Aku tidak mendengar dia membuka pagar, pintu depan, bahkan saat menaiki tangga. Aku baru tahu dia sudah sampai di rumah ketika dia membuka pintu. Itukah sebabnya aku tidak mendengar saat dia pergi tadi? Iya, aku tertidur. Tetapi aku pasti akan mendengar bunyi langkahnya menuruni tangga.
Lampu kamar menyala. Dia menarik napas terkejut melihat aku duduk di tepi tempat tidurnya. Dia melihat ke luar kamar, lalu menutup pintunya dengan cepat dan sesenyap mungkin. Dia memakai baju hitam berlengan panjang dan celana panjang berwarna sama.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan suara berbisik. “Kalau Dina sampai tahu—”
“Mengapa kamu tidak menjawab panggilanku? Kamu dari mana?” tanyaku tidak peduli dengan kekhawatirannya itu. Dia hanya diam. “Apa kamu menemui seorang laki-laki di luar sana untuk memenuhi kebutuhanmu?” Dia masih diam. Aku berdiri dan mendekat, tetapi dia mundur menjauh. Aku baru berhenti setelah dia tersudut di dinding.
“Selama aku di dalam penjara, kamu tidak peduli denganku dan apa yang aku lakukan. Mengapa kamu peduli dengan itu sekarang?” tanyanya menantang.
Aroma mulutnya segar, tidak ada tanda-tanda bau yang lain. Tubuhnya juga hanya mengeluarkan wangi sabunnya yang samar. Tidak ada bau laki-laki. Selama dia tidak tidur dengan pria lain, aku tidak mau tahu apa yang dia lakukan di luar sana.
“Kamu tinggal di rumahku dan masih menjadi istriku.” Aku membelai pipinya. Dia memejamkan matanya. “Aku berhak tahu kamu pergi ke mana dan bertemu dengan siapa.” Aku mendekat, tetapi tangannya di dadaku mencegah aku berdiri lebih rapat dengannya.
“Cara ini tidak akan berhasil untuk menggoda aku ke tempat tidur, Jeff.” Dia membuka matanya, lalu melirik bibirku. “Apa kamu pikir aku masih wanita muda yang sama yang kamu nikahi dahulu? Aku bukan lagi Jenar yang lugu dan lemah. Aku sudah berubah.”
“Aku suamimu, bukan lawanmu.” Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya dan menariknya mendekat. Detik itu juga aku sadar bahwa aku melakukan kesalahan besar. Melihat ekspresinya, aku tahu dia tidak akan menjawab iya. Tetapi tubuhku telanjur menginginkannya.
“Aku sudah memberi tahu syaratnya. Usir wanita itu dari rumahku.” Dia memalingkan wajahnya dariku. “Keluar dari kamarku sekarang juga.”
Aku mundur dan menjaga jarak darinya. Dia masih tidak mau menoleh ke arahku. “Anak-anak akan pulang hari ini. Mulai hari Senin, anak-anak akan aku antar ke rumah sepulang dari sekolah. Lalu mulai minggu berikutnya, kamu yang menjemput mereka.”
Wajahnya segera berubah ceria. “Sungguh? Mereka tidak akan dititip di rumah Ibu lagi??” tanyanya penuh harap. Aku mengangguk pelan. Dia melakukan hal yang tidak kuduga dengan memeluk aku begitu erat. “Terima kasih banyak, Jeff.”
Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan membalas pelukannya. Lama sekali aku tidak berada sedekat ini dengannya. Aku menghirup aroma samponya dalam-dalam. Mengikuti instingku, aku mencium rambutnya, lalu turun ke pundaknya. Dia sama sekali tidak keberatan. Aku sekarang tahu bagaimana membuat dia mau menjawab iya untuk tidur denganku.
Jenar memasak sarapan yang aku nikmati bersamanya. Dina masih tidur, jadi dia tidak akan tantrum melihat aku duduk di sini bersama istriku. Sampai di kantor, aku segera mengerjakan setiap tugasku supaya sisa waktuku bisa aku gunakan untuk menyelesaikan presentasiku pada konferensi yang akan aku ikuti nanti.
“Papa datang! Papa datang!” Anak-anak bersorak senang di teras melihat kedatanganku.
Bagus. Ibu tidak menggunakan cara yang sama untuk menahan mereka. Ibu berdiri dan menunggu sampai aku mendekat. Aku meminta anak-anak mengambil tas mereka agar aku bisa bicara dengan Ibu berdua saja. Dia terlihat tidak senang, bahkan tidak tersenyum saat aku mencium pipinya.
“Jax dan Remy akan menderita tinggal di rumahmu bersama pembunuh itu,” kata Ibu mengumpat. “Saat kamu sadar bahwa yang aku katakan ini benar, semuanya sudah terlambat.”
“Jenar adalah ibu mereka,” ucapku, mengingatkannya.
“Wanita itu akan menyakiti kedua cucuku. Mengapa kamu tidak mengerti juga, Nak? Dia membunuh rekan kerjanya dengan sadis. Lihat saja bagaimana dia sekarang. Tidak ada rasa penyesalan sama sekali.” Ibu melihat ke arah bagian dalam rumah. “Kalau kamu tidak melakukan sesuatu, maka Jax dan Remy akan tinggal di sini sampai kamu menceraikan perempuan itu.”
“Ibu tidak punya hak atas mereka,” kataku yang tidak gentar sama sekali dengan ancamannya.
“Aku adalah nenek mereka. Tentu saja aku punya hak atas mereka,” serunya bersikeras. “Kalau perlu aku akan memanggil Lauren dan suaminya supaya kamu tidak merebut mereka dariku.”
Ini bukan cara berpikir ibuku. Jelas sekali dia terpengaruh oleh orang lain. “Jangan terpengaruh ucapan Dina. Aku adalah anak Ibu. Seharusnya Ibu lebih percaya kepadaku.”
“Dina tidak ada hubungannya dengan semua ini,” bantahnya sengit. “Aku tahu bahwa perempuan itu sangat jahat. Aku percaya kepadamu, tetapi tidak dengan perempuan itu.”
“Ibu lebih percaya kepada Dina,” kataku dengan tajam. Dia terdiam mendengar kalimatku itu. “Ibu tidak perlu menjaga anak-anak lagi. Jenar sudah pulang, dia bisa menjaga mereka di rumah.”
“Apa katamu?” protes Ibu dengan keras. “Kamu tidak bisa melakukan itu, Jeff!”
Aku segera menggandeng tangan Jax dan Remy ketika mereka datang dengan tas dan kantong plastik di tangan mereka. Ayah berjalan di belakang mereka, mungkin dia memberi mereka kudapan untuk mereka nikmati di perjalanan. Ibu masih protes, tetapi aku tidak mendengarnya lagi.
“Papa bertengkar dengan Nenek?” tanya Jax saat kami sudah jauh dari rumah Ibu. Aku menggumam pelan, sengaja tidak menjawab dengan jelas. “Aku juga pernah bertengkar dengan Mama. Tetapi kami sudah berbaikan lagi. Jadi, Papa pasti akan berbaikan dengan Nenek.”
“Papa, aku tidak mau tinggal di rumah Nenek lagi. Aku mau tinggal sama Papa. Apa Papa tidak sayang aku dan Kak Jax lagi?” ucap Remy yang tiba-tiba saja menangis dengan keras. “Mengapa Papa tidak mau kami tinggal sama Papa?”
Aku menepikan mobil, lalu menarik napas panjang merasakan emosiku naik ke ubun-ubun. Inilah alasan aku tidak mau mereka bermalam di rumah Ibu. Dina tidak boleh ikut campur dalam urusan mendidik anak-anak lagi. Aku tidak suka mereka salah paham kepadaku.
Setelah merasa sedikit tenang, aku keluar dari mobil, lalu masuk ke jok belakang. Aku melepas sabuk pengaman Remy dan memangku anak kecil yang sedang menangis itu. Aku juga melakukan hal yang sama pada sabuk Jax, lalu memangkunya di pahaku yang lain.
“Aku sangat sayang kalian berdua. Mulai hari ini, kalian akan selalu pulang ke rumah. Oke?” ucapku menghibur mereka. Keduanya mengangguk pelan.
Dina ada acara makan dengan teman-temannya, jadi aku tidak perlu menjemputnya ke tempat kerja. Ini adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan anak-anak kepada ibu kandung mereka. Aku tidak boleh memisahkan mereka terlalu lama. Kalau bukan karena ulah ibuku, mereka sudah saling mengenal sejak sehari yang lalu.
“Papa, apa perempuan jahat itu masih ada di rumah kita?” tanya Jax, ketika aku mematikan mesin mobil di garasi luar rumah.
Cerita buruk apa lagi yang Ibu katakan kepada anak-anakku? “Aku lelah. Pasti kalian juga begitu. Kita mandi, lalu aku akan ceritakan segalanya. Oke?” tanyaku dengan lembut. Mereka mengangguk cepat.
Aroma yang sedap memasuki penciumanku saat aku membuka pintu depan. Jax dan Remy juga melakukan hal yang sama. Wanita ini benar-benar tidak mudah menyerah. Dia tidak tahu anak-anak kami akan pulang atau tidak sore ini, tetapi dia tetap memasak kue untuk mereka.
“Tante masak kue?” tanya Remy ingin tahu. Tubuhnya tidak cukup tinggi untuk bisa melihat apa yang ada di atas meja.
Jenar tersenyum bahagia. “Iya. Apa kamu suka kukis dengan butiran cokelat?” Dia menyodorkan sepiring penuh kue tersebut.
Mata Remy juga Jax membulat senang. Tetapi sebelum mereka berhasil mengambil kue itu, aku memegang tangan mereka. “Kalian mandi dan ganti baju, baru boleh makan kue.”
“Nanti kuenya habis, Pa,” protes Remy.
“Aku akan simpan kue bagian kalian,” kata Jenar, menenangkan mereka.
Anak-anak bersorak senang, lalu meletakkan tas mereka begitu saja di lantai. Aku membantu mereka membersihkan diri dengan benar, lalu membawa mereka yang mengenakan mantel handuk ke kamar. Kedua tas mereka sudah terletak di atas meja di kamar tersebut.
Aku memutuskan untuk mengatakan yang sejujurnya kepada mereka. Dina sedang tidak ada di rumah, maka ini adalah waktu yang tepat. Siapa pun yang melihat Jax dan Remy pasti tahu bahwa mereka berdua adalah anakku dengan Jenar. Remy bahkan sangat mirip dengan mamanya.
“Orang itu adalah mama kami?” tanya Jax tidak percaya.
Dia masih berusia tiga tahun saat dipisah dari ibunya. Wajar saja dia tidak mengingat wajahnya. Apalagi Dina langsung memasuki kehidupan kami dan entah bagaimana malah mengajari dia memanggilnya mama. Ibu dan Lauren mendukung perbuatannya sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Semua foto kami bersama Jenar telah disimpan entah di mana. Foto pernikahan kami, foto keluarga kami saat Jax berusia satu tahun, foto keluarga kami saat Jenar sedang hamil muda, bahkan fotoku berdua dengannya tidak tersisa satu pun di rumahku. Rumahku. Dina tidak akan berani melakukan hal itu tanpa dukungan Ibu dan Lauren.
“Mama bukan mama kami?” tanya Remy dengan wajah polosnya. Aku membelai rambutnya.
“Dina adalah mama apa?” tanyaku pelan. Aku tidak membiarkan keluargaku merusak kenangan mereka mengenai ibu kandung mereka. Jadi, kami punya rahasia yang aku yakin sudah Ayah ketahui. Karena itu, dia menjadi sekutuku yang menjaga agar Jax dan Remy tidak keceplosan.
“Mama Kedua,” jawab Jax dengan cepat.
“Mama apa sebelum kedua?” tanyaku lagi. Dia sudah kelas dua SD, jadi dia sudah mengenal angka.
“Mama Pertama?” jawab Jax setengah bertanya. Aku tersenyum. “Jadi, dia adalah Mama Pertama? Aku dan Remy punya dua mama?”
Aku mengangguk pelan. “Dina adalah mama yang membesarkan kalian saat Mama melakukan tugas berat di luar kota.” Aku bicara sepelan mungkin. Mereka pasti mengerti jika aku menggunakan analogi ini, karena aku sering dinas keluar kota.
“Dia sudah kembali, jadi kalian perlu belajar memanggilnya mama. Dia akan bersikap sangat baik kepada kalian, karena dia sangat menyayangi kalian berdua.” Aku membelai kepala mereka yang mendengarkan aku dengan saksama. “Jangan sakiti dia. Apa kalian mengerti?”
~Jenar~Aku menunggu dengan gugup melihat mereka lama sekali keluar dari kamar. Seharian ini aku hanya membantu Bian di tokonya, lalu pulang setelah makan siang bersamanya. Aku tidak tahu apa anak-anak akan pulang pada hari ini. Tetapi aku memasak kue andai hari ini keajaiban terjadi.Syukurlah, mereka tidak bersikap segan kepadaku. Dugaanku benar. Mereka mirip seperti papa mereka. Cara untuk memenangkan hati mereka adalah lewat perutnya. Semoga saja mereka juga menyukai semua makanan yang diberi cokelat, seperti Jeff.Pintu kamar terbuka, Jax dan Remy segera berebutan berlari mendekati aku. “Mama!” seru mereka sambil memeluk pahaku. Aku tertegun sejenak. Jeff keluar dari kamar dan berdiri di dekat pintu itu. Tidak ada emosi apa pun pada wajahnya.Aku melihat ke arah dua anak yang masih memeluk aku. Air mata jatuh saat aku akhirnya bisa membelai rambut halus dan lebat mereka. Aku memegang tangan mereka, lalu berlutut. “Kalian tadi memanggil aku apa?” tanyaku tidak percaya.“Mama!” jaw
Tanpa menjawab pertanyaannya yang menantang aku itu, aku memungut kue pemberian Bian dan memasukkannya kembali ke kotak. Untung saja setiap kue lemper itu terbungkus daun pisang dan plastik. Lantai kamarku juga bersih, jadi tidak ada debu yang menempel.Lalu sesuatu tebersit di kepalaku. Tidak. Aku pasti akan membunuhnya jika dia sampai melakukan hal itu lagi. Aku bergegas turun dan memeriksa kulkas. Berengsek! Yang aku cari justru berada di tempat yang sama, bersama nasi goreng yang dia buang tadi.“Kau …!” ucapku geram. Dia berjalan mundur, tetapi aku lebih cepat. Aku memegang kedua pipinya dengan tangan kananku. Lalu mendorong dia ke dinding. Aku tidak peduli mendengar ringisannya.“Apa kamu tahu berapa orang di luar sana yang tidak bisa makan?” ucapku geram, menahan amarah. “Ke mana otakmu sampai tega membuang semua makanan yang susah payah aku masak? Ini yang terakhir. Apa kamu dengar aku? Ini yang terakhir, atau aku bersumpah Jeff akan mengusir kamu dari rumah ini hanya dengan s
Aku memikirkan apa yang perlu aku lakukan sebelum masuk ke rumah. Apa yang terjadi pada hari Minggu tidak boleh terulang lagi. Aku serius dengan yang aku rasakan. Aku tidak mau diam-diam bermesraan dengannya, padahal akulah istrinya yang sah.Namun aku terkejut melihat anak-anak berwajah sedih di ruang depan. Jeff berdiri dan berjalan mendekati aku. “Apa kamu lupa bahwa mulai hari ini aku akan mengantar mereka pulang dari sekolah?” bisiknya, agar hanya aku yang mendengar. “Mengapa kamu tidak menjawab ponselmu?”“Oh, Tuhan.” Aku menarik napas terkejut. Apa yang aku pikirkan? Bagaimana aku bisa lupa dengan hal sepenting itu? “Apa mereka sedih karena itu?”Dia menggeleng pelan. “Dina mengambil kotak makan siang mereka. Jadi, mereka sedih tidak makan kue darimu saat di sekolah.” Dia menoleh ke arah mereka. “Aku harus kembali ke kantor.”Aku mengangguk. Setelah dia mengeluarkan mobil dari garasi, aku menutup dan menggembok pagar. Kedua anak itu masih cemberut di ruang depan. Padahal acara
“Oke, oke. Tolong, ja-jangan bunuh aku,” kata pria itu dengan suara bergetar. Aku bisa merasakan seluruh tubuhnya juga gemetar. Meletakkan pisau di lehernya memang pilihan yang tepat. “Aku akan mengatakannya. A-aku … aku tidak punya maksud jahat. Sungguh. Aku ….”“Berhenti mengulur-ulur waktu. Cepat katakan!” desakku dengan suara tertahan.“Adina Cahyati. Dia memberi aku uang untuk bersaksi palsu.” Dia menangis tersedu. “Dia pasti akan datang membunuh aku, jika dia tahu aku buka mulut.”Dina? Untuk apa dia membayar pria ini untuk berbohong di pengadilan? “Bapak tidak berbohong?” Pria ini tidak berpura-pura. Dia benar-benar ketakutan. Memangnya apa yang bisa Dina lakukan kepadanya? Wanita itu memang ringan tangan, tetapi tidak akan berani membunuh.“Tidak. Aku bersumpah, aku mengatakan yang sejujurnya. Dia memberi aku uang sebesar delapan ratus juta. Lima ratus untukku, dan tiga ratus lagi untuk supervisormu dahulu,” katanya ketakutan.“Kalau saya tahu Bapak berbohong, saya tidak akan
Dina pulang dan memonopoli anak-anak lagi. Aku justru bersyukur. Karena setelah makan malam, aku bisa langsung ke kamarku. Aku mengunci pintunya agar tidak ada yang tiba-tiba masuk dan melihat apa yang sedang aku kerjakan.Rumah dilengkapi dengan Wi-Fi, jadi aku bisa berseluncur dengan bebas. Dari semua nama yang aku periksa, ada satu hal yang sangat aneh. Mereka adalah teman, sahabat, mantan kekasih, mantan rekan kerja dan bos, tetapi tidak ada satu nama pun yang punya hubungan keluarga dengannya.“Apa kamu yakin? Itu daftar yang sangat banyak,” kata Bian saat aku menelepon, dan melaporkan kecurigaanku. “Aku akan meminta mereka mencari tahu lebih dalam lagi.”“Aku punya usul yang lebih baik.” Aku tersenyum, walaupun Bian tidak bisa melihatnya.“Apa?” tanyanya ingin tahu. Aku memberi tahu dia apa yang aku pikirkan, lalu mendengar masukan darinya. Kami menyempurnakan ide itu sebelum mengakhiri panggilan dan tidur.Orang berikutnya yang perlu kami temui sedang dinas keluar kota. Walaupu
~Jeffrey~Istriku menyimpan sebuah rahasia dariku. Kecurigaanku itu terbukti ketika dia lupa dengan rencana yang sudah aku sampaikan mengenai anak-anak. Hubungan kami masih rumit dengan kehadiran Dina, jadi aku tidak bisa bicara banyak dengannya. Dia juga tidak mau terbuka denganku.Pekerjaanku sangat menyita perhatian, dan Dina tidak membantu dengan rengekannya untuk tidur denganku. Aku tidak bisa lembur, karena aku harus menjemput dia dari tempat kerja tepat waktu. Dia bisa tantrum dan menanyakan banyak hal jika aku terlambat beberapa menit saja. Daripada ribut, aku memilih untuk membawa pekerjaan ke rumah.“Mama, aku boleh tambah?” tanya Remy yang mengulurkan piringnya ke arah Jenar.“Tentu saja boleh, sayang,” ucap Dina yang segera mengambil piring itu dari tangan putraku. “Segini cukup?” tanyanya saat menyendokkan nasi ke piring tersebut.Remy menoleh ke arah Jenar sebelum menjawab. Lalu dia melirik ke arahku. “Papa, aku mau tambah sate.” Aku memberikan beberapa tusuk sate untukn
Orang-orang yang ada di dekat kami menarik napas terkejut. Aku tidak menyangka adikku akan bicara sejahat itu mengenai kakak iparnya. Suasana yang sudah ramai di sekitar kami semakin riuh dengan suara para ibu yang memanggil anak-anak mereka.“Bagaimana kamu tahu mereka keracunan? Kalau benar istriku meracuni Jax dan Remy, seharusnya dia juga mengalami hal yang sama. Mereka makan makanan yang sama,” kataku, membela Jenar.“Apa Kakak tidak pernah tahu cara kerja racun? Dia bisa baik-baik saja pasti karena dia sudah minum antidot. Makanya hanya keponakanku yang kena.” Dia mendorong Jenar hingga terduduk ke lantai. “Dasar pembunuh! Kamu pasti sengaja membunuh mereka di depan kami semua.”“Aku sudah katakan kepadamu, Jeff. Kedua cucuku tidak aman berada di dekatnya. Kamu sekarang sudah lihat sendiri, ‘kan? Dia tega meracuni anaknya sendiri,” kata Ibu menimpali.“Ayo, mengaku. Kamu selama ini berpura-pura baik, ternyata kami salah. Anakmu sendiri pun kamu racuni!” desak Lauren. Dia mendoro
Aku harus mengikuti setiap acara pada hari pertama konferensi. Bos berulang kali mengingatkan aku agar mengikuti seluruh acara dan tidak mendekam di dalam kamar. Kalau bukan karena mengingat pesannya itu, aku sudah menelepon Ibu untuk mencari tahu di mana anak-anak berada.Jenar jarang sekali marah atau merasa kecewa. Aku selalu berusaha sebaik mungkin untuk membuat dia bahagia. Karena itu adalah janjiku kepadanya ketika melamarnya. Apa mungkin dia sedih dengan sikap Ibu yang membawa anak-anak pergi darinya? Itukah sebabnya dia menemui pria lain?“‘Ada apa, Jeff?’” tanya seorang rekanku dengan bahasa Inggris. “‘Kamu dari tadi kelihatan tegang. Apakah kamu mengkhawatirkan keluargamu?’” Aku hanya tersenyum dan berharap agar pintu elevator segera terbuka.“‘Aku dengar dari teman kita di Jakarta, istrimu ada dalam penjara. Aku turut prihatin dengan itu.’” Dia mendekatkan tubuhnya kepadaku. “‘Kalau kamu butuh bantuan untuk mengurangi ketegangan yang sedang kamu rasakan ….’” Jarinya mengelu
~Jeffrey~ Istriku bersaksi dengan berani dan menjawab setiap pertanyaan dengan gamblang. Apa pun kata yang digunakan kuasa hukum para terdakwa atau hakim saat bertanya, jawaban Jenar tidak berubah. Itu adalah bukti bahwa dia tidak berbohong atau mengarang jawabannya. Dia kembali duduk di sisiku setelah kesaksiannya dianggap selesai. Aku memegang tangannya dan meletakkan di atas pangkuanku. Aku bisa merasakan Dina tidak mengalihkan pandangannya dariku, tetapi aku mengabaikannya. Perbuatannya atas istriku tidak termaafkan. “Sayang sekali, sidangnya tertutup, jadi kami tidak bisa ikut menyaksikan yang terjadi selama sidang,” keluh Ibu. Ayah yang memanggil anak-anak, maka Ibu yang membukakan pintu rumah. “Pihak tergugat yang keberatan sidang itu dilaksanakan secara terbuka. Tidak apa-apa, Bu. Sidang masih berjalan dengan baik,” kataku, menjelaskan. “Papa! Mama!” seru anak-anak yang berlari mendekati kami. Aku meminta mereka untuk pamit kepada kakek dan nenek mereka, lalu kami keluar m
Jax dan Remy setengah menarik tanganku saat keluar dari taksi. Aku membawa banyak kantong plastik berisi keperluan sekolah mereka, jadi tidak bisa berjalan dengan cepat. Di mana Jeff? Apa dia tidak mendengar bunyi mesin mobil atau seruan anak-anak? Aku butuh bantuan dengan bawaanku. Lalu mengapa semua orang ini datang bersamaan ke rumah kami? Tidak ada acara khusus pada hari ini, juga tidak ada rencana akan membuat acara. Hanya ada suamiku di rumah, Lalu apa yang mereka lakukan di sini? Oh, tidak. Jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Jeff. “Cepat buka pintunya, Ma!” desak Jax. Tanganku gemetar saat mencari kunci di dalam tas, karena rasa khawatir. Putraku itu bergerak lebih cepat dengan menekan kenop pintu. Ternyata tidak dikunci. “Papa!” panggilnya serentak dengan adiknya. Aneh. Mengapa tirai jendela ditutup semua? Lampu juga tidak dinyalakan. Ke mana perginya mereka yang memarkirkan mobilnya di depan rumah? Anak-anak malah tertawa cekikikan di ruang depan sambil berjalan ke arah
Walaupun aku sudah bisa menebak siapa dan apa alasannya, aku mau mendengarnya langsung dari mulut kuasa hukumku. Polisi tadi sudah memberi petunjuk yang cukup jelas. Karena tidak mungkin hanya Wahyo yang melaporkan aku bila mereka sampai yakin bisa menjebloskan aku ke penjara lagi.Namun sebelum Franky menjawab, pintu ruangan dibuka dan seorang polisi masuk. Dia hanya mengangguk ke arah pengacaraku, lalu menutup pintu kembali. Apa maksud anggukan itu? Aku melihat ke arah Franky yang berdiri dari kursinya.“Kamu bebas. Ayo, kita pergi dan bicara di tempat lain saja.” Dia berjalan mendekati pintu.Sebuah ide bermain di kepalaku mendengar kalimat pertamanya itu. “Apa aku boleh melakukan satu hal sebelum kita pergi?”Entah apa yang Franky katakan, aku mendapat izin dari polisi. Pria itu menunggu di dekat pintu masuk, sedangkan seorang petugas menemani aku. Dia bersikap baik kepadaku dan tidak bersikap kasar seperti rekannya yang pernah membawa aku ke tahanan ini.“Akhirnya! Aku tahu kamu
Kakiku terasa lemas, tetapi aku berusaha untuk tetap berdiri dengan tegak. Kejadian beberapa minggu yang lalu kembali bermain di benakku. Mengapa mereka datang lagi? Anak-anak berada di rumah dan aku tidak mau memberi mereka trauma untuk kesekian kalinya. Aku melihat antara dua pria yang berdiri di depan pagar dan kunci pintu di hadapanku. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa menghalangi mereka melakukan tugas. Namun atas dasar apa mereka kini mendatangi rumah kami? Pasti ada hubungannya denganku. “Ada apa? Mengapa kamu tidak membuka pintu?” tanya Jeff yang ternyata berdiri di belakangku. Dia mengintip dari jendela, lalu mendesah pelan. “Biar aku yang bicara dengan mereka.” Aku mengangguk dan bergeser agar dia bisa membuka pintu dan keluar rumah. Aku mengintip apa yang dia lakukan di luar lewat jendela. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengar. Namun aku bisa menebak bahwa kedua polisi itu membawa kabar buruk, karena suamiku terlihat kesal. Apakah tujuan mereka datang
Kelima pria dan wanita itu mundur selangkah dan memasang wajah kecut melihat ke arah pria yang datang tersebut. Tentu saja mereka mengenalinya. Nyaris tidak ada yang tidak pernah mendengar namanya. Dia sudah banyak sekali memenangkan kasus sulit, tetapi kliennya menang. Mereka kini tahu siapa yang sedang mereka hadapi. Bukti palsu. Polisi mana yang mau menerima laporan didasarkan atas bukti palsu? Aku tidak akan melakukan hal yang sama yang telah mereka perbuat kepadaku. Aku akan membuktikan bahwa dengan prosedur yang benar pun, aku bisa menjebloskan orang jahat ke penjara. “Aku baru tahu di sini adalah kantor polisi,” kata Franky yang berjalan mendekat, lalu berdiri di depanku. “Pulanglah sebelum aku mengajukan laporan baru. Kalian pasti berada di sini untuk mengancam saksi. Apa kalian tidak tahu bahwa mengancam saksi ada hukumannya?” Membuktikan bahwa mereka tidak tahu, mereka terlihat panik. “Ti-tidak. Kami tidak datang untuk mengancam siapa pun,” kata salah satu dari mereka, men
Berbekal rekaman dari wanita pada malam sebelumnya, aku dan Moira berencana untuk melihat kelanjutan nasib dari polisi jahat tersebut. Aku sudah mengirim kopinya ke surelnya. Dia membalas dan meminta untuk bertemu. Itu yang aku tunggu-tunggu. Tentu saja bukan aku atau Moira yang akan menemuinya, tetapi wanita yang tidur bersamanya. Aku sudah berjanji kepada Jeff dan Franky, maka aku tidak akan mengingkarinya. Aku tidak boleh terlibat dalam urusan yang melanggar hukum lagi. Bila terpaksa, maka aku tidak boleh sampai ketahuan. “Apa kamu akan terus melakukan ini kepada orang yang menyakiti kamu, keluarga, atau sahabatmu?” tanya Moira setengah menggoda. Aku tertawa kecil. “Tidak. Ini yang terakhir. Para polisi itu tidak mengerjakan tugasnya dengan baik, jadi aku harus memberi mereka pelajaran. Bila tidak, mereka akan terus bersikap sewenang-wenang.” “Iya, kamu benar. Tetapi terus terlibat dalam hal yang berbahaya, tidak baik untukmu.” Moira melihat aku dengan serius. “Jax dan Remy memb
~Jenar~ Berada di penjara karena membela diri dan fitnah, sudah cukup membuat kami menderita. Terpisah dari keluarga untuk sementara maupun selamanya bukanlah kehidupan yang mudah. Lalu kami juga harus diperlakukan tidak adil setelah bebas, itu tidak adil. Aku sudah merencanakan hal selain menemui para penjahat itu untuk membalas perbuatan jahat mereka. Cara itu hanya aku lakukan kepada para saksi palsu. Untuk polisi licik dan tidak tahu diri, aku sudah menyiapkan hal yang lebih baik. Hal yang akan membuat mereka berhati-hati bertindak. “Kamu yakin mau melakukan ini?” tanya Talia heran. “Harus. Aku tidak terima dia memperlakukan Bian layaknya penjahat.” Aku mengangkat penutup kepala jaketku untuk menudungi rambutku. Bian mengeluarkan sebuah kandang dari bagian belakang mobil, lalu kami menyeberangi jalan menuju rumah targetku. Setelah memanjat pagar dan mendarat sesenyap mungkin, kami menuju bagian belakang rumah. Bian melakukan keahliannya membuka kunci, dan aku tersenyum saat pi
~Jeffrey~Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Lauren, adikku sendiri, yang sudah meracuni anak-anakku. Hal yang ingin sekali aku lakukan adalah bicara dengannya dan memintanya untuk bicara jujur. Apa kesalahan Jax dan Remy sampai mereka harus menjadi korban keegoisannya?Mereka memang selamat dan ditangani dokter segera, tetapi mereka bisa saja kehilangan nyawa pada hari itu juga. Kami tidak pernah punya masalah sebelumnya, lalu apa yang mendorong dia melakukan hal sejahat itu?“Jadi, dana yang telah kita terima dari donatur, cukup untuk melaksanakan program liburan kita,” kata kepala keuangan organisasi.Orang yang aku pikir melakukannya adalah Dina. Wajar saja jika dia bisa semudah itu menyakiti anak-anak, karena mereka bukan miliknya. Tidak aku sangka, adikku sendiri pelakunya. Dia bahkan tidak ragu-ragu menjadikan kedua anaknya sebagai korbannya juga.“Bagaimana, Jeff? Apa pendapatmu? Dana yang lebih sebaiknya kita gunakan untuk apa?” tanya bosku. Dari ekspresi wajahnya,
Aku duduk di sisinya dan melihat layar tablet tersebut. Ternyata ada sebuah berita yang tidak aku duga. Bertahun-tahun berusaha untuk melupakan dan melanjutkan hidup, akhirnya aku bisa melihat orang yang menyakiti aku mendapat ganjarannya.Perjuanganku menunjukkan hasilnya juga. Bukan hanya aku yang menuntut perbuatannya di masa lalu, tetapi ada banyak wanita lain. Mereka melaporkan perbuatan pria itu di kantor polisi di mana dia bertugas. Syukurlah, aku tidak mundur ketika menemui banyak kesulitan.“Sayang, apa kamu tidak apa-apa?” Jeff menyeka pipiku. Tanpa aku sadari, aku menangis.Aku menggeleng pelan, lalu meletakkan kepalaku di bahunya. “Aku tidak apa-apa. Ini air mata haru. Aku senang dia akhirnya akan membayar semua perbuatan jahatnya. Semoga saja Franky sehebat yang Moira katakan.”“Dia lebih hebat dari yang sahabatmu katakan. Aku melihat sendiri bagaimana dia mengatasi polisi yang tidak mau membebaskan kamu dari tahanan. Jadi, jangan khawatir. Wahyo dan Dina akan mendekam di