Aku menyempatkan untuk mengambil semua milik pribadi Jenar di laci meja kerjaku, juga membeli ponsel dengan nomor baru untuknya. Semua itu aku letakkan di nakas di kamarnya. Dia masih seperti kebiasaannya. Tidak terbangun sekalipun ada yang menyentuhnya. Kesempatan itu aku gunakan untuk mencium keningnya. Bila waktunya tiba, aku akan bisa mencicipi bibirnya lagi. Tetapi tidak dalam kondisi tidur.
Ketika memeriksa keadaan anak-anak, aku terkejut. Mereka tidak ada di kamar tidur mereka. Apa yang terjadi? Mengapa Dina tidak mengatakan apa pun kepadaku? Mereka adalah anak-anakku. Siapa yang berani mengambil mereka dari rumahku tanpa izinku?
Aku keluar dari kamar dan menuju luar rumah. Biasanya aku berolahraga, tetapi pikiranku sedang kacau. Aku menelepon Ayah. Setelah menunggu beberapa saat, barulah aku mendengar suara sapaannya. Memahami apa tujuanku menelepon, Ayah segera meminta maaf.
“Aku akan menjemput mereka sepulang dari tempat kerja. Aku harap Ayah dan Ibu tidak melakukan hal yang bisa memperburuk keadaan. Mereka adalah anak-anakku, maka aku yang memutuskan di mana mereka tinggal, bukan Ayah atau Ibu.” Aku tidak menunggu respons Ayah dan memutuskan hubungan telepon.
Untuk menenangkan pikiran, aku berjalan santai mengelilingi perumahan. Setelah aku bisa berlari, aku melakukannya sampai tubuhku lelah. Aroma sedap menyambut kedatanganku ke rumah. Satu tanda bahwa Jenar sudah pulang. Dina tidak pernah memasak, jadi pasti istriku yang melakukannya.
Dina pasti sudah bangun, jadi aku tidak bicara dengan Jenar. Aku memasuki kamar mandi untuk menyikat gigi. Wanita yang sedang menggunakan ruang pancuran itu mengajak aku untuk mandi bersamanya, aku diam dan berjalan keluar dari ruangan itu. Hanya setelah dia keluar dari kamar mandi, aku kembali masuk dan membersihkan diri.
“Kamu kelihatan tegang. Ada apa, sayang?” tanya Dina saat kami sudah berada di dalam mobil. “Kamu tahu, inilah akibatnya kalau kamu menolak bercinta denganku.”
“Jax dan Remy adalah anak-anakku,” ujarku membuka percakapan kami.
“Mereka juga adalah anak-anakku,” katanya tidak mau kalah. “Akulah yang sudah membesarkan mereka selama perempuan itu membayar dosanya di penjara! Jangan pernah lupakan itu! Apa yang aku lakukan, aku perbuat untuk melindungi mereka. Aku sayang mereka, Jeff. Memangnya kamu tidak takut dia akan membunuh mereka saat kita sedang tidur?”
Itu adalah tuduhan yang tidak bisa aku bantah, karena aku tidak punya bukti. Aku tidak bisa pamer kepada semua orang bahwa istriku tidak bersalah. Namun aku tahu, Jenar tidak akan membunuh orang. Kalaupun dia melakukannya, itu pasti karena dia membela diri. Bagaimana bisa semua orang menjadi buta? Jenar sedang hamil saat itu, jadi dia tidak akan punya hati mencabut nyawa orang lain.
“Mereka adalah anak yang dia lahirkan dan besarkan sekalipun penjara menghalanginya. Dia tidak akan menyakiti apalagi membunuh mereka. Aku akan membawa mereka pulang sore ini.” Aku bisa melihat dia mencoba untuk membantah. “Titik.”
Setelah mengantar Dina ke tempat kerjanya, aku menuju kantorku. Pekerjaan sudah menunggu, jadi aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Bos bahkan meminta aku untuk mewakili dia mengikuti pertemuan dengan gubernur.
“Pak, apa ini?” tanyaku sambil menunjukkan isi surelnya yang baru aku terima.
“Aku tahu bahwa istrimu baru saja keluar dari penjara. Tetapi aku tidak bisa menunjuk orang lain.” Dia memijat keningnya. “Aku hanya percaya kamu untuk pergi ke konferensi itu. Bicarakan dengan Adina. Kalau perlu, kamu bisa mencarikan tempat tinggal sementara untuk istrimu.”
Aku mengerutkan kening mendengar kalimatnya itu. Apa hubungannya Dina dengan kepergianku menghadiri konferensi? “Apa yang Dina katakan kepada Bapak?”
“Istrimu seorang pembunuh, ‘kan?” tanyanya retorik. Semua orang di kantor ini tahu bahwa istriku berada di penjara dan sudah bebas. “Dia mengadu kepada istriku dan membujuknya agar bicara denganku. Dia meminta agar kamu tidak keluar kota untuk beberapa waktu ke depan.”
Perempuan ini sudah terlalu banyak ikut campur urusanku. Aku tidak mengatakan apa pun ketika dia mengajari anak-anak untuk memanggilnya mama. Aku juga tidak protes melihat semua foto keluarga kami diganti menjadi fotonya. Tetapi aku tidak bisa diam melihat dia bahkan mencoba mengontrol bosku. Lama-kelamaan, aku bisa kehilangan pekerjaan ini.
“Saya mohon maaf, Pak. Saya akan bicara dengan Dina. Saya datang karena terkejut saya baru mendapat pemberitahuannya sekarang. Saya belum mempersiapkan apa pun untuk menghadiri konferensi ini. Saya akan mempersiapkannya sekarang.” Aku pamit dan keluar dari ruangan itu.
Aku memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan di rumah. Dina akan rewel bila kami pulang lebih lama dari biasanya. Aku menjemput anak-anak lebih dahulu dari rumah orang tuaku. Tetapi aku terkejut mereka tidur lelap di kamar yang biasa mereka gunakan setiap menginap. Ibu membujuk aku untuk membiarkan mereka bermalam.
“Hanya untuk malam ini. Bila mereka masih tidur sore seperti ini besok, aku akan membawa mereka pulang. Ibu tidak bisa menahan putraku di rumah Ibu.” Aku menatapnya dengan serius.
Aku menjemput Dina di kantornya. Dia berniat mencium pipiku, tetapi aku menghindar. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya kembali duduk dengan rapi di joknya. Aku mengendarai mobil ke rumah dan jantungku bergerak perlahan lebih cepat. Sebentar lagi aku akan bertemu dengannya kembali.
Dina meminta aku menepi di depan restoran kesukaannya. Aku tidak berhenti dan terus menyetir sampai tiba di rumah. Dia bertingkah seperti anak kecil dengan membanting pintu, lalu masuk ke rumah. Aroma sedap menyambut kedatangan kami.
“Aku akan memesan makan malam.” Dina mengeluarkan ponselnya dari tasnya. “Kau mau makan daging ayam atau sapi?” tanyanya, sibuk menggerakkan telunjuknya di layar ponsel itu.
“Aku akan makan apa saja yang Jenar masak.” Aku berjalan menuju kamar mandi.
Dina memegang lenganku, menghentikan langkahku. “Apa kau melakukan ini karena kau marah? Jeff, aku melakukan ini semua demi keselamatan anak-anak kita.”
“Kamu melakukan ini bukan demi anak-anak.” Aku menarik tanganku dari genggamannya.
Setelah mandi, aku tidak berdiam di kamar dan menyantap makan malam yang sudah Jenar siapkan. Dina tidak berani membantah dan duduk di sisiku. Kami makan dalam hening, tetapi aku sangat menikmati masakan istriku yang aku rindukan. Kalau bukan karena aku punya pekerjaan, aku pasti sudah membantu dia merapikan meja makan dan mencuci piring.
Jenar masuk ke kamar lebih dahulu. Aku masih sibuk berkutat dengan pekerjaan. Dina mengajak untuk tidur, tetapi aku mengabaikannya. Saat dia masuk ke kamar, aku menoleh ke arah tangga. Aku tidak mungkin pergi menyusulnya tanpa ketahuan Dina. Untuk menghemat listrik, aku membawa laptop ke kamar dan melanjutkan pekerjaanku.
Dina keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian di depanku, tetapi aku mengabaikannya. Dia duduk di sisiku dan memegang tanganku, menghentikan aku yang sedang mengetik. “Saatnya untuk tidur, Jeff. Aku rindu sentuhan hangatmu.” Dia mencium bahuku, maka aku berhenti sejenak.
“Aku sedang bekerja.” Melihat dia malah bergerak untuk mencium leherku, aku menggunakan tanganku untuk mendorongnya menjauh. “Apa kamu tidak dengar? Semua ini terjadi karena kamu bicara sembarangan dengan istri bosku.”
“Bicara sembarangan?” katanya tersinggung. Dia akhirnya menjauhkan tangannya dari tubuhku. “Aku berhak meminta dia untuk membujuk suaminya. Aku dan anak-anak membutuhkan kau di rumah. Kau tidak boleh dinas keluar kota.”
“Jangan campuri pekerjaanku, Dina. Bosku menegur aku karena ulahmu itu. Jangan diulangi,” kataku dengan tegas.
“Dina? Mengapa kau tidak memanggil aku sayang lagi? Hanya ada kita berdua di tempat ini.” Dia bergelayut manja di lenganku.
Satu kesalahan dan dia terus merengek meminta aku memanggil dia dengan kata sayang. Aku tidak tahu bagaimana selama ini aku bisa bertahan di sisinya. Kalau bukan karena aku membutuhkannya …. “Dina, aku harus menyelesaikan ini segera atau bosku akan marah.”
Dia melepaskan tanganku dengan kasar, lalu bergeser ke sisi tempat tidurnya. Aku melanjutkan pekerjaanku. Suasana di sekitarku perlahan sepi sehingga aku bisa bekerja dengan lancar. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi saat aku membuka mata, aku bersandar di kepala tempat tidur dan laptop masih ada di pangkuanku.
Aku menguap panjang dan melirik jam di sudut bawah laptop. Pukul tiga pagi. Dina masih tidur pulas di sisiku. Aku melirik pintu dan berdiri. Dina tidak terganggu, jadi aku meletakkan laptop di atas meja, lalu keluar dari kamar sepelan mungkin.
Jenar pasti masih tidur pulas. Aku perlahan berjinjit naik ke lantai atas dan membuka pintu kamarnya sesenyap mungkin. Ruangan itu gelap, tetapi aku bisa melihat lewat cahaya dari ventilasi jendela bahwa kamarnya kosong. Aku menyalakan lampu dan benar. Dia tidak ada di kamarnya.
Ke mana dia pergi? Tanganku mengepal dengan kuat ketika sebuah pikiran melintas di kepalaku. Tidak. Itu tidak mungkin. Apakah dia menemui pria lain di luar sana?
Aku tidak mendengar dia membuka pagar, pintu depan, bahkan saat menaiki tangga. Aku baru tahu dia sudah sampai di rumah ketika dia membuka pintu. Itukah sebabnya aku tidak mendengar saat dia pergi tadi? Iya, aku tertidur. Tetapi aku pasti akan mendengar bunyi langkahnya menuruni tangga.Lampu kamar menyala. Dia menarik napas terkejut melihat aku duduk di tepi tempat tidurnya. Dia melihat ke luar kamar, lalu menutup pintunya dengan cepat dan sesenyap mungkin. Dia memakai baju hitam berlengan panjang dan celana panjang berwarna sama.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan suara berbisik. “Kalau Dina sampai tahu—”“Mengapa kamu tidak menjawab panggilanku? Kamu dari mana?” tanyaku tidak peduli dengan kekhawatirannya itu. Dia hanya diam. “Apa kamu menemui seorang laki-laki di luar sana untuk memenuhi kebutuhanmu?” Dia masih diam. Aku berdiri dan mendekat, tetapi dia mundur menjauh. Aku baru berhenti setelah dia tersudut di dinding.“Selama aku di dalam penjara, kamu tidak peduli
~Jenar~Aku menunggu dengan gugup melihat mereka lama sekali keluar dari kamar. Seharian ini aku hanya membantu Bian di tokonya, lalu pulang setelah makan siang bersamanya. Aku tidak tahu apa anak-anak akan pulang pada hari ini. Tetapi aku memasak kue andai hari ini keajaiban terjadi.Syukurlah, mereka tidak bersikap segan kepadaku. Dugaanku benar. Mereka mirip seperti papa mereka. Cara untuk memenangkan hati mereka adalah lewat perutnya. Semoga saja mereka juga menyukai semua makanan yang diberi cokelat, seperti Jeff.Pintu kamar terbuka, Jax dan Remy segera berebutan berlari mendekati aku. “Mama!” seru mereka sambil memeluk pahaku. Aku tertegun sejenak. Jeff keluar dari kamar dan berdiri di dekat pintu itu. Tidak ada emosi apa pun pada wajahnya.Aku melihat ke arah dua anak yang masih memeluk aku. Air mata jatuh saat aku akhirnya bisa membelai rambut halus dan lebat mereka. Aku memegang tangan mereka, lalu berlutut. “Kalian tadi memanggil aku apa?” tanyaku tidak percaya.“Mama!” jaw
Tanpa menjawab pertanyaannya yang menantang aku itu, aku memungut kue pemberian Bian dan memasukkannya kembali ke kotak. Untung saja setiap kue lemper itu terbungkus daun pisang dan plastik. Lantai kamarku juga bersih, jadi tidak ada debu yang menempel.Lalu sesuatu tebersit di kepalaku. Tidak. Aku pasti akan membunuhnya jika dia sampai melakukan hal itu lagi. Aku bergegas turun dan memeriksa kulkas. Berengsek! Yang aku cari justru berada di tempat yang sama, bersama nasi goreng yang dia buang tadi.“Kau …!” ucapku geram. Dia berjalan mundur, tetapi aku lebih cepat. Aku memegang kedua pipinya dengan tangan kananku. Lalu mendorong dia ke dinding. Aku tidak peduli mendengar ringisannya.“Apa kamu tahu berapa orang di luar sana yang tidak bisa makan?” ucapku geram, menahan amarah. “Ke mana otakmu sampai tega membuang semua makanan yang susah payah aku masak? Ini yang terakhir. Apa kamu dengar aku? Ini yang terakhir, atau aku bersumpah Jeff akan mengusir kamu dari rumah ini hanya dengan s
Aku memikirkan apa yang perlu aku lakukan sebelum masuk ke rumah. Apa yang terjadi pada hari Minggu tidak boleh terulang lagi. Aku serius dengan yang aku rasakan. Aku tidak mau diam-diam bermesraan dengannya, padahal akulah istrinya yang sah.Namun aku terkejut melihat anak-anak berwajah sedih di ruang depan. Jeff berdiri dan berjalan mendekati aku. “Apa kamu lupa bahwa mulai hari ini aku akan mengantar mereka pulang dari sekolah?” bisiknya, agar hanya aku yang mendengar. “Mengapa kamu tidak menjawab ponselmu?”“Oh, Tuhan.” Aku menarik napas terkejut. Apa yang aku pikirkan? Bagaimana aku bisa lupa dengan hal sepenting itu? “Apa mereka sedih karena itu?”Dia menggeleng pelan. “Dina mengambil kotak makan siang mereka. Jadi, mereka sedih tidak makan kue darimu saat di sekolah.” Dia menoleh ke arah mereka. “Aku harus kembali ke kantor.”Aku mengangguk. Setelah dia mengeluarkan mobil dari garasi, aku menutup dan menggembok pagar. Kedua anak itu masih cemberut di ruang depan. Padahal acara
“Oke, oke. Tolong, ja-jangan bunuh aku,” kata pria itu dengan suara bergetar. Aku bisa merasakan seluruh tubuhnya juga gemetar. Meletakkan pisau di lehernya memang pilihan yang tepat. “Aku akan mengatakannya. A-aku … aku tidak punya maksud jahat. Sungguh. Aku ….”“Berhenti mengulur-ulur waktu. Cepat katakan!” desakku dengan suara tertahan.“Adina Cahyati. Dia memberi aku uang untuk bersaksi palsu.” Dia menangis tersedu. “Dia pasti akan datang membunuh aku, jika dia tahu aku buka mulut.”Dina? Untuk apa dia membayar pria ini untuk berbohong di pengadilan? “Bapak tidak berbohong?” Pria ini tidak berpura-pura. Dia benar-benar ketakutan. Memangnya apa yang bisa Dina lakukan kepadanya? Wanita itu memang ringan tangan, tetapi tidak akan berani membunuh.“Tidak. Aku bersumpah, aku mengatakan yang sejujurnya. Dia memberi aku uang sebesar delapan ratus juta. Lima ratus untukku, dan tiga ratus lagi untuk supervisormu dahulu,” katanya ketakutan.“Kalau saya tahu Bapak berbohong, saya tidak akan
Dina pulang dan memonopoli anak-anak lagi. Aku justru bersyukur. Karena setelah makan malam, aku bisa langsung ke kamarku. Aku mengunci pintunya agar tidak ada yang tiba-tiba masuk dan melihat apa yang sedang aku kerjakan.Rumah dilengkapi dengan Wi-Fi, jadi aku bisa berseluncur dengan bebas. Dari semua nama yang aku periksa, ada satu hal yang sangat aneh. Mereka adalah teman, sahabat, mantan kekasih, mantan rekan kerja dan bos, tetapi tidak ada satu nama pun yang punya hubungan keluarga dengannya.“Apa kamu yakin? Itu daftar yang sangat banyak,” kata Bian saat aku menelepon, dan melaporkan kecurigaanku. “Aku akan meminta mereka mencari tahu lebih dalam lagi.”“Aku punya usul yang lebih baik.” Aku tersenyum, walaupun Bian tidak bisa melihatnya.“Apa?” tanyanya ingin tahu. Aku memberi tahu dia apa yang aku pikirkan, lalu mendengar masukan darinya. Kami menyempurnakan ide itu sebelum mengakhiri panggilan dan tidur.Orang berikutnya yang perlu kami temui sedang dinas keluar kota. Walaupu
~Jeffrey~Istriku menyimpan sebuah rahasia dariku. Kecurigaanku itu terbukti ketika dia lupa dengan rencana yang sudah aku sampaikan mengenai anak-anak. Hubungan kami masih rumit dengan kehadiran Dina, jadi aku tidak bisa bicara banyak dengannya. Dia juga tidak mau terbuka denganku.Pekerjaanku sangat menyita perhatian, dan Dina tidak membantu dengan rengekannya untuk tidur denganku. Aku tidak bisa lembur, karena aku harus menjemput dia dari tempat kerja tepat waktu. Dia bisa tantrum dan menanyakan banyak hal jika aku terlambat beberapa menit saja. Daripada ribut, aku memilih untuk membawa pekerjaan ke rumah.“Mama, aku boleh tambah?” tanya Remy yang mengulurkan piringnya ke arah Jenar.“Tentu saja boleh, sayang,” ucap Dina yang segera mengambil piring itu dari tangan putraku. “Segini cukup?” tanyanya saat menyendokkan nasi ke piring tersebut.Remy menoleh ke arah Jenar sebelum menjawab. Lalu dia melirik ke arahku. “Papa, aku mau tambah sate.” Aku memberikan beberapa tusuk sate untukn
Orang-orang yang ada di dekat kami menarik napas terkejut. Aku tidak menyangka adikku akan bicara sejahat itu mengenai kakak iparnya. Suasana yang sudah ramai di sekitar kami semakin riuh dengan suara para ibu yang memanggil anak-anak mereka.“Bagaimana kamu tahu mereka keracunan? Kalau benar istriku meracuni Jax dan Remy, seharusnya dia juga mengalami hal yang sama. Mereka makan makanan yang sama,” kataku, membela Jenar.“Apa Kakak tidak pernah tahu cara kerja racun? Dia bisa baik-baik saja pasti karena dia sudah minum antidot. Makanya hanya keponakanku yang kena.” Dia mendorong Jenar hingga terduduk ke lantai. “Dasar pembunuh! Kamu pasti sengaja membunuh mereka di depan kami semua.”“Aku sudah katakan kepadamu, Jeff. Kedua cucuku tidak aman berada di dekatnya. Kamu sekarang sudah lihat sendiri, ‘kan? Dia tega meracuni anaknya sendiri,” kata Ibu menimpali.“Ayo, mengaku. Kamu selama ini berpura-pura baik, ternyata kami salah. Anakmu sendiri pun kamu racuni!” desak Lauren. Dia mendoro
~Jeffrey~ Istriku bersaksi dengan berani dan menjawab setiap pertanyaan dengan gamblang. Apa pun kata yang digunakan kuasa hukum para terdakwa atau hakim saat bertanya, jawaban Jenar tidak berubah. Itu adalah bukti bahwa dia tidak berbohong atau mengarang jawabannya. Dia kembali duduk di sisiku setelah kesaksiannya dianggap selesai. Aku memegang tangannya dan meletakkan di atas pangkuanku. Aku bisa merasakan Dina tidak mengalihkan pandangannya dariku, tetapi aku mengabaikannya. Perbuatannya atas istriku tidak termaafkan. “Sayang sekali, sidangnya tertutup, jadi kami tidak bisa ikut menyaksikan yang terjadi selama sidang,” keluh Ibu. Ayah yang memanggil anak-anak, maka Ibu yang membukakan pintu rumah. “Pihak tergugat yang keberatan sidang itu dilaksanakan secara terbuka. Tidak apa-apa, Bu. Sidang masih berjalan dengan baik,” kataku, menjelaskan. “Papa! Mama!” seru anak-anak yang berlari mendekati kami. Aku meminta mereka untuk pamit kepada kakek dan nenek mereka, lalu kami keluar m
Jax dan Remy setengah menarik tanganku saat keluar dari taksi. Aku membawa banyak kantong plastik berisi keperluan sekolah mereka, jadi tidak bisa berjalan dengan cepat. Di mana Jeff? Apa dia tidak mendengar bunyi mesin mobil atau seruan anak-anak? Aku butuh bantuan dengan bawaanku. Lalu mengapa semua orang ini datang bersamaan ke rumah kami? Tidak ada acara khusus pada hari ini, juga tidak ada rencana akan membuat acara. Hanya ada suamiku di rumah, Lalu apa yang mereka lakukan di sini? Oh, tidak. Jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Jeff. “Cepat buka pintunya, Ma!” desak Jax. Tanganku gemetar saat mencari kunci di dalam tas, karena rasa khawatir. Putraku itu bergerak lebih cepat dengan menekan kenop pintu. Ternyata tidak dikunci. “Papa!” panggilnya serentak dengan adiknya. Aneh. Mengapa tirai jendela ditutup semua? Lampu juga tidak dinyalakan. Ke mana perginya mereka yang memarkirkan mobilnya di depan rumah? Anak-anak malah tertawa cekikikan di ruang depan sambil berjalan ke arah
Walaupun aku sudah bisa menebak siapa dan apa alasannya, aku mau mendengarnya langsung dari mulut kuasa hukumku. Polisi tadi sudah memberi petunjuk yang cukup jelas. Karena tidak mungkin hanya Wahyo yang melaporkan aku bila mereka sampai yakin bisa menjebloskan aku ke penjara lagi.Namun sebelum Franky menjawab, pintu ruangan dibuka dan seorang polisi masuk. Dia hanya mengangguk ke arah pengacaraku, lalu menutup pintu kembali. Apa maksud anggukan itu? Aku melihat ke arah Franky yang berdiri dari kursinya.“Kamu bebas. Ayo, kita pergi dan bicara di tempat lain saja.” Dia berjalan mendekati pintu.Sebuah ide bermain di kepalaku mendengar kalimat pertamanya itu. “Apa aku boleh melakukan satu hal sebelum kita pergi?”Entah apa yang Franky katakan, aku mendapat izin dari polisi. Pria itu menunggu di dekat pintu masuk, sedangkan seorang petugas menemani aku. Dia bersikap baik kepadaku dan tidak bersikap kasar seperti rekannya yang pernah membawa aku ke tahanan ini.“Akhirnya! Aku tahu kamu
Kakiku terasa lemas, tetapi aku berusaha untuk tetap berdiri dengan tegak. Kejadian beberapa minggu yang lalu kembali bermain di benakku. Mengapa mereka datang lagi? Anak-anak berada di rumah dan aku tidak mau memberi mereka trauma untuk kesekian kalinya. Aku melihat antara dua pria yang berdiri di depan pagar dan kunci pintu di hadapanku. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa menghalangi mereka melakukan tugas. Namun atas dasar apa mereka kini mendatangi rumah kami? Pasti ada hubungannya denganku. “Ada apa? Mengapa kamu tidak membuka pintu?” tanya Jeff yang ternyata berdiri di belakangku. Dia mengintip dari jendela, lalu mendesah pelan. “Biar aku yang bicara dengan mereka.” Aku mengangguk dan bergeser agar dia bisa membuka pintu dan keluar rumah. Aku mengintip apa yang dia lakukan di luar lewat jendela. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengar. Namun aku bisa menebak bahwa kedua polisi itu membawa kabar buruk, karena suamiku terlihat kesal. Apakah tujuan mereka datang
Kelima pria dan wanita itu mundur selangkah dan memasang wajah kecut melihat ke arah pria yang datang tersebut. Tentu saja mereka mengenalinya. Nyaris tidak ada yang tidak pernah mendengar namanya. Dia sudah banyak sekali memenangkan kasus sulit, tetapi kliennya menang. Mereka kini tahu siapa yang sedang mereka hadapi. Bukti palsu. Polisi mana yang mau menerima laporan didasarkan atas bukti palsu? Aku tidak akan melakukan hal yang sama yang telah mereka perbuat kepadaku. Aku akan membuktikan bahwa dengan prosedur yang benar pun, aku bisa menjebloskan orang jahat ke penjara. “Aku baru tahu di sini adalah kantor polisi,” kata Franky yang berjalan mendekat, lalu berdiri di depanku. “Pulanglah sebelum aku mengajukan laporan baru. Kalian pasti berada di sini untuk mengancam saksi. Apa kalian tidak tahu bahwa mengancam saksi ada hukumannya?” Membuktikan bahwa mereka tidak tahu, mereka terlihat panik. “Ti-tidak. Kami tidak datang untuk mengancam siapa pun,” kata salah satu dari mereka, men
Berbekal rekaman dari wanita pada malam sebelumnya, aku dan Moira berencana untuk melihat kelanjutan nasib dari polisi jahat tersebut. Aku sudah mengirim kopinya ke surelnya. Dia membalas dan meminta untuk bertemu. Itu yang aku tunggu-tunggu. Tentu saja bukan aku atau Moira yang akan menemuinya, tetapi wanita yang tidur bersamanya. Aku sudah berjanji kepada Jeff dan Franky, maka aku tidak akan mengingkarinya. Aku tidak boleh terlibat dalam urusan yang melanggar hukum lagi. Bila terpaksa, maka aku tidak boleh sampai ketahuan. “Apa kamu akan terus melakukan ini kepada orang yang menyakiti kamu, keluarga, atau sahabatmu?” tanya Moira setengah menggoda. Aku tertawa kecil. “Tidak. Ini yang terakhir. Para polisi itu tidak mengerjakan tugasnya dengan baik, jadi aku harus memberi mereka pelajaran. Bila tidak, mereka akan terus bersikap sewenang-wenang.” “Iya, kamu benar. Tetapi terus terlibat dalam hal yang berbahaya, tidak baik untukmu.” Moira melihat aku dengan serius. “Jax dan Remy memb
~Jenar~ Berada di penjara karena membela diri dan fitnah, sudah cukup membuat kami menderita. Terpisah dari keluarga untuk sementara maupun selamanya bukanlah kehidupan yang mudah. Lalu kami juga harus diperlakukan tidak adil setelah bebas, itu tidak adil. Aku sudah merencanakan hal selain menemui para penjahat itu untuk membalas perbuatan jahat mereka. Cara itu hanya aku lakukan kepada para saksi palsu. Untuk polisi licik dan tidak tahu diri, aku sudah menyiapkan hal yang lebih baik. Hal yang akan membuat mereka berhati-hati bertindak. “Kamu yakin mau melakukan ini?” tanya Talia heran. “Harus. Aku tidak terima dia memperlakukan Bian layaknya penjahat.” Aku mengangkat penutup kepala jaketku untuk menudungi rambutku. Bian mengeluarkan sebuah kandang dari bagian belakang mobil, lalu kami menyeberangi jalan menuju rumah targetku. Setelah memanjat pagar dan mendarat sesenyap mungkin, kami menuju bagian belakang rumah. Bian melakukan keahliannya membuka kunci, dan aku tersenyum saat pi
~Jeffrey~Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Lauren, adikku sendiri, yang sudah meracuni anak-anakku. Hal yang ingin sekali aku lakukan adalah bicara dengannya dan memintanya untuk bicara jujur. Apa kesalahan Jax dan Remy sampai mereka harus menjadi korban keegoisannya?Mereka memang selamat dan ditangani dokter segera, tetapi mereka bisa saja kehilangan nyawa pada hari itu juga. Kami tidak pernah punya masalah sebelumnya, lalu apa yang mendorong dia melakukan hal sejahat itu?“Jadi, dana yang telah kita terima dari donatur, cukup untuk melaksanakan program liburan kita,” kata kepala keuangan organisasi.Orang yang aku pikir melakukannya adalah Dina. Wajar saja jika dia bisa semudah itu menyakiti anak-anak, karena mereka bukan miliknya. Tidak aku sangka, adikku sendiri pelakunya. Dia bahkan tidak ragu-ragu menjadikan kedua anaknya sebagai korbannya juga.“Bagaimana, Jeff? Apa pendapatmu? Dana yang lebih sebaiknya kita gunakan untuk apa?” tanya bosku. Dari ekspresi wajahnya,
Aku duduk di sisinya dan melihat layar tablet tersebut. Ternyata ada sebuah berita yang tidak aku duga. Bertahun-tahun berusaha untuk melupakan dan melanjutkan hidup, akhirnya aku bisa melihat orang yang menyakiti aku mendapat ganjarannya.Perjuanganku menunjukkan hasilnya juga. Bukan hanya aku yang menuntut perbuatannya di masa lalu, tetapi ada banyak wanita lain. Mereka melaporkan perbuatan pria itu di kantor polisi di mana dia bertugas. Syukurlah, aku tidak mundur ketika menemui banyak kesulitan.“Sayang, apa kamu tidak apa-apa?” Jeff menyeka pipiku. Tanpa aku sadari, aku menangis.Aku menggeleng pelan, lalu meletakkan kepalaku di bahunya. “Aku tidak apa-apa. Ini air mata haru. Aku senang dia akhirnya akan membayar semua perbuatan jahatnya. Semoga saja Franky sehebat yang Moira katakan.”“Dia lebih hebat dari yang sahabatmu katakan. Aku melihat sendiri bagaimana dia mengatasi polisi yang tidak mau membebaskan kamu dari tahanan. Jadi, jangan khawatir. Wahyo dan Dina akan mendekam di