(Flashback)Mata Feri terpukau dan enggan berpaling ke arah mana pun, mata coklatnya itu tetap lurus menatap seorang perempuan yang sedang bicara di depan sana, di depan banyak orang dalam sebuah acara seminar. Gadis yang mengenakan rok hitam dengan kemeja warna hijau army kekinian dipadukan dengan Khimar menutup dada dengan warna senada terus bicara dengan elegan di hadapan orang banyak."Dia siapa sih?" tanya Feri pada teman di sebelahnya."Lu tadi denger 'kan, namanya Naura Permatasari, salah satu mahasiswa manajemen berprestasi, ga tahu dari campus mana gua lupa lagi." Teman Feri yang bernama Faisal itu terkekeh.Feri hanya diam menikmati pemandangan yang menakjubkan di depan sana, saat itu Feri baru lulus kuliah dan langsung diajak bergabung mengurus pabrik oleh papanya.Karena ingin memulai bisnis ia sering mengikuti seminar wirausaha dengan harap bisa mendapatkan ilmu-ilmu di sana.Dalam acara itu Feri tak memiliki keberanian untuk mendekati Naura ia hanya kagum setelah tahu
Usai lelaki itu pergi Naura kembali bertanya. "Emang mau ngomong apa?""Emm ... apa ya ... jadi lupa gara-gara ada cowok tadi.""Ya udah pikirin aja dulu."Naura hanya manggut-manggut merasa aneh, sementara Feri hanya mengaduk-aduk mie ayam tanpa menyantapnya."Aku ...." Feri terdiam, seketika Naura menoleh keheranan."Ya?""Aku ...." Lagi-lagi bibir Feri terasa berat untuk bicara."Aku aku terus, kenapa sih?" Naura makin penasaran."Aku mau kita lebih dekat, Ra, kamu mau 'kan jadi pacarku?" Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirnya, hingga kemudian wajah klemis Feri menghangat.Naura diam sejenak merasa aneh, setahun lebih mereka saling kenal, tapi selama itu mereka jarang komunikasi."Maaf aku ga bisa," jawab Naura"Gitu ya." Feri menunduk kecewa."Aku ga bisa pacaran, Fer, maaf ya," ujar Naura lagi, seketika Feri menoleh."Kalau menikah mau?" tanya Feri antusias.Wajah Naura langsung merah jambu."Kalau serius datang aja ke rumah sama orang tuamu," jawab Naura."Ini serius, R
Bab 14. A MSNaura menangis di hadapan suaminya, malam yang seharusnya dilalui dengan kehangatan itu harus terlewat lantaran Naura tak bisa memendam kesedihannya."Aku tuh bukan anak kandung ibu, Mas, pantesan aja sejak dulu Ibu ga pernah menyayangi aku."Feri terdiam lalu mendekap sang istri."Emang tadi bapak bilang apa gitu?" tanya Feri sambil mengelus punggung istrinya."Ibu marah saat aku ga izinin jual motor yang sering kupakai dulu itu loh, mungkin ibu keceplosan bilang aku bukan anaknya, Mas, dan mau ga mau Bapak yang selalu menutupi rahasia ini pun akhirnya ngasih tahu." Naura menangis kembali.Dan mengalirlah cerita demi cerita yang ia lalui tadi siang bersama bapaknya."Ya sudah kalau gitu besok kita cari ibumu ya." Feri menenangkan istrinya."Tapi 'kan besok Mas kerja." Naura mendongak menatap suaminya."Engga lah, ada papa, Mas akan bicara besok pagi.""Terima kasih, Mas." Semenjak menikah dengan Feri Naura memiliki kekuatan untuk hidup, berbeda dengan dulu ia tak ubahny
"Masa sih, Bu, maksud saya Bu Nani adiknya Bu Nendah." Naura menyebut nama ibunya."Oh berarti bukan Bu Nani itu, coba Neng cari lagi di RT sebelah, kayaknya Bu Nani yang dimaksud bukan warga RT sini deh, Neng," ucap ibu itu lagi membuat dada Naura menjadi lega."Emang ini RT berapa, Bu?" tanya Naura."Ini RT tiga."Naura melirik secarik kertas pemberian bapaknya, pantas saja salah ternyata memang beda RT. Feri pun melajukan motor lagi melewati kebun dan area pesawahan."Udah, Mas, berhenti sini aja." Naura menepuk punggung Feri, ia pun mulai tersenyum pada dua orang warga yang sedang mencari kutu di teras rumahnya, setelah itu ia mengucap salam."Saya mau tanya rumah Bu Nani sebelah mana ya?"Kedua perempuan itu saling pandang."Nama Bu Nani ada dua, Neng.""Emm ... Bu Nani adiknya Bu Nendah," jawab Naura."Oh kalau Bu Nani yang itu udah pindah, Neng, dari sini Eneng jalan melewati pesawahan, motor ga bisa masuk taruh aja di sini aman kok."Hati Naura sudah lelah ingin menyerah, ia
Naura menatap Bu Nani dengan pandangan penuh tanya, berbeda dengan Feri ia sudah merasakan sesuatu ketika pertama kali melihat mata ibu mertuanya itu."Ibu sakit apa, Bi?" tanya Naura.Perempuan berdaster lusuh itu tersenyum. "Sebaiknya ngobrol di dalam yuk, di sini ga enak takut Eneng jijik."Naura menggeleng cepat. "Engga, Bi, cerita di sini aja, aku ga jijik."Bu Nani mengangguk."Teh Nendah depresi karena ditinggalkan bapakmu sekaligus berpisah dari Eneng, awalnya dia sering nangis sendiri terus melamun, makan ga mau, lama-lama Teh Nendah suka bicara sendiri, kadang nimang-nimang buntelan kain seolah itu anaknya yang dibawa pergi sama Endang."Bu Nani menyeka pelan sudut matanya yang basah, orang tua Bu Nani telah lama tiada, selama ini ia bertanggung jawab mengurus kakaknya yang depresi, karena saudara yang lain tak ada yang sudi mengurusnya."Kata orang Teh Nendah gila, Neng, padahal enggak, Teh Nendah cuma kangen sama anaknya," lanjut Bu Nani sambil menangis.Sedangkan wanita y
Bun Nani yang sedang membersihkan wajan pun tercenung sambil menatap keponakannya itu."Itu fitnah, Neng, sama sekali ga bener, bapakmu salah faham," ujar Bu Nani sambil menghela napas."Maksudnya" Naura semakin antusias, hatinya berdoa semoga tuduhan keji itu tak salah."Waktu itu bapakmu merantau kerja ke luar kota, dan ibumu di sini menunggu bapakmu pulang dua bulan sekali.""Waktu kecil Eneng sering sakit bahkan sering bolak balik ke rumah sakit, ibumu sering minta bantuan Kang Kosim buat antar ke rumah sakit pakai mobil pickup-nya, dari situlah fitnah dimulai," ujar Bu Nani."Kang Kosim itu duda, dan hanya dia yang punya kendaraan di kampung ini waktu itu.""Cuma itu aja, Bi? Masa cuma gara-gara itu Bapak salah faham," sahut Naura, hatinya mulai menyalahkan sang ayah.'Andai bapak dan ibu tak bercerai mungkin masa kecilku bahagia, hidupku tak tertekan oleh perangai ibu' batin Naura bicara."Bukan, Neng. Puncaknya waktu Teh Nendah pulang dari rumah sakit malam-malam sama Kang Kosi
(FLASHBACK)"Semalam aku lihat Si Nendah istrimu sama si Kosim berduaan dalam mobil pickup, malam-malam di tengah hutan, hujan lebat pula, coba kamu pikir mereka berdua kira-kira ngapain kalau bukan berzina di tempat sepi."Telinga Endang memanas mendengar laporan dari perempuan itu."Kamu yakin, Rita, yang kamu lihat itu si Nendah?" tanya Endang lagi, amarah mulai naik ke ubun-ubunnya.Ia lelah bekerja sebagai tukang bangunan di kota, harusnya sang istri bisa setia di kampung sana, begitu fikirnya."Yakin sekali, Endang, kalau kamu ga percaya telpon si Juri, semalam aku dibonceng dia, dia juga sama-sama melihat si Nendah berduaan dalam mobil." Rita janda dua anak itu menyeringai sambil menempelkan ponsel jadul ke telinganya."Gitu ya? Ya sudah aku mau telpon si Juri dulu, terima kasih infonya ya, Rit.""Sama-sama, sebagai teman aku ga rela lihat kamu dikhianati di belakang, Dang." Nada suara Rita sengaja dibuat lembut.Dada Endang terasa sesak, jika saja tuduhan perselingkuhan itu be
"Kamu jangan bohong, Rita, aku ga mau salah paham lagi sama istriku." Endang berusaha membela walau hatinya sudah panas."Aku ga bohong, kalau ga percaya silakan telpon tetangga Kang Kosim, mereka pada lihat kok."Begitu telpon terputus Endang langsung menelpon Bu Tarni, hanya nomor wanita itu yang dimiliki Endang, kebetulan rumah wanita itu berdekatan dengan Kosim."Iya bener, Endang, kemarin istrimu memang ke rumah si Kosim sendirian lagi, mereka juga sering jalan bareng, alasannya nganter ke rumah sakit, ga tahu setelah itu mereka jalan ke mana lagi," ujar Bu Tarni yang memang dasarnya tukang gosip.Jelas saja Endang meradang, keesokan harinya ia memilih mengabaikan pekerjaan dan pulang ke rumah hendak menumpahkan amarah."Aku ke rumah Kang Kosim cuma nganterin uang ongkos aja, Kang, cuma sebentar abis itu pulang lagi, kamu jangan dengerin apa kata orang dong." Nendah membela diri usai suaminya marah-marah begitu datang ke rumah."Halaah, semua tetangga di sana udah risih lihat sik