Cuaca dingin di London tidak memudarkan senyum wanita cantik yang baru saja keluar dari lobi apartemen. Menurutnya, hari ini akan menjadi hari paling spesial karena ia akan mengenalkan sang kekasih pada papanya. Mereka sudah merencanakan hal ini dari bulan lalu, tepatnya saat libur musim dingin tiba Alexa Smith dan kekasihnya Dave Edwards akan menemui keluarga masing-masing untuk saling mengenal dan meminta restu agar hubungan mereka selalu dimudahkan.
Senyumnya semakin lebar tatkala melihat mobil Mercedes Benz C-Class milik kekasihnya. Alexa mempercepat langkah kakinya, setelah sampai di pintu mobil bagian samping kanan, ia membukanya.
“Hai!” sapa Alexa, bersemangat. Wanita muda berusia dua puluh dua tahun itu terlihat cantik dengan riasan wajah, rambut cokelatnya dibiarkan terurai menutupi punggung yang terbalut sweater rajut abu-abu agar tubuhnya tetap hangat. Senyumnya yang masih mengembang membuat lesung pipit di kedua pipinya terlihat, memiliki bentuk mata dengan ujung bagian luar naik memberikan kesan judes pada siapa pun yang melihat Alexa. Namun, sebenarnya Alexa tidak seperti itu, Alexa wanita baik dengan sifat idealis dan optimis.
Ah, ya, jangan lupakan hidung mancungnya yang sering dicubit oleh Dave bila merasa gemas dengan Alexa. Paras Alexa yang cantik semakin menawan dengan bibir tipis yang diolesi lip-cream berwarna merah muda, sangat cocok dengan kulitnya yang putih bersih. Tubuh ramping dengan tinggi badan bak model begitu pas disandingkan dengan Dave yang memiliki tinggi semampai dengan bentuk tubuh atletis. Pasangan ini selalu mencuri perhatian orang-orang di mana pun mereka berada.
“Hai, Sayang,” balas Dave, menyambut Alexa dengan senyuman. Sama halnya seperti Alexa, Dave juga menjadikan hari ini dan esok sebagai hari yang spesial. Kalau hari ini Dave yang menemui keluarga Alexa, besok sebaliknya Alexa akan menemui keluarga Dave.
Dave Edwards, pemuda tampan seusia dengan Alexa ini memiliki bentuk mata seperti kacang almond dengan lensa berwarna biru gelap, alisnya hitam tebal dengan ujung sedikit menukik. Hidung mancung, bibir tebal dengan warna merah muda alami, lalu rahang yang tegas semakin membuat parasnya menawan. Belum lagi model rambut crew cut memberikan kesan dewasa pada Dave. Kekasih Alexa hari ini terlihat rapi dengan balutan trench coat hitam. Siapa sangka kalau pemuda yang terlihat dingin ini sebenarnya memiliki sifat tenang dan penyayang.
“Kita berangkat sekarang?” tanya Dave setelah Alexa selesai memakai seatbelt.
“Sure, let’s go!” seru Alexa.
Perjalanan dari Kota London menuju Andover menempuh waktu kurang lebih satu setengah jam. Andover adalah sebuah kota di daerah Inggris Hampshire, kota kelahiran Alexa yang kini menjadi pusat distrik pertanian besar; selada air, pabrik tepung, pekarangan kayu, pekerjaan percetakan, peralatan pertanian dan plastik. Alexa sendiri sangat nyaman tinggal di Andover namun, sejak ia berkuliah di London Alexa memilih tinggal di apartemen dekat kampus yang mengharuskannya meninggalkan sang papa sendiri di sana karena mamanya yang sudah tiada.
Alexa sempat mengajak papanya untuk tinggal bersama di London namun papanya menolak, beliau tidak ingin meninggalkan rumah dan toko rotinya. Katanya sayang jika ditinggal, terlalu banyak kenangan di tempat ini bersama mendiang mama Alexa.
“Alexa, i’m so nervous,” ungkap Dave, pemuda itu mengutarakan apa yang ia rasakan pada kekasihnya.
Alexa tertawa ringan sembari melihat raut wajah pemuda di sebelahnya. Alexa berkata santai, “Tenang saja, Dave. Aku rasa papa akan sangat senang bertemu denganmu. Kemarin saja saat aku berbicara dengan papa via telepon, papa bilang ‘kenapa tidak mengenalkannya lebih awal?’ saat aku bilang kalau kita sudah berpacaran selama satu tahun.” Alexa kembali tertawa setelah menirukan suara papanya yang mengomel karena Alexa baru mengatakan kalau ia mempunyai kekasih dan akan mengenalkannya pada sang papa.
Dave harap yang dikatakan Alexa benar terjadi, papa Alexa akan senang bertemu dengannya. Alexa adalah pacar pertamanya jadi pertemuan seperti ini terasa baru bagi Dave. Semalam Dave benar-benar mempersiapkan diri, mulai dari pakaian yang akan dikenakan, cara tersenyum agar tidak terlihat canggung, bahkan berdiri di depan cermin hanya untuk mempraktikkan harus seperti apa ia menyapa papa Alexa nanti. Poin besarnya Dave harus memberikan kesan pertemuan pertama dengan baik.
Alexa yang memperhatikan Dave merasa langka dengan raut tegang yang tercetak jelas di wajah Dave, selama ini Dave selalu terlihat tenang di matanya. Ia kemudian bertanya, “Hey, are you okay?”
“Ya, i’m okay.” Kepala Dave mengangguk dua kali.
Alexa memicingkan matanya, tiba-tiba sebuah ide jahil muncul. Alexa akan berpura-pura menjawab telepon papanya lalu Dave akan Alexa minta untuk menyapa sang papa.
“Halo, Pa?” Mendengar suara Alexa, Dave menoleh sekilas. “Aku masih di perjalanan sama Dave. Kenapa? Papa mau sapa Dave?”
Walaupun fokus menyetir Dave ikut menyimak pembicaraan Alexa ditelepon, mendengar namanya disebut matanya melebar dengan jantung yang berpacu semakin cepat. Alexa mendekatkan ponsel miliknya pada Dave membuat Dave langsung bersuara.
“Ha-halo, Om, saya Dave. Maaf sebelumnya karena saya baru menyapa Om sekarang,” ucap Dave gugup, ia harap perkataannya barusan tidak ada yang salah.
Tawa Alexa meledak, ia menjauhkan ponselnya dari Dave, “Ha ha ha, Papa didn't really call, Dave. I'm teasing you, (Papa tidak benar-benar menelepon, Dave. Aku sedang menjahilimu)”
Dave menghembuskan napas panjang antara merasa lega atau tidak menyangka kalau Alexa tengah menjahilinya. Ini bukan kali pertama Dave masuk perangkap kejahilan Alexa. Kekasihnya ini punya banyak ide untuk menjahili atau menggodanya. Dan anehnya lagi, Dave tidak pernah merasa marah ataupun kesal, justru hatinya merasa hangat melihat Alexa tertawa di depannya. Dave yang kaku kadang kala bingung bagaimana cara membuat Alexa tertawa namun, dengan sifat Alexa yang bertolak belakang dengannya Dave yakin kalau Alexa itu pelengkap bagi hidupnya.
“I’m sorry, Dave,” ucap Alexa.
“Your sorry accepted. (Maafmu diterima)” Dave tersenyum lembut.
Mobil Dave memasuki pekarangan rumah keluarga Smith, rumah bergaya klasik victorian itu semakin membuatnya gugup. Rumah klasik nan elegan dengan desain yang begitu detail dan rumit membuat matanya terpana saat mobilnya berhasil berhenti sempurna di halaman depan yang luas. Puas memandang rumah kekasihnya kini tatapan Dave tertuju pada sebuah mobil BMW berwarna hitam metalik yang terparkir di depan mobilnya.
“Ini mobil milik papamu?” tanya Dave pada Alexa saat mereka baru keluar dari mobil. Dave memperhatikan mobil dengan plat nomor AX 0310 S yang terasa familier baginya. Dave seperti pernah melihat mobil berplat nomor sama namun ia tidak ingat melihat di mana.
“Ya, kenapa memangnya?” tanya Alexa memandang wajah Dave penasaran.
•To Be Continued•
“Ya, kenapa memangnya?” tanya Alexa memandang wajah Dave penasaran. “Aku rasa, aku pernah melihat mobil ini,” kata Dave ragu, matanya belum teralihkan dari mobil milik papa Alexa. Dahi Alexa berkerut samar seperdetik kemudian ia tertawa sembari berkata, “Ya ampun, Dave, ini bukan mobil limited edition, siapa pun bisa memilikinya. Dan papaku adalah satu dari sekian banyak orang yang memilih mobil ini sebagai alat transportasinya.” Yang dikatakan Alexa benar kalau siapa pun bisa memiliki mobil ini namun selain mobil, plat nomor yang dilihatnya saat ini seperti pernah ia lihat sebelumnya. Dave menggelengkan kepala pelan tidak ingin memikirkan lebih jauh sekarang, mungkin saja nanti ia mendadak ingat. “Ayo masuk!” ajak Alexa meraih tangan Dave lalu menggenggamnya. Mereka berdua melangkah beriringan menuju pintu utama. Pintu terbuka sebelum Alexa mengetuknya, seorang pria paruh baya keluar dia adalah Alan Smith, papa Alexa. Alan menyambut Alexa den
“Orang tuanya yang telah membunuh mama kamu.” Alan berkata tenang namun pembuluh darah yang terlihat tegang di lehernya menandakan amarah yang tertahankan. Pada akhirnya, Alan telah membeberkan fakta kematian Xania pada Alexa. Alexa tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya, karena apa yang dikatakan Alan tidak pernah terpikirkan olehnya. Mamanya dibunuh? Dan pembunuhnya orang tua kekasihnya? Tapi ... saat itu Alan memberitahunya kalau Xania— “Mama kamu bukan meninggal akibat kecelakaan. Maafkan Papa yang telah merahasiakan hal ini,” tutur Alan seakan sadar arah pikiran Alexa saat ini. Alan membalikkan badan, melangkah mendekati putri satu-satunya yang berdiri mematung dengan tatapan tidak percaya. Mata Alan menatap lekat manik mata cokelat Alexa yang sama persis seperti milik Xania dan sekarang Alan merasa menyesal telah memberitahu Alexa tentang kematian Xania. Salah satu pesan yang dikatakan Xania sebelum pergi untuk selamanya ialah jangan pernah memberit
Pukul tiga sore Alexa pergi dari Andover untuk kembali ke London. Sekarang ia sedang berada di apartemennya mempersiapkan pakaian yang akan dikenakan nanti malam untuk bertemu keluarga Dave. Ia yang sibuk mencari pakaian yang cocok dari dalam lemarinya terus diganggu dengan ocehan Dave ditelepon. “Alexa, kalau masalah kemarin masih mengganggu pikiranmu tidak apa jika pertemuan hari ini ditunda dulu. Aku akan bilang pada oma dan paman—“ ucapan Dave terpotong oleh Alexa. “I'm fine, Dave. Aku sudah menunggu hari ini untuk bertemu keluargamu. Sudah ya, telepon aku lagi kalau kamu sudah sampai apartemen, bye!” Ponselnya dilempar asal ke atas kasur. Alexa memutuskan panggilan sepihak, kalau tidak segera diakhiri bisa-bisa Dave tidak akan berhenti berbicara. Pengertian sih boleh tapi jangan berlebihan, contohnya Dave. Dave itu tipikal laki-laki yang bicara sepentingnya saja saat banyak orang namun ketika berdua dengan Alexa, Dave akan membicarakan banyak hal. Tanpa
“Oma, Paman ini Alexa. Alexa, ini Oma dan Pamanku,” tutur Dave mengenalkan siapa kedua orang yang berdiri di hadapannya kini pada Alexa. “Cantik,” gumam Alexa tanpa sadar melihat wajah wanita tua di depannya. Walaupun sudah berumur tidak dapat dipungkiri kalau wanita tua yang Dave kenalkan sebagai Omanya sangatlah cantik dan elegan. “Hm? Kamu bilang apa Alexa?” tanya Oma yang menyadari kalau Alexa sempat mengatakan sesuatu namun terdengar samar olehnya. “Ah, bukan apa-apa. Kenalkan namaku Alexa, Oma,” sapa Alexa melebarkan senyumnya. Kini ia beralih menatap pria di samping Oma Dave. “Paman, aku Alexa.” Martha Edwards itulah nama wanita tua pemilik mansion mewah ini. Senyumannya begitu tulus sejak ia melihat Alexa yang jalan beriringan bersama cucunya, Dave. Saat pertama kali mendengar kalau cucunya itu memiliki kekasih, Martha sangat senang. Tentu kesenangannya bertambah ketika Dave mengatakan akan mengenalkan kekasihnya itu pada Martha. Dan mal
Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, Alexa kini tengah sibuk membersihkan apartemennya. Ia membersihkan bagian karpet dan sofa menggunakan pembersih debu. Sesekali ia bersenandung kemudian mendadak tersenyum kecil mengingat pertemuan kemarin malam yang membuatnya senang. Martha yang menyambutnya dengan hangat dan merestui hubungan dirinya dengan Dave sangat membekas di hatinya. Senyumannya memudar ketika mendengar suara bel yang ditekan berulang-ulang seperti tergesa-gesa. Alexa melihat siapa tamu yang datang melalui monitor di samping pintu. Keningnya berkerut samar melihat Dave berdiri di depan pintu apartemennya. Alexa membukakan pintu untuk Dave. “Dave? Ada apa ke sini?” tanya Alexa, kemudian menyuruh kekasihnya itu untuk masuk ke apartemennya. “Alexa jelaskan maksud dari perbuatan papa kamu!” pinta Dave, kilatan matanya terlihat serius dan itu membuat Alexa bingung. “Jelaskan? Jelaskan apa, Dave?” Alexa bertanya untuk meminta
FLASHBACK ON Satu tahun lalu. Seorang pria paruh baya tengah berdiri menghadap jendela dengan ponsel yang di dekatkan ke telinga kanan. Aroma roti dari dalam etalase kaca memenuhi ruangan sebuah toko roti. Ujung matanya berkerut seiring senyuman yang semakin mengembang. Dia adalah Alan Smith, seorang pria sekaligus seorang ayah yang memiliki sifat hangat dan penyayang. Ia tertawa pelan mendengar lelucon putrinya di telepon. “Apakah tidak masalah jika Papa tidak menjenguk oma?” tanya Alan sedikit khawatir. Saat ini putrinya, Alexa Smith sedang pergi ke kota lain untuk menjenguk sang nenek. Lebih tepatnya, nenek Alexa yang ingin dijenguk oleh cucu satu-satunya itu. Alexa yang selama ini disibukkan dengan kegiatan kuliah tidak ada waktu untuk menemui neneknya. Dan kini ia sedang libur kuliah membuat Alexa tidak dapat menolak permintaan neneknya. “Ha ha ha, tentu saja tidak. Bahkan, oma berkata pada Alexa kalau dia bosan dijenguk oleh Papa terus,”
Alexa mengusap air matanya kemudian menatap bangunan bergaya klasik victorian yang menjadi tempat tinggal paling nyaman di hidupnya. Ia melangkah masuk untuk mematikan seluruh lampu di setiap ruangan, mematikan tungku perapian juga, entah sampai kapan rumah ini akan merasakan dingin. Setelah itu, Alexa pergi menuju toko roti yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Tulisan Smith's Bakery yang tertera di jendela bangunan dilihatnya sekilas sebelum memasuki toko roti. Alexa mendekati lemari kayu yang berada di pojok ruangan lalu membukanya. Masih ada beberapa syal yang terlipat rapi di dalam lemari, Alexa mengambilnya satu. Air matanya kembali luruh, bukan karena perihal Alan melainkan rasa rindunya pada sang mama. Ia telah ditinggalkan oleh Xania untuk selamanya, kabar duka itu datang saat Alexa tengah berkunjung ke kota lain untuk menjenguk omanya. Setelah kematian Xania, satu bulan kemudian omanya juga menyusul. Alexa tersenyum getir, pada akhirnya ia hanya dapat bergan
Alexa kembali ke apartemen dengan keadaan yang memprihatinkan. Tubuhnya terlihat lemas karena seharian ini ia belum sempat makan sesuatu. Alexa terduduk di sofa memandangi foto dirinya dan kedua orang tuanya yang menggantung di dinding. Kepalanya mendadak berat mengingat kejadian hari ini belum lagi matanya yang sembap karena banyak menangis. Suara bel apartemen terdengar memecah suasana hening di ruang tamunya. Alexa bangkit untuk membukakan pintu setelah sebelumnya melihat siapa tamu yang datang melalui monitor. Sahabatnya, Elena White dan pacarnya, Edgar Wilson datang menemui Alexa. Ia mempersilakan keduanya masuk. “Alexa, what happened? (Alexa, apa yang terjadi?)” tanya Elena yang menyadari raut wajah sahabatnya ini. “You don't look fine. (Kamu tidak terlihat baik-baik saja)” Edgar yang mendengar perkataan kekasihnya langsung memandang Alexa yang terduduk di sebelah Elena. Edgar juga mendadak penasaran dengan apa yang terjadi pada Alexa. Ia da
“Kamu ingat kejadian tahun lalu?”Mata Alexa menatap Mike dengan harapan anak laki-laki itu tahu sesuatu. Uraian kejadian tahun lalu mungkin terjadi di hadapan Mike dan Mary. Alexa percaya kalau anak kecil memiliki daya ingat yang kuat, mereka bisa menangkap memori yang mereka alami.Beberapa saat kemudian Mike menganggukkan kepala, “Aku ingat.”Napas Alexa yang terasa tercekat karena menunggu jawaban anak laki-laki di hadapannya kini berangsur lega. Ia meminta Mike menceritakan sesuatu yang terjadi di musim dingin tahun lalu.“Apakah kamu bisa menceritakannya?” tanya Alexa.Mike kembali mengangguk, “Waktu itu, aku dan Mary ada di sana.” Jari telunjuk Mike menunjuk ke arah bangku panjang yang berada di depan Moore’s Boutique.“Paman pemilik toko roti—”Alexa menghentikan ucapan Mike, “Kamu bisa memanggilnya paman Alan.”“Baiklah,” sa
Alexa memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah, seperti permintaan Alan agar Alexa mengunjungi rumah sesekali. Jadi, di sinilah ia sekarang, tengah membuka pintu utama menggunakan kunci yang ia punya. Hawa dingin menyerbunya saat pintu terbuka. Alexa mendekati tungku perapian untuk menyalakan kembali api yang sempat ia padamkan sebelum pergi dari rumah.Ia memakai sarung tangan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Selanjutnya, Alexa membersihkan abu yang berada di tungku perapian sebelum meletakan kayu bakar di sana. Api mulai merambat pada kayu yang diletakkan menyilang. Alexa memastikan kobaran api ditungku tidak terlalu besar setelah itu menyimpan kembali sarung tangan yang telah ia lepaskan.Alexa memandang pigura besar berisi potret Alan, Xania dan dirinya. Ia sangat bersyukur lahir di keluarga dengan orang tua yang menyayanginya begitu tulus. Mereka merawat Alexa penuh kasih sayang, mengajarkan Alexa tentang dunia. Seketika Alexa merasa merindukan kebersa
“Kalau begitu, aku akan mengunjungi apartemenmu setiap hari.” Mata Alexa melebar mendengar perkataan yang dilontarkan Willy. Pemuda dengan gaya rambut spike itu melebarkan senyuman di wajah hingga terlihat deretan gigi putihnya. Satu pertanyaan yang muncul di pikiran Alexa, apakah Willy tidak memiliki kegiatan lain selain mengurusi hidup Alexa? “Tidak per—” ucapan Alexa terpotong oleh Grace yang tiba-tiba berbicara. “Ya, itu bagus, Alexa,” ujar Grace menghadap Alexa sepenuhnya. “Willy akan memastikan kamu aman setiap harinya.” Grace tertawa cekikikan, Alexa membalasnya dengan suara tawa yang terdengar dipaksakan. Ia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal dan bergumam dalam hati. Sebenarnya ada apa dengan keluarga ini, mengapa mereka begitu overprotective terhadap dirinya? “Alexa, karena kamu ada di sini, Tante ingin mengajakmu melihat taman hias yang Tante rawat. Kamu mau, kan, Sayang?” tanya Grace. “Ah, tentu saja aku mau, Tante.” Alex
FLASHBACK ON Alan memeluk Xania begitu erat, ia tidak bisa berhenti menangis. Senyuman Xania tadi pagi teringat di benaknya. Alan tidak pernah menyangka kalau itu menjadi senyuman terakhir wanita yang dicintainya. Bahunya bergetar, sesuatu seperti mengimpit dadanya, terasa begitu sesak. Siapa yang tega melakukan hal sekejam ini pada istrinya. Xania bukanlah orang yang senang mencari musuh, justru ia lebih sering mengalah untuk menghindari pertengkaran. Suara rintihan kesakitan beberapa saat lalu masih terekam jelas di indra pendengarannya. Jika menukar nyawa itu bisa, Alan akan menukar nyawanya dengan Xania. Ia yang akan menanggung semua rasa sakit istrinya. Alan menatap wajah Xania, terlihat menenangkan. Xania terlihat sedang tertidur dan Alan harap Xania hanya tertidur. Alan ingin bangun, ia ingin bangun dari mimpi buruk ini. “Di sini!” seorang petugas polisi berteriak memberitahu pada anggota yang lain keberadaan orang yang mereka cari. Ala
“Willy?” panggil Alexa. Pemuda jangkung bernama lengkap Willy Anderson itu menoleh kemudian berdiri tegap. Ia tersenyum memesona dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana jeans. Pemuda dengan lensa mata biru itu menatap lekat Alexa yang berhenti di hadapannya. “Alexa ... ” ucapannya menggantung, kedua tangannya yang hangat menangkup pipi Alexa secara tiba-tiba. “Kamu sakit?” Alexa menjauhkan tangan Willy dari pipinya. Ia kurang nyaman dengan tindakan yang dilakukan Willy barusan. Alexa tersenyum kaku kemudian membalas ucapan Willy, “Aku baik-baik saja.” “Ada keperluan apa kamu ke apartemenku?” tanya Alexa. “Papa ingin bertemu denganmu, Alexa,” imbuh Willy tatapan matanya tidak beralih sedetik pun dari Alexa. “Mengapa tidak menelepon saja? Jadi, kamu tidak perlu repot ke sini.” Alexa sudah salah bertanya, karena setelah ini Willy pasti memberikan jawaban yang membuatnya semakin tidak nyaman. “Tidak masalah. Memangnya salah
Alexa mengendarai mobilnya keluar dari basemen apartemen. Hari ini, ia akan ke Andover menjenguk papanya di kantor polisi Hampshire. Ia harus memastikan kondisi Alan baik-baik saja. Perempuan berusia 22 tahun itu memfokuskan pandangannya ke depan, Alexa mengendarai mobilnya hati-hati karena jalanan hari ini lumayan licin akibat salju yang turun semalam. Matanya melirik panggilan telepon di head unit mobil yang sudah tersambung dengan ponsel pintarnya. Ia menjawab panggilan dari Elena tanpa mengalihkan pandangannya yang menatap ke depan. “Ada apa, Elena?” tanya Alexa setelah panggilan tersambung. “Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin mengajakmu ke kafe biasa. Mau, kan?” sahut Elena suaranya terdengar memelas. “Tentu. Tapi, setelah aku menjenguk papa,” jawab Alexa menyetujui. “Ah, kamu sedang menjenguk paman Alan?” Kali ini nada suara Elena terdengar merasa bersalah. Mungkin Elena berpikir kalau dirinya telah mengganggu Alexa yang tengah berbincan
“ALEXA!” suara Elena yang berteriak membuat Alexa dan Dave saling tatap. “Kita ke dalam,” ujar Alexa diangguki Dave. Mereka berdua menghampiri Elena dan Edgar di ruang tengah. Beberapa koran berserakan di atas meja. Alexa mengambil duduk di sebelah Elena kemudian bertanya mengenai teriakan Elena tadi, “Ada apa?” “Lihat ini!” Elena memperlihatkan salah satu berita di koran pada Alexa. Perempuan berambut pirang yang duduk di sebelah Alexa ini melebarkan senyumannya. “Ternyata di pusat perbelanjaan Victorious ada satu toko yang menjual berbagai aksesoris wanita dari seluruh dunia. Aku sudah beberapa kali pergi ke pusat perbelanjaan itu tapi aku tidak pernah tahu ada hal seperti itu,” sambungnya dengan raut wajah berubah cemberut. Elena ini sangat fanatik dengan hal berbau fashion, make-up, aksesoris dan hal lainnya yang berhubungan dengan wanita. Alexa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya, “Elena, aku pikir kamu berteriak tadi k
Pagi ini, suhu di kota London menunjukkan angka tujuh derajat celcius. Seorang pemuda yang baru saja keluar dari mobilnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel agar lebih hangat. Sebuah tas hitam tersampir di kedua bahunya yang lebar. Langkah kakinya tiba-tiba berhenti saat melihat mobil yang ia kenali terparkir di basemen apartemen. Mendekati mobil tersebut lalu mengetuk kaca mobil sebelah kiri. “Edgar?” gumam pemuda pemilik mobil yang terduduk di kursi kemudi. Ia menurunkan jendela mobil, menampakkan wajah pada Edgar yang berdiri di luar mobilnya. “Dave, sedang apa kamu di sini?” tanya Edgar pada pemuda seusianya. “Sorry, maksudku, mengapa di sini dan tidak ke unit Alexa?” Edgar mundur beberapa langkah karena Dave akan keluar dari mobil. Mereka kini saling berhadapan, Edgar mengernyitkan dahi melihat air muka Dave yang terlihat kurang tidur. Tidak aneh sebenarnya, ini pasti karena kejadian kemarin. Keadaan Alexa ataupun Dave sama-sama terlihat me
FLASHBACK ON Alan tersenyum, “Papa juga bangga padamu, Sayang.” “Sudah dulu ya, Pa, oma memanggilku. Oma ingin aku menemaninya minum teh,” tutur Alexa. “Baiklah, sampaikan salam Papa pada oma. Katakan padanya jangan terlalu banyak menambahkan gula ke dalam teh,” sahut Alan. “Aku akan menyampaikan pesanmu padanya, Tuan Smith,” canda Alexa dengan memanggil nama Alan dengan formal. Alan mengakhiri panggilan teleponnya dengan Alexa. Ia berencana mengunjungi wanita yang telah melahirkannya besok, Alan juga akan mengajak Xania untuk ikut bersamanya. Ibunya, Xania dan Alexa entah mengapa sangat cocok jika disatukan, mereka seperti teman seumuran yang membicarakan banyak hal saat bertemu. Tetapi hal itulah yang membuatnya bahagia. Suasana hangat dan tenang di toko rotinya membuat Alan teringat pada kedua anak yang baru ia temui beberapa saat lalu. Mike dan Mary, mereka berdua tengah melahap roti pemberiannya. Mereka ter