Bukannya menjawab pertanyaanku, dia berdiri dan kembali ke kamarnya. Perempuan sialan. Apa lagi yang sudah dia rencanakan terhadap keluargaku? Tidak mau menunggu, aku memeriksa kamar anak-anak. Kosong. Pintu yang aku buka benar, karena ada dua tempat tidur untuk anak-anak dan lemari berisi mainan anak laki-laki.
Pintu depan terbuka, aku melihat siapa yang datang. Jeff. Melihat pakaian yang dia kenakan, dia pasti baru saja berolahraga. Aku kembali menuju konter dapur dan memasukkan semua bahan makanan ke dalam wadah tertutup, lalu menyimpannya ke lemari es. Aku berbelanja banyak pagi tadi demi memasak untuk anak-anak. Mengapa aku tadi tidak memeriksa kamar mereka dahulu?
Dina dan Jeff keluar dari kamar dalam keadaan rapi. Perempuan itu menarik tangan suamiku agar dia tidak pamit kepadaku. Ada-ada saja. Dia boleh memiliki pria itu selama yang dia mau. Aku tidak peduli aku masih diperlakukan layaknya istri atau tidak.
“Selamat pagi, Bu!” sapa seseorang dari arah luar pagar.
Aku membalikkan badan setelah mengunci pintu depan. “Selamat pagi.”
Dia memandang aku dari rambut hingga kaki sebelum menatap mataku lagi. “Maaf, Ibu siapa? Pembantu baru di rumah Ibu Dina, ya?” tanyanya ingin tahu. Lancang sekali langsung menebak aku seorang asisten rumah tangga. Apa bajuku seburuk itu sampai dinilai demikian?
“Maaf, Bu. Saya harus pergi. Ada urusan penting.” Aku menggembok pagar kembali, lalu tersenyum kepadanya. Dia masih saja memandang tubuhku dengan saksama.
Aku melihat gedung kantor polisi di mana aku harus melakukan wajib lapor. Seharusnya aku melapor ke lapas di mana aku ditahan. Tetapi mengapa mereka mengirim aku ke tempat ini? Keanehan yang tidak bisa aku protes. Memangnya kepada siapa aku bisa melaporkan keanehan ini? Aku sudah jelas tidak bersalah dan bukti yang memberatkan tidak ada, ajaibnya, aku dijebloskan ke penjara.
Tidak ada yang bisa menolong aku selain diriku sendiri. Talia dan Bian tidak ingin aku libatkan dalam usaha pembersihan nama baikku. Tetapi mereka sendiri yang mengajukan diri sehingga aku tidak kuasa menolak. Apalagi mereka terbukti setia kepadaku.
Aku menunjukkan surat yang aku bawa kepada petugas yang berjaga di dekat pintu masuk. Mereka menunjuk ke arah koridor yang perlu aku lewati lalu pintu di mana petugas yang mengurus aku sudah menunggu. Sebelum memasuki ruangan, aku mengonfirmasi kembali kepada petugas yang lewat. Dia mengangguk dan mempersilakan aku masuk.
Langkahku terhenti di ambang pintu ketika melihat siapa yang berada di balik meja. Seumur hidup, aku tidak pernah merasakan begitu takut sekaligus benci kepada seseorang. Mengapa dia ada di sini? Apakah dia ditempatkan di kantor ini sekarang? Kebetulan sekali dia yang menjadi petugas yang mengurus wajib laporku. Tidak. Ini pasti disengaja.
“Hai, Jenar. Jangan berdiri saja di situ. Duduklah.” Dia tersenyum sambil menunjuk kursi kosong di depannya. Syukurlah, bukan hanya dia yang ada di dalam ruangan ini.
Aku duduk di kursi tersebut, lalu menjawab semua interogasinya dengan singkat. Dia tidak berhenti tersenyum saat mengetik semua jawabanku. Aku menggenggam erat kedua tanganku. Tidak ada yang perlu aku takutkan. Aku sudah bukan Jenar yang lemah lagi. Jika ada yang mencoba menyakiti aku, maka aku sudah bisa melindungi diriku sendiri.
“Baik. Ini bukti kehadiranmu pada hari ini. Aku tunggu kamu dua minggu lagi,” katanya dengan santai.
Tanganku berhenti di udara ketika menerima surat darinya. “Dua minggu lagi?” tanyaku heran. “Aku baca surat itu dengan jelas. Aku hanya perlu melapor sebulan sekali untuk enam bulan ke depan.”
“Kamu akan melapor ke sini setiap dua minggu sekali selama satu tahun.” Dia menatap aku dengan tajam, menantang aku untuk melawannya. “Sepertinya penjara sudah membuat kamu buta huruf.”
Aku tidak bicara lagi agar dia tidak menambah masa wajib laporku. Setelah sampai di luar gedung itu, aku menarik napas panjang. Dadaku bergemuruh karena detakan cepat jantungku. Berengsek! Aku sudah mendekam di penjara selama lima tahun dan harus melapor lagi selama satu tahun?? Sial! Apa dosaku sampai hal ini terjadi kepadaku?
Kalau aku mendapatkan pembebasan bersyarat, aku mengerti mengapa aku harus wajib lapor. Tetapi aku menjalani masa hukumanku secara penuh di penjara. Lalu mengapa mereka melakukan ini kepadaku? Apa belum cukup mereka merenggut lima tahun hidupku secara paksa?
“Jenar.” Aku merasakan seseorang meletakkan tangannya di pundakku.
Aku segera maju, menjauh darinya. Suara itu tidak akan pernah aku lupakan. Aku membalikkan badan dan melihat petugas tadi berdiri di dekatku. Dia tidak lagi memasang wajah garang, tetapi tersenyum ramah kepadaku. Hal yang tidak akan bisa menipu aku lagi.
“Kita sudah lama tidak bertemu. Aku permisi untuk minum kopi. Ayo, kita mengobrol sebentar.” Dia mengulurkan tangannya.
“Maaf, aku tidak bisa.” Aku menggelengkan kepalaku. Melihat angkutan umum yang aku tunggu sudah tiba, aku segera melambaikan tanganku, menghentikan mobil itu.
“Aah, aku tahu. Kamu marah karena aku menambah masa wajib lapormu,” katanya sambil tertawa kecil. “Aku bisa mengubahnya lagi kalau kamu mau bicara denganku sebentar. Apa kamu tidak mau berbagi cerita denganku seperti dahulu?”
“Tidak. Terima kasih.” Mobil itu berhenti di depanku. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera masuk. Aku tidak peduli dia masih berdiri di tempatnya atau kembali ke kantornya. Pandanganku terarah ke jendela depan mobil.
Jantungku mulai berdetak dengan normal dan getaran tanganku berkurang. Aku bisa menjalani ini. Satu tahun ini akan aku lewati dengan baik, sama seperti masa hukumanku. Semuanya akan berjalan dengan cepat dan tanpa aku sadari, aku menjadi wanita bebas. Tetapi sebelum itu, aku secepatnya harus membersihkan namaku.
Sampai di depan sebuah halte, aku melihat keadaan di sekelilingku. Bian benar-benar tahu memilih lokasi yang bagus. Ada sebuah sekolah dan beberapa gedung perkantoran di dekat ruko yang dia sewa. Aku masih percaya tidak percaya dia bisa membuat kue yang sangat enak.
Nama tokonya mudah diingat karena dia menggunakan namanya sendiri. Ada beberapa orang yang duduk di dalam sambil menikmati sepiring kue dan minuman dingin. Tetapi toko itu hanya punya beberapa meja saja. Jumlah pengunjung yang mampir untuk membeli kue lebih banyak daripada yang berniat untuk duduk dan mengobrol santai.
Melihat dia sedang kerepotan, maka aku masuk melewati konter yang bisa diangkat. Lalu memakai salah satu celemek yang tersedia dan mulai melayani pengunjung. Hingga jam makan siang tiba, orang-orang yang datang bukannya berkurang malah semakin membeludak.
Bian meletakkan sepiring kue di depanku. Seorang karyawannya menaruh secangkir teh di depanku dan kopi di depan sahabatku. Baru menjelang sore kami bisa menarik napas sejenak. Karyawannya bisa melayani pelanggan tanpa bantuan kami lagi.
“Kamu benar-benar sukses membuka toko kue impianmu,” godaku sambil menggigit lemper yang segera membuat aku menggumam pelan. “Mm …. Ini lezat sekali!”
Bian tertawa kecil. “Makanlah sebanyak yang kamu mau. Masih ada satu kotak lagi yang sudah aku siapkan untukmu.” Dia mengedipkan sebelah matanya.
Aku bersorak senang mendengarnya. “Kamu memang sahabat terbaikku!” Aku segera menerima sekotak kue yang dibawa karyawannya ke meja kami. “Ceritakan kepadaku. Kamu tinggal di mana? Bagaimana kabar keluargamu?”
Wajahnya berubah sedih. “Aku tidak seberuntung kamu, Jenar. Aku menyewa sebuah kamar di luar kota. Aku dan suamiku sudah bercerai dan anak-anak ikut dengannya. Jadi, aku sendirian.” Dia menundukkan kepalanya.
Aku menyentuh tangannya. “Maafkan aku, Bian. Aku tidak tahu—” kataku ikut sedih. Aku berpisah dengan anak-anak selama bertahun-tahun, jadi aku bisa membayangkan rasanya. Tetapi terpisah dari mereka selamanya adalah hal yang berat.
Dia menggelengkan kepalanya. “Mengapa kamu meminta maaf? Ini bukan salahmu. Aku sadar aku sudah melakukan kesalahan besar. Seharusnya aku tidak membunuh bosku.”
“Tidak, Bian.” Aku segera memotong ucapannya. “Kamu membela diri. Pilihannya hanya kamu atau dia yang mati. Bukan salahmu kalau pengacara keluarganya berhasil membuat kamu dijerat pasal pembunuhan. Kita akan mencari cara untuk membersihkan namamu. Oke? Suami dan anak-anakmu akan menyesal sudah menilai kamu dengan buruk.”
“Tidak perlu repot-repot. Prioritas kita saat ini adalah kamu. Nasibmu lebih sial dariku. Kamu tidak bersalah, tetapi dihukum penjara. Aku memang sudah menghilangkan nyawa orang.” Dia menepuk pelan tanganku yang memegang tangannya. “Jadi, kamu menerima tawaranku untuk bekerja di sini?”
Aku tersenyum. “Anak-anak tidak tinggal bersamaku. Entah sampai kapan mereka akan tinggal di rumah mertuaku. Apa kamu tidak keberatan seandainya aku mengubah-ubah jadwal kerjaku?”
“Tentu saja tidak. Kamu sudah sangat menolong aku tadi. Mengenai gaji, aku akan memberi upah yang layak. Kamu jangan khawatir.” Dia mengedipkan sebelah matanya.
Setelah berbincang mengenai tugas dan tanggung jawabku di tokonya nanti, aku pulang agar bisa menyiapkan makan malam untuk keluargaku. Aku fokus memikirkan Jeff dan anak-anak supaya tetap bahagia mengerjakan segalanya untuk mereka. Aku menganggap Dina sebagai tamu tidak tahu diri yang tidur dan makan gratis di rumah kami.
Walaupun Jeff tidak menyentuh tabungan yang ada di rekeningku, aku berhemat dengan bepergian menggunakan angkutan umum. Aku tidak mau membuang uang dengan menggunakan taksi. Halte terdekat dari perumahan berada tidak jauh dari pos satpam. Jadi, aku bisa berjalan kaki ke rumah.
Baru berjalan beberapa langkah, aku merasa ada yang memerhatikan. Aku sengaja tidak mencari tahu dengan melihat ke kanan dan kiriku. Siapa pun yang sedang mengikuti aku tidak boleh tahu bahwa aku menyadari kehadirannya. Aku perlu melihat siapa dia.
Ketika aku memasuki perumahan dan melewati pos keamanan, aku segera bersembunyi di balik tembok. Sebuah mobil ikut masuk, dan aku bergerak ke balik dinding pos agar tidak bisa dilihat dari sisi jalan di mana mobil itu melintas. Dari kaca jendela depannya, aku bisa melihat siapa yang mengendarai mobil tersebut.
Aku mengerutkan kening. “Mengapa dia ada di sini? Apa yang dia lakukan dengan mengikuti aku?” batinku merasa tidak enak.
Dia tahu alamat lengkapku, jadi dia tidak perlu membuntuti aku pulang. Apa jangan-jangan dia mau memastikan aku berkata jujur atau berbohong? Tetapi petugas lapas saja tidak usil ingin tahu apa aku memberi data pribadi dengan jujur atau tidak. Jangan-jangan … dia tinggal di komplek ini juga. Oh, Tuhan. Aku sudah berhasil lepas darinya bertahun-tahun yang lalu. Mengapa dia datang lagi dan mengganggu hidupku? Jantungku berdebar dengan cepat dan tubuhku gemetar hanya memikirkan apa yang pernah terjadi pada masa laluku. Tidak. Aku tidak boleh membiarkan dia menang. Dia tidak punya pengaruh apa pun lagi dalam hidupku. “Bu.” Aku melompat terkejut saat pundakku disentuh. “Ah, maafkan saya. Tetapi ada mobil yang berhenti di depan rumah Ibu. Anda tinggal bersama Pak Jeffrey dan Ibu Adina, benar?” tanya seorang pria yang berpakaian satpam. Aku mengangguk pelan. “Sepertinya itu tamu.” “Biarkan saja. Dia datang tanpa memberi tahu. Aku tidak mau bertemu dengannya.” Aku tidak bergerak sedikit pun
~Jeffrey~ Orang-orang mengenal aku sebagai laki-laki dingin yang tidak bisa dibaca apa maunya. Aku tidak banyak bicara sehingga sulit menemukan orang yang bisa memahami aku. Anehnya, sikapku itu justru menarik perhatian para perempuan untuk mendekati aku. Walaupun aku tidak pernah kekurangan wanita yang bersedia untuk menjadi pacarku, belum ada yang bisa mengetuk pintu hatiku. Ibu sampai khawatir aku tidak akan pernah menikah. Padahal usiaku masih dua puluh lima tahun. Aku dan Lauren selalu menganggap angin lalu keluhan Ibu tersebut. Tetapi begitu adikku menikah, dia menjadi sekutu Ibu yang ikut menyusahkan aku. “Hei!” Seorang wanita muda menyentuh bahuku. “Maafkan aku. Tetapi sepertinya kamu salah tempat duduk.” Dia melambaikan tiket yang dia pegang. Aku menatapnya dengan bingung, lalu melihat ke sekelilingku. Aku baru sadar bahwa aku tidak duduk di antara teman-temanku. Melihat lambaian tangan dari sudut mataku, aku menoleh dan menemukan mereka. “Maafkan aku,” ucapku kepada wanit
Aku menyempatkan untuk mengambil semua milik pribadi Jenar di laci meja kerjaku, juga membeli ponsel dengan nomor baru untuknya. Semua itu aku letakkan di nakas di kamarnya. Dia masih seperti kebiasaannya. Tidak terbangun sekalipun ada yang menyentuhnya. Kesempatan itu aku gunakan untuk mencium keningnya. Bila waktunya tiba, aku akan bisa mencicipi bibirnya lagi. Tetapi tidak dalam kondisi tidur.Ketika memeriksa keadaan anak-anak, aku terkejut. Mereka tidak ada di kamar tidur mereka. Apa yang terjadi? Mengapa Dina tidak mengatakan apa pun kepadaku? Mereka adalah anak-anakku. Siapa yang berani mengambil mereka dari rumahku tanpa izinku?Aku keluar dari kamar dan menuju luar rumah. Biasanya aku berolahraga, tetapi pikiranku sedang kacau. Aku menelepon Ayah. Setelah menunggu beberapa saat, barulah aku mendengar suara sapaannya. Memahami apa tujuanku menelepon, Ayah segera meminta maaf.“Aku akan menjemput mereka sepulang dari tempat kerja. Aku harap Ayah dan Ibu tidak melakukan hal yang
Aku tidak mendengar dia membuka pagar, pintu depan, bahkan saat menaiki tangga. Aku baru tahu dia sudah sampai di rumah ketika dia membuka pintu. Itukah sebabnya aku tidak mendengar saat dia pergi tadi? Iya, aku tertidur. Tetapi aku pasti akan mendengar bunyi langkahnya menuruni tangga.Lampu kamar menyala. Dia menarik napas terkejut melihat aku duduk di tepi tempat tidurnya. Dia melihat ke luar kamar, lalu menutup pintunya dengan cepat dan sesenyap mungkin. Dia memakai baju hitam berlengan panjang dan celana panjang berwarna sama.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan suara berbisik. “Kalau Dina sampai tahu—”“Mengapa kamu tidak menjawab panggilanku? Kamu dari mana?” tanyaku tidak peduli dengan kekhawatirannya itu. Dia hanya diam. “Apa kamu menemui seorang laki-laki di luar sana untuk memenuhi kebutuhanmu?” Dia masih diam. Aku berdiri dan mendekat, tetapi dia mundur menjauh. Aku baru berhenti setelah dia tersudut di dinding.“Selama aku di dalam penjara, kamu tidak peduli
~Jenar~Aku menunggu dengan gugup melihat mereka lama sekali keluar dari kamar. Seharian ini aku hanya membantu Bian di tokonya, lalu pulang setelah makan siang bersamanya. Aku tidak tahu apa anak-anak akan pulang pada hari ini. Tetapi aku memasak kue andai hari ini keajaiban terjadi.Syukurlah, mereka tidak bersikap segan kepadaku. Dugaanku benar. Mereka mirip seperti papa mereka. Cara untuk memenangkan hati mereka adalah lewat perutnya. Semoga saja mereka juga menyukai semua makanan yang diberi cokelat, seperti Jeff.Pintu kamar terbuka, Jax dan Remy segera berebutan berlari mendekati aku. “Mama!” seru mereka sambil memeluk pahaku. Aku tertegun sejenak. Jeff keluar dari kamar dan berdiri di dekat pintu itu. Tidak ada emosi apa pun pada wajahnya.Aku melihat ke arah dua anak yang masih memeluk aku. Air mata jatuh saat aku akhirnya bisa membelai rambut halus dan lebat mereka. Aku memegang tangan mereka, lalu berlutut. “Kalian tadi memanggil aku apa?” tanyaku tidak percaya.“Mama!” jaw
Tanpa menjawab pertanyaannya yang menantang aku itu, aku memungut kue pemberian Bian dan memasukkannya kembali ke kotak. Untung saja setiap kue lemper itu terbungkus daun pisang dan plastik. Lantai kamarku juga bersih, jadi tidak ada debu yang menempel.Lalu sesuatu tebersit di kepalaku. Tidak. Aku pasti akan membunuhnya jika dia sampai melakukan hal itu lagi. Aku bergegas turun dan memeriksa kulkas. Berengsek! Yang aku cari justru berada di tempat yang sama, bersama nasi goreng yang dia buang tadi.“Kau …!” ucapku geram. Dia berjalan mundur, tetapi aku lebih cepat. Aku memegang kedua pipinya dengan tangan kananku. Lalu mendorong dia ke dinding. Aku tidak peduli mendengar ringisannya.“Apa kamu tahu berapa orang di luar sana yang tidak bisa makan?” ucapku geram, menahan amarah. “Ke mana otakmu sampai tega membuang semua makanan yang susah payah aku masak? Ini yang terakhir. Apa kamu dengar aku? Ini yang terakhir, atau aku bersumpah Jeff akan mengusir kamu dari rumah ini hanya dengan s
Aku memikirkan apa yang perlu aku lakukan sebelum masuk ke rumah. Apa yang terjadi pada hari Minggu tidak boleh terulang lagi. Aku serius dengan yang aku rasakan. Aku tidak mau diam-diam bermesraan dengannya, padahal akulah istrinya yang sah.Namun aku terkejut melihat anak-anak berwajah sedih di ruang depan. Jeff berdiri dan berjalan mendekati aku. “Apa kamu lupa bahwa mulai hari ini aku akan mengantar mereka pulang dari sekolah?” bisiknya, agar hanya aku yang mendengar. “Mengapa kamu tidak menjawab ponselmu?”“Oh, Tuhan.” Aku menarik napas terkejut. Apa yang aku pikirkan? Bagaimana aku bisa lupa dengan hal sepenting itu? “Apa mereka sedih karena itu?”Dia menggeleng pelan. “Dina mengambil kotak makan siang mereka. Jadi, mereka sedih tidak makan kue darimu saat di sekolah.” Dia menoleh ke arah mereka. “Aku harus kembali ke kantor.”Aku mengangguk. Setelah dia mengeluarkan mobil dari garasi, aku menutup dan menggembok pagar. Kedua anak itu masih cemberut di ruang depan. Padahal acara
“Oke, oke. Tolong, ja-jangan bunuh aku,” kata pria itu dengan suara bergetar. Aku bisa merasakan seluruh tubuhnya juga gemetar. Meletakkan pisau di lehernya memang pilihan yang tepat. “Aku akan mengatakannya. A-aku … aku tidak punya maksud jahat. Sungguh. Aku ….”“Berhenti mengulur-ulur waktu. Cepat katakan!” desakku dengan suara tertahan.“Adina Cahyati. Dia memberi aku uang untuk bersaksi palsu.” Dia menangis tersedu. “Dia pasti akan datang membunuh aku, jika dia tahu aku buka mulut.”Dina? Untuk apa dia membayar pria ini untuk berbohong di pengadilan? “Bapak tidak berbohong?” Pria ini tidak berpura-pura. Dia benar-benar ketakutan. Memangnya apa yang bisa Dina lakukan kepadanya? Wanita itu memang ringan tangan, tetapi tidak akan berani membunuh.“Tidak. Aku bersumpah, aku mengatakan yang sejujurnya. Dia memberi aku uang sebesar delapan ratus juta. Lima ratus untukku, dan tiga ratus lagi untuk supervisormu dahulu,” katanya ketakutan.“Kalau saya tahu Bapak berbohong, saya tidak akan
~Jeffrey~ Istriku bersaksi dengan berani dan menjawab setiap pertanyaan dengan gamblang. Apa pun kata yang digunakan kuasa hukum para terdakwa atau hakim saat bertanya, jawaban Jenar tidak berubah. Itu adalah bukti bahwa dia tidak berbohong atau mengarang jawabannya. Dia kembali duduk di sisiku setelah kesaksiannya dianggap selesai. Aku memegang tangannya dan meletakkan di atas pangkuanku. Aku bisa merasakan Dina tidak mengalihkan pandangannya dariku, tetapi aku mengabaikannya. Perbuatannya atas istriku tidak termaafkan. “Sayang sekali, sidangnya tertutup, jadi kami tidak bisa ikut menyaksikan yang terjadi selama sidang,” keluh Ibu. Ayah yang memanggil anak-anak, maka Ibu yang membukakan pintu rumah. “Pihak tergugat yang keberatan sidang itu dilaksanakan secara terbuka. Tidak apa-apa, Bu. Sidang masih berjalan dengan baik,” kataku, menjelaskan. “Papa! Mama!” seru anak-anak yang berlari mendekati kami. Aku meminta mereka untuk pamit kepada kakek dan nenek mereka, lalu kami keluar m
Jax dan Remy setengah menarik tanganku saat keluar dari taksi. Aku membawa banyak kantong plastik berisi keperluan sekolah mereka, jadi tidak bisa berjalan dengan cepat. Di mana Jeff? Apa dia tidak mendengar bunyi mesin mobil atau seruan anak-anak? Aku butuh bantuan dengan bawaanku. Lalu mengapa semua orang ini datang bersamaan ke rumah kami? Tidak ada acara khusus pada hari ini, juga tidak ada rencana akan membuat acara. Hanya ada suamiku di rumah, Lalu apa yang mereka lakukan di sini? Oh, tidak. Jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Jeff. “Cepat buka pintunya, Ma!” desak Jax. Tanganku gemetar saat mencari kunci di dalam tas, karena rasa khawatir. Putraku itu bergerak lebih cepat dengan menekan kenop pintu. Ternyata tidak dikunci. “Papa!” panggilnya serentak dengan adiknya. Aneh. Mengapa tirai jendela ditutup semua? Lampu juga tidak dinyalakan. Ke mana perginya mereka yang memarkirkan mobilnya di depan rumah? Anak-anak malah tertawa cekikikan di ruang depan sambil berjalan ke arah
Walaupun aku sudah bisa menebak siapa dan apa alasannya, aku mau mendengarnya langsung dari mulut kuasa hukumku. Polisi tadi sudah memberi petunjuk yang cukup jelas. Karena tidak mungkin hanya Wahyo yang melaporkan aku bila mereka sampai yakin bisa menjebloskan aku ke penjara lagi.Namun sebelum Franky menjawab, pintu ruangan dibuka dan seorang polisi masuk. Dia hanya mengangguk ke arah pengacaraku, lalu menutup pintu kembali. Apa maksud anggukan itu? Aku melihat ke arah Franky yang berdiri dari kursinya.“Kamu bebas. Ayo, kita pergi dan bicara di tempat lain saja.” Dia berjalan mendekati pintu.Sebuah ide bermain di kepalaku mendengar kalimat pertamanya itu. “Apa aku boleh melakukan satu hal sebelum kita pergi?”Entah apa yang Franky katakan, aku mendapat izin dari polisi. Pria itu menunggu di dekat pintu masuk, sedangkan seorang petugas menemani aku. Dia bersikap baik kepadaku dan tidak bersikap kasar seperti rekannya yang pernah membawa aku ke tahanan ini.“Akhirnya! Aku tahu kamu
Kakiku terasa lemas, tetapi aku berusaha untuk tetap berdiri dengan tegak. Kejadian beberapa minggu yang lalu kembali bermain di benakku. Mengapa mereka datang lagi? Anak-anak berada di rumah dan aku tidak mau memberi mereka trauma untuk kesekian kalinya. Aku melihat antara dua pria yang berdiri di depan pagar dan kunci pintu di hadapanku. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa menghalangi mereka melakukan tugas. Namun atas dasar apa mereka kini mendatangi rumah kami? Pasti ada hubungannya denganku. “Ada apa? Mengapa kamu tidak membuka pintu?” tanya Jeff yang ternyata berdiri di belakangku. Dia mengintip dari jendela, lalu mendesah pelan. “Biar aku yang bicara dengan mereka.” Aku mengangguk dan bergeser agar dia bisa membuka pintu dan keluar rumah. Aku mengintip apa yang dia lakukan di luar lewat jendela. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengar. Namun aku bisa menebak bahwa kedua polisi itu membawa kabar buruk, karena suamiku terlihat kesal. Apakah tujuan mereka datang
Kelima pria dan wanita itu mundur selangkah dan memasang wajah kecut melihat ke arah pria yang datang tersebut. Tentu saja mereka mengenalinya. Nyaris tidak ada yang tidak pernah mendengar namanya. Dia sudah banyak sekali memenangkan kasus sulit, tetapi kliennya menang. Mereka kini tahu siapa yang sedang mereka hadapi. Bukti palsu. Polisi mana yang mau menerima laporan didasarkan atas bukti palsu? Aku tidak akan melakukan hal yang sama yang telah mereka perbuat kepadaku. Aku akan membuktikan bahwa dengan prosedur yang benar pun, aku bisa menjebloskan orang jahat ke penjara. “Aku baru tahu di sini adalah kantor polisi,” kata Franky yang berjalan mendekat, lalu berdiri di depanku. “Pulanglah sebelum aku mengajukan laporan baru. Kalian pasti berada di sini untuk mengancam saksi. Apa kalian tidak tahu bahwa mengancam saksi ada hukumannya?” Membuktikan bahwa mereka tidak tahu, mereka terlihat panik. “Ti-tidak. Kami tidak datang untuk mengancam siapa pun,” kata salah satu dari mereka, men
Berbekal rekaman dari wanita pada malam sebelumnya, aku dan Moira berencana untuk melihat kelanjutan nasib dari polisi jahat tersebut. Aku sudah mengirim kopinya ke surelnya. Dia membalas dan meminta untuk bertemu. Itu yang aku tunggu-tunggu. Tentu saja bukan aku atau Moira yang akan menemuinya, tetapi wanita yang tidur bersamanya. Aku sudah berjanji kepada Jeff dan Franky, maka aku tidak akan mengingkarinya. Aku tidak boleh terlibat dalam urusan yang melanggar hukum lagi. Bila terpaksa, maka aku tidak boleh sampai ketahuan. “Apa kamu akan terus melakukan ini kepada orang yang menyakiti kamu, keluarga, atau sahabatmu?” tanya Moira setengah menggoda. Aku tertawa kecil. “Tidak. Ini yang terakhir. Para polisi itu tidak mengerjakan tugasnya dengan baik, jadi aku harus memberi mereka pelajaran. Bila tidak, mereka akan terus bersikap sewenang-wenang.” “Iya, kamu benar. Tetapi terus terlibat dalam hal yang berbahaya, tidak baik untukmu.” Moira melihat aku dengan serius. “Jax dan Remy memb
~Jenar~ Berada di penjara karena membela diri dan fitnah, sudah cukup membuat kami menderita. Terpisah dari keluarga untuk sementara maupun selamanya bukanlah kehidupan yang mudah. Lalu kami juga harus diperlakukan tidak adil setelah bebas, itu tidak adil. Aku sudah merencanakan hal selain menemui para penjahat itu untuk membalas perbuatan jahat mereka. Cara itu hanya aku lakukan kepada para saksi palsu. Untuk polisi licik dan tidak tahu diri, aku sudah menyiapkan hal yang lebih baik. Hal yang akan membuat mereka berhati-hati bertindak. “Kamu yakin mau melakukan ini?” tanya Talia heran. “Harus. Aku tidak terima dia memperlakukan Bian layaknya penjahat.” Aku mengangkat penutup kepala jaketku untuk menudungi rambutku. Bian mengeluarkan sebuah kandang dari bagian belakang mobil, lalu kami menyeberangi jalan menuju rumah targetku. Setelah memanjat pagar dan mendarat sesenyap mungkin, kami menuju bagian belakang rumah. Bian melakukan keahliannya membuka kunci, dan aku tersenyum saat pi
~Jeffrey~Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Lauren, adikku sendiri, yang sudah meracuni anak-anakku. Hal yang ingin sekali aku lakukan adalah bicara dengannya dan memintanya untuk bicara jujur. Apa kesalahan Jax dan Remy sampai mereka harus menjadi korban keegoisannya?Mereka memang selamat dan ditangani dokter segera, tetapi mereka bisa saja kehilangan nyawa pada hari itu juga. Kami tidak pernah punya masalah sebelumnya, lalu apa yang mendorong dia melakukan hal sejahat itu?“Jadi, dana yang telah kita terima dari donatur, cukup untuk melaksanakan program liburan kita,” kata kepala keuangan organisasi.Orang yang aku pikir melakukannya adalah Dina. Wajar saja jika dia bisa semudah itu menyakiti anak-anak, karena mereka bukan miliknya. Tidak aku sangka, adikku sendiri pelakunya. Dia bahkan tidak ragu-ragu menjadikan kedua anaknya sebagai korbannya juga.“Bagaimana, Jeff? Apa pendapatmu? Dana yang lebih sebaiknya kita gunakan untuk apa?” tanya bosku. Dari ekspresi wajahnya,
Aku duduk di sisinya dan melihat layar tablet tersebut. Ternyata ada sebuah berita yang tidak aku duga. Bertahun-tahun berusaha untuk melupakan dan melanjutkan hidup, akhirnya aku bisa melihat orang yang menyakiti aku mendapat ganjarannya.Perjuanganku menunjukkan hasilnya juga. Bukan hanya aku yang menuntut perbuatannya di masa lalu, tetapi ada banyak wanita lain. Mereka melaporkan perbuatan pria itu di kantor polisi di mana dia bertugas. Syukurlah, aku tidak mundur ketika menemui banyak kesulitan.“Sayang, apa kamu tidak apa-apa?” Jeff menyeka pipiku. Tanpa aku sadari, aku menangis.Aku menggeleng pelan, lalu meletakkan kepalaku di bahunya. “Aku tidak apa-apa. Ini air mata haru. Aku senang dia akhirnya akan membayar semua perbuatan jahatnya. Semoga saja Franky sehebat yang Moira katakan.”“Dia lebih hebat dari yang sahabatmu katakan. Aku melihat sendiri bagaimana dia mengatasi polisi yang tidak mau membebaskan kamu dari tahanan. Jadi, jangan khawatir. Wahyo dan Dina akan mendekam di