Share

Bab 3

Penulis: Ina Qirana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-14 12:45:13

 

"Berhenti!" teriakku.

 

Bapak dan Feri langsung masuk ke ruang tengah, mereka menatap kami keheranan.

 

"Ada apa ini?" tanya bapak.

 

"Dia!" Aku menunjuk wajah ibu.

 

"Dia ngambil uang maharku, Pak," lanjutku dengan derai air mata 

 

Sakit rasanya diperlakukan zalim oleh ibu dan Dara, sejak kecil mereka tak pernah membiarkanku bahagia.

 

"Ya ampun, Bu! Balikin, malu sama mantu kita," sergah bapak.

 

"Aku ga ngambil, Pak, cuma nyimpen, takut aja Naura boros," sanggah ibu seperti tak berdosa.

 

"Itu uangnya Naura, mau dia boros kek ya terserah dia lah, cepat balikin!" bentak bapak emosi 

 

"Sudah sudah. Sayang, ayo kita masuk kamar ya, biarkan kotak itu Ibu yang pegang." Feri menghampiri sambil merengkuh pundakku.

 

"Tapi, Mas, itu uangku."

 

Feri mendekatkan bibir ke telingaku, lalu berbisik. "Rekeningmu ga ada di kotak itu."

 

Seketika aku diam.

 

"Yuk masuk kamar," ajak Feri sambil menggandeng bahuku, kamar kukunci dengan rapat, sementara di luar bapak masih terdengar berdebat dengan ibu.

 

"Mas, maaf ya kalau ibuku bukan mertua idaman."

 

Feri terkekeh.

 

"Ga masalah, yang penting kamu istri idamanku." Ia mencubit hidung.

 

"Rekeningmu ada di tas, jangan ditaruh sembarangan ya."

 

Aku mengangguk, beruntung sekali punya suami perhatian.

 

Kami berpelukan, semoga lelaki ini bisa mengobatiku dari jutaan luka yang mendera, bayangan masa kecil saat ayah merantau ke Jakarta kembali teringat.

 

Saat itu aku kerap menangis sendirian kala Dara membeli banyak baju dan mainan sementara aku gigit jari, jika Dara membeli jajanan aku hanya diberi sedikit itu pun diberikan dengan cara dilemparkan.

 

Jika ayah baru gajian maka ibu dan Dara jalan-jalan ke pasar dan makan di luar, sedangkan aku di rumah hanya disediakan nasi kemarin dan ikan asin.

 

Dara anak berprestasi sejak kecil berbeda denganku yang kata ibu bod*h, naik kelas pun sudah untung, wajar saja aku seperti itu karena sering dibentak dan tak pernah diperhatikan.

 

"Kok nangis" tanya Feri sambil menatap mesra wajahku

 

"Nangis haru." Aku tersenyum, lalu ia kembali memelukku, entahlah lelaki ini seolah paham akan deritaku.

 

Usai makan malam ibu terus menatap dengan sinis, ia akan seperti itu jika aku tak menuruti keinginannya, itu sudah terbiasa sejak dulu.

 

"Aku ke kamar dulu ya." Feri beranjak pergi setelah menghabiskan makanan 

 

Aku mengangguk sambil tersenyum.

 

"Dasar anak ga tahu diuntung, punya duit dimakan sendiri, serakah!" Piring kotor diletakkan dengan keras ke westafel.

 

"Kamu sembunyikan di mana rekening itu, Naura?!" Ibu membentak, bagaimana tak kesal kotak merah yang mati-matian ia rebut tadi ternyata tak ada isinya, hihi.

 

"Apaan sih kamu, Bu? mulai lagi, malu sama mantu kita," timpal bapak.

 

Aku hanya menghela napas melihat kebobrokan keluarga ini, dari dulu tak terbiasa melawan.

 

"Halaah mantu kere, ga pantes dihargai, palingan ngasih duit semilyar itu dapat ngutang." Ibu tersenyum sinis 

 

Tak ingin merusak suasana hati, aku memilih masuk kamar meniggalkan mereka tanpa kata, ingin rasanya cepat pergi dari sini.

 

"Maen nyelonong, cuci dulu tuh piring," sahut Dara, ia sudah terbiasa menyuruhku seperti nyonya.

 

Aku balik badan.

 

"Ga mau, sekarang giliran kamu yang jadi babu di rumah ini." Aku tersenyum sinis.

 

"Lihat tuh, Pak, anakmu belagu mentang-mentang punya duit banyak, palingan sebentar lagi juga bakal banyak yang nagih hutang."

 

Aku tak ingin meladeni ibu, takut kualat dan tambah sakit hati, lalu memutuskan untuk masuk ke kamar.

 

"Yang, jangan lupa ibadah sebelum tidur," ucap Feri sambil senyum-senyum.

 

Entah kenapa rasanya senyum itu terasa menyeramkan malam ini, jujur aku takut sekali dengan momen malam pertama.

 

"Gitu ya." Aku garuk-garuk kepala.

 

Bingung harus apa dulu.

 

"Aku ... sebenarnya belum siap, Mas," ucapku lagi dengan ragu.

 

"Kenapa belum siap? ibadah itu 'kan kewajiban, Sayang." Mas Feri mendekat, sedangkan aku beringsut mundur.

 

Duh gimana ini?

 

"Emm ... bisa besok aja ya, Mas?" wajahku mulai terasa dingin.

 

"Kok besok, ya sekarang dong." Mas Feri maksa, membuatku semakin menciut.

 

"Tapi aku takut." Kalimat itu lantang kuucapkan.

 

"Masa salat isya aja takut." Mas Feri keheranan.

 

Mataku langsung membeliak. "Jadi maksud Mas, ibadah itu salat isya?" aku bengong kaya orang be*o.

 

"Ya iya, 'kan kamu belum salat. Hayoo pasti kamu mikirnya begituan ya." Mas Feri menunjuk wajahku mengejek.

 

Sialan, kenapa otakku jadi ngeres.

 

Aku terkekeh terpaksa. "Iya deh, aku ke kamar mandi dulu ya."

 

Cepat-cepat aku kabur keluar.

 

Malam ini Feri belum menjalankan tugasnya sebagai suami karena aku kerap ketakutan, ia hanya memberiku pelukan dan kecu*an, tak lebih dari itu, semalaman aku juga nyenyak tidur dalam dekapannya.

 

Esok hari dua buah mobil terparkir di halaman, dari bentuknya mobil itu seperti kepunyaan orang kaya, karena aku sudah hafal mana mobil kalangan biasa dan kalangan orang kaya.

 

"Mobilnya udah dateng, Yang."

 

Aku tak banyak bicara, gegas masuk ke dalam memberitahu bapak, hari ini semua keluargaku ikut mengantar pindahan ke rumah mertua.

 

"Ibu mau ikut lihat rumah mertuamu, pasti terletak di kampung pedalaman, rumahnya dari bambu dan reyot." Ibu dan Dara cekikikan.

 

"Eh, Dara, ngapain pakai sendal tinggi begitu, pakai sepatu biasa aja, Ibu yakin di sana pasti jalanan becek," tegur ibu yang sebenarnya hinaan untukku.

 

Lagi aku hanya bisa diam, karena sebenarnya aku belum tahu rumah Feri, mengenal orang tuanya pun pada saat lamaran.

 

"Terus ya, Bu, di rumahnya itu pasti ga ada kamar mandi, orang pedalaman 'kan gitu suka mandi di kali." Dara bergidik jijik.

 

Lalu mereka tertawa lagi, setelah itu keluar bersama bapak dan Bi Ratih, kakaknya ibu itu ingin ikut karena sudah pasti ingin ikutan mengejekku.

 

"Gaya aja digedein, mahar semilyar, pakai mobil bagus, miskin aja banyak gaya," bisik ibu pada Bik Ratih 

 

Mereka cekikikan di belakang.

 

Mobil membawa kami melaju menuju kota Sukabumi, ternyata perkiraan ibu salah, rumah mertuaku sama sekali tak melewati perkampungan.

 

Malahan sekarang masuk ke sebuah komplek di tengah kota, rumah-rumah bagus berjejer rapi terlewati.

 

"Bu, kok masuk ke sini ya," bisik Dara di belakang.

 

"Ga tahu, mungkin jalan pintas kali," jawab ibu.

 

Setelah menempuh perjalanan satu jam akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah minimalis yang dipagar tinggi, bentuknya dua lantai dan kekinian, bercat warna putih tulang.

 

 Di depan sana kulihat papa mertua membukakan gerbang hingga mobil kami bisa masuk ke dalam.

 

"Feri, ini ... rumah siapa?" tanya ibu dengan mata membeliak.

 

"Rumahku, Bu, ayo turun," ajak Feri sambil melirik ke jok belakang.

 

"Hah, rumah kamu ...."

 

Ibu pingsan lagi.

Bab terkait

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 4

    Suasana heboh lagi karena ibu pingsan, bapak dan papa mertua mengangkat tubuh ibu dan membaringkannya di sofa.Tak lama ia terbangun, matanya langsung melotot dan mengitari sekeliling rumah Feri."Bangun, Bu, ini di rumah orang," ucap bapak, dari suaranya ia seperti risih dengan sikap istrinya itu.Ibu pun bangun dibantu oleh bapak."Ini tuh beneran rumah Feri, Pak?" tanya ibu."Iya bener. Udah itu duduknya yang bener."Mama mertuaku tersenyum. "Gimana Bu besan? udah baikan?"Ibu mengangguk. "Udah," jawabnya datar."Naura, ini Farhan kakaknya Feri, dan Jeni istrinya, kalian pasti belum saling kenal 'kan?" tanya ibu memperkenalkan anak dan menantunya.Aku menatap mereka berdua sambil tersenyum, bahkan aku dan Kak Jeni saling berjabat tangan."Salam kenal ya, semoga betah di sini," ucap Kak Jeni ramah, sementara Kak Farhan hanya tersenyum sungkan."Iya, Kak," jawabku sungkan.Meski mama mertua baik dan rumahnya bagus tetap saja rasanya sungkan tinggal dengan mereka, itu kata teman-teman

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-14
  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 5

    Aku menangis di dalam kamar sendirian, tak menyangka akan memiliki ipar dan mertua bermuka dua, sepertinya aku harus membujuk Feri untuk cepat cari rumah dan memisahkan diri dari mereka."Loh kok nangis, Yang?" tanya Feri begitu masuk kamar.Dengan cepat aku mengusap air mata."Apa yang buat kamu sedih?" tanya Feri sambil duduk di sampingku."Begini, Mas. Barusan aku lewati kamar dekat tangga itu dan denger mama sama Kak Jeni ngobrol, mereka kayak ga suka sama aku, dan bahas soal mahar satu milyar itu, mereka nyangkanya aku yang meminta mahar sebanyak itu."Feri langsung berubah posisi dan menatap ke depan sana dengan datar."Padahal 'kan kamu tahu aku ga pernah meminta apa-apa, apalagi uang satu milyar," ucapku lagi, Feri terlihat tidak nyaman."Kamu ga salah dengar 'kan?" tanya Feri dengan serius"Engga, Mas." Aku menggeleng lemah."Sekarang ikut aku." Feri membawaku ke luar kamar dan menuruni tangga, setelah itu ia memanggil mama dan Kak Jeni.Dua wanita itu berhamburan ke luar men

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-14
  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 6

    "Sebenarnya apa, Bu?" tanyaku makin penasaran.Feri yang sedang memakai kemeja pun melirik, ia mengangkat dagunya kode bertanya."Dara sudah hamil, dia harus secepatnya nikah Ibu malu kalau tetangga tahu hal ini, pokoknya beri Ibu uang, ga mau tahu." Ibu terdengar ngotot.Aneh juga bukannya calon suami Dara itu katanya kaya, kenapa minta uang padaku?"Emang calon suami Dara ga ngasih uang buat acara nikahan, Bu? 'kan dia kaya?""Banyak tanya kamu ya, uang yang dikasih Alvin itu ga cukup buat pesta besar-besaran, pokoknya sekarang juga kamu transfer!" tegas ibu.Aku mematikan panggilan secara sepihak, benar-benar pusing dengan tingkah laku ibu, ia benar-benar gila pujian."Kenapa sih?" tanya Feri."Ibu minta uang, Mas.""Buat?" Dahi Feri mengerenyit."Acara pernikahan Dara."Feri terlihat menghela napas."Terus kamu mau ngasih?" tanya Feri sambil menatapku."Kayaknya engga deh, lagian itu duit juga dipakai foya-foya," jawabku dengan malas.Biarlah ibu semakin membenciku, lelah rasanya

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-14
  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 7

    Ibu melirik Dara sambil melotot, sedangkan Dara merenggut menahan jengkel, sesekali menatap kesal calon suaminya."Berarti kamu bohongi kami selama ini ya, Alvin, kamu bilangnya punya usaha, ke sini suka bawa makanan mahal, suka bawa mobil lagi," gerutu ibu, bibir merahnya seperti komat-kamit saat bicara.Sedangkan kedua orang tua Alvin saling lirik keheranan, mungkin baru tahu kelakuan besannya seperti mahluk jadi-jadian."Bohong apa, Bu? 'kan emang bener saya punya usaha, usahanya bikin cilok, abis itu saya nyuruh orang buat jual keliling, Ibu berdoa saja biar usaha saya makin sukses setelah nikah nanti," sahut Alvin biasa saja.Benar juga lelaki itu, sekecil apapun usaha yang kita miliki tetap saja kita akan dibilang pengusaha."Lalu itu mobil yang kamu pakai punya siapa?" tanya ibu lagi.Bapak geleng-geleng kepala menahan malu dengan kelakuan ibu yang matrenya ga ketulungan."Ibu jangan banyak tanya ke mana-mana, sekarang kita pokus ke pernikahan, ga usah ngadain pesta segala, kay

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21
  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 8

    Kudengar ibu ngomel-ngomel di kamar Dara, wanita itu tak terima memiliki menantu tukang cilok, apalagi mobil Alvin yang selama ini dibanggakan ternyata bukan miliknya membuat ibu makin murka Sementara aku Mas Feri dan bapak makan nasi Padang karena sudah waktunya makan siang, Feri kemari membawa lima bungkus nasi sengaja ingin makan bersama di sini "Jadi Dara mau nikah secepatnya?" tanya Feri Di bibir belahnya yang merah ada cabai hijau yang menempel sebesar biji beras, membuatku gemas ingin mencoleknya tapi malu sama bapak "Iya, Mas," jawabku "Oh ya nanti kita pulang bareng aja ya, kamu di sini dulu sampai aku pulang." Usai makan ia salat di kamarku yang dulu, lalu ia keluar dengan wajah yang begitu segar, ada desiran halus yang kurasa, entah kenapa aku jadi pengen cepat-cepat malam. "Dih, biasa aja kali lihatin orang ganteng sampe segitunya." Ia terkekeh kepedean. Aku hanya mengulum senyum tak punya kemampuan untuk menggoda dengan kata-kata. "Gimana? mas

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21
  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 9

    Aku terkejut bukan main. Hari ini, aku baru mengetahui bahwa suamiku adalah seorang pemilik perusahaan dan boss tempatku bekerja! Rupanya, bukan hanya aku yang terkejut. Ibu pun sama terkejutnya, ia sampai terduduk di kursi sambil melongo. "Pabrik itu milik papa saya kok, Bu, jangan berlebihan gitu ah." Mas Feri masih merendah. "Tapi sebentar lagi kursi kepemimpinan bakal jatuh ke Pak Feri 'kan?" Bu Mita tersenyum lalu menatap ibu. "Beneran itu pabrik punya Nak Feri?" tanya ibu dengan mata melongo. Sedangkan yang ditanya, malah senyum-senyum gak jelas. Mas Feri benar-benar bertingkah seolah itu semua tidak berarti apa-apa. "Itu punya papa saya, Bu, saya cuma bantu kelola aja kok." Dia masih belum ngaku. Aku jadi teringat beberapa waktu ke belakang saat aku masih pendekatan dengan Mas Feri. Kala itu, aku sering kali berkeluh kesah padanya. Bahkan, aku menjelekkan pabrik itu padanya, seperti sering menambah jam kerja tanpa uang lemburan. Sering juga, aku menjelekkan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21
  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 9.B

    Mas Feri pun menghela napas. "Iya, tapi papaku juga ikut andil membangun bisnis itu, Ra, jadi bukan sepenuhnya milikku." "Terus, kenapa kamu malah bilang buruh di pabrik itu sama bapak? Ke aku, kamu juga bohong malah bilang cuma staff office produksi?" Mataku tak berhenti menatap wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus di dekat telinga. Selama dekat dengannya, aku memang tak curiga. Tampilannya biasa saja seperti para staf yang lain. Selama ini, aku pun hanya diajak makan di warung bakso sederhana, mie ayam, atau pecel lele, ia memang unik. "Ra, aku tuh pengen cari istri yang tulus, bukan melihat hartaku saja. Jujur, aku ga suka perempuan matre, dan kamu harus tahu mantanku matre semua," ujarnya membuatku ingin tertawa. "Terus, kamu pikir aku ga matre gitu?" tanyaku sambil mengulum senyum. "Kamu itu beda, itu buktinya menikah tanpa pesta aja ga masalah, bapakmu juga nerima kukasih uang masak enam juta." "Dan, selama kita kenal, kamu ga pernah minta dibeliin ini itu. Kamu juga sal

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21
  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 10.A

    Mas Feri memberiku uang bulanan sepuluh juta, tentu saja nominal sebanyak itu tak pernah kupegang karena gaji yang diterima selama ini hanya UMR, itu pun sering diminta ibu."Cukup 'kan buat sebulan" tanya Mas Feri sambil menyeringai."Lebih dari cukup, Mas. Terima kasih ya.""Kamu kenapa?" Mas Feri seolah bisa membaca kegelisahanku."Engga apa-apa kok, besok aku mau izin ke rumah bapak lagi ya, Mas, sebentar aja nanti aku balik sendiri.""Emang ada masalah apa?" tanya Mas Feri sedikit maksa.Aku diam mau bercerita soal ibu tapi malu, aku takut dia membenci keluargaku termasuk bapak."Mau ambil motorku, Mas, ga apa-apa 'kan?" Ia mengangguk."Aku mau mandi dulu ya, setelah itu kita makan bareng-bareng."Aku mengiyakan walau rasa canggung masih meliputi hati ini, masa iya aku makan begitu saja sementara seharian ini aku keluyuran tanpa bekerja.Kalau begini lebih baik aku memiliki rumah sendiri walaupun tak sebesar ini, tinggal dengan mertua apalagi ipar memang serba salah.Mas Feri se

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22

Bab terbaru

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Tamat

    "Kecuali apa!" bentakku sambil menatapnya tajam."Loh, Sayang, kok kamu bentak-bentak Pak Bagas gitu? Ada apa?" tanya Mas Dari yang tiba-tiba datang dari arah belakang.Aku sudah tak tahan dengan semua ini, lantas berdiri dan menatap tajam wajah Bagas."Mas, lebih baik tolak bantuan dari lelaki ini!" telunjukku mengarah ke wajah Bagas.Lelaki itu sedikit panik dan ketakutan, ia pikir aku akan diam saja ditekan olehnya, jangankan menggertak mencoba membunuhnya saja aku berani.Ya, tepat dua tahun yang lalu Bagas mencoba melecehkanku di vilanya yang berada di puncak Bogor, mereka sengaja memberikan obat tidur pada ketiga temanku lalu dengan santainya menggodaku hingga berusaha melecehkanku di tempat itu.Namun, aku tak Sudi disentuh olehnya, saat itu aku melawan sekuat tenaga hingga berhasil memukul kepalanya dengan bangku, kepala Arvin berdarah, tetapi lelaki itu tak menyerah terus menyerangku untuk mengoyak diri iniHingga akhirnya aku kalap lalu menancapkan pisau daging ke perut dan

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 44

    Naura mematung dengan tangan mengepal erat, di dadanya ada amarah yang membuncah hebat.Ia benci embusan napas itu, ia juga benci seringai menjijikkan itu yang hampir merenggut kesuciannya beberapa tahun silam, andai Naura tak pandai bela diri tentu sekarang dirinya sudah menjadi sampah."Maaf sekali, Pak Burhan, sepertinya saya berubah pikiran.""Maksud Anda?" Pria berjas silver bernama Burhan itu mengerenyitkan dahinya."Ya, tanah ini tidak jadi saya jual, mohon maaf ya, Pak."Lelaki bernama Burhan itu melirik Naura dengan intens, lalu melirik kliennya yakni Bagas."Maaf kalau boleh tahu apa alasan Bu Naura membatalkan jual beli tanah ini? Bukankah sebelumnya kita sudah sepakat soal harga? Di depan kita sudah ada pembeli yang berani menawar dengan harga tinggi loh, Bu."Naura terdiam sejenak menatap lelaki bernama Bagas yang sangat ia benci setengah mati."Alasannya karena saya tidak menyukai dia." Naura menunjuk dada Bagas dengan tatapan dingin.Sontak saja Bu Nendah dan Pak Burhan

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 43

    "Pak Polisi?" Tenggorokan Dara tercekat.Bagaimana tak panik teman-teman yang digadang -gadangkan akan melindunginya malah hilang entah ke mana. Sekarang ia mendapati dirinya dalam keadaan mengkhawatirkan."Ini surat penangkapan Anda, saya harap Anda bisa diajak kerja sama." Polisi itu menyerahkan secarik kertas yang membuat Dara kian panik."Tapi ... saya ga bersalah kok, Pak polisi." "Ikut saja ke kantor ya. Ayo." Pimpinan aparat itu menyuruh bawahannya yang berjenis kelamin wanita agar membawa Dara."Sial!""Sial!"Ke mana Yopi, Clara dan yang lainnya? Lalu ada apa dengan tubuhku? Apa yang mereka lakukan semalam?Selama digiring pihak kepolisian Dara terus bertanya-tanya dalam hatinya, tiba-tiba ia langsung teringat Yopi.Apa jangan-jangan lelaki itu sudah menj*mah tubuhku? Kurang ajar kau Yopi, lihat saja nanti.Di ruang penyelidikan Dara terus di bombardir pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya kehilangan konsentrasi karena pertanyaan tersebut hanya itu-itu saja dan dilontar

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42.B

    "Soal itu kami masih menyelidikinya Pak Feri jangan khawatir kita akan menemukan pelakunya secepat mungkin."Usai berbincang dengan aparat kepolisian jenazah Pak Bagus pun diperbolehkan pulang, seluruh keluarga besar Bu Nisya dan Pak Bagus datang kembali ke rumah itu.Mereka tak menyangka Pak Bagus akan meninggal dalam waktu berdekatan dengan istrinya, ada yang menganggap ini cinta sejati antara mereka ada juga yang menganggap karma."Fer, apa kamu melihat Dara?" tanya Farhan."Tidak, aku sudah menelpon Pak Endang mungkin dia di perjalanan sekarang," jawab Feri.Benar saja beberapa menit kemudian Pak Endang dan Bu Rita datang memakai pakaian serba hitam."Saya ikut berduka cita, Nak Feri," ucap Pak Endang."Terima kasih.""Oh ya mana anakmu si Dara itu? Kenapa dia ga ke sini?" tanya Jeni yang duduk di dekat suaminya.Saat ini jenazah Pak Bagus sedang dimandikan di belakang rumah.Pak Endang tak menjawab ia malah melirik istrinya."Mungkin sebentar lagi," jawab Bu Rita, karena sebenarn

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42.A

    "Hah!" Napas Dara terengah-engah melihat suaminya tergeletak di lantai dengan wajah penuh kesakitan, sedangkan dari dalam dadanya keluar darah dengan derasIa baru tersadar jika tindakannya barusan memang dikuasi setanDara beringsut mundur sambil menutup mulutnya, tubuh kurus itu bergetar ketakutan."Mas." Dara menggoncangkan tubuh suaminya menggunakan kaki.Tapi Pak Bagus tak bergerak, bahkan matanya melotot tanpa berkedip.Dara semakin panik, matanya liar melihat ke sekeliling ruangan, beruntung tak ada yang menyaksikan karena sanak saudara Bu Nisa telah pulang tadi malam.Perempuan itu pun mundur perlahan lalu pergi dengan berlari kencang, keluar dari perumahan itu baru ia bisa berhenti berlari karena napasnya terengah-engah."Ya Tuhan, apa Mas Bagus meninggal?" Seluruh tubuhnya bergetar hebat.Ia pun segera naik angkot lalu pulang ke rumah melewati ibunya yang sedang mengemas barang dagangan."Gimana, Ra? Pak Bagus ngasih uang?" tanya Dara.Bahkan ia lupa jika dompet suaminya ya

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 42

    Dara melotot sambil melirik suaminya, tak menyangka Pak Bagus yang bucin bisa menuduh sekejam itu, ya walaupun tuduhan itu benar, pikir Dara."Apaan sih kamu ga jelas banget, aku mana ngerti begituan, jangan mentang-mentang istri kamu meninggal terus kamu merasa bersalah dan mencampakkan aku gitu aja ya, Mas." Dara berusaha memutar balikkan fakta."Seminggu yang lalu saya dirukiyah sama Feri dan saya muntah, setelah itu tiba-tiba aja rasa cinta saya ke kamu jadi hilang, itu apa artinya kalau kamu ga melet saya hah." "Apa?! Cuma masalah kaya gitu Mas berani nuduh aku." Dara tersenyum getir."Bilang aja nyesel nikah sama aku karena istri kamu udah meninggal sekarang, ga usah nuduh aku macam-macam karena Mas ga punya bukti." Dara masih tak ingin kalah Pak Bagus terdiam berdebat dengan anak ingusan memang takkan pernah menemukan titik penyelesaian."Saya ga nuduh kamu, tapi saat ini perasaan saya ke kamu udah ga ada, Dara, terus kamu mau kaya gimana?" Pak Bagus pasrah, sudah terlalu ban

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 41.A

    "Neng, kasian sekali ya Bu Nisya."Hari ini tepat setelah tujuh hari Bu Nisya pergi Naura pulang ke rumahnya dengan sang ibu, tak dapat dipungkiri menginap di sana membuatnya sedikit tak betah oleh sikap Jeni yang sering sekali menyindir."Nasibnya ga jauh beda sama Ibu, sama-sama ditinggalin suami.""Udah ah, Ibu jangan banyak pikiran sekarang istirahat ya.""Neng, kapan Ibu berhenti minum obat? Ibu udah sembuh kok."Naura menatap ibunya dengan tersenyum. "Iya Ibu udah sembuh, tapi minum obat juga harus karena yang suka Ibu minum itu vitamin bukan obat, aku juga suka minum vitamin kok ga hanya Ibu aja." Naura terpaksa berbohong"Oh gitu ya." Bu Nendah masih mikir."Udah istirahat."Setelah ibunya tertidur Naura segera menghampiri Feri di kamarnya."Perusahaan lagi pailit, Ra, uang buat menggaji karyawan dipakai Papa buat nikah kemarin.""Apa, jadi mahar satu milyar itu uang perusahaan?"Feri mengangguk.Bertahun-tahun menjadi karyawan ia faham betul jika perusahaan telat memberi gaji

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 40.B

    Bugh!Dara berhasil membuat Jeni terhuyung ke lantai dengan pukulannya, ia dan ibunya gegas masuk ke dalam rumah.Kebetulan di dalam ada Bu Nendah dan Naura yang sedang mempersiapkan acara tahlilan Bu Nisya."Rita," gumam Bu Nendah sambil mengehentikan aktifitasnya.Naura pun sontak melirik ke arah pandang ibunya."Naura, di mana Mas Bagus? Panggilin sana." Dengan pongah Dara memerintah."Ngapain kamu ke sini, Rita! Pergi sana! Ternyata bukan hanya kamu ya yang suka ngerebut suami orang tapi anakmu juga, emang ibu sama anak ga ada bedanya!" Hardik Bu Nendah.Jeni lah yang memberitahunya jika Dara adalah perusak rumah tangga Pak Bagus dan Bu Nisya."Jangan ikut campur! Kamu juga ngapain di sini sih? Sana balik ke rumah sakit jiwa," ejek Bu Rita tak mau kalah.Sementara Dara masih celingukan ke sekeliling ruangan mencari suaminya."Saya emang gila dan itu karena kamu sudah memisahkan saya dan Naura, dan saya sudah sembuh, saya doakan selanjutnya kamu atau anakmu ini yang gila," balas Bu

  • Perkara Mahar Satu Miliar   Bab 40.A

    Bu Rita yang sedang maskeran di kamarnya terlonjak kaget mendengar jeritan putri bungsunya, ia bergegas ke luar menemui Dara."Kamu kenapa sih?" "Ini, Bu, duit aku ilang semua." Dara masih sibuk mengecek ponsel berusaha menghubungi costumer servis bank."Kok bisa ilang? 'kan disimpan di ATM." "Aduh, Ibu, aku tuh kena tipu." Dara semakin panik."Kok bisa sih duit disimpan di bank ilang gitu aja," gumam Bu Rita yang minim pengetahuan."Gimana, Dara? Duitnya balik lagi 'kan setelah nelpon tukang banknya?""Ga tahu, pokoknya besok pagi aku diminta ke datang ke bank.""Aduuh gimana ini, Bu, mana duitku masih ada delapan ratus juta lagi di situ." Dara frustasi sambil mengacak rambutnya."Ya ampun! Kamu ini sarjana masa bisa ketipu sih, kamu itu 'kan pinter, Dara! Kok bisa ketipu!" teriak Bu Rita.Pak Endang yang tak tahan dengan suara bising di kamar sebelah pun beranjak menghampiri."Ada apaan sih? Malem-malem teriak?""Pak, duit Dara, Pak. Habis semua kena tipu."Pak Endang merenung sej

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status