Hatiku hancur melihat anak-anakku tidak mengenali aku sebagai mama mereka, tetapi memanggil wanita lain dengan sapaan itu. Darahku yang mengalir di darah mereka. Aku yang mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan mereka. Aku memberi keluarga Agung dua orang anak laki-laki sebagai penerus. Begini mereka membayar keringat dan darahku.
Belum cukup menyaksikan perempuan lain berbincang dan bercanda layaknya ibu dan anak selama dalam perjalanan singkat yang terasa panjang itu, aku diberi kejutan lain. Ayah, Ibu, dan Lauren juga datang ke rumah yang aku yakin adalah tempat tinggal baru keluargaku. Mereka keluar dari mobil begitu melihat mobil yang Jeff kemudikan mendekat.
“Kakek! Nenek!” seru Jax dan Remy secara bersamaan.
“Iya! Itu Kakek dan Nenek yang datang untuk melindungi kalian,” ucap Dina yang menatap tajam ke arahku. Dia segera keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk anak-anak.
Aku membantu membukakan sabuk pengaman Remy, ketika Dina membantu Jax. “Terima kasih!” seru Remy yang segera menoleh ketika Dina memanggil namanya. Aku belum sempat membalas ucapan putraku tersebut. Aku mengepalkan kedua tangan, tetapi langsung teringat dengan latihan yang sudah aku jalani. ‘Tenang, Jenar. Semua bisa diatasi dengan kepala dingin.’
Jeff membukakan pintu di sampingku. Mungkin dia sudah tidak sabar untuk segera pergi dari tempat ini. Urusan yang harus dia kerjakan di kantornya tentu sangat mendesak. Aku menarik napas panjang, kemudian memberanikan diriku untuk keluar dan menghadapi keluarga suamiku yang sedang marah.
“Ayah, Ibu, Lauren, kita bertemu lagi,” ucapku dengan sopan. Lima tahun tidak bertemu, mereka tidak banyak berubah, terutama sikap mereka kepadaku. “Aku sudah bebas.”
“Kalau begitu, pergilah. Mengapa kamu malah datang ke sini? Kamu wanita bebas, jadi kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau.” Ibu menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. “Aku tidak mau hidup putraku dan kedua cucuku ikut hancur karena kamu. Kamu bisa saja marah dan gelap mata. Aku tidak mau nyawa mereka melayang.”
Aku memejamkan mata merasakan sakitnya tuduhan itu. Belum cukup luka yang ditorehkan Dina, Ibu juga tidak mau kalah. Tidak pernah tebersit sedikit pun di benakku untuk menyakiti suamiku, apalagi anak-anakku sendiri. Tetapi aku hanya diam dan tidak menjawab.
“Bu, aku harus kembali ke kantor. Aku mohon, bicarakan baik-baik di dalam,” kata Jeff menengahi. Dia menoleh ke arah Ayah sambil memberikan tasku. “Tolong, jaga keluargaku, Ayah. Biarkan Jenar istirahat dan jangan marahi dia lagi. Dia masih istriku.”
“Apa?? Apa maksudmu, Jeff? Mengapa kamu belum juga mengurus perceraian kalian?” protes Ibu dengan keras sambil menatap aku dan Jeff secara bergantian. Ayah segera menenangkannya.
“Pergilah, Jeff. Aku yang akan menjaga mereka,” kata Ayah. Mendengar itu, Jeff terlihat lebih tenang. “Ayo, Nak. Masuklah. Lauren akan menunjukkan di mana kamarmu.” Ayah tersenyum kepadaku.
Aku mengangguk menurut. Jeff meninggalkan sisiku dan berjalan mendekati mobilnya. Aku menoleh dan melihat dia masuk ke mobil sebelum mengikuti Ayah dan Ibu masuk ke rumah. Suamiku sama sekali tidak mau melihat ke arahku sesaat pun.
Mereka berjalan menuju bagian dalam rumah, aku mengikuti. Anak-anak sedang duduk melingkari meja makan. Ada segelas jus jeruk dan sepotong kue di atas piring untuk mereka masing-masing. Dina menawarkan jus itu kepada Ayah dan Ibu yang segera mereka tolak. Aku melihat baik-baik apa yang dia pegang. Jus kemasan. Apakah Jeff membiarkan dia memberi racun itu kepada anak-anakku? Orang tuanya saja menolak meminum itu.
“Apa yang kamu lakukan di situ? Ayo, cepat, ikut aku,” ucap Lauren yang berdiri di dekat tangga, tidak sabar.
“Ini, Nak,” kata Ayah yang memberikan tasku kepadaku.
Aku mengikuti Lauren menuju lantai atas. Ada empat pintu di lantai tersebut. Dia berjalan menuju pintu yang dekat dengan jendela. Kamar itu cukup besar dengan sebuah kasur yang cukup untuk dua orang dewasa, sebuah lemari pakaian tiga pintu, bufet, sebuah kursi dengan mejanya, dan jendela besar di satu sisi kamar.
“Ini kamar yang Kak Jeff siapkan untukmu. Jangan coba-coba ke kamar utama di lantai dasar. Itu kamar Kakak dengan Kak Dina. Apa kamu mengerti?” katanya dengan nada tajam. “Jangan turun ke bawah sebelum kami pulang. Aku tidak sudi melihat wajahmu lagi!” Dia sedikit mendorong aku agar masuk ke kamar.
Aku menurut dengan tidak keluar dari kamar. Tubuhku lelah dengan perubahan yang aku alami dan kejutan demi kejutan yang menyambut. Aku tidak ingat kapan aku tertidur. Tetapi saat membuka mata, keadaan di sekitarku sudah gelap.
Keadaan di lantai bawah sudah sepi. Hanya lampu di ruang makan yang dibiarkan menyala. Mungkin keluarga Jeff sudah pulang dan penghuni rumah sudah tidur di kamar mereka. Mendengar bunyi pagar dibuka, jantungku berdebar dengan kencang. Siapa yang datang malam-malam begini?
Hanya ada garpu yang bisa aku jadikan senjata, maka aku memegangnya dengan erat. Aku berjingkat mendekati pintu, lalu menyibak celah tirai jendela sedikit agar bisa melihat siapa yang memasukkan alat ke lubang kunci. Sebelum aku bisa melihatnya, pintu terbuka. Aku segera mendekati orang itu, tetapi dia bergerak lebih cepat dengan menangkap pergelangan tanganku.
“Jenar!” katanya dengan suara tertahan. Aku tertegun mendengarnya. “Apa yang kamu lakukan!?”
Terbiasa menjaga diri selama berada di penjara, aku selalu bersikap waspada. Hal yang tidak bisa aku ubah begitu saja. Walaupun aku sudah punya teman-teman yang senasib dan selalu bersikap baik kepadaku, aku tidak terlena. Karena hanya ada satu orang yang akan selalu setia kepadaku dan tidak mungkin berkhianat, yaitu diriku sendiri.
“Jeff??” bisikku pelan. Dia pasti bersuara begitu pelan supaya anak-anak tidak terbangun. “Mengapa kamu datang diam-diam begini? Di mana mobilmu? Aku sampai berpikir ada pencuri yang mencoba untuk masuk ke rumah.” Dia melepaskan tanganku, lalu menutup pintu.
“Makanlah,” ucapnya sambil meletakkan kantong yang dia bawa ke atas meja.
Melihat dia tidak berniat menjawab pertanyaanku, aku tidak mendesaknya. Ada dua buah kotak di dalam kantong itu. Satu kotak berisi nasi goreng dan yang lain berisi martabak telur. Makanan kesukaanku bila dia pulang malam. Dia memberikan sebuah sendok.
“Terima kasih,” ucapku pelan. Aku mulai menyantap nasi tersebut. Jeff hanya berdiri bersandar di konter, tanpa mengatakan apa pun. “Apa kamu mau?” Aku menawarkan martabak itu kepadanya, tetapi dia menggelengkan kepalanya. Dia meletakkan segelas air minum di dekatku ketika aku memasukkan potongan terakhir martabak ke mulut.
Jeff berdiri di belakangku ketika aku selesai meneguk air minum tersebut. Aku mengerutkan kening merasakan dia menggeser kursi ke belakangku sebagai sinyal agar aku berdiri. Aku menurutinya. Dia memegang lenganku, lalu menarik aku mendekat. Pipinya menempel di pelipisku. Aku mendengar dia menghirup napas panjang.
“Hanya kamu yang cocok dengan aroma bunga ini,” bisiknya pelan. Aku memejamkan mata saat dia memeluk tubuhku dengan erat. “Aku merindukan kamu, Jenar.” Dia mencium sisi kepalaku, pelipisku, pipiku membangkitkan sensasi pada setiap ciuman yang dia tinggalkan. Tetapi sebelum dia berhasil menyentuh bibirku, aku menghalanginya dengan tanganku.
Dia memegang tanganku itu, lalu mencium telapaknya. Matanya menatap aku dengan dalam. “Aku ingin tidur denganmu.” Aku membuka mulut untuk menjawab, tetapi dia segera memotong, “Kamu tidak bisa menolak. Jangan lupa, kamu masih istriku.”
“Kamu menginginkan aku, Jeff?” Aku menggodanya dengan mendekatkan wajahku kepadanya. Dia menyambutnya dengan melakukan hal yang sama, tetapi aku segera menghindar saat dia berniat mencium bibirku. “Usir wanita itu dahulu dari rumahku.”
Jeff merapatkan bibirnya. Matanya menatap aku untuk beberapa saat sebelum dia melepaskan aku. “Kamu tahu aku tidak bisa melakukan itu.”
“Tidak bisa atau tidak mau,” tantangku. Dia hanya diam, lalu pergi ke kamar yang ada di sebelah kiri. Jadi, itu adalah kamar utama di mana dia dan perempuan itu tidur.
Aku menghembuskan napasku secara perlahan. Jantungku berdebar begitu cepat, tetapi sengaja aku abaikan. Aku yakin dia sudah merasakannya saat kami berpelukan tadi. Darahku berdesir membuat tubuhku gemetar. Ya, Tuhan. Aku juga menginginkan dia.
Lima tahun lebih kami tidak tidur bersama. Aku sudah berpuasa selama bertahun-tahun. Ketika kesempatan ini akhirnya datang, sudah ada perempuan lain di ranjangnya. Aku tidak mau berbagi. Bila dia menginginkan aku, maka dia harus mengusir Dina.
Jam digital di atas nakas menunjukkan beberapa menit sebelum jam dua belas. Hampir tengah malam. Aku berganti pakaian dan mengenakan sepatu kets. Sepelan mungkin, aku keluar dari kamar ke pintu depan. Aku harus segera pulang sebelum ada yang bangun, karena aku membawa satu-satunya kunci yang ada di rumah.
“Masalah ini harus aku selesaikan besok. Jangan sampai urusan kunci membongkar rencanaku,” batinku saat mengunci gembok pagar kembali.
Aku meneteskan pelumas ke engsel pintu dan pagar sebelum membukanya. Karena itu, semua pintu dan pagar tidak mengeluarkan bunyi saat aku buka maupun tutup. Jeff dan Dina tidak akan menyadari bahwa aku keluar dari rumah. Tidak ada seorang pun di luar. Para tetangga sepertinya sudah tidur juga. Aku berjalan setengah berlari menuju gerbang masuk perumahan.
Tidak jauh di depan, aku melihat sebuah mobil yang aku kenali. Jadi, dia meninggalkan mobilnya di sini. Mungkin dia tidak mau anak-anak terbangun saat dia pulang pada malam sebelumnya. Sesuatu yang hangat memenuhi dadaku. Dia ayah yang baik.
Dua cahaya berkedip dua kali dari arah depan. Aku memicingkan mataku. Itu adalah sinyal yang kami sepakati. Aku melihat ke sekelilingku sebelum memasuki mobil. Bagus. Tidak ada orang di sekitarku. Dua orang wanita di dalam mobil serentak menoleh ke arahku saat aku membuka pintu.
“Selamat datang kembali di kehidupan bebasmu, Jenar,” ucap Bian, teman satu selku yang telah bebas satu bulan lebih cepat dariku. “Senang bisa melihat kamu tertawa lagi, Bian.” Kami saling berpegangan tangan dan tersenyum terharu. Masa-masa sulit kami akhirnya berlalu juga. “Hei, ini bukan saatnya untuk melankolis. Kita harus bergerak dengan cepat, kalau mau rencana kita berhasil,” desak Talia. Kami menatapnya dengan bingung. “Kamu yang menyetir. Kami sama sekali tidak menghalangi kamu untuk menjalankan mobil, Talia,” goda Bian. Kami tidak bisa tidak tertawa mendengar namanya disebut. Dia begitu bangga menyebut bahwa neneknya adalah penggemar telenovela dari Meksiko. Dia menamakan salah satu cucunya dengan nama pemeran wanita idolanya. Dia berharap nasib cucunya tersebut akan sama dengannya. Sayangnya, Talia tidak sama seperti Thalia tersebut. Tidak sampai satu jam kemudian, kami tiba di depan sebuah rumah. Untuk ukuran seorang yang bekerja sebagai abdi negara, rumah itu termasuk m
Bukannya menjawab pertanyaanku, dia berdiri dan kembali ke kamarnya. Perempuan sialan. Apa lagi yang sudah dia rencanakan terhadap keluargaku? Tidak mau menunggu, aku memeriksa kamar anak-anak. Kosong. Pintu yang aku buka benar, karena ada dua tempat tidur untuk anak-anak dan lemari berisi mainan anak laki-laki. Pintu depan terbuka, aku melihat siapa yang datang. Jeff. Melihat pakaian yang dia kenakan, dia pasti baru saja berolahraga. Aku kembali menuju konter dapur dan memasukkan semua bahan makanan ke dalam wadah tertutup, lalu menyimpannya ke lemari es. Aku berbelanja banyak pagi tadi demi memasak untuk anak-anak. Mengapa aku tadi tidak memeriksa kamar mereka dahulu? Dina dan Jeff keluar dari kamar dalam keadaan rapi. Perempuan itu menarik tangan suamiku agar dia tidak pamit kepadaku. Ada-ada saja. Dia boleh memiliki pria itu selama yang dia mau. Aku tidak peduli aku masih diperlakukan layaknya istri atau tidak. “Selamat pagi, Bu!” sapa seseorang dari arah luar pagar. Aku membal
Dia tahu alamat lengkapku, jadi dia tidak perlu membuntuti aku pulang. Apa jangan-jangan dia mau memastikan aku berkata jujur atau berbohong? Tetapi petugas lapas saja tidak usil ingin tahu apa aku memberi data pribadi dengan jujur atau tidak. Jangan-jangan … dia tinggal di komplek ini juga. Oh, Tuhan. Aku sudah berhasil lepas darinya bertahun-tahun yang lalu. Mengapa dia datang lagi dan mengganggu hidupku? Jantungku berdebar dengan cepat dan tubuhku gemetar hanya memikirkan apa yang pernah terjadi pada masa laluku. Tidak. Aku tidak boleh membiarkan dia menang. Dia tidak punya pengaruh apa pun lagi dalam hidupku. “Bu.” Aku melompat terkejut saat pundakku disentuh. “Ah, maafkan saya. Tetapi ada mobil yang berhenti di depan rumah Ibu. Anda tinggal bersama Pak Jeffrey dan Ibu Adina, benar?” tanya seorang pria yang berpakaian satpam. Aku mengangguk pelan. “Sepertinya itu tamu.” “Biarkan saja. Dia datang tanpa memberi tahu. Aku tidak mau bertemu dengannya.” Aku tidak bergerak sedikit pun
~Jeffrey~ Orang-orang mengenal aku sebagai laki-laki dingin yang tidak bisa dibaca apa maunya. Aku tidak banyak bicara sehingga sulit menemukan orang yang bisa memahami aku. Anehnya, sikapku itu justru menarik perhatian para perempuan untuk mendekati aku. Walaupun aku tidak pernah kekurangan wanita yang bersedia untuk menjadi pacarku, belum ada yang bisa mengetuk pintu hatiku. Ibu sampai khawatir aku tidak akan pernah menikah. Padahal usiaku masih dua puluh lima tahun. Aku dan Lauren selalu menganggap angin lalu keluhan Ibu tersebut. Tetapi begitu adikku menikah, dia menjadi sekutu Ibu yang ikut menyusahkan aku. “Hei!” Seorang wanita muda menyentuh bahuku. “Maafkan aku. Tetapi sepertinya kamu salah tempat duduk.” Dia melambaikan tiket yang dia pegang. Aku menatapnya dengan bingung, lalu melihat ke sekelilingku. Aku baru sadar bahwa aku tidak duduk di antara teman-temanku. Melihat lambaian tangan dari sudut mataku, aku menoleh dan menemukan mereka. “Maafkan aku,” ucapku kepada wanit
Aku menyempatkan untuk mengambil semua milik pribadi Jenar di laci meja kerjaku, juga membeli ponsel dengan nomor baru untuknya. Semua itu aku letakkan di nakas di kamarnya. Dia masih seperti kebiasaannya. Tidak terbangun sekalipun ada yang menyentuhnya. Kesempatan itu aku gunakan untuk mencium keningnya. Bila waktunya tiba, aku akan bisa mencicipi bibirnya lagi. Tetapi tidak dalam kondisi tidur.Ketika memeriksa keadaan anak-anak, aku terkejut. Mereka tidak ada di kamar tidur mereka. Apa yang terjadi? Mengapa Dina tidak mengatakan apa pun kepadaku? Mereka adalah anak-anakku. Siapa yang berani mengambil mereka dari rumahku tanpa izinku?Aku keluar dari kamar dan menuju luar rumah. Biasanya aku berolahraga, tetapi pikiranku sedang kacau. Aku menelepon Ayah. Setelah menunggu beberapa saat, barulah aku mendengar suara sapaannya. Memahami apa tujuanku menelepon, Ayah segera meminta maaf.“Aku akan menjemput mereka sepulang dari tempat kerja. Aku harap Ayah dan Ibu tidak melakukan hal yang
Aku tidak mendengar dia membuka pagar, pintu depan, bahkan saat menaiki tangga. Aku baru tahu dia sudah sampai di rumah ketika dia membuka pintu. Itukah sebabnya aku tidak mendengar saat dia pergi tadi? Iya, aku tertidur. Tetapi aku pasti akan mendengar bunyi langkahnya menuruni tangga.Lampu kamar menyala. Dia menarik napas terkejut melihat aku duduk di tepi tempat tidurnya. Dia melihat ke luar kamar, lalu menutup pintunya dengan cepat dan sesenyap mungkin. Dia memakai baju hitam berlengan panjang dan celana panjang berwarna sama.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan suara berbisik. “Kalau Dina sampai tahu—”“Mengapa kamu tidak menjawab panggilanku? Kamu dari mana?” tanyaku tidak peduli dengan kekhawatirannya itu. Dia hanya diam. “Apa kamu menemui seorang laki-laki di luar sana untuk memenuhi kebutuhanmu?” Dia masih diam. Aku berdiri dan mendekat, tetapi dia mundur menjauh. Aku baru berhenti setelah dia tersudut di dinding.“Selama aku di dalam penjara, kamu tidak peduli
~Jenar~Aku menunggu dengan gugup melihat mereka lama sekali keluar dari kamar. Seharian ini aku hanya membantu Bian di tokonya, lalu pulang setelah makan siang bersamanya. Aku tidak tahu apa anak-anak akan pulang pada hari ini. Tetapi aku memasak kue andai hari ini keajaiban terjadi.Syukurlah, mereka tidak bersikap segan kepadaku. Dugaanku benar. Mereka mirip seperti papa mereka. Cara untuk memenangkan hati mereka adalah lewat perutnya. Semoga saja mereka juga menyukai semua makanan yang diberi cokelat, seperti Jeff.Pintu kamar terbuka, Jax dan Remy segera berebutan berlari mendekati aku. “Mama!” seru mereka sambil memeluk pahaku. Aku tertegun sejenak. Jeff keluar dari kamar dan berdiri di dekat pintu itu. Tidak ada emosi apa pun pada wajahnya.Aku melihat ke arah dua anak yang masih memeluk aku. Air mata jatuh saat aku akhirnya bisa membelai rambut halus dan lebat mereka. Aku memegang tangan mereka, lalu berlutut. “Kalian tadi memanggil aku apa?” tanyaku tidak percaya.“Mama!” jaw
Tanpa menjawab pertanyaannya yang menantang aku itu, aku memungut kue pemberian Bian dan memasukkannya kembali ke kotak. Untung saja setiap kue lemper itu terbungkus daun pisang dan plastik. Lantai kamarku juga bersih, jadi tidak ada debu yang menempel.Lalu sesuatu tebersit di kepalaku. Tidak. Aku pasti akan membunuhnya jika dia sampai melakukan hal itu lagi. Aku bergegas turun dan memeriksa kulkas. Berengsek! Yang aku cari justru berada di tempat yang sama, bersama nasi goreng yang dia buang tadi.“Kau …!” ucapku geram. Dia berjalan mundur, tetapi aku lebih cepat. Aku memegang kedua pipinya dengan tangan kananku. Lalu mendorong dia ke dinding. Aku tidak peduli mendengar ringisannya.“Apa kamu tahu berapa orang di luar sana yang tidak bisa makan?” ucapku geram, menahan amarah. “Ke mana otakmu sampai tega membuang semua makanan yang susah payah aku masak? Ini yang terakhir. Apa kamu dengar aku? Ini yang terakhir, atau aku bersumpah Jeff akan mengusir kamu dari rumah ini hanya dengan s
~Jeffrey~ Istriku bersaksi dengan berani dan menjawab setiap pertanyaan dengan gamblang. Apa pun kata yang digunakan kuasa hukum para terdakwa atau hakim saat bertanya, jawaban Jenar tidak berubah. Itu adalah bukti bahwa dia tidak berbohong atau mengarang jawabannya. Dia kembali duduk di sisiku setelah kesaksiannya dianggap selesai. Aku memegang tangannya dan meletakkan di atas pangkuanku. Aku bisa merasakan Dina tidak mengalihkan pandangannya dariku, tetapi aku mengabaikannya. Perbuatannya atas istriku tidak termaafkan. “Sayang sekali, sidangnya tertutup, jadi kami tidak bisa ikut menyaksikan yang terjadi selama sidang,” keluh Ibu. Ayah yang memanggil anak-anak, maka Ibu yang membukakan pintu rumah. “Pihak tergugat yang keberatan sidang itu dilaksanakan secara terbuka. Tidak apa-apa, Bu. Sidang masih berjalan dengan baik,” kataku, menjelaskan. “Papa! Mama!” seru anak-anak yang berlari mendekati kami. Aku meminta mereka untuk pamit kepada kakek dan nenek mereka, lalu kami keluar m
Jax dan Remy setengah menarik tanganku saat keluar dari taksi. Aku membawa banyak kantong plastik berisi keperluan sekolah mereka, jadi tidak bisa berjalan dengan cepat. Di mana Jeff? Apa dia tidak mendengar bunyi mesin mobil atau seruan anak-anak? Aku butuh bantuan dengan bawaanku. Lalu mengapa semua orang ini datang bersamaan ke rumah kami? Tidak ada acara khusus pada hari ini, juga tidak ada rencana akan membuat acara. Hanya ada suamiku di rumah, Lalu apa yang mereka lakukan di sini? Oh, tidak. Jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Jeff. “Cepat buka pintunya, Ma!” desak Jax. Tanganku gemetar saat mencari kunci di dalam tas, karena rasa khawatir. Putraku itu bergerak lebih cepat dengan menekan kenop pintu. Ternyata tidak dikunci. “Papa!” panggilnya serentak dengan adiknya. Aneh. Mengapa tirai jendela ditutup semua? Lampu juga tidak dinyalakan. Ke mana perginya mereka yang memarkirkan mobilnya di depan rumah? Anak-anak malah tertawa cekikikan di ruang depan sambil berjalan ke arah
Walaupun aku sudah bisa menebak siapa dan apa alasannya, aku mau mendengarnya langsung dari mulut kuasa hukumku. Polisi tadi sudah memberi petunjuk yang cukup jelas. Karena tidak mungkin hanya Wahyo yang melaporkan aku bila mereka sampai yakin bisa menjebloskan aku ke penjara lagi.Namun sebelum Franky menjawab, pintu ruangan dibuka dan seorang polisi masuk. Dia hanya mengangguk ke arah pengacaraku, lalu menutup pintu kembali. Apa maksud anggukan itu? Aku melihat ke arah Franky yang berdiri dari kursinya.“Kamu bebas. Ayo, kita pergi dan bicara di tempat lain saja.” Dia berjalan mendekati pintu.Sebuah ide bermain di kepalaku mendengar kalimat pertamanya itu. “Apa aku boleh melakukan satu hal sebelum kita pergi?”Entah apa yang Franky katakan, aku mendapat izin dari polisi. Pria itu menunggu di dekat pintu masuk, sedangkan seorang petugas menemani aku. Dia bersikap baik kepadaku dan tidak bersikap kasar seperti rekannya yang pernah membawa aku ke tahanan ini.“Akhirnya! Aku tahu kamu
Kakiku terasa lemas, tetapi aku berusaha untuk tetap berdiri dengan tegak. Kejadian beberapa minggu yang lalu kembali bermain di benakku. Mengapa mereka datang lagi? Anak-anak berada di rumah dan aku tidak mau memberi mereka trauma untuk kesekian kalinya. Aku melihat antara dua pria yang berdiri di depan pagar dan kunci pintu di hadapanku. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa menghalangi mereka melakukan tugas. Namun atas dasar apa mereka kini mendatangi rumah kami? Pasti ada hubungannya denganku. “Ada apa? Mengapa kamu tidak membuka pintu?” tanya Jeff yang ternyata berdiri di belakangku. Dia mengintip dari jendela, lalu mendesah pelan. “Biar aku yang bicara dengan mereka.” Aku mengangguk dan bergeser agar dia bisa membuka pintu dan keluar rumah. Aku mengintip apa yang dia lakukan di luar lewat jendela. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengar. Namun aku bisa menebak bahwa kedua polisi itu membawa kabar buruk, karena suamiku terlihat kesal. Apakah tujuan mereka datang
Kelima pria dan wanita itu mundur selangkah dan memasang wajah kecut melihat ke arah pria yang datang tersebut. Tentu saja mereka mengenalinya. Nyaris tidak ada yang tidak pernah mendengar namanya. Dia sudah banyak sekali memenangkan kasus sulit, tetapi kliennya menang. Mereka kini tahu siapa yang sedang mereka hadapi. Bukti palsu. Polisi mana yang mau menerima laporan didasarkan atas bukti palsu? Aku tidak akan melakukan hal yang sama yang telah mereka perbuat kepadaku. Aku akan membuktikan bahwa dengan prosedur yang benar pun, aku bisa menjebloskan orang jahat ke penjara. “Aku baru tahu di sini adalah kantor polisi,” kata Franky yang berjalan mendekat, lalu berdiri di depanku. “Pulanglah sebelum aku mengajukan laporan baru. Kalian pasti berada di sini untuk mengancam saksi. Apa kalian tidak tahu bahwa mengancam saksi ada hukumannya?” Membuktikan bahwa mereka tidak tahu, mereka terlihat panik. “Ti-tidak. Kami tidak datang untuk mengancam siapa pun,” kata salah satu dari mereka, men
Berbekal rekaman dari wanita pada malam sebelumnya, aku dan Moira berencana untuk melihat kelanjutan nasib dari polisi jahat tersebut. Aku sudah mengirim kopinya ke surelnya. Dia membalas dan meminta untuk bertemu. Itu yang aku tunggu-tunggu. Tentu saja bukan aku atau Moira yang akan menemuinya, tetapi wanita yang tidur bersamanya. Aku sudah berjanji kepada Jeff dan Franky, maka aku tidak akan mengingkarinya. Aku tidak boleh terlibat dalam urusan yang melanggar hukum lagi. Bila terpaksa, maka aku tidak boleh sampai ketahuan. “Apa kamu akan terus melakukan ini kepada orang yang menyakiti kamu, keluarga, atau sahabatmu?” tanya Moira setengah menggoda. Aku tertawa kecil. “Tidak. Ini yang terakhir. Para polisi itu tidak mengerjakan tugasnya dengan baik, jadi aku harus memberi mereka pelajaran. Bila tidak, mereka akan terus bersikap sewenang-wenang.” “Iya, kamu benar. Tetapi terus terlibat dalam hal yang berbahaya, tidak baik untukmu.” Moira melihat aku dengan serius. “Jax dan Remy memb
~Jenar~ Berada di penjara karena membela diri dan fitnah, sudah cukup membuat kami menderita. Terpisah dari keluarga untuk sementara maupun selamanya bukanlah kehidupan yang mudah. Lalu kami juga harus diperlakukan tidak adil setelah bebas, itu tidak adil. Aku sudah merencanakan hal selain menemui para penjahat itu untuk membalas perbuatan jahat mereka. Cara itu hanya aku lakukan kepada para saksi palsu. Untuk polisi licik dan tidak tahu diri, aku sudah menyiapkan hal yang lebih baik. Hal yang akan membuat mereka berhati-hati bertindak. “Kamu yakin mau melakukan ini?” tanya Talia heran. “Harus. Aku tidak terima dia memperlakukan Bian layaknya penjahat.” Aku mengangkat penutup kepala jaketku untuk menudungi rambutku. Bian mengeluarkan sebuah kandang dari bagian belakang mobil, lalu kami menyeberangi jalan menuju rumah targetku. Setelah memanjat pagar dan mendarat sesenyap mungkin, kami menuju bagian belakang rumah. Bian melakukan keahliannya membuka kunci, dan aku tersenyum saat pi
~Jeffrey~Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Lauren, adikku sendiri, yang sudah meracuni anak-anakku. Hal yang ingin sekali aku lakukan adalah bicara dengannya dan memintanya untuk bicara jujur. Apa kesalahan Jax dan Remy sampai mereka harus menjadi korban keegoisannya?Mereka memang selamat dan ditangani dokter segera, tetapi mereka bisa saja kehilangan nyawa pada hari itu juga. Kami tidak pernah punya masalah sebelumnya, lalu apa yang mendorong dia melakukan hal sejahat itu?“Jadi, dana yang telah kita terima dari donatur, cukup untuk melaksanakan program liburan kita,” kata kepala keuangan organisasi.Orang yang aku pikir melakukannya adalah Dina. Wajar saja jika dia bisa semudah itu menyakiti anak-anak, karena mereka bukan miliknya. Tidak aku sangka, adikku sendiri pelakunya. Dia bahkan tidak ragu-ragu menjadikan kedua anaknya sebagai korbannya juga.“Bagaimana, Jeff? Apa pendapatmu? Dana yang lebih sebaiknya kita gunakan untuk apa?” tanya bosku. Dari ekspresi wajahnya,
Aku duduk di sisinya dan melihat layar tablet tersebut. Ternyata ada sebuah berita yang tidak aku duga. Bertahun-tahun berusaha untuk melupakan dan melanjutkan hidup, akhirnya aku bisa melihat orang yang menyakiti aku mendapat ganjarannya.Perjuanganku menunjukkan hasilnya juga. Bukan hanya aku yang menuntut perbuatannya di masa lalu, tetapi ada banyak wanita lain. Mereka melaporkan perbuatan pria itu di kantor polisi di mana dia bertugas. Syukurlah, aku tidak mundur ketika menemui banyak kesulitan.“Sayang, apa kamu tidak apa-apa?” Jeff menyeka pipiku. Tanpa aku sadari, aku menangis.Aku menggeleng pelan, lalu meletakkan kepalaku di bahunya. “Aku tidak apa-apa. Ini air mata haru. Aku senang dia akhirnya akan membayar semua perbuatan jahatnya. Semoga saja Franky sehebat yang Moira katakan.”“Dia lebih hebat dari yang sahabatmu katakan. Aku melihat sendiri bagaimana dia mengatasi polisi yang tidak mau membebaskan kamu dari tahanan. Jadi, jangan khawatir. Wahyo dan Dina akan mendekam di