Share

5|Keluarga Suamiku

Penulis: Meina H.
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dia tahu alamat lengkapku, jadi dia tidak perlu membuntuti aku pulang. Apa jangan-jangan dia mau memastikan aku berkata jujur atau berbohong? Tetapi petugas lapas saja tidak usil ingin tahu apa aku memberi data pribadi dengan jujur atau tidak. Jangan-jangan … dia tinggal di komplek ini juga.

Oh, Tuhan. Aku sudah berhasil lepas darinya bertahun-tahun yang lalu. Mengapa dia datang lagi dan mengganggu hidupku? Jantungku berdebar dengan cepat dan tubuhku gemetar hanya memikirkan apa yang pernah terjadi pada masa laluku. Tidak. Aku tidak boleh membiarkan dia menang. Dia tidak punya pengaruh apa pun lagi dalam hidupku.

“Bu.” Aku melompat terkejut saat pundakku disentuh. “Ah, maafkan saya. Tetapi ada mobil yang berhenti di depan rumah Ibu. Anda tinggal bersama Pak Jeffrey dan Ibu Adina, benar?” tanya seorang pria yang berpakaian satpam. Aku mengangguk pelan. “Sepertinya itu tamu.”

“Biarkan saja. Dia datang tanpa memberi tahu. Aku tidak mau bertemu dengannya.” Aku tidak bergerak sedikit pun dari tempat persembunyianku.

“Kalau Ibu merasa terganggu, saya bisa mengusirnya,” katanya menawarkan diri. Mengusir? Apa itu artinya dia tidak tinggal di sini? Syukurlah.

Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak perlu, terima kasih.” Apa dia tidak melihat seragam yang dikenakan pria itu? Dia tidak akan bisa berhadapan dengan seorang polisi tanpa menimbulkan masalah. Lagi pula, dia hanya orang biasa yang dibayar untuk menjaga keamanan. Bukan seorang perwira yang bisa disejajarkan dengan pihak yang berwajib.

Begitu petugas tadi melaporkan bahwa mobil itu sudah pergi, aku bergegas menuju rumah. Aku membuka kunci gembok, tetapi tidak ada satu anak kunci pun yang cocok pada gembok tersebut. Aneh. Aku menggunakan anak kunci yang aku bawa, mengapa tidak ada yang cocok?

Bunyi pintu rumah dibuka menarik perhatianku. “Oh! Kamu sudah kembali,” seru seorang wanita dari arah ambang pintu.

Aku mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan Ibu yang menghirup minuman dalam cangkir yang dipegangnya. Lauren menyusul dengan sepiring panekuk yang sengaja aku simpan di lemari. Aku memerhatikan gembok yang berusaha aku buka. Pantas saja. Pasti mereka yang menggantinya.

“Sebaiknya kamu pergi. Ini bukan rumahmu dan kamu tidak diinginkan di sini.” Lauren duduk dengan santai di salah satu kursi rotan di teras. Ibu sudah terlebih dahulu duduk di kursi lainnya. “Beri tahu di mana alamatmu, barangmu akan aku kirim.” Dia memakan kue itu dengan santai.

Apa susahnya masuk ke pekarangan dengan dua kaki yang sehat? Aku memanjat pagar yang dekat dengan taman, lalu mendarat dengan aman di atas rumput yang terasa lembut di alas kakiku. Ibu dan Lauren menatap aku tidak percaya. Mereka serentak merapatkan bibir mereka.

Ibu meletakkan cangkir di atas meja, lalu berdiri menghalangi pintu. “Pergi, selagi aku masih bersikap baik kepadamu,” kata Ibu dengan nada mengancam. “Jangan pikir Jeff masih menginginkan kamu dengan membawa kamu ke rumah ini. Dia tidak akan mengubah rencananya untuk menceraikan kamu.” Seandainya saja dia tahu apa yang diminta putranya dariku pada malam sebelumnya.

Lauren berdiri dan mendekati ibunya. “Mengapa kamu mendekati kami dengan wajah marah, Jenar? Kamu tahu bahwa kamu tidak akan bisa merengek dan berteriak tidak bersalah dengan begitu banyak saksi, ‘kan?” Dia melirik ke arah belakangku.

Aku menoleh dan melihat ada beberapa wanita yang berdiri di depan rumah. Mereka berbisik sambil menatap penasaran ke arah kami. Aku kembali melihat ke arah Ibu dan Lauren. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka pikirkan tentang aku. Mereka menyebut aku pembunuh berdarah dingin, tetapi masih berani mengonfrontasi aku.

Namun aku tahu bahwa mereka bukanlah lawan atau musuhku. Mereka hanya buta sehingga mudah dipengaruhi oleh Dina. Jadi, aku berlutut dan menatap mereka dengan mata memelas. “Aku sangat mencintai suami dan anak-anakku. Tolong, beri aku satu kesempatan untuk memperbaiki diri. Aku akan lakukan apa saja yang kalian minta. Tetapi jangan usir aku dari rumah ini.”

“A-apa yang kamu lakukan? Cepat berdiri.” Ibu memegang kedua lenganku, menolong aku untuk berdiri. Dia tidak cukup kuat untuk melawan aku yang menolak berhenti berlutut.

“Jangan tertipu, Bu. Dia pasti hanya berpura-pura supaya kita kasihan kepadanya,” kata Lauren sambil mendengus kesal. “Bangun! Aku tidak akan terpengaruh dengan dramamu. Penjahat seperti kamu tidak punya tempat di rumah ini.” Lauren memegang lenganku dengan erat dan menarik dengan paksa agar aku berdiri.

“Apa yang kalian lakukan di sini??” Terdengar suara seorang pria dari belakangku. Ibu dan Lauren menarik napas terkejut. Adik iparku segera berlari mendekati pagar. Aku mendengar bunyi gembok dibuka, lalu langkah Ayah memasuki pekarangan. “Ini rumah Jeff, seharusnya kalian tidak bertindak di luar sepengetahuannya. Ayo, kita pergi dari sini. Jangan ganggu istrinya lagi.”

“Tetapi, Yah,” kata Ibu, mencoba untuk membela diri.

“Berdiri, Jenar. Jangan rendahkan dirimu seperti ini.” Aku merasakan Ayah memegang kedua lenganku. Aku menurut dengan membiarkan dia membantu aku berdiri. Ibu dan Lauren merapatkan mulut mereka melihatnya. “Ini yang terakhir. Aku tidak mau melihat kalian menyakiti Jenar lagi. Kita pulang sekarang atau aku akan melaporkan hal ini kepada Jeff.”

Ayah memang yang terbaik. Dia lebih bijak daripada istri dan anak perempuannya. Ibu dan Lauren tidak bisa berkata apa-apa ketika Ayah mengajak mereka pulang. Orang-orang sudah bubar, jadi aku bisa berdiri dengan tenang di teras melihat kepergian mereka. Aku sudah punya rencana sendiri untuk memenangkan hati mereka lagi. Tetapi tidak sekarang.

Aku membawa cangkir dan piring yang mereka gunakan ke wastafel. Lalu membuka paksa gembok dan menggantinya dengan gembok yang sebenarnya. Jeff tidak boleh sampai tahu ibu dan adiknya datang dan berulah. Dia sudah cukup menghadapi Dina saja.

“Kami pulang.” Jeff dan perempuan itu pulang lebih cepat dari biasanya. Aku berharap akan ada Jax dan Remy yang berlari masuk ke rumah di belakang mereka, tetapi nihil. Sepertinya mereka masih tinggal di rumah Ibu. Apa itu artinya mereka akan ada di sana selama akhir pekan?

Tidak seperti malam sebelumnya, Jeff memakan apa yang sudah aku masak. Aku duduk bersamanya, tetapi hanya sebentar. Karena Dina segera keluar dari kamar dan duduk di sisinya. Walaupun wajahnya cemberut, dia tidak berani mengatakan apa pun. Dia ikut makan bersama kami.

“Penjara sudah membuat tanganmu tidak seahli sebelumnya. Masakanmu rasanya seperti kotoran.” Dina sengaja bicara dengan suara pelan agar Jeff tidak mendengar.

Aku mengangkat piring yang dia gunakan tadi. “Kamu lahap juga memakan kotoran,” godaku, lalu membilas piring itu dan menyabuninya.

Pintu kamar mandi terbuka, Dina tidak membalas ucapanku. Dia berjalan mendekati Jeff dan mengajaknya menontonnya bersama. Dia sengaja bicara begitu manja dengan keras agar aku bisa mendengar. Aku hanya tersenyum tidak peduli.

Setelah merapikan meja dan mencuci piring kotor, aku menuju kamar. Jeff dan Dina masih ada di ruang tengah. Wanita itu sepertinya tahu meninggalkan suamiku berdua saja denganku adalah hal yang berbahaya. Memangnya mau sampai kapan dia mengikuti Jeff ke mana pun dia melangkah?

Keadaan rumah sudah sepi beberapa menit lewat dari tengah malam. Aku sudah mengenakan pakaian serba hitam dan sepatu ketsku. Sama seperti pada malam sebelumnya, aku berjalan dengan mulus keluar dari kamar sampai keluar pagar.

Bian dan Talia sudah menunggu di tempat sebelumnya. Kami tidak perlu berdiskusi terlalu lama, karena target yang satu ini tinggal di rumah biasa. Dia juga hanya orang biasa. Jadi, aku dan Bian tidak perlu khawatir dengan kamera CCTV atau satpam, karena mereka tidak punya keduanya.

“Tetaplah berhati-hati,” kata Talia, mengingatkan. Aku dan Bian mengangguk sebelum membuka pintu mobil.

Kami masuk ke rumah setelah Bian berhasil membuka kuncinya. Dia memeriksa semua ruangan di balik pintu, lalu menggeleng pelan. Kami menuju lantai atas, dan Bian kembali memeriksa ruangan di balik setiap pintu. Dia meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Itu pasti kamar anak-anak. Lalu dia mengajak aku masuk pada kamar berikutnya.

Wanita yang malang, dia tidak sadar bahwa suaminya tidak dinas keluar kota, melainkan tidur dengan selingkuhannya di rumah keduanya. Harga yang pantas untuk dia bayar setelah berbuat jahat kepadaku. Aku membungkam mulutnya dengan lakban hitam, lalu dengan cepat mengikat kedua tangannya, sedangkan Bian mengikat kakinya.

Dia terbangun, sedikit bingung dengan keadaan sekelilingnya, lalu memberontak melepaskan diri saat menyadari tubuhnya terikat. Dia menatap aku dan Bian yang berdiri di hadapannya secara bergantian. Dia pasti tidak tahu siapa kami berdua. Empat tahun enam bulan adalah waktu yang cukup untuk melupakan orang yang sudah menjadi korbannya.

“Apa kabar, Ibu Supervisor?” sapaku dengan ramah. Dia tertegun sejenak sebelum matanya membulat lebar. Lakban masih tertempel di mulutnya, jadi dia hanya bisa menggumam tidak jelas. “Enak sekali bisa tidur pulas, hidup damai dengan suami dan dua anak, ya. Berbeda denganku yang harus hidup di penjara karena ucapan bohongmu.”

Aku menundukkan tubuh agar wajah kami bisa sejajar. Matanya membulat, penuh ketakutan. “Katakan, siapa yang menyuruh Ibu berbohong di kursi saksi?” Matanya menatap aku dan Bian dengan liar, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ayolah, Bu. Kita sama-sama tahu Ibu sudah berbohong. Pertanyaannya, siapa yang sudah menyuruh Ibu melakukan itu?”

Aku mundur agar Bian bisa maju. Dia menunjukkan foto kedua anak perempuan itu. “Mereka akan mati malam ini juga, jika kamu tidak mau bicara.”

Semudah itu, dia akhirnya mau bicara. “A-aku tidak bisa mengatakan apa pun kepadamu. Tolong, jangan sakiti anak-anakku. Mereka tidak ada hubungannya dengan ini.” Bian meresponsinya dengan mengeluarkan pisau lipatnya. “Tidak, tidak! Jangan sakiti anak-anakku!”

“Aku tidak peduli dengan hal lain selain siapa yang sudah menyuruh kamu bersaksi palsu. Sederhana. Kamu tinggal pilih, jujur atau kedua anakmu mati.” Aku melihat ke arah pisau di tangan Bian. “Aku seorang pembunuh, jadi aku tidak akan segan mencabut nyawa orang lain, termasuk ke dua anakmu.”

“Ba-baik. Baik. A-aku terpaksa melakukan semua itu. Aku tidak bermaksud menyakiti kamu, Jenar.” Bian segera membungkam mulutnya karena menyebut namaku. Dia mengangguk mengerti sebelum sahabatku melepaskan mulutnya. “Manajer. Di-dia yang menyuruh aku berbohong.”

Dia tidak mengubah pernyataannya itu berapa kali pun kami mengancamnya. Manajer. Ada dendam apa antara dia dengan aku? Talia dan Bian juga hanya bisa menggeleng pelan. Kami pikir kami akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan kami selama ini, ternyata tidak. Tetapi manajer itu masuk dalam daftar orang yang akan kami kunjungi. Jadi, kami akan bertanya langsung kepadanya.

Terdengar bunyi benda bergetar di dekat persneling. Kami serentak melihat ke arah dua ponsel yang kami letakkan di sana. Aku dan Bian sengaja tidak membawa alat itu saat melakukan aksi kami agar bisa berkonsentrasi. Hanya ada tiga orang yang tahu nomor baruku. Talia, Bian, dan …. Sial. Bian memberikan benda itu kepadaku. Membaca nama pada layar, aku menelan ludah dengan berat.

Kedua sahabatku menatap aku dengan bingung. “Ada apa, Jenar? Siapa yang menelepon?” tanya Bian dengan wajah berubah khawatir.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
honey april
bab 4 & 5 kayanya sama ya mbak Meina?
goodnovel comment avatar
Kevin Evander
nah gue setuju,, up dong mel
goodnovel comment avatar
Hyacinth Diana
mana lanjutan nya kak mei
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   6|Pandangan Pertama

    ~Jeffrey~ Orang-orang mengenal aku sebagai laki-laki dingin yang tidak bisa dibaca apa maunya. Aku tidak banyak bicara sehingga sulit menemukan orang yang bisa memahami aku. Anehnya, sikapku itu justru menarik perhatian para perempuan untuk mendekati aku. Walaupun aku tidak pernah kekurangan wanita yang bersedia untuk menjadi pacarku, belum ada yang bisa mengetuk pintu hatiku. Ibu sampai khawatir aku tidak akan pernah menikah. Padahal usiaku masih dua puluh lima tahun. Aku dan Lauren selalu menganggap angin lalu keluhan Ibu tersebut. Tetapi begitu adikku menikah, dia menjadi sekutu Ibu yang ikut menyusahkan aku. “Hei!” Seorang wanita muda menyentuh bahuku. “Maafkan aku. Tetapi sepertinya kamu salah tempat duduk.” Dia melambaikan tiket yang dia pegang. Aku menatapnya dengan bingung, lalu melihat ke sekelilingku. Aku baru sadar bahwa aku tidak duduk di antara teman-temanku. Melihat lambaian tangan dari sudut mataku, aku menoleh dan menemukan mereka. “Maafkan aku,” ucapku kepada wanit

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   7|Ikut Campur

    Aku menyempatkan untuk mengambil semua milik pribadi Jenar di laci meja kerjaku, juga membeli ponsel dengan nomor baru untuknya. Semua itu aku letakkan di nakas di kamarnya. Dia masih seperti kebiasaannya. Tidak terbangun sekalipun ada yang menyentuhnya. Kesempatan itu aku gunakan untuk mencium keningnya. Bila waktunya tiba, aku akan bisa mencicipi bibirnya lagi. Tetapi tidak dalam kondisi tidur.Ketika memeriksa keadaan anak-anak, aku terkejut. Mereka tidak ada di kamar tidur mereka. Apa yang terjadi? Mengapa Dina tidak mengatakan apa pun kepadaku? Mereka adalah anak-anakku. Siapa yang berani mengambil mereka dari rumahku tanpa izinku?Aku keluar dari kamar dan menuju luar rumah. Biasanya aku berolahraga, tetapi pikiranku sedang kacau. Aku menelepon Ayah. Setelah menunggu beberapa saat, barulah aku mendengar suara sapaannya. Memahami apa tujuanku menelepon, Ayah segera meminta maaf.“Aku akan menjemput mereka sepulang dari tempat kerja. Aku harap Ayah dan Ibu tidak melakukan hal yang

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   8|Salah Paham

    Aku tidak mendengar dia membuka pagar, pintu depan, bahkan saat menaiki tangga. Aku baru tahu dia sudah sampai di rumah ketika dia membuka pintu. Itukah sebabnya aku tidak mendengar saat dia pergi tadi? Iya, aku tertidur. Tetapi aku pasti akan mendengar bunyi langkahnya menuruni tangga.Lampu kamar menyala. Dia menarik napas terkejut melihat aku duduk di tepi tempat tidurnya. Dia melihat ke luar kamar, lalu menutup pintunya dengan cepat dan sesenyap mungkin. Dia memakai baju hitam berlengan panjang dan celana panjang berwarna sama.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan suara berbisik. “Kalau Dina sampai tahu—”“Mengapa kamu tidak menjawab panggilanku? Kamu dari mana?” tanyaku tidak peduli dengan kekhawatirannya itu. Dia hanya diam. “Apa kamu menemui seorang laki-laki di luar sana untuk memenuhi kebutuhanmu?” Dia masih diam. Aku berdiri dan mendekat, tetapi dia mundur menjauh. Aku baru berhenti setelah dia tersudut di dinding.“Selama aku di dalam penjara, kamu tidak peduli

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   9|Kedua Putraku

    ~Jenar~Aku menunggu dengan gugup melihat mereka lama sekali keluar dari kamar. Seharian ini aku hanya membantu Bian di tokonya, lalu pulang setelah makan siang bersamanya. Aku tidak tahu apa anak-anak akan pulang pada hari ini. Tetapi aku memasak kue andai hari ini keajaiban terjadi.Syukurlah, mereka tidak bersikap segan kepadaku. Dugaanku benar. Mereka mirip seperti papa mereka. Cara untuk memenangkan hati mereka adalah lewat perutnya. Semoga saja mereka juga menyukai semua makanan yang diberi cokelat, seperti Jeff.Pintu kamar terbuka, Jax dan Remy segera berebutan berlari mendekati aku. “Mama!” seru mereka sambil memeluk pahaku. Aku tertegun sejenak. Jeff keluar dari kamar dan berdiri di dekat pintu itu. Tidak ada emosi apa pun pada wajahnya.Aku melihat ke arah dua anak yang masih memeluk aku. Air mata jatuh saat aku akhirnya bisa membelai rambut halus dan lebat mereka. Aku memegang tangan mereka, lalu berlutut. “Kalian tadi memanggil aku apa?” tanyaku tidak percaya.“Mama!” jaw

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   10|Jangan Sedih

    Tanpa menjawab pertanyaannya yang menantang aku itu, aku memungut kue pemberian Bian dan memasukkannya kembali ke kotak. Untung saja setiap kue lemper itu terbungkus daun pisang dan plastik. Lantai kamarku juga bersih, jadi tidak ada debu yang menempel.Lalu sesuatu tebersit di kepalaku. Tidak. Aku pasti akan membunuhnya jika dia sampai melakukan hal itu lagi. Aku bergegas turun dan memeriksa kulkas. Berengsek! Yang aku cari justru berada di tempat yang sama, bersama nasi goreng yang dia buang tadi.“Kau …!” ucapku geram. Dia berjalan mundur, tetapi aku lebih cepat. Aku memegang kedua pipinya dengan tangan kananku. Lalu mendorong dia ke dinding. Aku tidak peduli mendengar ringisannya.“Apa kamu tahu berapa orang di luar sana yang tidak bisa makan?” ucapku geram, menahan amarah. “Ke mana otakmu sampai tega membuang semua makanan yang susah payah aku masak? Ini yang terakhir. Apa kamu dengar aku? Ini yang terakhir, atau aku bersumpah Jeff akan mengusir kamu dari rumah ini hanya dengan s

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   11|Teman Baru

    Aku memikirkan apa yang perlu aku lakukan sebelum masuk ke rumah. Apa yang terjadi pada hari Minggu tidak boleh terulang lagi. Aku serius dengan yang aku rasakan. Aku tidak mau diam-diam bermesraan dengannya, padahal akulah istrinya yang sah.Namun aku terkejut melihat anak-anak berwajah sedih di ruang depan. Jeff berdiri dan berjalan mendekati aku. “Apa kamu lupa bahwa mulai hari ini aku akan mengantar mereka pulang dari sekolah?” bisiknya, agar hanya aku yang mendengar. “Mengapa kamu tidak menjawab ponselmu?”“Oh, Tuhan.” Aku menarik napas terkejut. Apa yang aku pikirkan? Bagaimana aku bisa lupa dengan hal sepenting itu? “Apa mereka sedih karena itu?”Dia menggeleng pelan. “Dina mengambil kotak makan siang mereka. Jadi, mereka sedih tidak makan kue darimu saat di sekolah.” Dia menoleh ke arah mereka. “Aku harus kembali ke kantor.”Aku mengangguk. Setelah dia mengeluarkan mobil dari garasi, aku menutup dan menggembok pagar. Kedua anak itu masih cemberut di ruang depan. Padahal acara

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   12|Biang Kerok

    “Oke, oke. Tolong, ja-jangan bunuh aku,” kata pria itu dengan suara bergetar. Aku bisa merasakan seluruh tubuhnya juga gemetar. Meletakkan pisau di lehernya memang pilihan yang tepat. “Aku akan mengatakannya. A-aku … aku tidak punya maksud jahat. Sungguh. Aku ….”“Berhenti mengulur-ulur waktu. Cepat katakan!” desakku dengan suara tertahan.“Adina Cahyati. Dia memberi aku uang untuk bersaksi palsu.” Dia menangis tersedu. “Dia pasti akan datang membunuh aku, jika dia tahu aku buka mulut.”Dina? Untuk apa dia membayar pria ini untuk berbohong di pengadilan? “Bapak tidak berbohong?” Pria ini tidak berpura-pura. Dia benar-benar ketakutan. Memangnya apa yang bisa Dina lakukan kepadanya? Wanita itu memang ringan tangan, tetapi tidak akan berani membunuh.“Tidak. Aku bersumpah, aku mengatakan yang sejujurnya. Dia memberi aku uang sebesar delapan ratus juta. Lima ratus untukku, dan tiga ratus lagi untuk supervisormu dahulu,” katanya ketakutan.“Kalau saya tahu Bapak berbohong, saya tidak akan

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   13|Rekan Unik

    Dina pulang dan memonopoli anak-anak lagi. Aku justru bersyukur. Karena setelah makan malam, aku bisa langsung ke kamarku. Aku mengunci pintunya agar tidak ada yang tiba-tiba masuk dan melihat apa yang sedang aku kerjakan.Rumah dilengkapi dengan Wi-Fi, jadi aku bisa berseluncur dengan bebas. Dari semua nama yang aku periksa, ada satu hal yang sangat aneh. Mereka adalah teman, sahabat, mantan kekasih, mantan rekan kerja dan bos, tetapi tidak ada satu nama pun yang punya hubungan keluarga dengannya.“Apa kamu yakin? Itu daftar yang sangat banyak,” kata Bian saat aku menelepon, dan melaporkan kecurigaanku. “Aku akan meminta mereka mencari tahu lebih dalam lagi.”“Aku punya usul yang lebih baik.” Aku tersenyum, walaupun Bian tidak bisa melihatnya.“Apa?” tanyanya ingin tahu. Aku memberi tahu dia apa yang aku pikirkan, lalu mendengar masukan darinya. Kami menyempurnakan ide itu sebelum mengakhiri panggilan dan tidur.Orang berikutnya yang perlu kami temui sedang dinas keluar kota. Walaupu

Bab terbaru

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   76|Keadilan Ditegakkan

    ~Jeffrey~ Istriku bersaksi dengan berani dan menjawab setiap pertanyaan dengan gamblang. Apa pun kata yang digunakan kuasa hukum para terdakwa atau hakim saat bertanya, jawaban Jenar tidak berubah. Itu adalah bukti bahwa dia tidak berbohong atau mengarang jawabannya. Dia kembali duduk di sisiku setelah kesaksiannya dianggap selesai. Aku memegang tangannya dan meletakkan di atas pangkuanku. Aku bisa merasakan Dina tidak mengalihkan pandangannya dariku, tetapi aku mengabaikannya. Perbuatannya atas istriku tidak termaafkan. “Sayang sekali, sidangnya tertutup, jadi kami tidak bisa ikut menyaksikan yang terjadi selama sidang,” keluh Ibu. Ayah yang memanggil anak-anak, maka Ibu yang membukakan pintu rumah. “Pihak tergugat yang keberatan sidang itu dilaksanakan secara terbuka. Tidak apa-apa, Bu. Sidang masih berjalan dengan baik,” kataku, menjelaskan. “Papa! Mama!” seru anak-anak yang berlari mendekati kami. Aku meminta mereka untuk pamit kepada kakek dan nenek mereka, lalu kami keluar m

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   75|Sepuluh Tahun

    Jax dan Remy setengah menarik tanganku saat keluar dari taksi. Aku membawa banyak kantong plastik berisi keperluan sekolah mereka, jadi tidak bisa berjalan dengan cepat. Di mana Jeff? Apa dia tidak mendengar bunyi mesin mobil atau seruan anak-anak? Aku butuh bantuan dengan bawaanku. Lalu mengapa semua orang ini datang bersamaan ke rumah kami? Tidak ada acara khusus pada hari ini, juga tidak ada rencana akan membuat acara. Hanya ada suamiku di rumah, Lalu apa yang mereka lakukan di sini? Oh, tidak. Jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Jeff. “Cepat buka pintunya, Ma!” desak Jax. Tanganku gemetar saat mencari kunci di dalam tas, karena rasa khawatir. Putraku itu bergerak lebih cepat dengan menekan kenop pintu. Ternyata tidak dikunci. “Papa!” panggilnya serentak dengan adiknya. Aneh. Mengapa tirai jendela ditutup semua? Lampu juga tidak dinyalakan. Ke mana perginya mereka yang memarkirkan mobilnya di depan rumah? Anak-anak malah tertawa cekikikan di ruang depan sambil berjalan ke arah

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   74|Sampai Kapan

    Walaupun aku sudah bisa menebak siapa dan apa alasannya, aku mau mendengarnya langsung dari mulut kuasa hukumku. Polisi tadi sudah memberi petunjuk yang cukup jelas. Karena tidak mungkin hanya Wahyo yang melaporkan aku bila mereka sampai yakin bisa menjebloskan aku ke penjara lagi.Namun sebelum Franky menjawab, pintu ruangan dibuka dan seorang polisi masuk. Dia hanya mengangguk ke arah pengacaraku, lalu menutup pintu kembali. Apa maksud anggukan itu? Aku melihat ke arah Franky yang berdiri dari kursinya.“Kamu bebas. Ayo, kita pergi dan bicara di tempat lain saja.” Dia berjalan mendekati pintu.Sebuah ide bermain di kepalaku mendengar kalimat pertamanya itu. “Apa aku boleh melakukan satu hal sebelum kita pergi?”Entah apa yang Franky katakan, aku mendapat izin dari polisi. Pria itu menunggu di dekat pintu masuk, sedangkan seorang petugas menemani aku. Dia bersikap baik kepadaku dan tidak bersikap kasar seperti rekannya yang pernah membawa aku ke tahanan ini.“Akhirnya! Aku tahu kamu

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   73|Tak Diundang

    Kakiku terasa lemas, tetapi aku berusaha untuk tetap berdiri dengan tegak. Kejadian beberapa minggu yang lalu kembali bermain di benakku. Mengapa mereka datang lagi? Anak-anak berada di rumah dan aku tidak mau memberi mereka trauma untuk kesekian kalinya. Aku melihat antara dua pria yang berdiri di depan pagar dan kunci pintu di hadapanku. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa menghalangi mereka melakukan tugas. Namun atas dasar apa mereka kini mendatangi rumah kami? Pasti ada hubungannya denganku. “Ada apa? Mengapa kamu tidak membuka pintu?” tanya Jeff yang ternyata berdiri di belakangku. Dia mengintip dari jendela, lalu mendesah pelan. “Biar aku yang bicara dengan mereka.” Aku mengangguk dan bergeser agar dia bisa membuka pintu dan keluar rumah. Aku mengintip apa yang dia lakukan di luar lewat jendela. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengar. Namun aku bisa menebak bahwa kedua polisi itu membawa kabar buruk, karena suamiku terlihat kesal. Apakah tujuan mereka datang

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   72|Akan Kubuktikan

    Kelima pria dan wanita itu mundur selangkah dan memasang wajah kecut melihat ke arah pria yang datang tersebut. Tentu saja mereka mengenalinya. Nyaris tidak ada yang tidak pernah mendengar namanya. Dia sudah banyak sekali memenangkan kasus sulit, tetapi kliennya menang. Mereka kini tahu siapa yang sedang mereka hadapi. Bukti palsu. Polisi mana yang mau menerima laporan didasarkan atas bukti palsu? Aku tidak akan melakukan hal yang sama yang telah mereka perbuat kepadaku. Aku akan membuktikan bahwa dengan prosedur yang benar pun, aku bisa menjebloskan orang jahat ke penjara. “Aku baru tahu di sini adalah kantor polisi,” kata Franky yang berjalan mendekat, lalu berdiri di depanku. “Pulanglah sebelum aku mengajukan laporan baru. Kalian pasti berada di sini untuk mengancam saksi. Apa kalian tidak tahu bahwa mengancam saksi ada hukumannya?” Membuktikan bahwa mereka tidak tahu, mereka terlihat panik. “Ti-tidak. Kami tidak datang untuk mengancam siapa pun,” kata salah satu dari mereka, men

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   71|Yang Terakhir

    Berbekal rekaman dari wanita pada malam sebelumnya, aku dan Moira berencana untuk melihat kelanjutan nasib dari polisi jahat tersebut. Aku sudah mengirim kopinya ke surelnya. Dia membalas dan meminta untuk bertemu. Itu yang aku tunggu-tunggu. Tentu saja bukan aku atau Moira yang akan menemuinya, tetapi wanita yang tidur bersamanya. Aku sudah berjanji kepada Jeff dan Franky, maka aku tidak akan mengingkarinya. Aku tidak boleh terlibat dalam urusan yang melanggar hukum lagi. Bila terpaksa, maka aku tidak boleh sampai ketahuan. “Apa kamu akan terus melakukan ini kepada orang yang menyakiti kamu, keluarga, atau sahabatmu?” tanya Moira setengah menggoda. Aku tertawa kecil. “Tidak. Ini yang terakhir. Para polisi itu tidak mengerjakan tugasnya dengan baik, jadi aku harus memberi mereka pelajaran. Bila tidak, mereka akan terus bersikap sewenang-wenang.” “Iya, kamu benar. Tetapi terus terlibat dalam hal yang berbahaya, tidak baik untukmu.” Moira melihat aku dengan serius. “Jax dan Remy memb

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   70|Memberi Pelajaran

    ~Jenar~ Berada di penjara karena membela diri dan fitnah, sudah cukup membuat kami menderita. Terpisah dari keluarga untuk sementara maupun selamanya bukanlah kehidupan yang mudah. Lalu kami juga harus diperlakukan tidak adil setelah bebas, itu tidak adil. Aku sudah merencanakan hal selain menemui para penjahat itu untuk membalas perbuatan jahat mereka. Cara itu hanya aku lakukan kepada para saksi palsu. Untuk polisi licik dan tidak tahu diri, aku sudah menyiapkan hal yang lebih baik. Hal yang akan membuat mereka berhati-hati bertindak. “Kamu yakin mau melakukan ini?” tanya Talia heran. “Harus. Aku tidak terima dia memperlakukan Bian layaknya penjahat.” Aku mengangkat penutup kepala jaketku untuk menudungi rambutku. Bian mengeluarkan sebuah kandang dari bagian belakang mobil, lalu kami menyeberangi jalan menuju rumah targetku. Setelah memanjat pagar dan mendarat sesenyap mungkin, kami menuju bagian belakang rumah. Bian melakukan keahliannya membuka kunci, dan aku tersenyum saat pi

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   69|Dia Berbohong

    ~Jeffrey~Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Lauren, adikku sendiri, yang sudah meracuni anak-anakku. Hal yang ingin sekali aku lakukan adalah bicara dengannya dan memintanya untuk bicara jujur. Apa kesalahan Jax dan Remy sampai mereka harus menjadi korban keegoisannya?Mereka memang selamat dan ditangani dokter segera, tetapi mereka bisa saja kehilangan nyawa pada hari itu juga. Kami tidak pernah punya masalah sebelumnya, lalu apa yang mendorong dia melakukan hal sejahat itu?“Jadi, dana yang telah kita terima dari donatur, cukup untuk melaksanakan program liburan kita,” kata kepala keuangan organisasi.Orang yang aku pikir melakukannya adalah Dina. Wajar saja jika dia bisa semudah itu menyakiti anak-anak, karena mereka bukan miliknya. Tidak aku sangka, adikku sendiri pelakunya. Dia bahkan tidak ragu-ragu menjadikan kedua anaknya sebagai korbannya juga.“Bagaimana, Jeff? Apa pendapatmu? Dana yang lebih sebaiknya kita gunakan untuk apa?” tanya bosku. Dari ekspresi wajahnya,

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   68|Akibat Cemburu

    Aku duduk di sisinya dan melihat layar tablet tersebut. Ternyata ada sebuah berita yang tidak aku duga. Bertahun-tahun berusaha untuk melupakan dan melanjutkan hidup, akhirnya aku bisa melihat orang yang menyakiti aku mendapat ganjarannya.Perjuanganku menunjukkan hasilnya juga. Bukan hanya aku yang menuntut perbuatannya di masa lalu, tetapi ada banyak wanita lain. Mereka melaporkan perbuatan pria itu di kantor polisi di mana dia bertugas. Syukurlah, aku tidak mundur ketika menemui banyak kesulitan.“Sayang, apa kamu tidak apa-apa?” Jeff menyeka pipiku. Tanpa aku sadari, aku menangis.Aku menggeleng pelan, lalu meletakkan kepalaku di bahunya. “Aku tidak apa-apa. Ini air mata haru. Aku senang dia akhirnya akan membayar semua perbuatan jahatnya. Semoga saja Franky sehebat yang Moira katakan.”“Dia lebih hebat dari yang sahabatmu katakan. Aku melihat sendiri bagaimana dia mengatasi polisi yang tidak mau membebaskan kamu dari tahanan. Jadi, jangan khawatir. Wahyo dan Dina akan mendekam di

DMCA.com Protection Status