Kudengar ibu ngomel-ngomel di kamar Dara, wanita itu tak terima memiliki menantu tukang cilok, apalagi mobil Alvin yang selama ini dibanggakan ternyata bukan miliknya membuat ibu makin murka Sementara aku Mas Feri dan bapak makan nasi Padang karena sudah waktunya makan siang, Feri kemari membawa lima bungkus nasi sengaja ingin makan bersama di sini "Jadi Dara mau nikah secepatnya?" tanya Feri Di bibir belahnya yang merah ada cabai hijau yang menempel sebesar biji beras, membuatku gemas ingin mencoleknya tapi malu sama bapak "Iya, Mas," jawabku "Oh ya nanti kita pulang bareng aja ya, kamu di sini dulu sampai aku pulang." Usai makan ia salat di kamarku yang dulu, lalu ia keluar dengan wajah yang begitu segar, ada desiran halus yang kurasa, entah kenapa aku jadi pengen cepat-cepat malam. "Dih, biasa aja kali lihatin orang ganteng sampe segitunya." Ia terkekeh kepedean. Aku hanya mengulum senyum tak punya kemampuan untuk menggoda dengan kata-kata. "Gimana? mas
Aku terkejut bukan main. Hari ini, aku baru mengetahui bahwa suamiku adalah seorang pemilik perusahaan dan boss tempatku bekerja! Rupanya, bukan hanya aku yang terkejut. Ibu pun sama terkejutnya, ia sampai terduduk di kursi sambil melongo. "Pabrik itu milik papa saya kok, Bu, jangan berlebihan gitu ah." Mas Feri masih merendah. "Tapi sebentar lagi kursi kepemimpinan bakal jatuh ke Pak Feri 'kan?" Bu Mita tersenyum lalu menatap ibu. "Beneran itu pabrik punya Nak Feri?" tanya ibu dengan mata melongo. Sedangkan yang ditanya, malah senyum-senyum gak jelas. Mas Feri benar-benar bertingkah seolah itu semua tidak berarti apa-apa. "Itu punya papa saya, Bu, saya cuma bantu kelola aja kok." Dia masih belum ngaku. Aku jadi teringat beberapa waktu ke belakang saat aku masih pendekatan dengan Mas Feri. Kala itu, aku sering kali berkeluh kesah padanya. Bahkan, aku menjelekkan pabrik itu padanya, seperti sering menambah jam kerja tanpa uang lemburan. Sering juga, aku menjelekkan
Mas Feri pun menghela napas. "Iya, tapi papaku juga ikut andil membangun bisnis itu, Ra, jadi bukan sepenuhnya milikku." "Terus, kenapa kamu malah bilang buruh di pabrik itu sama bapak? Ke aku, kamu juga bohong malah bilang cuma staff office produksi?" Mataku tak berhenti menatap wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus di dekat telinga. Selama dekat dengannya, aku memang tak curiga. Tampilannya biasa saja seperti para staf yang lain. Selama ini, aku pun hanya diajak makan di warung bakso sederhana, mie ayam, atau pecel lele, ia memang unik. "Ra, aku tuh pengen cari istri yang tulus, bukan melihat hartaku saja. Jujur, aku ga suka perempuan matre, dan kamu harus tahu mantanku matre semua," ujarnya membuatku ingin tertawa. "Terus, kamu pikir aku ga matre gitu?" tanyaku sambil mengulum senyum. "Kamu itu beda, itu buktinya menikah tanpa pesta aja ga masalah, bapakmu juga nerima kukasih uang masak enam juta." "Dan, selama kita kenal, kamu ga pernah minta dibeliin ini itu. Kamu juga sal
Mas Feri memberiku uang bulanan sepuluh juta, tentu saja nominal sebanyak itu tak pernah kupegang karena gaji yang diterima selama ini hanya UMR, itu pun sering diminta ibu."Cukup 'kan buat sebulan" tanya Mas Feri sambil menyeringai."Lebih dari cukup, Mas. Terima kasih ya.""Kamu kenapa?" Mas Feri seolah bisa membaca kegelisahanku."Engga apa-apa kok, besok aku mau izin ke rumah bapak lagi ya, Mas, sebentar aja nanti aku balik sendiri.""Emang ada masalah apa?" tanya Mas Feri sedikit maksa.Aku diam mau bercerita soal ibu tapi malu, aku takut dia membenci keluargaku termasuk bapak."Mau ambil motorku, Mas, ga apa-apa 'kan?" Ia mengangguk."Aku mau mandi dulu ya, setelah itu kita makan bareng-bareng."Aku mengiyakan walau rasa canggung masih meliputi hati ini, masa iya aku makan begitu saja sementara seharian ini aku keluyuran tanpa bekerja.Kalau begini lebih baik aku memiliki rumah sendiri walaupun tak sebesar ini, tinggal dengan mertua apalagi ipar memang serba salah.Mas Feri se
"Gini, Ra, rumahku dengan pabrik itu jaraknya satu jam lebih, belum pagi-pagi suka macet, kamu bayangin kalau aku naik mobil nyampenya jam berapa, aku tuh paling males terjebak kemacetan, lebih enak pakai motor bisa nyalip," jawabnya enteng.Baiklah ini alasan yang masuk akal, aku manggut-manggut walau sedikit tak terima, Dara yang sering dipuja ibu dan tetangga karena punya pacar yang memiliki mobil bagus, itu ternyata mobil suamiku.Dan aku yang saat itu pacarnya Mas Feri harus menerima cacian karena dibandingkan dengan Dara yang katanya memiliki pacar kaya raya.Oh Tuhan, kenapa serumit ini?"Terus kenapa Pak Anwar sering minjem mobil kamu? emang kamu ga tahu kalau mobil kamu ini suka dipakai ngapel sama anaknya ke rumahku?"Maksudnya?" tanya Mas Feri ngeselin.Aku mendelik kesal."Bicaranya yang pelan dong biar aku ngerti." Ia bicara lagi.Mau tak mau aku menjelaskan secara rinci, jika Pak Anwar adalah bapaknya Alvin, dan dia itu pacarnya Dara. Setelah mulutku berbusa barulah Alvi
Tubuhku lemas dan langsung luruh terduduk di lantai, benarkah apa yang sudah diucapkan wanita itu? entah kenapa ada rasa senang menyelinap dalam hati.Pantas saja selama ini ia tak pernah tulus menyayangiku, hanya sebuah kebencian yang ia tunjukkan, ternyata ini penyebabnya."Bahkan, jika uang satu milyarmu itu diberikan padaku ga akan cukup untuk membayar jasa-jasaku!" teriaknya lagi dengan kalap "Aku minta uang dua puluh juta saja kamu pelitnya minta ampun, padahal uangmu itu banyak! Sekarang aku jual motor bututmu itu masih saja kamu mempermasalahkan!" Lagi-lagi ia meracau seperti orang gilaSementara aku tak memiliki daya untuk melawan, tenagaku seperti terkikis saat mendengar kenyataan tadi, bagaimana tak kaget selama ini aku diasuh sekaligus disiksa batin oleh wanita itu, sementara ibu yang telah melahirkanku entah di mana.Plak!Bapak menampar istrinya yang pemarah, wanita menor itu terperangah dan menatap suaminya dengan napas terengah-engah."Cukup! Kamu sadar ga apa yang su
Dan masih banyak pertanyaan yang menumpuk dalam dada, tapi semua itu tertahan oleh sebuah tangisan, derita demi derita yang kualami sejak kecil hingga sekarang terbayang begitu saja.Aku tergugu sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan, selama ini kukira hanya ibu yang jahat ternyata bapak pun sama, ia malah memberikanku pada wanita yang jahatnya melebihi seekor singa."Karena wanita itu ga pantas dipanggil ibu, Naura, seandainya aku tak merawatmu mungkin sekarang kamu ga akan nikah dengan lelaki baik-baik, mungkin kamu udah jadi pel*cur," sahut ibu tanpa rasa berdosa."Oh ya, lalu apa bedanya aku diasuh kamu? selama ini kamu hanya menyiksa batinku saja!" teriakku murka.Rasa hormatku hilang pada wanita yang selama ini kupanggil ibu, jika menuruti napsu ingin kucekik saja wanita yang sudah merawatku itu."Aku kecewa karena Bapak diam aja, kalau Bapak ga mau kasih tahu keberadaan ibuku maka aku bisa sendiri mencarinya."Lekas aku berdiri sambil mengalungkan tas ke bahu dan mela
"Bapak tahu ibu kandungmu tak lebih baik dari ibu tirimu, Ra, makanya Bapak lebih memilih menyembunyikan ini dari pada kamu kecewa pada akhirnya." Naura hanya diam tak mampu lagi menyangkal ucapan sang bapak, dirinya mencoba berdamai dengan perasaan emosi yang memuncak "Naura, soal motormu Bapak minta maaf karena ga berhasil merebutnya dari ibu, kita ke rumah lagi yuk mengambil hak kamu," ucap Pak Endang lagi dengan penuh penyesalan. Sebagai seorang ayah sebenarnya hatinya tak terima saat Naura diperlakukan tak adil oleh sang istri. Namun, bagaimana lagi ia takut jika protes maka istrinya itu akan membocorkan rahasia yang selama ini ia tutup rapat-rapat. "Biarin aja lah, Pak, toh dia ngambilnya secara paksa, aku yakin duitnya ga akan berkah," jawab Naura sambil berusaha menguatkan hati. Walau sebenarnya tak rela tapi ia terpaksa ikhlas dari pada kembali berdebat, toh sekarang ia bisa beli motor yang lebih bagus, begitu pikirnya "Yang ikhlas ya, Nak, in syaa Allah akan ada gantin
"Kecuali apa!" bentakku sambil menatapnya tajam."Loh, Sayang, kok kamu bentak-bentak Pak Bagas gitu? Ada apa?" tanya Mas Dari yang tiba-tiba datang dari arah belakang.Aku sudah tak tahan dengan semua ini, lantas berdiri dan menatap tajam wajah Bagas."Mas, lebih baik tolak bantuan dari lelaki ini!" telunjukku mengarah ke wajah Bagas.Lelaki itu sedikit panik dan ketakutan, ia pikir aku akan diam saja ditekan olehnya, jangankan menggertak mencoba membunuhnya saja aku berani.Ya, tepat dua tahun yang lalu Bagas mencoba melecehkanku di vilanya yang berada di puncak Bogor, mereka sengaja memberikan obat tidur pada ketiga temanku lalu dengan santainya menggodaku hingga berusaha melecehkanku di tempat itu.Namun, aku tak Sudi disentuh olehnya, saat itu aku melawan sekuat tenaga hingga berhasil memukul kepalanya dengan bangku, kepala Arvin berdarah, tetapi lelaki itu tak menyerah terus menyerangku untuk mengoyak diri iniHingga akhirnya aku kalap lalu menancapkan pisau daging ke perut dan
Naura mematung dengan tangan mengepal erat, di dadanya ada amarah yang membuncah hebat.Ia benci embusan napas itu, ia juga benci seringai menjijikkan itu yang hampir merenggut kesuciannya beberapa tahun silam, andai Naura tak pandai bela diri tentu sekarang dirinya sudah menjadi sampah."Maaf sekali, Pak Burhan, sepertinya saya berubah pikiran.""Maksud Anda?" Pria berjas silver bernama Burhan itu mengerenyitkan dahinya."Ya, tanah ini tidak jadi saya jual, mohon maaf ya, Pak."Lelaki bernama Burhan itu melirik Naura dengan intens, lalu melirik kliennya yakni Bagas."Maaf kalau boleh tahu apa alasan Bu Naura membatalkan jual beli tanah ini? Bukankah sebelumnya kita sudah sepakat soal harga? Di depan kita sudah ada pembeli yang berani menawar dengan harga tinggi loh, Bu."Naura terdiam sejenak menatap lelaki bernama Bagas yang sangat ia benci setengah mati."Alasannya karena saya tidak menyukai dia." Naura menunjuk dada Bagas dengan tatapan dingin.Sontak saja Bu Nendah dan Pak Burhan
"Pak Polisi?" Tenggorokan Dara tercekat.Bagaimana tak panik teman-teman yang digadang -gadangkan akan melindunginya malah hilang entah ke mana. Sekarang ia mendapati dirinya dalam keadaan mengkhawatirkan."Ini surat penangkapan Anda, saya harap Anda bisa diajak kerja sama." Polisi itu menyerahkan secarik kertas yang membuat Dara kian panik."Tapi ... saya ga bersalah kok, Pak polisi." "Ikut saja ke kantor ya. Ayo." Pimpinan aparat itu menyuruh bawahannya yang berjenis kelamin wanita agar membawa Dara."Sial!""Sial!"Ke mana Yopi, Clara dan yang lainnya? Lalu ada apa dengan tubuhku? Apa yang mereka lakukan semalam?Selama digiring pihak kepolisian Dara terus bertanya-tanya dalam hatinya, tiba-tiba ia langsung teringat Yopi.Apa jangan-jangan lelaki itu sudah menj*mah tubuhku? Kurang ajar kau Yopi, lihat saja nanti.Di ruang penyelidikan Dara terus di bombardir pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya kehilangan konsentrasi karena pertanyaan tersebut hanya itu-itu saja dan dilontar
"Soal itu kami masih menyelidikinya Pak Feri jangan khawatir kita akan menemukan pelakunya secepat mungkin."Usai berbincang dengan aparat kepolisian jenazah Pak Bagus pun diperbolehkan pulang, seluruh keluarga besar Bu Nisya dan Pak Bagus datang kembali ke rumah itu.Mereka tak menyangka Pak Bagus akan meninggal dalam waktu berdekatan dengan istrinya, ada yang menganggap ini cinta sejati antara mereka ada juga yang menganggap karma."Fer, apa kamu melihat Dara?" tanya Farhan."Tidak, aku sudah menelpon Pak Endang mungkin dia di perjalanan sekarang," jawab Feri.Benar saja beberapa menit kemudian Pak Endang dan Bu Rita datang memakai pakaian serba hitam."Saya ikut berduka cita, Nak Feri," ucap Pak Endang."Terima kasih.""Oh ya mana anakmu si Dara itu? Kenapa dia ga ke sini?" tanya Jeni yang duduk di dekat suaminya.Saat ini jenazah Pak Bagus sedang dimandikan di belakang rumah.Pak Endang tak menjawab ia malah melirik istrinya."Mungkin sebentar lagi," jawab Bu Rita, karena sebenarn
"Hah!" Napas Dara terengah-engah melihat suaminya tergeletak di lantai dengan wajah penuh kesakitan, sedangkan dari dalam dadanya keluar darah dengan derasIa baru tersadar jika tindakannya barusan memang dikuasi setanDara beringsut mundur sambil menutup mulutnya, tubuh kurus itu bergetar ketakutan."Mas." Dara menggoncangkan tubuh suaminya menggunakan kaki.Tapi Pak Bagus tak bergerak, bahkan matanya melotot tanpa berkedip.Dara semakin panik, matanya liar melihat ke sekeliling ruangan, beruntung tak ada yang menyaksikan karena sanak saudara Bu Nisa telah pulang tadi malam.Perempuan itu pun mundur perlahan lalu pergi dengan berlari kencang, keluar dari perumahan itu baru ia bisa berhenti berlari karena napasnya terengah-engah."Ya Tuhan, apa Mas Bagus meninggal?" Seluruh tubuhnya bergetar hebat.Ia pun segera naik angkot lalu pulang ke rumah melewati ibunya yang sedang mengemas barang dagangan."Gimana, Ra? Pak Bagus ngasih uang?" tanya Dara.Bahkan ia lupa jika dompet suaminya ya
Dara melotot sambil melirik suaminya, tak menyangka Pak Bagus yang bucin bisa menuduh sekejam itu, ya walaupun tuduhan itu benar, pikir Dara."Apaan sih kamu ga jelas banget, aku mana ngerti begituan, jangan mentang-mentang istri kamu meninggal terus kamu merasa bersalah dan mencampakkan aku gitu aja ya, Mas." Dara berusaha memutar balikkan fakta."Seminggu yang lalu saya dirukiyah sama Feri dan saya muntah, setelah itu tiba-tiba aja rasa cinta saya ke kamu jadi hilang, itu apa artinya kalau kamu ga melet saya hah." "Apa?! Cuma masalah kaya gitu Mas berani nuduh aku." Dara tersenyum getir."Bilang aja nyesel nikah sama aku karena istri kamu udah meninggal sekarang, ga usah nuduh aku macam-macam karena Mas ga punya bukti." Dara masih tak ingin kalah Pak Bagus terdiam berdebat dengan anak ingusan memang takkan pernah menemukan titik penyelesaian."Saya ga nuduh kamu, tapi saat ini perasaan saya ke kamu udah ga ada, Dara, terus kamu mau kaya gimana?" Pak Bagus pasrah, sudah terlalu ban
"Neng, kasian sekali ya Bu Nisya."Hari ini tepat setelah tujuh hari Bu Nisya pergi Naura pulang ke rumahnya dengan sang ibu, tak dapat dipungkiri menginap di sana membuatnya sedikit tak betah oleh sikap Jeni yang sering sekali menyindir."Nasibnya ga jauh beda sama Ibu, sama-sama ditinggalin suami.""Udah ah, Ibu jangan banyak pikiran sekarang istirahat ya.""Neng, kapan Ibu berhenti minum obat? Ibu udah sembuh kok."Naura menatap ibunya dengan tersenyum. "Iya Ibu udah sembuh, tapi minum obat juga harus karena yang suka Ibu minum itu vitamin bukan obat, aku juga suka minum vitamin kok ga hanya Ibu aja." Naura terpaksa berbohong"Oh gitu ya." Bu Nendah masih mikir."Udah istirahat."Setelah ibunya tertidur Naura segera menghampiri Feri di kamarnya."Perusahaan lagi pailit, Ra, uang buat menggaji karyawan dipakai Papa buat nikah kemarin.""Apa, jadi mahar satu milyar itu uang perusahaan?"Feri mengangguk.Bertahun-tahun menjadi karyawan ia faham betul jika perusahaan telat memberi gaji
Bugh!Dara berhasil membuat Jeni terhuyung ke lantai dengan pukulannya, ia dan ibunya gegas masuk ke dalam rumah.Kebetulan di dalam ada Bu Nendah dan Naura yang sedang mempersiapkan acara tahlilan Bu Nisya."Rita," gumam Bu Nendah sambil mengehentikan aktifitasnya.Naura pun sontak melirik ke arah pandang ibunya."Naura, di mana Mas Bagus? Panggilin sana." Dengan pongah Dara memerintah."Ngapain kamu ke sini, Rita! Pergi sana! Ternyata bukan hanya kamu ya yang suka ngerebut suami orang tapi anakmu juga, emang ibu sama anak ga ada bedanya!" Hardik Bu Nendah.Jeni lah yang memberitahunya jika Dara adalah perusak rumah tangga Pak Bagus dan Bu Nisya."Jangan ikut campur! Kamu juga ngapain di sini sih? Sana balik ke rumah sakit jiwa," ejek Bu Rita tak mau kalah.Sementara Dara masih celingukan ke sekeliling ruangan mencari suaminya."Saya emang gila dan itu karena kamu sudah memisahkan saya dan Naura, dan saya sudah sembuh, saya doakan selanjutnya kamu atau anakmu ini yang gila," balas Bu
Bu Rita yang sedang maskeran di kamarnya terlonjak kaget mendengar jeritan putri bungsunya, ia bergegas ke luar menemui Dara."Kamu kenapa sih?" "Ini, Bu, duit aku ilang semua." Dara masih sibuk mengecek ponsel berusaha menghubungi costumer servis bank."Kok bisa ilang? 'kan disimpan di ATM." "Aduh, Ibu, aku tuh kena tipu." Dara semakin panik."Kok bisa sih duit disimpan di bank ilang gitu aja," gumam Bu Rita yang minim pengetahuan."Gimana, Dara? Duitnya balik lagi 'kan setelah nelpon tukang banknya?""Ga tahu, pokoknya besok pagi aku diminta ke datang ke bank.""Aduuh gimana ini, Bu, mana duitku masih ada delapan ratus juta lagi di situ." Dara frustasi sambil mengacak rambutnya."Ya ampun! Kamu ini sarjana masa bisa ketipu sih, kamu itu 'kan pinter, Dara! Kok bisa ketipu!" teriak Bu Rita.Pak Endang yang tak tahan dengan suara bising di kamar sebelah pun beranjak menghampiri."Ada apaan sih? Malem-malem teriak?""Pak, duit Dara, Pak. Habis semua kena tipu."Pak Endang merenung sej