dan papa mertua mengangkat tubuh ibu dan membaringkannya di sofa.Tak lama ia terbangun, matanya langsung melotot dan mengitari sekeliling rumah Feri."Bangun, Bu, ini di rumah orang," ucap bapak, dari suaranya ia seperti risih dengan sikap istrinya itu.Ibu pun bangun dibantu oleh bapak."Ini tuh beneran rumah Feri, Pak?" tanya ibu."Iya bener. Udah itu duduknya yang bener."Mama mertuaku tersenyum. "Gimana Bu besan? udah baikan?"Ibu mengangguk. "Udah," jawabnya datar."Naura, ini Farhan kakaknya Feri, dan Jeni istrinya, kalian pasti belum saling kenal 'kan?" tanya ibu memperkenalkan anak dan menantunya.Aku menatap mereka berdua sambil tersenyum, bahkan aku dan Kak Jeni saling berjabat tangan."Salam kenal ya, semoga betah di sini," ucap Kak Jeni ramah, sementara Kak Farhan hanya tersenyum sungkan."Iya, Kak," jawabku sungkan.Meski mama mertua baik dan rumahnya bagus tetap saja rasanya sungkan tinggal dengan mereka, itu kata teman-teman
Aku menangis di dalam kamar sendirian, tak menyangka akan memiliki ipar dan mertua bermuka dua, sepertinya aku harus membujuk Feri untuk cepat cari rumah dan memisahkan diri dari mereka."Loh kok nangis, Yang?" tanya Feri begitu masuk kamar.Dengan cepat aku mengusap air mata."Apa yang buat kamu sedih?" tanya Feri sambil duduk di sampingku."Begini, Mas. Barusan aku lewati kamar dekat tangga itu dan denger mama sama Kak Jeni ngobrol, mereka kayak ga suka sama aku, dan bahas soal mahar satu milyar itu, mereka nyangkanya aku yang meminta mahar sebanyak itu."Feri langsung berubah posisi dan menatap ke depan sana dengan datar."Padahal 'kan kamu tahu aku ga pernah meminta apa-apa, apalagi uang satu milyar," ucapku lagi, Feri terlihat tidak nyaman."Kamu ga salah dengar 'kan?" tanya Feri dengan serius"Engga, Mas." Aku menggeleng lemah."Sekarang ikut aku." Feri membawaku ke luar kamar dan menuruni tangga, setelah itu ia memanggil mama dan Kak Jeni.Dua wanita itu berhamburan ke luar men
"Sebenarnya apa, Bu?" tanyaku makin penasaran.Feri yang sedang memakai kemeja pun melirik, ia mengangkat dagunya kode bertanya."Dara sudah hamil, dia harus secepatnya nikah Ibu malu kalau tetangga tahu hal ini, pokoknya beri Ibu uang, ga mau tahu." Ibu terdengar ngotot.Aneh juga bukannya calon suami Dara itu katanya kaya, kenapa minta uang padaku?"Emang calon suami Dara ga ngasih uang buat acara nikahan, Bu? 'kan dia kaya?""Banyak tanya kamu ya, uang yang dikasih Alvin itu ga cukup buat pesta besar-besaran, pokoknya sekarang juga kamu transfer!" tegas ibu.Aku mematikan panggilan secara sepihak, benar-benar pusing dengan tingkah laku ibu, ia benar-benar gila pujian."Kenapa sih?" tanya Feri."Ibu minta uang, Mas.""Buat?" Dahi Feri mengerenyit."Acara pernikahan Dara."Feri terlihat menghela napas."Terus kamu mau ngasih?" tanya Feri sambil menatapku."Kayaknya engga deh, lagian itu duit juga dipakai foya-foya," jawabku dengan malas.Biarlah ibu semakin membenciku, lelah rasanya
Ibu melirik Dara sambil melotot, sedangkan Dara merenggut menahan jengkel, sesekali menatap kesal calon suaminya."Berarti kamu bohongi kami selama ini ya, Alvin, kamu bilangnya punya usaha, ke sini suka bawa makanan mahal, suka bawa mobil lagi," gerutu ibu, bibir merahnya seperti komat-kamit saat bicara.Sedangkan kedua orang tua Alvin saling lirik keheranan, mungkin baru tahu kelakuan besannya seperti mahluk jadi-jadian."Bohong apa, Bu? 'kan emang bener saya punya usaha, usahanya bikin cilok, abis itu saya nyuruh orang buat jual keliling, Ibu berdoa saja biar usaha saya makin sukses setelah nikah nanti," sahut Alvin biasa saja.Benar juga lelaki itu, sekecil apapun usaha yang kita miliki tetap saja kita akan dibilang pengusaha."Lalu itu mobil yang kamu pakai punya siapa?" tanya ibu lagi.Bapak geleng-geleng kepala menahan malu dengan kelakuan ibu yang matrenya ga ketulungan."Ibu jangan banyak tanya ke mana-mana, sekarang kita pokus ke pernikahan, ga usah ngadain pesta segala, kay
Kudengar ibu ngomel-ngomel di kamar Dara, wanita itu tak terima memiliki menantu tukang cilok, apalagi mobil Alvin yang selama ini dibanggakan ternyata bukan miliknya membuat ibu makin murka Sementara aku Mas Feri dan bapak makan nasi Padang karena sudah waktunya makan siang, Feri kemari membawa lima bungkus nasi sengaja ingin makan bersama di sini "Jadi Dara mau nikah secepatnya?" tanya Feri Di bibir belahnya yang merah ada cabai hijau yang menempel sebesar biji beras, membuatku gemas ingin mencoleknya tapi malu sama bapak "Iya, Mas," jawabku "Oh ya nanti kita pulang bareng aja ya, kamu di sini dulu sampai aku pulang." Usai makan ia salat di kamarku yang dulu, lalu ia keluar dengan wajah yang begitu segar, ada desiran halus yang kurasa, entah kenapa aku jadi pengen cepat-cepat malam. "Dih, biasa aja kali lihatin orang ganteng sampe segitunya." Ia terkekeh kepedean. Aku hanya mengulum senyum tak punya kemampuan untuk menggoda dengan kata-kata. "Gimana? mas
Aku terkejut bukan main. Hari ini, aku baru mengetahui bahwa suamiku adalah seorang pemilik perusahaan dan boss tempatku bekerja! Rupanya, bukan hanya aku yang terkejut. Ibu pun sama terkejutnya, ia sampai terduduk di kursi sambil melongo. "Pabrik itu milik papa saya kok, Bu, jangan berlebihan gitu ah." Mas Feri masih merendah. "Tapi sebentar lagi kursi kepemimpinan bakal jatuh ke Pak Feri 'kan?" Bu Mita tersenyum lalu menatap ibu. "Beneran itu pabrik punya Nak Feri?" tanya ibu dengan mata melongo. Sedangkan yang ditanya, malah senyum-senyum gak jelas. Mas Feri benar-benar bertingkah seolah itu semua tidak berarti apa-apa. "Itu punya papa saya, Bu, saya cuma bantu kelola aja kok." Dia masih belum ngaku. Aku jadi teringat beberapa waktu ke belakang saat aku masih pendekatan dengan Mas Feri. Kala itu, aku sering kali berkeluh kesah padanya. Bahkan, aku menjelekkan pabrik itu padanya, seperti sering menambah jam kerja tanpa uang lemburan. Sering juga, aku menjelekkan
Mas Feri pun menghela napas. "Iya, tapi papaku juga ikut andil membangun bisnis itu, Ra, jadi bukan sepenuhnya milikku." "Terus, kenapa kamu malah bilang buruh di pabrik itu sama bapak? Ke aku, kamu juga bohong malah bilang cuma staff office produksi?" Mataku tak berhenti menatap wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus di dekat telinga. Selama dekat dengannya, aku memang tak curiga. Tampilannya biasa saja seperti para staf yang lain. Selama ini, aku pun hanya diajak makan di warung bakso sederhana, mie ayam, atau pecel lele, ia memang unik. "Ra, aku tuh pengen cari istri yang tulus, bukan melihat hartaku saja. Jujur, aku ga suka perempuan matre, dan kamu harus tahu mantanku matre semua," ujarnya membuatku ingin tertawa. "Terus, kamu pikir aku ga matre gitu?" tanyaku sambil mengulum senyum. "Kamu itu beda, itu buktinya menikah tanpa pesta aja ga masalah, bapakmu juga nerima kukasih uang masak enam juta." "Dan, selama kita kenal, kamu ga pernah minta dibeliin ini itu. Kamu juga sal
Mas Feri memberiku uang bulanan sepuluh juta, tentu saja nominal sebanyak itu tak pernah kupegang karena gaji yang diterima selama ini hanya UMR, itu pun sering diminta ibu."Cukup 'kan buat sebulan" tanya Mas Feri sambil menyeringai."Lebih dari cukup, Mas. Terima kasih ya.""Kamu kenapa?" Mas Feri seolah bisa membaca kegelisahanku."Engga apa-apa kok, besok aku mau izin ke rumah bapak lagi ya, Mas, sebentar aja nanti aku balik sendiri.""Emang ada masalah apa?" tanya Mas Feri sedikit maksa.Aku diam mau bercerita soal ibu tapi malu, aku takut dia membenci keluargaku termasuk bapak."Mau ambil motorku, Mas, ga apa-apa 'kan?" Ia mengangguk."Aku mau mandi dulu ya, setelah itu kita makan bareng-bareng."Aku mengiyakan walau rasa canggung masih meliputi hati ini, masa iya aku makan begitu saja sementara seharian ini aku keluyuran tanpa bekerja.Kalau begini lebih baik aku memiliki rumah sendiri walaupun tak sebesar ini, tinggal dengan mertua apalagi ipar memang serba salah.Mas Feri se