~Jenar~
“Mengapa kau diam saja, Jeff? Cepat selesaikan semuanya sekarang,” kata Dina mendesak. Jeff masih diam menatap aku. Wanita di sisinya itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Ini.” Dia meletakkan sebuah map di atas meja. Suamiku mengambilnya, lalu menggesernya ke arahku.
Aku tidak perlu membukanya untuk tahu apa yang akan dia katakan. “Kamu tahu bahwa kita sudah tidak mungkin untuk kembali bersama. Tanda tangani surat ini. Aku mau kita bercerai.”
Lima tahun lamanya kami berpisah, tidak bertemu, bicara, apalagi saling menyentuh. Lalu pada hari pertama kami bertemu kembali, suamiku justru memberikan aku surat permohonan cerai. Apakah terlalu berat untuk menunggu satu minggu, tidak, satu hari untuk membahas ini?
Ini bukanlah dokumen perceraian yang pertama yang pernah dia berikan kepadaku. Gugatan cerai pertama dia tunjukkan saat aku divonis hukuman penjara selama lima tahun. Ingatanku mengenai ruang persidangan, setiap hakim, penuntut, pengacara, petugas pengadilan, bahkan orang-orang yang menjadi penonton masih jelas. Seolah-olah putusan itu baru terjadi kemarin.
Namun aku tidak mau menandatanganinya. Aku menolak berpisah darinya. Dia sudah berjanji, maka aku tidak akan membiarkan penjara, sahabat, apalagi sehelai dokumen memisahkan kami. Hanya kematian yang bisa menceraikan aku darinya.
“Apa lagi yang kau tunggu? Cepat tanda tangani dokumen itu!” ucap Dina sambil mendekatkan sebuah pulpen kepadaku.
Aku tersenyum, lalu melepaskan pandanganku dari Jeff. Aku meletakkan pulpen tersebut di atas map, kemudian menggeser keduanya kembali ke arah suamiku. Mereka menjemput aku dari penjara begitu aku dibebaskan. Ternyata ini yang mereka siapkan untuk merayakan hari kebebasanku.
“Jawabanku tetap sama,” kataku dengan tenang, meskipun dadaku bergemuruh dengan debaran jantungku yang sangat cepat. Pria yang duduk di depanku ini bukan orang yang mudah untuk dibaca.
“Kau …!” seru Dina marah. Jeff menghentikannya dengan mengangkat tangan kanannya. Wanita itu merapatkan bibirnya dengan kesal, tetapi dia menurut.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya Jeff dengan tatapan serius.
Aku dan Jeff duduk berhadapan. Dia menatap aku, maka aku membalas tatapannya. Walau dia bersikap dingin, pasti ada banyak pikiran, ide, dan rencana yang berkecamuk di kepalanya. Namun aku lebih suka melihat percikan cinta yang masih tersisa di matanya.
Tiga puluh delapan tahun tidak membuatnya terlihat tua dan jelek. Dia justru semakin tampan dengan mata tajam, alis lebat, hidung mancung, dan bibir tipisnya yang menggoda. Rambutnya dipotong rapi dengan sedikit rambut halus membingkai wajah ovalnya.
Kami sudah menikah selama hampir sepuluh tahun. Ulang tahun pernikahan kami sekitar tiga bulan lagi, maka kami genap menikah selama satu dekade. Namun hanya lima tahun pertama yang kami jalani bersama, lima tahun berikutnya kami jalani dengan hidup terpisah. Dia bersama anak-anak dan wanita selingkuhannya, sedangkan aku di dalam penjara.
“Kamu telah bersumpah. Aku tidak menginginkan apa pun selain kamu menepati sumpahmu sendiri.” Aku meniru caranya menatap aku. Tenang tanpa menunjukkan adanya emosi sedikit pun. “Kamu tahu sendiri bagaimana kita bisa menikah. Kalau bukan kamu yang mengejar aku dan menjanjikan pernikahan ini untuk selamanya, aku tidak akan mau mengakhiri masa lajangku.”
“Aku sudah tidak mencintai kamu atau menginginkan pernikahan ini. Untuk apa dipertahankan lagi? Pikiran dan perasaan manusia bisa berubah,” katanya dengan dingin.
“Karena itu aku menuntut sumpahmu, bukan perasaanmu kepadaku.” Aku melirik Dina sebelum kembali melihat Jeff. “Aku tidak peduli bila kamu tidur satu ranjang dengannya. Silakan teruskan hubungan kalian. Tetapi aku tidak mau kita bercerai.”
“Sialan! Kau pikir aku ini perempuan apa?!” Dia berdiri dan berteriak keras kepadaku.
Kejadian yang menurutku sangat lucu. Perempuan bernama Adina ini dahulu bekerja di perusahaan yang sama denganku. Kami adalah sahabat baik karena bekerja di satu divisi. Siapa yang menyangka bahwa dia sanggup menikam aku dari belakang?
“Kamu marah, Dina? Apa kamu tidak salah?” tanyaku, menantangnya. “Aku adalah istri sah Jeff, sedangkan kamu hanya wanita simpanan. Aku yang seharusnya marah.”
“Aku bukan wanita simpanan. Aku adalah kekasih Jeff, tunangannya, calon istrinya yang sah. Akulah yang bersamanya selama kau membayar perbuatan jahatmu di penjara. Istri itu hanya status. Kau sudah bukan nyonya di rumah Jeff lagi!” semprotnya dengan ketus.
“Aku masih istrinya dan nyonya di rumahnya. Kamu sedang delusi, Dina.” Aku tertawa kecil, lalu melirik ke arah kedua jari manisnya yang tidak dihiasi cincin. Aku sengaja memain-mainkan cincin kawin di jari manis kananku. “Kamu hanya wanita simpanan.”
“Jeff! Mengapa kau hanya diam saja? Apa kau tidak akan membela aku yang sudah dia hina?” protesnya kepada suamiku.
“Kamu yang memulai, selesaikan sendiri masalahmu dengannya.” Jeff mengambil map itu dan meletakkannya di tepi meja. “Kita bisa lanjutkan percakapan ini nanti. Aku sudah lapar.”
Aku tersenyum mendengarnya. Dina merapatkan bibirnya dan menatap aku dengan marah. Dia pasti sudah tidak sabar untuk menjadi Nyonya Agung. Dia pikir setelah bertahun-tahun menghangatkan ranjang suamiku, maka Jeff akan mudah saja menjadi miliknya. Aku yang dahulu mungkin akan mudah menyerah. Aku yang sekarang bukan Jenar yang lemah dan penurut lagi.
Makanan kami diantar tidak lama kemudian. Aku memilih menu sendiri, sedangkan Jeff membiarkan Dina memesan menu untuk mereka. Sepertinya itu yang menjadi kebiasaan mereka selama ini. Usia mereka berapa? Tujuh belas tahun?
Jadi, aku tidak heran melihat mantan sahabatku itu menunjukkan pengabdiannya dengan melayani suamiku. Setiap kali piring Jeff hampir kosong, dia akan menambahnya dengan nasi, lauk-pauk, atau sayuran. Dia baru berhenti ketika pria itu berkata cukup.
Terdengar bunyi benda bergetar. Jeff dan Dina serentak memeriksa ponsel mereka. Ternyata benda komunikasi milik suamiku yang menimbulkan bunyi. Dia menyapa orang yang menelepon, lalu diam mendengarkan dengan saksama. Wajahnya berubah serius ketika telepon itu berakhir.
“Aku tidak bisa lama-lama. Ada masalah di tempat kerja yang harus segera aku urus.” Jeff memberi map yang ada di tepi meja kepada Dina.
“Apa?? Tidak bisa begitu. Masalah ini harus kita selesaikan sekarang! Aku tidak mau pulang kalau kamu tidak memaksa dia menandatangani surat itu!” Dina tidak mau menerima map itu, malah menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.
Aku hanya menyaksikan interaksi di antara mereka sambil menyendokkan suapan terakhir ke dalam mulutku. Terbiasa dengan makanan di dalam penjara, aku tidak mau menyia-nyiakan makanan lezat pertamaku setelah keluar dari kurungan. Melihat mereka tidak menyentuh makanan yang ada di piring saji, aku segera menekan bel yang ada di vas bunga.
“Cepat, habiskan makananmu. Aku serius. Aku harus kembali ke kantor sekarang.” Dia mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang berwarna merah, lalu meletakkannya di dalam map mini berwarna hitam yang sengaja ditinggalkan pelayan.
Seorang wanita muda memasuki ruangan kami, aku segera memintanya untuk membungkus semua makanan yang tidak habis. Bukan makanan yang ada di atas piring Jeff dan Dina. Aku tidak sudi menyentuh sisa makanan mereka. Dina mengejek aku rakus, tetapi aku tidak peduli.
Jeff hanya diam saja selama dalam perjalanan, sedangkan Dina sesekali mengeluh karena tujuan mereka pada hari ini tidak tercapai. Aku mau tahu apa yang bisa dia lakukan untuk mengubah keputusanku. Karena perceraian kami tidak tergantung kepada Jeff, tetapi aku. Suamiku sudah lama membubuhkan tanda tangannya pada surat itu. Hanya tinggal menunggu coretan dariku.
Ketika kami memasuki sebuah perumahan, aku terkejut melihat keadaan di sekeliling kami. Jeff tidak membawa kami ke kantornya, tetapi ke rumah. Sesuatu yang hangat segera memenuhi dadaku. Dia berhasil. Sebelumnya, kami tinggal di sebuah apartemen sempit.
Namun Jeff berhasil membeli rumah dengan uangnya sendiri, walau tanpa bantuanku. Aku cepat-cepat menghapus sesuatu yang membasahi pipiku. Ini bukan saatnya untuk menangis dan bersikap sentimental. Ini adalah hal yang membahagiakan.
“Tunggu di sini sebentar,” ucap Jeff saat dia menghentikan mobil di depan sebuah rumah.
Dia keluar dan Dina tidak ikut dengannya. Aku menoleh ke arah kanan dan kiri. Rumah yang ada di sekitarku termasuk sederhana, tidak sebesar dan semewah barisan rumah dekat gerbang masuk. Jeff meminta kami untuk menunggu, siapa yang tinggal di sekitar sini?
“Aku mencintai mereka. Jeff dan anak-anak juga sayang kepadaku. Jangan pernah bermimpi aku akan melepaskan mereka hanya karena kau sudah keluar dari penjara dan tidak mau bercerai,” ucap Dina dengan nada mengancam.
“Kamu yang bermimpi bisa merebut mereka dariku.” Aku tersenyum kepadanya. “Aku berada di dalam penjara saja kamu tidak bisa memisahkan kami. Apa yang bisa kamu lakukan sekarang, Dina? Merengek-rengek seperti tadi tidak akan membuat Jeff memenuhi permintaanmu.”
“Heh, penjahat! Pembunuh sepertimu tidak akan bisa mengalahkan aku! Apa kau sudah lupa apa statusmu!? Kalau kau lupa, aku yang akan terus mengingatkan Jeff dan anak-anak supaya mereka segera mengusir kau dari hidup mereka!” pekiknya marah.
Dugaanku benar. Dia tahu bahwa aku bukanlah saingannya. Karena itu, dia berusaha keras agar aku menandatangani surat itu sebelum tiba di rumah. Menarik. Bertahun-tahun bersama, ternyata tidak membuat dia berhasil memikat hati suamiku.
“Semakin kamu berusaha untuk memisahkan kami, semakin besar juga usahaku untuk menjaga mereka. Waktumu sudah habis, Dina. Nyonya Agung yang sah sudah pulang,” kataku dengan tenang.
“Oh, ya? Kita lihat saja nanti.” Dia tersenyum licik.
Tawa anak-anak mengalihkan perhatianku. Aku menoleh ke arah rumah yang dimasuki Jeff dan melihat dia menggandeng dua anak laki-laki di tangan kanan dan kirinya.
Aku segera mengenali mereka. Jaxton adalah putra pertama kami. Dia sudah berusia delapan tahun pada tanggal delapan Maret yang lalu. Lalu bayi kecilku, Jeremy, genap berusia empat tahun enam bulan. Jika bukan karena mereka berdua, aku tidak akan bisa bertahan menghadapi semua ini. Satu tahun pertama di penjara bagaikan neraka.
Mataku memanas. Akhirnya, aku bisa bertemu dengan kedua anak yang sudah lama tidak aku lihat. Jantungku berdebar kencang merasakan mereka berada sedekat ini denganku. Jeff membuka pintu belakang di mana aku berada.
“Ayo, masuk dan segera kenakan sabuk pengaman kalian,” ucap Jeff yang membantu Remy masuk lebih dahulu. Dia berpindah ke tengah jok dengan wajah riang. Menyadari ada orang di sisinya, dia mengangkat wajah bak malaikatnya itu.
“Papa! Ada tamu?” tanyanya dengan polos ke arah Jeff.
“Bukan, Nak. Dia bukan tamu. Aku akan memperkenalkan dia kepada kalian nanti. Ayo, Jax, pasang sabuk pengamanmu. Aku harus ke kantor secepatnya,” kata Jeff yang segera menutup pintu. Melihat Jax dan Remy mengalami kesulitan, aku membantu mereka.
“Terima kasih,” ucap Remy dengan sopan. “Nama kamu siapa?”
“Remy, apa kau tidak rindu aku?” tanya Dina mengalihkan perhatian putraku.
“Mama!” panggil Remy dan Jax serentak. Dadaku berdenyut sakit mendengar panggilan itu. Bukan dia mama mereka. Siapa yang tega melakukan ini?
Aku melihat ke arah Jeff lewat kaca spion depan. Dia menghindari tatapanku. Setelah bertahun-tahun aku sendirian di dalam penjara tanpa pernah mendapat kunjungan darinya, dia membuat anak-anakku menganggap perempuan lain sebagai mama mereka?
Hai, teman-teman. (。’▽’。)♡ Terima kasih sudah mampir. Semoga suka dengan cerita Jenar dan perjuangannya setelah keluar dari penjara. Bila ada saran dan kritik, jangan segan untuk memberi komentar. Jika teman-teman menyukai cerita ini, sumbang gem/permata dan beri rating, ya. Terima kasih atas dukungannya. Selamat membaca. ♡♡♡ Salam sayang, Meina H.
Hatiku hancur melihat anak-anakku tidak mengenali aku sebagai mama mereka, tetapi memanggil wanita lain dengan sapaan itu. Darahku yang mengalir di darah mereka. Aku yang mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan mereka. Aku memberi keluarga Agung dua orang anak laki-laki sebagai penerus. Begini mereka membayar keringat dan darahku. Belum cukup menyaksikan perempuan lain berbincang dan bercanda layaknya ibu dan anak selama dalam perjalanan singkat yang terasa panjang itu, aku diberi kejutan lain. Ayah, Ibu, dan Lauren juga datang ke rumah yang aku yakin adalah tempat tinggal baru keluargaku. Mereka keluar dari mobil begitu melihat mobil yang Jeff kemudikan mendekat. “Kakek! Nenek!” seru Jax dan Remy secara bersamaan. “Iya! Itu Kakek dan Nenek yang datang untuk melindungi kalian,” ucap Dina yang menatap tajam ke arahku. Dia segera keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk anak-anak. Aku membantu membukakan sabuk pengaman Remy, ketika Dina membantu Jax. “Terima kasih!” seru Remy ya
“Selamat datang kembali di kehidupan bebasmu, Jenar,” ucap Bian, teman satu selku yang telah bebas satu bulan lebih cepat dariku. “Senang bisa melihat kamu tertawa lagi, Bian.” Kami saling berpegangan tangan dan tersenyum terharu. Masa-masa sulit kami akhirnya berlalu juga. “Hei, ini bukan saatnya untuk melankolis. Kita harus bergerak dengan cepat, kalau mau rencana kita berhasil,” desak Talia. Kami menatapnya dengan bingung. “Kamu yang menyetir. Kami sama sekali tidak menghalangi kamu untuk menjalankan mobil, Talia,” goda Bian. Kami tidak bisa tidak tertawa mendengar namanya disebut. Dia begitu bangga menyebut bahwa neneknya adalah penggemar telenovela dari Meksiko. Dia menamakan salah satu cucunya dengan nama pemeran wanita idolanya. Dia berharap nasib cucunya tersebut akan sama dengannya. Sayangnya, Talia tidak sama seperti Thalia tersebut. Tidak sampai satu jam kemudian, kami tiba di depan sebuah rumah. Untuk ukuran seorang yang bekerja sebagai abdi negara, rumah itu termasuk m
Bukannya menjawab pertanyaanku, dia berdiri dan kembali ke kamarnya. Perempuan sialan. Apa lagi yang sudah dia rencanakan terhadap keluargaku? Tidak mau menunggu, aku memeriksa kamar anak-anak. Kosong. Pintu yang aku buka benar, karena ada dua tempat tidur untuk anak-anak dan lemari berisi mainan anak laki-laki. Pintu depan terbuka, aku melihat siapa yang datang. Jeff. Melihat pakaian yang dia kenakan, dia pasti baru saja berolahraga. Aku kembali menuju konter dapur dan memasukkan semua bahan makanan ke dalam wadah tertutup, lalu menyimpannya ke lemari es. Aku berbelanja banyak pagi tadi demi memasak untuk anak-anak. Mengapa aku tadi tidak memeriksa kamar mereka dahulu? Dina dan Jeff keluar dari kamar dalam keadaan rapi. Perempuan itu menarik tangan suamiku agar dia tidak pamit kepadaku. Ada-ada saja. Dia boleh memiliki pria itu selama yang dia mau. Aku tidak peduli aku masih diperlakukan layaknya istri atau tidak. “Selamat pagi, Bu!” sapa seseorang dari arah luar pagar. Aku membal
Dia tahu alamat lengkapku, jadi dia tidak perlu membuntuti aku pulang. Apa jangan-jangan dia mau memastikan aku berkata jujur atau berbohong? Tetapi petugas lapas saja tidak usil ingin tahu apa aku memberi data pribadi dengan jujur atau tidak. Jangan-jangan … dia tinggal di komplek ini juga. Oh, Tuhan. Aku sudah berhasil lepas darinya bertahun-tahun yang lalu. Mengapa dia datang lagi dan mengganggu hidupku? Jantungku berdebar dengan cepat dan tubuhku gemetar hanya memikirkan apa yang pernah terjadi pada masa laluku. Tidak. Aku tidak boleh membiarkan dia menang. Dia tidak punya pengaruh apa pun lagi dalam hidupku. “Bu.” Aku melompat terkejut saat pundakku disentuh. “Ah, maafkan saya. Tetapi ada mobil yang berhenti di depan rumah Ibu. Anda tinggal bersama Pak Jeffrey dan Ibu Adina, benar?” tanya seorang pria yang berpakaian satpam. Aku mengangguk pelan. “Sepertinya itu tamu.” “Biarkan saja. Dia datang tanpa memberi tahu. Aku tidak mau bertemu dengannya.” Aku tidak bergerak sedikit pun
~Jeffrey~ Orang-orang mengenal aku sebagai laki-laki dingin yang tidak bisa dibaca apa maunya. Aku tidak banyak bicara sehingga sulit menemukan orang yang bisa memahami aku. Anehnya, sikapku itu justru menarik perhatian para perempuan untuk mendekati aku. Walaupun aku tidak pernah kekurangan wanita yang bersedia untuk menjadi pacarku, belum ada yang bisa mengetuk pintu hatiku. Ibu sampai khawatir aku tidak akan pernah menikah. Padahal usiaku masih dua puluh lima tahun. Aku dan Lauren selalu menganggap angin lalu keluhan Ibu tersebut. Tetapi begitu adikku menikah, dia menjadi sekutu Ibu yang ikut menyusahkan aku. “Hei!” Seorang wanita muda menyentuh bahuku. “Maafkan aku. Tetapi sepertinya kamu salah tempat duduk.” Dia melambaikan tiket yang dia pegang. Aku menatapnya dengan bingung, lalu melihat ke sekelilingku. Aku baru sadar bahwa aku tidak duduk di antara teman-temanku. Melihat lambaian tangan dari sudut mataku, aku menoleh dan menemukan mereka. “Maafkan aku,” ucapku kepada wanit
Aku menyempatkan untuk mengambil semua milik pribadi Jenar di laci meja kerjaku, juga membeli ponsel dengan nomor baru untuknya. Semua itu aku letakkan di nakas di kamarnya. Dia masih seperti kebiasaannya. Tidak terbangun sekalipun ada yang menyentuhnya. Kesempatan itu aku gunakan untuk mencium keningnya. Bila waktunya tiba, aku akan bisa mencicipi bibirnya lagi. Tetapi tidak dalam kondisi tidur.Ketika memeriksa keadaan anak-anak, aku terkejut. Mereka tidak ada di kamar tidur mereka. Apa yang terjadi? Mengapa Dina tidak mengatakan apa pun kepadaku? Mereka adalah anak-anakku. Siapa yang berani mengambil mereka dari rumahku tanpa izinku?Aku keluar dari kamar dan menuju luar rumah. Biasanya aku berolahraga, tetapi pikiranku sedang kacau. Aku menelepon Ayah. Setelah menunggu beberapa saat, barulah aku mendengar suara sapaannya. Memahami apa tujuanku menelepon, Ayah segera meminta maaf.“Aku akan menjemput mereka sepulang dari tempat kerja. Aku harap Ayah dan Ibu tidak melakukan hal yang
Aku tidak mendengar dia membuka pagar, pintu depan, bahkan saat menaiki tangga. Aku baru tahu dia sudah sampai di rumah ketika dia membuka pintu. Itukah sebabnya aku tidak mendengar saat dia pergi tadi? Iya, aku tertidur. Tetapi aku pasti akan mendengar bunyi langkahnya menuruni tangga.Lampu kamar menyala. Dia menarik napas terkejut melihat aku duduk di tepi tempat tidurnya. Dia melihat ke luar kamar, lalu menutup pintunya dengan cepat dan sesenyap mungkin. Dia memakai baju hitam berlengan panjang dan celana panjang berwarna sama.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan suara berbisik. “Kalau Dina sampai tahu—”“Mengapa kamu tidak menjawab panggilanku? Kamu dari mana?” tanyaku tidak peduli dengan kekhawatirannya itu. Dia hanya diam. “Apa kamu menemui seorang laki-laki di luar sana untuk memenuhi kebutuhanmu?” Dia masih diam. Aku berdiri dan mendekat, tetapi dia mundur menjauh. Aku baru berhenti setelah dia tersudut di dinding.“Selama aku di dalam penjara, kamu tidak peduli
~Jenar~Aku menunggu dengan gugup melihat mereka lama sekali keluar dari kamar. Seharian ini aku hanya membantu Bian di tokonya, lalu pulang setelah makan siang bersamanya. Aku tidak tahu apa anak-anak akan pulang pada hari ini. Tetapi aku memasak kue andai hari ini keajaiban terjadi.Syukurlah, mereka tidak bersikap segan kepadaku. Dugaanku benar. Mereka mirip seperti papa mereka. Cara untuk memenangkan hati mereka adalah lewat perutnya. Semoga saja mereka juga menyukai semua makanan yang diberi cokelat, seperti Jeff.Pintu kamar terbuka, Jax dan Remy segera berebutan berlari mendekati aku. “Mama!” seru mereka sambil memeluk pahaku. Aku tertegun sejenak. Jeff keluar dari kamar dan berdiri di dekat pintu itu. Tidak ada emosi apa pun pada wajahnya.Aku melihat ke arah dua anak yang masih memeluk aku. Air mata jatuh saat aku akhirnya bisa membelai rambut halus dan lebat mereka. Aku memegang tangan mereka, lalu berlutut. “Kalian tadi memanggil aku apa?” tanyaku tidak percaya.“Mama!” jaw
~Jeffrey~ Istriku bersaksi dengan berani dan menjawab setiap pertanyaan dengan gamblang. Apa pun kata yang digunakan kuasa hukum para terdakwa atau hakim saat bertanya, jawaban Jenar tidak berubah. Itu adalah bukti bahwa dia tidak berbohong atau mengarang jawabannya. Dia kembali duduk di sisiku setelah kesaksiannya dianggap selesai. Aku memegang tangannya dan meletakkan di atas pangkuanku. Aku bisa merasakan Dina tidak mengalihkan pandangannya dariku, tetapi aku mengabaikannya. Perbuatannya atas istriku tidak termaafkan. “Sayang sekali, sidangnya tertutup, jadi kami tidak bisa ikut menyaksikan yang terjadi selama sidang,” keluh Ibu. Ayah yang memanggil anak-anak, maka Ibu yang membukakan pintu rumah. “Pihak tergugat yang keberatan sidang itu dilaksanakan secara terbuka. Tidak apa-apa, Bu. Sidang masih berjalan dengan baik,” kataku, menjelaskan. “Papa! Mama!” seru anak-anak yang berlari mendekati kami. Aku meminta mereka untuk pamit kepada kakek dan nenek mereka, lalu kami keluar m
Jax dan Remy setengah menarik tanganku saat keluar dari taksi. Aku membawa banyak kantong plastik berisi keperluan sekolah mereka, jadi tidak bisa berjalan dengan cepat. Di mana Jeff? Apa dia tidak mendengar bunyi mesin mobil atau seruan anak-anak? Aku butuh bantuan dengan bawaanku. Lalu mengapa semua orang ini datang bersamaan ke rumah kami? Tidak ada acara khusus pada hari ini, juga tidak ada rencana akan membuat acara. Hanya ada suamiku di rumah, Lalu apa yang mereka lakukan di sini? Oh, tidak. Jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Jeff. “Cepat buka pintunya, Ma!” desak Jax. Tanganku gemetar saat mencari kunci di dalam tas, karena rasa khawatir. Putraku itu bergerak lebih cepat dengan menekan kenop pintu. Ternyata tidak dikunci. “Papa!” panggilnya serentak dengan adiknya. Aneh. Mengapa tirai jendela ditutup semua? Lampu juga tidak dinyalakan. Ke mana perginya mereka yang memarkirkan mobilnya di depan rumah? Anak-anak malah tertawa cekikikan di ruang depan sambil berjalan ke arah
Walaupun aku sudah bisa menebak siapa dan apa alasannya, aku mau mendengarnya langsung dari mulut kuasa hukumku. Polisi tadi sudah memberi petunjuk yang cukup jelas. Karena tidak mungkin hanya Wahyo yang melaporkan aku bila mereka sampai yakin bisa menjebloskan aku ke penjara lagi.Namun sebelum Franky menjawab, pintu ruangan dibuka dan seorang polisi masuk. Dia hanya mengangguk ke arah pengacaraku, lalu menutup pintu kembali. Apa maksud anggukan itu? Aku melihat ke arah Franky yang berdiri dari kursinya.“Kamu bebas. Ayo, kita pergi dan bicara di tempat lain saja.” Dia berjalan mendekati pintu.Sebuah ide bermain di kepalaku mendengar kalimat pertamanya itu. “Apa aku boleh melakukan satu hal sebelum kita pergi?”Entah apa yang Franky katakan, aku mendapat izin dari polisi. Pria itu menunggu di dekat pintu masuk, sedangkan seorang petugas menemani aku. Dia bersikap baik kepadaku dan tidak bersikap kasar seperti rekannya yang pernah membawa aku ke tahanan ini.“Akhirnya! Aku tahu kamu
Kakiku terasa lemas, tetapi aku berusaha untuk tetap berdiri dengan tegak. Kejadian beberapa minggu yang lalu kembali bermain di benakku. Mengapa mereka datang lagi? Anak-anak berada di rumah dan aku tidak mau memberi mereka trauma untuk kesekian kalinya. Aku melihat antara dua pria yang berdiri di depan pagar dan kunci pintu di hadapanku. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa menghalangi mereka melakukan tugas. Namun atas dasar apa mereka kini mendatangi rumah kami? Pasti ada hubungannya denganku. “Ada apa? Mengapa kamu tidak membuka pintu?” tanya Jeff yang ternyata berdiri di belakangku. Dia mengintip dari jendela, lalu mendesah pelan. “Biar aku yang bicara dengan mereka.” Aku mengangguk dan bergeser agar dia bisa membuka pintu dan keluar rumah. Aku mengintip apa yang dia lakukan di luar lewat jendela. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengar. Namun aku bisa menebak bahwa kedua polisi itu membawa kabar buruk, karena suamiku terlihat kesal. Apakah tujuan mereka datang
Kelima pria dan wanita itu mundur selangkah dan memasang wajah kecut melihat ke arah pria yang datang tersebut. Tentu saja mereka mengenalinya. Nyaris tidak ada yang tidak pernah mendengar namanya. Dia sudah banyak sekali memenangkan kasus sulit, tetapi kliennya menang. Mereka kini tahu siapa yang sedang mereka hadapi. Bukti palsu. Polisi mana yang mau menerima laporan didasarkan atas bukti palsu? Aku tidak akan melakukan hal yang sama yang telah mereka perbuat kepadaku. Aku akan membuktikan bahwa dengan prosedur yang benar pun, aku bisa menjebloskan orang jahat ke penjara. “Aku baru tahu di sini adalah kantor polisi,” kata Franky yang berjalan mendekat, lalu berdiri di depanku. “Pulanglah sebelum aku mengajukan laporan baru. Kalian pasti berada di sini untuk mengancam saksi. Apa kalian tidak tahu bahwa mengancam saksi ada hukumannya?” Membuktikan bahwa mereka tidak tahu, mereka terlihat panik. “Ti-tidak. Kami tidak datang untuk mengancam siapa pun,” kata salah satu dari mereka, men
Berbekal rekaman dari wanita pada malam sebelumnya, aku dan Moira berencana untuk melihat kelanjutan nasib dari polisi jahat tersebut. Aku sudah mengirim kopinya ke surelnya. Dia membalas dan meminta untuk bertemu. Itu yang aku tunggu-tunggu. Tentu saja bukan aku atau Moira yang akan menemuinya, tetapi wanita yang tidur bersamanya. Aku sudah berjanji kepada Jeff dan Franky, maka aku tidak akan mengingkarinya. Aku tidak boleh terlibat dalam urusan yang melanggar hukum lagi. Bila terpaksa, maka aku tidak boleh sampai ketahuan. “Apa kamu akan terus melakukan ini kepada orang yang menyakiti kamu, keluarga, atau sahabatmu?” tanya Moira setengah menggoda. Aku tertawa kecil. “Tidak. Ini yang terakhir. Para polisi itu tidak mengerjakan tugasnya dengan baik, jadi aku harus memberi mereka pelajaran. Bila tidak, mereka akan terus bersikap sewenang-wenang.” “Iya, kamu benar. Tetapi terus terlibat dalam hal yang berbahaya, tidak baik untukmu.” Moira melihat aku dengan serius. “Jax dan Remy memb
~Jenar~ Berada di penjara karena membela diri dan fitnah, sudah cukup membuat kami menderita. Terpisah dari keluarga untuk sementara maupun selamanya bukanlah kehidupan yang mudah. Lalu kami juga harus diperlakukan tidak adil setelah bebas, itu tidak adil. Aku sudah merencanakan hal selain menemui para penjahat itu untuk membalas perbuatan jahat mereka. Cara itu hanya aku lakukan kepada para saksi palsu. Untuk polisi licik dan tidak tahu diri, aku sudah menyiapkan hal yang lebih baik. Hal yang akan membuat mereka berhati-hati bertindak. “Kamu yakin mau melakukan ini?” tanya Talia heran. “Harus. Aku tidak terima dia memperlakukan Bian layaknya penjahat.” Aku mengangkat penutup kepala jaketku untuk menudungi rambutku. Bian mengeluarkan sebuah kandang dari bagian belakang mobil, lalu kami menyeberangi jalan menuju rumah targetku. Setelah memanjat pagar dan mendarat sesenyap mungkin, kami menuju bagian belakang rumah. Bian melakukan keahliannya membuka kunci, dan aku tersenyum saat pi
~Jeffrey~Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Lauren, adikku sendiri, yang sudah meracuni anak-anakku. Hal yang ingin sekali aku lakukan adalah bicara dengannya dan memintanya untuk bicara jujur. Apa kesalahan Jax dan Remy sampai mereka harus menjadi korban keegoisannya?Mereka memang selamat dan ditangani dokter segera, tetapi mereka bisa saja kehilangan nyawa pada hari itu juga. Kami tidak pernah punya masalah sebelumnya, lalu apa yang mendorong dia melakukan hal sejahat itu?“Jadi, dana yang telah kita terima dari donatur, cukup untuk melaksanakan program liburan kita,” kata kepala keuangan organisasi.Orang yang aku pikir melakukannya adalah Dina. Wajar saja jika dia bisa semudah itu menyakiti anak-anak, karena mereka bukan miliknya. Tidak aku sangka, adikku sendiri pelakunya. Dia bahkan tidak ragu-ragu menjadikan kedua anaknya sebagai korbannya juga.“Bagaimana, Jeff? Apa pendapatmu? Dana yang lebih sebaiknya kita gunakan untuk apa?” tanya bosku. Dari ekspresi wajahnya,
Aku duduk di sisinya dan melihat layar tablet tersebut. Ternyata ada sebuah berita yang tidak aku duga. Bertahun-tahun berusaha untuk melupakan dan melanjutkan hidup, akhirnya aku bisa melihat orang yang menyakiti aku mendapat ganjarannya.Perjuanganku menunjukkan hasilnya juga. Bukan hanya aku yang menuntut perbuatannya di masa lalu, tetapi ada banyak wanita lain. Mereka melaporkan perbuatan pria itu di kantor polisi di mana dia bertugas. Syukurlah, aku tidak mundur ketika menemui banyak kesulitan.“Sayang, apa kamu tidak apa-apa?” Jeff menyeka pipiku. Tanpa aku sadari, aku menangis.Aku menggeleng pelan, lalu meletakkan kepalaku di bahunya. “Aku tidak apa-apa. Ini air mata haru. Aku senang dia akhirnya akan membayar semua perbuatan jahatnya. Semoga saja Franky sehebat yang Moira katakan.”“Dia lebih hebat dari yang sahabatmu katakan. Aku melihat sendiri bagaimana dia mengatasi polisi yang tidak mau membebaskan kamu dari tahanan. Jadi, jangan khawatir. Wahyo dan Dina akan mendekam di