~Jenar~
Aku menunggu dengan gugup melihat mereka lama sekali keluar dari kamar. Seharian ini aku hanya membantu Bian di tokonya, lalu pulang setelah makan siang bersamanya. Aku tidak tahu apa anak-anak akan pulang pada hari ini. Tetapi aku memasak kue andai hari ini keajaiban terjadi.
Syukurlah, mereka tidak bersikap segan kepadaku. Dugaanku benar. Mereka mirip seperti papa mereka. Cara untuk memenangkan hati mereka adalah lewat perutnya. Semoga saja mereka juga menyukai semua makanan yang diberi cokelat, seperti Jeff.
Pintu kamar terbuka, Jax dan Remy segera berebutan berlari mendekati aku. “Mama!” seru mereka sambil memeluk pahaku. Aku tertegun sejenak. Jeff keluar dari kamar dan berdiri di dekat pintu itu. Tidak ada emosi apa pun pada wajahnya.
Aku melihat ke arah dua anak yang masih memeluk aku. Air mata jatuh saat aku akhirnya bisa membelai rambut halus dan lebat mereka. Aku memegang tangan mereka, lalu berlutut. “Kalian tadi memanggil aku apa?” tanyaku tidak percaya.
“Mama!” jawab mereka serentak.
Mataku memanas. Aku segera memeluk mereka agar tidak melihat air mataku. Ya, Tuhan. Bertahun-tahun tidur di kamar dingin itu dan jauh dari mereka, aku akhirnya bisa merasakan mereka lagi di pelukanku. Anakku. Darah dagingku. Alasan aku masih bertahan hidup.
Aku menghujani mereka dengan ciuman, lalu menatap mereka satu per satu. “Iya. Aku adalah mama kalian. Aku sayang dan sangat merindukan kalian. Jax masih kecil saat aku pergi dan Remy, kamu masih bayi, sayang. Lihatlah, kalian sekarang sudah besar!”
“Mengapa Remy dipanggil sayang dan aku tidak?” protes Jax, tidak suka.
Aku tertawa terharu mendengarnya. “Ayo, kalian pasti sudah lapar.” Aku membantu Remy duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan, sedangkan Jeff menolong Jax. “Aku memasak banyak kue, jadi kalian boleh makan sepuasnya. Tetapi jangan sampai kenyang. Aku memasak makanan yang enak untuk makan malam.”
“Piza?” tanya Remy penuh harap saat aku meletakkan satu kue di atas piringnya.
“Kamu suka piza?” tanyaku ingin tahu. Dia menganggukkan kepalanya.
Mereka berdua bergantian memberi tahu aku makanan kesukaan mereka. Sebagian besar adalah makanan favorit papa mereka. Jadi, aku tidak terkejut mendengarnya. Aku menoleh ke arah Jeff yang hanya diam, menikmati kue bagiannya. Ini kejutan yang sangat menyenangkan. Mendengar anak-anakku memanggil mama, jauh lebih indah dari buket bunga mahal mana pun.
Menu pilihan untuk makan malam membuat Jax dan Remy bersorak senang. Aku tidak memasak piza, tetapi spageti dengan bola daging. Aku bisa merasakan Jeff mengarahkan pandangannya kepadaku. Ini adalah makanan kesukaannya. Aku sengaja memilih menu ini agar tidak memakan banyak waktu saat memasaknya.
“Kamu bersama anak-anak saja. Biar aku yang membereskan meja dan mencuci piring,” kata Jeff, menghalangi aku mengangkat piring kosong di atas meja.
Aku melihat ke arah Jax dan Remy yang sedang santai menonton televisi. “Tidak. Kamu saja yang menemani mereka. Semua ini akan lebih cepat selesai bila aku yang kerjakan.”
Jeff tidak melakukan apa yang aku minta. Dia malah mengambil alih menyabuni peralatan makan yang kotor, lalu mengopernya kepadaku untuk aku bilas. Aku tidak protes, dan mengerjakan semua itu dalam diam. Dia beberapa kali sengaja menyentuh lenganku dengan lengannya. Tetapi aku tidak memberi komentar. Aku juga mengabaikan getaran yang dikirim sentuhannya itu ke tubuhku.
“Papa, besok hari Sabtu. Kita jadi pergi ke kebun binatang?” tanya Jax penuh harap.
“Bukan besok. Hari Minggu,” kata Jeff meralat. Jax mengangguk mengerti, walaupun keningnya masih berkerut, sibuk berpikir sendiri.
“Besok kita ke mana, Pa?” tanya Remy, ingin tahu. “Kita berenang, ya, Pa!?”
“Boleh,” jawab Jeff singkat. Anak-anak bersorak senang mendengarnya. “Tetapi minggu depan kita tidak pergi ke mana pun. Siapa yang ingat hari Sabtu hari ulang tahun siapa?”
Jax dan Remy terlihat berpikir dengan serius. Aku menoleh ke arah Jeff. Dia tidak memberi petunjuk kepadaku siapa yang berulang tahun Sabtu depan. Apa itu artinya dia akan pergi bersama Dina dan anak-anak, sedangkan aku tinggal di rumah?
Jeff menjawab pertanyaannya sendiri dengan menyebut nama anak Lauren. Aku menelan ludah dengan berat. Aku positif tidak akan bisa ikut. Lauren tidak akan mau menerima aku di rumahnya. Bisa-bisa dia histeris dan menyebut aku sebagai pembunuh di depan semua tamu.
“Sudah waktunya tidur,” kata Jeff saat kedua anak itu terkantuk-kantuk.
“Gendong, Pa,” kata Jax dengan manja.
Jeff tidak mengatakan apa pun. Dengan mudahnya, dia menggendong kedua anaknya ke kamar mandi. Aku mematikan televisi, lalu berjalan ke kamarku di lantai atas. Untuk pertama kalinya sejak pulang ke rumah, aku bisa tidur sampai pagi. Aku dan Bian sepakat untuk tidak menggunakan akhir pekan dalam melakukan aksi kami. Talia perlu hadir untuk keluarganya di rumahnya.
Teringat dengan ucapan Bian, aku harus memikirkan cara untuk membantu dia lepas dari masalah. Apa yang terjadi terhadapnya adalah sebuah ketidakadilan. Negeri ini memiliki hukum yang melindungi orang yang membunuh demi membela diri. Kasusnya denganku hampir mirip. CCTV yang seharusnya merekam kejadian itu mendadak hilang entah ke mana.
“Selamat pagi, Mama!” seru Jax dan Remy yang berlari keluar dari kamar mereka.
Jax bisa duduk dengan mudah, sedangkan Remy kesulitan untuk menaiki kursi. Aku tertawa saat menolongnya untuk duduk. “Selamat pagi, para pangeran tampan. Aku harap kalian suka dengan nasi goreng.” Aku menyendokkan nasi yang masih mengepulkan asap itu ke atas piring.
“Suka, Ma!” jawab mereka serentak.
Mereka membuktikannya dengan makan begitu lahap. Jax bahkan minta tambah dan adiknya tidak mau kalah. Aku menuruti permintaan mereka. Jeff akan membawa mereka berenang, jadi mereka membutuhkan energi untuk bisa bersenang-senang di air.
Dina pasti masih tidur, jadi aku tidak perlu menunggu. Aku makan bersama anak-anakku. Jeff datang beberapa saat kemudian, tetapi kami serentak menolak dia duduk sebelum membersihkan tubuhnya yang berkeringat. Ketika dia bergabung bersama kami, aku merasakan hidupku lengkap.
Mereka pergi berenang berempat, aku memutuskan untuk tidak ikut. Dina menatap aku dengan tajam bukanlah pertanda baik. Aku tidak mau suasana yang menyenangkan itu rusak seandainya saja dia sengaja membuat drama. Anak-anak berhak untuk menikmati akhir pekan mereka tanpa gangguan.
“Orang lain menghabiskan waktu bersama keluarga, kamu malah ada di sini bersamaku,” kata Bian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku memilih untuk datang membantu di tokonya.
“Apa boleh buat. Aku tidak mau wanita pengganggu itu merusak suasana.” Aku memberikan sekotak kue kepada seorang wanita yang sudah menunggu. “Selamat menikmati.”
Aku menarik napas panjang, lega akhirnya semua orang sudah mendapatkan pesanan mereka. Hanya ada dua tamu, sepasang kekasih, yang sedang asyik duduk menikmati kue mereka. Tidak ada banyak pelanggan menjelang makan siang, berbeda sekali dengan hari kerja.
“Apa kamu yakin keluargamu tidak akan mencari kamu untuk makan siang?” tanya Bian sambil meletakkan secangkir kopi untuknya di atas meja.
“Jeff akan membawa mereka makan siang di restoran kesukaan anak-anak,” jawabku singkat. Aku menggigit lemper daging ayam buatannya dan menggumam pelan. “Aku belum mencoba resep yang kamu berikan. Entah mengapa setiap kali aku berniat untuk membuatnya, aku merasa minder.”
“Jangan merendah. Kamu juga bisa memasak.” Dia mencibir. Aku tertawa melihatnya. “Nasi goreng buatanmu tadi bisa kamu titipkan di sini. Aku tidak sempat memasak berbagai jenis makanan, tetapi ada saja pelanggan yang mencari nasi goreng, nasi campur, atau bubur ayam untuk sarapan mereka.”
“Serius??” tanyaku tertarik. “Aku bisa saja memasak beberapa menu sarapan sebagai uji coba. Mana yang mereka minati akan aku masak lebih banyak.”
“Tentu saja aku serius,” katanya senang.
Ini adalah kabar baik. Aku bisa mendapatkan uang tambahan dari membantu Bian di toko juga dari menjual makanan. Walaupun Jeff yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami pada saat ini, aku juga mau membantu seperti yang dahulu aku lakukan. Anak-anak membutuhkan banyak biaya untuk pendidikan mereka sampai kuliah nanti. Kami harus mulai menabung.
“Sampai jumpa besok.” ucapku sebelum pulang. Bian mengangguk. Aku mencium kedua pipinya, lalu melenggang santai menuju halte dengan sekotak makanan di tanganku.
Belum ada mobil di garasi luar pertanda mereka masih jalan-jalan. Anak-anak pasti senang ketika mereka mencicipi kue pemberian Bian. Langkahku terhenti saat melihat ada yang berubah dengan meja makan. Aku ingat ada sepiring penuh nasi goreng dan sepiring lauk-pauk untuk sarapan di atas meja. Tetapi tidak ada tudung saji di sana.
Aku memeriksa wastafel dan tidak ada piring kotor di dalamnya. Aku mengikuti aroma nasi goreng itu sampai menemukannya. Darahku mendidih melihat di mana nasi goreng beserta lauknya itu berada. Perempuan tidak tahu diri itu benar-benar menguji kesabaranku.
Makanan yang aku siapkan dengan bangun subuh dibuangnya begitu saja ke tempat sampah. Mereka belum kembali, pintu depan juga tadi dalam keadaan terkunci. Lalu kapan dia datang dan melakukan ini?
“Sabar, Jenar. Akan ada waktunya untuk bermain-main dengan wanita itu,” batinku menghibur diri.
Aku memasak makanan kesukaan anak-anak untuk makan malam. Tetapi mereka tidak pulang juga. Ketika aku mendengar bunyi pagar dibuka, jam menunjukkan pukul sembilan malam. Mereka keluar rumah seharian. Apakah anak-anak tidak lelah setelah berenang?
Dina masuk sambil membopong Remy, sedangkan Jeff membawa Jax. Aku mendahului mereka dari pintu depan untuk membuka pintu kamar. Melihat mereka tidak akan membutuhkan aku lagi, maka aku pergi ke kamarku.
“Ya?” Aku baru saja berganti pakaian, pintu kamarku tiba-tiba dibuka dari luar. Aku menoleh dan sesuatu dilemparkan tepat ke arah wajahku. Kedua tanganku refleks melindungi kepalaku dari benturan benda tersebut.
Bunyi benda jatuh ke lantai memecahkan keheningan di kamar tidurku. Aku menjauhkan tanganku dari wajahku dan melihat apa yang dia lemparkan ke arahku. Aku menghitung sampai sepuluh di kepalaku untuk meredakan amarah yang mendadak muncul.
“Mengapa kau melihat aku seperti itu? Kau mau membunuh aku?”
Tanpa menjawab pertanyaannya yang menantang aku itu, aku memungut kue pemberian Bian dan memasukkannya kembali ke kotak. Untung saja setiap kue lemper itu terbungkus daun pisang dan plastik. Lantai kamarku juga bersih, jadi tidak ada debu yang menempel.Lalu sesuatu tebersit di kepalaku. Tidak. Aku pasti akan membunuhnya jika dia sampai melakukan hal itu lagi. Aku bergegas turun dan memeriksa kulkas. Berengsek! Yang aku cari justru berada di tempat yang sama, bersama nasi goreng yang dia buang tadi.“Kau …!” ucapku geram. Dia berjalan mundur, tetapi aku lebih cepat. Aku memegang kedua pipinya dengan tangan kananku. Lalu mendorong dia ke dinding. Aku tidak peduli mendengar ringisannya.“Apa kamu tahu berapa orang di luar sana yang tidak bisa makan?” ucapku geram, menahan amarah. “Ke mana otakmu sampai tega membuang semua makanan yang susah payah aku masak? Ini yang terakhir. Apa kamu dengar aku? Ini yang terakhir, atau aku bersumpah Jeff akan mengusir kamu dari rumah ini hanya dengan s
Aku memikirkan apa yang perlu aku lakukan sebelum masuk ke rumah. Apa yang terjadi pada hari Minggu tidak boleh terulang lagi. Aku serius dengan yang aku rasakan. Aku tidak mau diam-diam bermesraan dengannya, padahal akulah istrinya yang sah.Namun aku terkejut melihat anak-anak berwajah sedih di ruang depan. Jeff berdiri dan berjalan mendekati aku. “Apa kamu lupa bahwa mulai hari ini aku akan mengantar mereka pulang dari sekolah?” bisiknya, agar hanya aku yang mendengar. “Mengapa kamu tidak menjawab ponselmu?”“Oh, Tuhan.” Aku menarik napas terkejut. Apa yang aku pikirkan? Bagaimana aku bisa lupa dengan hal sepenting itu? “Apa mereka sedih karena itu?”Dia menggeleng pelan. “Dina mengambil kotak makan siang mereka. Jadi, mereka sedih tidak makan kue darimu saat di sekolah.” Dia menoleh ke arah mereka. “Aku harus kembali ke kantor.”Aku mengangguk. Setelah dia mengeluarkan mobil dari garasi, aku menutup dan menggembok pagar. Kedua anak itu masih cemberut di ruang depan. Padahal acara
“Oke, oke. Tolong, ja-jangan bunuh aku,” kata pria itu dengan suara bergetar. Aku bisa merasakan seluruh tubuhnya juga gemetar. Meletakkan pisau di lehernya memang pilihan yang tepat. “Aku akan mengatakannya. A-aku … aku tidak punya maksud jahat. Sungguh. Aku ….”“Berhenti mengulur-ulur waktu. Cepat katakan!” desakku dengan suara tertahan.“Adina Cahyati. Dia memberi aku uang untuk bersaksi palsu.” Dia menangis tersedu. “Dia pasti akan datang membunuh aku, jika dia tahu aku buka mulut.”Dina? Untuk apa dia membayar pria ini untuk berbohong di pengadilan? “Bapak tidak berbohong?” Pria ini tidak berpura-pura. Dia benar-benar ketakutan. Memangnya apa yang bisa Dina lakukan kepadanya? Wanita itu memang ringan tangan, tetapi tidak akan berani membunuh.“Tidak. Aku bersumpah, aku mengatakan yang sejujurnya. Dia memberi aku uang sebesar delapan ratus juta. Lima ratus untukku, dan tiga ratus lagi untuk supervisormu dahulu,” katanya ketakutan.“Kalau saya tahu Bapak berbohong, saya tidak akan
Dina pulang dan memonopoli anak-anak lagi. Aku justru bersyukur. Karena setelah makan malam, aku bisa langsung ke kamarku. Aku mengunci pintunya agar tidak ada yang tiba-tiba masuk dan melihat apa yang sedang aku kerjakan.Rumah dilengkapi dengan Wi-Fi, jadi aku bisa berseluncur dengan bebas. Dari semua nama yang aku periksa, ada satu hal yang sangat aneh. Mereka adalah teman, sahabat, mantan kekasih, mantan rekan kerja dan bos, tetapi tidak ada satu nama pun yang punya hubungan keluarga dengannya.“Apa kamu yakin? Itu daftar yang sangat banyak,” kata Bian saat aku menelepon, dan melaporkan kecurigaanku. “Aku akan meminta mereka mencari tahu lebih dalam lagi.”“Aku punya usul yang lebih baik.” Aku tersenyum, walaupun Bian tidak bisa melihatnya.“Apa?” tanyanya ingin tahu. Aku memberi tahu dia apa yang aku pikirkan, lalu mendengar masukan darinya. Kami menyempurnakan ide itu sebelum mengakhiri panggilan dan tidur.Orang berikutnya yang perlu kami temui sedang dinas keluar kota. Walaupu
~Jeffrey~Istriku menyimpan sebuah rahasia dariku. Kecurigaanku itu terbukti ketika dia lupa dengan rencana yang sudah aku sampaikan mengenai anak-anak. Hubungan kami masih rumit dengan kehadiran Dina, jadi aku tidak bisa bicara banyak dengannya. Dia juga tidak mau terbuka denganku.Pekerjaanku sangat menyita perhatian, dan Dina tidak membantu dengan rengekannya untuk tidur denganku. Aku tidak bisa lembur, karena aku harus menjemput dia dari tempat kerja tepat waktu. Dia bisa tantrum dan menanyakan banyak hal jika aku terlambat beberapa menit saja. Daripada ribut, aku memilih untuk membawa pekerjaan ke rumah.“Mama, aku boleh tambah?” tanya Remy yang mengulurkan piringnya ke arah Jenar.“Tentu saja boleh, sayang,” ucap Dina yang segera mengambil piring itu dari tangan putraku. “Segini cukup?” tanyanya saat menyendokkan nasi ke piring tersebut.Remy menoleh ke arah Jenar sebelum menjawab. Lalu dia melirik ke arahku. “Papa, aku mau tambah sate.” Aku memberikan beberapa tusuk sate untukn
Orang-orang yang ada di dekat kami menarik napas terkejut. Aku tidak menyangka adikku akan bicara sejahat itu mengenai kakak iparnya. Suasana yang sudah ramai di sekitar kami semakin riuh dengan suara para ibu yang memanggil anak-anak mereka.“Bagaimana kamu tahu mereka keracunan? Kalau benar istriku meracuni Jax dan Remy, seharusnya dia juga mengalami hal yang sama. Mereka makan makanan yang sama,” kataku, membela Jenar.“Apa Kakak tidak pernah tahu cara kerja racun? Dia bisa baik-baik saja pasti karena dia sudah minum antidot. Makanya hanya keponakanku yang kena.” Dia mendorong Jenar hingga terduduk ke lantai. “Dasar pembunuh! Kamu pasti sengaja membunuh mereka di depan kami semua.”“Aku sudah katakan kepadamu, Jeff. Kedua cucuku tidak aman berada di dekatnya. Kamu sekarang sudah lihat sendiri, ‘kan? Dia tega meracuni anaknya sendiri,” kata Ibu menimpali.“Ayo, mengaku. Kamu selama ini berpura-pura baik, ternyata kami salah. Anakmu sendiri pun kamu racuni!” desak Lauren. Dia mendoro
Aku harus mengikuti setiap acara pada hari pertama konferensi. Bos berulang kali mengingatkan aku agar mengikuti seluruh acara dan tidak mendekam di dalam kamar. Kalau bukan karena mengingat pesannya itu, aku sudah menelepon Ibu untuk mencari tahu di mana anak-anak berada.Jenar jarang sekali marah atau merasa kecewa. Aku selalu berusaha sebaik mungkin untuk membuat dia bahagia. Karena itu adalah janjiku kepadanya ketika melamarnya. Apa mungkin dia sedih dengan sikap Ibu yang membawa anak-anak pergi darinya? Itukah sebabnya dia menemui pria lain?“‘Ada apa, Jeff?’” tanya seorang rekanku dengan bahasa Inggris. “‘Kamu dari tadi kelihatan tegang. Apakah kamu mengkhawatirkan keluargamu?’” Aku hanya tersenyum dan berharap agar pintu elevator segera terbuka.“‘Aku dengar dari teman kita di Jakarta, istrimu ada dalam penjara. Aku turut prihatin dengan itu.’” Dia mendekatkan tubuhnya kepadaku. “‘Kalau kamu butuh bantuan untuk mengurangi ketegangan yang sedang kamu rasakan ….’” Jarinya mengelu
~Jenar~Aku heran ketika Jeff mengajak aku untuk ikut ke rumah adiknya. Wanita itu punya hubungan yang buruk denganku, untuk apa dia mengundang aku ke rumahnya? Apa dia tidak takut aku akan membunuh keluarganya? Karena hanya itu yang ada di kepalanya mengenai aku. Siapa pun yang ada di dekatku, nyawanya pasti melayang.Semua keluarga Jeff tahu bahwa aku bisa memasak makanan yang enak. Karena itu, aku tidak heran, Lauren meminta aku membantu di dapur. Tetapi Jeff melarang, hal yang sangat aku syukuri. Aku bisa mengawasi anak-anak saat mereka mengikuti perayaan.“Mama, aa.” Jax datang mendekati aku dan membuka mulutnya lebar-lebar.“Kamu punya nasi kotak sendiri, mengapa minta bagianku?” tanyaku, pura-pura tidak mau berbagi.Dia segera membalikkan badan, mengambil nasi kotaknya, dan membawanya kepadaku. Aku tertawa melihatnya. Remy melakukan hal yang sama. “Aa, Ma,” kata Jax lagi.Aku menurut dan menyendokkan makanannya ke mulutnya. Aku juga melakukan hal yang sama kepada Remy. Mereka t
~Jeffrey~ Istriku bersaksi dengan berani dan menjawab setiap pertanyaan dengan gamblang. Apa pun kata yang digunakan kuasa hukum para terdakwa atau hakim saat bertanya, jawaban Jenar tidak berubah. Itu adalah bukti bahwa dia tidak berbohong atau mengarang jawabannya. Dia kembali duduk di sisiku setelah kesaksiannya dianggap selesai. Aku memegang tangannya dan meletakkan di atas pangkuanku. Aku bisa merasakan Dina tidak mengalihkan pandangannya dariku, tetapi aku mengabaikannya. Perbuatannya atas istriku tidak termaafkan. “Sayang sekali, sidangnya tertutup, jadi kami tidak bisa ikut menyaksikan yang terjadi selama sidang,” keluh Ibu. Ayah yang memanggil anak-anak, maka Ibu yang membukakan pintu rumah. “Pihak tergugat yang keberatan sidang itu dilaksanakan secara terbuka. Tidak apa-apa, Bu. Sidang masih berjalan dengan baik,” kataku, menjelaskan. “Papa! Mama!” seru anak-anak yang berlari mendekati kami. Aku meminta mereka untuk pamit kepada kakek dan nenek mereka, lalu kami keluar m
Jax dan Remy setengah menarik tanganku saat keluar dari taksi. Aku membawa banyak kantong plastik berisi keperluan sekolah mereka, jadi tidak bisa berjalan dengan cepat. Di mana Jeff? Apa dia tidak mendengar bunyi mesin mobil atau seruan anak-anak? Aku butuh bantuan dengan bawaanku. Lalu mengapa semua orang ini datang bersamaan ke rumah kami? Tidak ada acara khusus pada hari ini, juga tidak ada rencana akan membuat acara. Hanya ada suamiku di rumah, Lalu apa yang mereka lakukan di sini? Oh, tidak. Jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Jeff. “Cepat buka pintunya, Ma!” desak Jax. Tanganku gemetar saat mencari kunci di dalam tas, karena rasa khawatir. Putraku itu bergerak lebih cepat dengan menekan kenop pintu. Ternyata tidak dikunci. “Papa!” panggilnya serentak dengan adiknya. Aneh. Mengapa tirai jendela ditutup semua? Lampu juga tidak dinyalakan. Ke mana perginya mereka yang memarkirkan mobilnya di depan rumah? Anak-anak malah tertawa cekikikan di ruang depan sambil berjalan ke arah
Walaupun aku sudah bisa menebak siapa dan apa alasannya, aku mau mendengarnya langsung dari mulut kuasa hukumku. Polisi tadi sudah memberi petunjuk yang cukup jelas. Karena tidak mungkin hanya Wahyo yang melaporkan aku bila mereka sampai yakin bisa menjebloskan aku ke penjara lagi.Namun sebelum Franky menjawab, pintu ruangan dibuka dan seorang polisi masuk. Dia hanya mengangguk ke arah pengacaraku, lalu menutup pintu kembali. Apa maksud anggukan itu? Aku melihat ke arah Franky yang berdiri dari kursinya.“Kamu bebas. Ayo, kita pergi dan bicara di tempat lain saja.” Dia berjalan mendekati pintu.Sebuah ide bermain di kepalaku mendengar kalimat pertamanya itu. “Apa aku boleh melakukan satu hal sebelum kita pergi?”Entah apa yang Franky katakan, aku mendapat izin dari polisi. Pria itu menunggu di dekat pintu masuk, sedangkan seorang petugas menemani aku. Dia bersikap baik kepadaku dan tidak bersikap kasar seperti rekannya yang pernah membawa aku ke tahanan ini.“Akhirnya! Aku tahu kamu
Kakiku terasa lemas, tetapi aku berusaha untuk tetap berdiri dengan tegak. Kejadian beberapa minggu yang lalu kembali bermain di benakku. Mengapa mereka datang lagi? Anak-anak berada di rumah dan aku tidak mau memberi mereka trauma untuk kesekian kalinya. Aku melihat antara dua pria yang berdiri di depan pagar dan kunci pintu di hadapanku. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa menghalangi mereka melakukan tugas. Namun atas dasar apa mereka kini mendatangi rumah kami? Pasti ada hubungannya denganku. “Ada apa? Mengapa kamu tidak membuka pintu?” tanya Jeff yang ternyata berdiri di belakangku. Dia mengintip dari jendela, lalu mendesah pelan. “Biar aku yang bicara dengan mereka.” Aku mengangguk dan bergeser agar dia bisa membuka pintu dan keluar rumah. Aku mengintip apa yang dia lakukan di luar lewat jendela. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengar. Namun aku bisa menebak bahwa kedua polisi itu membawa kabar buruk, karena suamiku terlihat kesal. Apakah tujuan mereka datang
Kelima pria dan wanita itu mundur selangkah dan memasang wajah kecut melihat ke arah pria yang datang tersebut. Tentu saja mereka mengenalinya. Nyaris tidak ada yang tidak pernah mendengar namanya. Dia sudah banyak sekali memenangkan kasus sulit, tetapi kliennya menang. Mereka kini tahu siapa yang sedang mereka hadapi. Bukti palsu. Polisi mana yang mau menerima laporan didasarkan atas bukti palsu? Aku tidak akan melakukan hal yang sama yang telah mereka perbuat kepadaku. Aku akan membuktikan bahwa dengan prosedur yang benar pun, aku bisa menjebloskan orang jahat ke penjara. “Aku baru tahu di sini adalah kantor polisi,” kata Franky yang berjalan mendekat, lalu berdiri di depanku. “Pulanglah sebelum aku mengajukan laporan baru. Kalian pasti berada di sini untuk mengancam saksi. Apa kalian tidak tahu bahwa mengancam saksi ada hukumannya?” Membuktikan bahwa mereka tidak tahu, mereka terlihat panik. “Ti-tidak. Kami tidak datang untuk mengancam siapa pun,” kata salah satu dari mereka, men
Berbekal rekaman dari wanita pada malam sebelumnya, aku dan Moira berencana untuk melihat kelanjutan nasib dari polisi jahat tersebut. Aku sudah mengirim kopinya ke surelnya. Dia membalas dan meminta untuk bertemu. Itu yang aku tunggu-tunggu. Tentu saja bukan aku atau Moira yang akan menemuinya, tetapi wanita yang tidur bersamanya. Aku sudah berjanji kepada Jeff dan Franky, maka aku tidak akan mengingkarinya. Aku tidak boleh terlibat dalam urusan yang melanggar hukum lagi. Bila terpaksa, maka aku tidak boleh sampai ketahuan. “Apa kamu akan terus melakukan ini kepada orang yang menyakiti kamu, keluarga, atau sahabatmu?” tanya Moira setengah menggoda. Aku tertawa kecil. “Tidak. Ini yang terakhir. Para polisi itu tidak mengerjakan tugasnya dengan baik, jadi aku harus memberi mereka pelajaran. Bila tidak, mereka akan terus bersikap sewenang-wenang.” “Iya, kamu benar. Tetapi terus terlibat dalam hal yang berbahaya, tidak baik untukmu.” Moira melihat aku dengan serius. “Jax dan Remy memb
~Jenar~ Berada di penjara karena membela diri dan fitnah, sudah cukup membuat kami menderita. Terpisah dari keluarga untuk sementara maupun selamanya bukanlah kehidupan yang mudah. Lalu kami juga harus diperlakukan tidak adil setelah bebas, itu tidak adil. Aku sudah merencanakan hal selain menemui para penjahat itu untuk membalas perbuatan jahat mereka. Cara itu hanya aku lakukan kepada para saksi palsu. Untuk polisi licik dan tidak tahu diri, aku sudah menyiapkan hal yang lebih baik. Hal yang akan membuat mereka berhati-hati bertindak. “Kamu yakin mau melakukan ini?” tanya Talia heran. “Harus. Aku tidak terima dia memperlakukan Bian layaknya penjahat.” Aku mengangkat penutup kepala jaketku untuk menudungi rambutku. Bian mengeluarkan sebuah kandang dari bagian belakang mobil, lalu kami menyeberangi jalan menuju rumah targetku. Setelah memanjat pagar dan mendarat sesenyap mungkin, kami menuju bagian belakang rumah. Bian melakukan keahliannya membuka kunci, dan aku tersenyum saat pi
~Jeffrey~Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Lauren, adikku sendiri, yang sudah meracuni anak-anakku. Hal yang ingin sekali aku lakukan adalah bicara dengannya dan memintanya untuk bicara jujur. Apa kesalahan Jax dan Remy sampai mereka harus menjadi korban keegoisannya?Mereka memang selamat dan ditangani dokter segera, tetapi mereka bisa saja kehilangan nyawa pada hari itu juga. Kami tidak pernah punya masalah sebelumnya, lalu apa yang mendorong dia melakukan hal sejahat itu?“Jadi, dana yang telah kita terima dari donatur, cukup untuk melaksanakan program liburan kita,” kata kepala keuangan organisasi.Orang yang aku pikir melakukannya adalah Dina. Wajar saja jika dia bisa semudah itu menyakiti anak-anak, karena mereka bukan miliknya. Tidak aku sangka, adikku sendiri pelakunya. Dia bahkan tidak ragu-ragu menjadikan kedua anaknya sebagai korbannya juga.“Bagaimana, Jeff? Apa pendapatmu? Dana yang lebih sebaiknya kita gunakan untuk apa?” tanya bosku. Dari ekspresi wajahnya,
Aku duduk di sisinya dan melihat layar tablet tersebut. Ternyata ada sebuah berita yang tidak aku duga. Bertahun-tahun berusaha untuk melupakan dan melanjutkan hidup, akhirnya aku bisa melihat orang yang menyakiti aku mendapat ganjarannya.Perjuanganku menunjukkan hasilnya juga. Bukan hanya aku yang menuntut perbuatannya di masa lalu, tetapi ada banyak wanita lain. Mereka melaporkan perbuatan pria itu di kantor polisi di mana dia bertugas. Syukurlah, aku tidak mundur ketika menemui banyak kesulitan.“Sayang, apa kamu tidak apa-apa?” Jeff menyeka pipiku. Tanpa aku sadari, aku menangis.Aku menggeleng pelan, lalu meletakkan kepalaku di bahunya. “Aku tidak apa-apa. Ini air mata haru. Aku senang dia akhirnya akan membayar semua perbuatan jahatnya. Semoga saja Franky sehebat yang Moira katakan.”“Dia lebih hebat dari yang sahabatmu katakan. Aku melihat sendiri bagaimana dia mengatasi polisi yang tidak mau membebaskan kamu dari tahanan. Jadi, jangan khawatir. Wahyo dan Dina akan mendekam di