FLASHBACK ON
Satu tahun lalu.
Seorang pria paruh baya tengah berdiri menghadap jendela dengan ponsel yang di dekatkan ke telinga kanan. Aroma roti dari dalam etalase kaca memenuhi ruangan sebuah toko roti. Ujung matanya berkerut seiring senyuman yang semakin mengembang. Dia adalah Alan Smith, seorang pria sekaligus seorang ayah yang memiliki sifat hangat dan penyayang. Ia tertawa pelan mendengar lelucon putrinya di telepon.
“Apakah tidak masalah jika Papa tidak menjenguk oma?” tanya Alan sedikit khawatir.
Saat ini putrinya, Alexa Smith sedang pergi ke kota lain untuk menjenguk sang nenek. Lebih tepatnya, nenek Alexa yang ingin dijenguk oleh cucu satu-satunya itu. Alexa yang selama ini disibukkan dengan kegiatan kuliah tidak ada waktu untuk menemui neneknya. Dan kini ia sedang libur kuliah membuat Alexa tidak dapat menolak permintaan neneknya.
“Ha ha ha, tentu saja tidak. Bahkan, oma berkata pada Alexa kalau dia bosan dijenguk oleh Papa terus,” balas Alexa suara tawanya terdengar renyah.
Alan tertawa pelan, ia menggeleng-gelengkan kepala merasa diejek oleh putrinya sendiri. Alexa adalah anak satu-satunya dari pernikahan Alan dan istrinya, Alan tidak menyangka kalau putrinya ini sudah berkepala dua. Proses pertumbuhan Alexa dari kecil hingga sekarang masih terekam jelas di pikirannya. Bahkan istrinya selalu mengabadikan momen pertumbuhan Alexa yang kemudian dijadikan sebuah album foto.
Tiba-tiba kelopak matanya melebar sekejap ketika melihat partikel-partikel putih yang turun dari langit. Salju pertama yang turun di bulan Desember ini begitu indah dipandang.
“Alexa, it's just snowing here, (Alexa, di sini baru turun salju)” ujar Alan memberitahu putrinya yang selalu menantikan salju pertama turun.
“Benarkah?” Alan dapat mendengar langkah kaki Alexa yang tergesa-gesa. Pasti sedang mendekati jendela. Beberapa detik kemudian Alexa kembali berbicara, “Ya, Papa benar. The snow is so beautiful, (Saljunya sangat indah)” gumam Alexa di seberang telepon.
“Ah, ya. Mama sedang apa, Pa?” tanya Alexa beberapa saat kemudian.
“Mama? Dia sedang pergi karena ada beberapa keperluan yang perlu diurus,” jawab Alan.
“Satu tahun belakangan ini mama sering sibuk. Memangnya apa yang sedang mama kerjakan?” tanya Alexa. Sebelumnya ia tidak begitu penasaran namun akhir-akhir ini rasa penasarannya mendadak muncul.
“Hm, semacam bisnis dengan teman-temannya,” tutur Alan apa adanya sembari mengedarkan pandangan menatap kondisi luar toko roti. “Alexa, tunggu sebentar ya. Jangan matikan teleponnya.”
Setelah mengatakan itu Alan menyimpan ponselnya di atas etalase kaca yang berisi berbagai macam roti. Ia keluar dari toko roti kemudian memanggil dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan yang berdiri di seberang toko rotinya dan menyuruh kedua anak tersebut masuk.
“Siapa nama kalian?” tanya Alan, sedikit membungkuk menyesuaikan dengan tinggi kedua anak tersebut.
“Aku Mike dan ini adikku namanya Mary,” jawab Mike, seorang anak laki-laki yang Alan perkirakan berusia sekitar sepuluh tahun.
Alan memandang jaket lusuh yang dikenakan kedua anak tersebut, ia merasa prihatin. Alan tersenyum lalu mengusap belakang kepala Mike dan Mary secara bergantian. Tidak seperti kondisi sekarang yang dingin, Alan justru menebar kehangatan untuk Mike dan Mary. Ia tidak segan-segan untuk menolong siapa pun termasuk kedua anak kecil di depannya.
“Apa kalian tidak kedinginan?” tanya Alan ketika melihat bibir pucat Mike dan Mary juga tubuh mereka yang sedikit menggigil.
Mike tidak menggeleng ataupun mengangguk, namun Mary dengan cepat mengangguk. Tipikal anak kecil yang polos, langsung bereaksi ketika ditanya mengenai keadaannya. Alan berdiri tegap, melangkah mendekati lemari kayu dengan tinggi seratus lima puluh sentimeter dan lebar lima puluh sentimeter yang berada di pojok ruangan, ia mengambil dua syal berwarna merah.
Istrinya, Xania Smith telah merajut banyak syal disela waktu luangnya dan disimpan di lemari toko roti Smith. Kata Xania, Alan boleh memberikan pada siapa pun yang membutuhkan saat musim dingin tiba. Maka dari itu, Alan memberikan syal pada Mike dan Mary masing-masing satu.
“Pakailah, agar tubuh kalian tetap hangat,” ucapnya, memberikan pada Mike satu lalu memakaikan pada Mary.
“Sangat hangat,” gumam Mary melebarkan senyumnya hingga terlihat lesung pipit di kedua pipinya yang berisi.
“Terima kasih, Paman. Kami akan mengembalikan syalnya setelah kami mencucinya.” Mike membungkuk sopan pada Alan.
“Tidak perlu mengembalikannya, Mike. Syal ini Paman berikan untuk kamu dan Mary,” tutur Alan lembut. “Ah, ya. Apakah kalian mau roti?” tanya Alan setelah memastikan syal Mike dan Mary terbalut sempurna di leher.
Mike menggelengkan kepala pelan kemudian berkata, “Tidak, kami tidak punya uang untuk membelinya, Paman.”
Alan bergumam panjang pura-pura berpikir lalu berkata setelahnya, “Bagaimana kalau kalian membayarnya di musim dingin selanjutnya?”
Mata Mike berbinar, “Bolehkah, Paman?”
Alan mengangguk pasti, “Tentu saja. Kalau begitu pilihlah, kalian mau roti yang mana.”
Mike dan Mary duduk di tempat yang tersedia di dalam toko roti sembari melahap roti yang telah mereka pilih. Sedangkan Alan kembali mengambil ponselnya untuk melanjutkan percakapan dengan Alexa di telepon.
“Alexa, apakah kamu masih di sana?” tanya Alan setelah mendekatkan ponselnya ke telinga.
“Tentu saja. Aku mendengar semua yang terjadi di toko rotimu, Pa,” sahut Alexa.
“Papa hanya membantu mereka semampunya,” imbuh Alan yang memperhatikan Mike dan Mary diam-diam.
“Papa selalu baik seperti biasa. I'm proud of you! (Aku bangga padamu!)” ucap Alexa tulus.
Alan tersenyum, “Papa juga bangga padamu, Sayang.”
FLASHBACK OFF
Alexa mengusap air matanya kemudian menatap bangunan bergaya klasik victorian yang menjadi tempat tinggal paling nyaman di hidupnya. Ia melangkah masuk untuk mematikan seluruh lampu di setiap ruangan, mematikan tungku perapian juga, entah sampai kapan rumah ini akan merasakan dingin. Setelah itu, Alexa pergi menuju toko roti yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Tulisan Smith's Bakery yang tertera di jendela bangunan dilihatnya sekilas sebelum memasuki toko roti. Alexa mendekati lemari kayu yang berada di pojok ruangan lalu membukanya. Masih ada beberapa syal yang terlipat rapi di dalam lemari, Alexa mengambilnya satu. Air matanya kembali luruh, bukan karena perihal Alan melainkan rasa rindunya pada sang mama. Ia telah ditinggalkan oleh Xania untuk selamanya, kabar duka itu datang saat Alexa tengah berkunjung ke kota lain untuk menjenguk omanya. Setelah kematian Xania, satu bulan kemudian omanya juga menyusul. Alexa tersenyum getir, pada akhirnya ia hanya dapat bergan
Alexa kembali ke apartemen dengan keadaan yang memprihatinkan. Tubuhnya terlihat lemas karena seharian ini ia belum sempat makan sesuatu. Alexa terduduk di sofa memandangi foto dirinya dan kedua orang tuanya yang menggantung di dinding. Kepalanya mendadak berat mengingat kejadian hari ini belum lagi matanya yang sembap karena banyak menangis. Suara bel apartemen terdengar memecah suasana hening di ruang tamunya. Alexa bangkit untuk membukakan pintu setelah sebelumnya melihat siapa tamu yang datang melalui monitor. Sahabatnya, Elena White dan pacarnya, Edgar Wilson datang menemui Alexa. Ia mempersilakan keduanya masuk. “Alexa, what happened? (Alexa, apa yang terjadi?)” tanya Elena yang menyadari raut wajah sahabatnya ini. “You don't look fine. (Kamu tidak terlihat baik-baik saja)” Edgar yang mendengar perkataan kekasihnya langsung memandang Alexa yang terduduk di sebelah Elena. Edgar juga mendadak penasaran dengan apa yang terjadi pada Alexa. Ia da
Dua jam yang lalu. Rumah dua lantai bergaya Eropa klasik berdiri kokoh di halaman yang luas. Fasad batu alam menjadi material utama untuk mempercantik tampilan bangunan. Di atap sebelah kiri terdapat cerobong asap yang mengeluarkan asap sisa pembakaran kayu di perapian. Walau hanya dua lantai desain rumah ini terlihat tampak megah karena memiliki langit-langit atap yang tinggi dan jendela-jendela besar dengan jenis double-hung yang berguna sebagai sirkulasi udara dan cahaya. Seorang pemuda memarkirkan mobilnya tepat di pekarangan rumah. Dirinya berjalan tergesa-gesa menuju pintu utama. Di samping tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua terdapat pintu kayu yang menjadi tujuannya. Pemuda itu adalah Edgar yang sekarang tengah sibuk menggerakkan knop pintu untuk membukanya, namun tidak membuahkan hasil, pintunya terkunci. Edgar menggaruk tengkuknya melihat sebuah wadah anyaman yang berisi kunci-kunci di atas meja samping pintu. Entah ada berapa ku
FLASHBACK ON Alan tersenyum, “Papa juga bangga padamu, Sayang.” “Sudah dulu ya, Pa, oma memanggilku. Oma ingin aku menemaninya minum teh,” tutur Alexa. “Baiklah, sampaikan salam Papa pada oma. Katakan padanya jangan terlalu banyak menambahkan gula ke dalam teh,” sahut Alan. “Aku akan menyampaikan pesanmu padanya, Tuan Smith,” canda Alexa dengan memanggil nama Alan dengan formal. Alan mengakhiri panggilan teleponnya dengan Alexa. Ia berencana mengunjungi wanita yang telah melahirkannya besok, Alan juga akan mengajak Xania untuk ikut bersamanya. Ibunya, Xania dan Alexa entah mengapa sangat cocok jika disatukan, mereka seperti teman seumuran yang membicarakan banyak hal saat bertemu. Tetapi hal itulah yang membuatnya bahagia. Suasana hangat dan tenang di toko rotinya membuat Alan teringat pada kedua anak yang baru ia temui beberapa saat lalu. Mike dan Mary, mereka berdua tengah melahap roti pemberiannya. Mereka ter
Pagi ini, suhu di kota London menunjukkan angka tujuh derajat celcius. Seorang pemuda yang baru saja keluar dari mobilnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel agar lebih hangat. Sebuah tas hitam tersampir di kedua bahunya yang lebar. Langkah kakinya tiba-tiba berhenti saat melihat mobil yang ia kenali terparkir di basemen apartemen. Mendekati mobil tersebut lalu mengetuk kaca mobil sebelah kiri. “Edgar?” gumam pemuda pemilik mobil yang terduduk di kursi kemudi. Ia menurunkan jendela mobil, menampakkan wajah pada Edgar yang berdiri di luar mobilnya. “Dave, sedang apa kamu di sini?” tanya Edgar pada pemuda seusianya. “Sorry, maksudku, mengapa di sini dan tidak ke unit Alexa?” Edgar mundur beberapa langkah karena Dave akan keluar dari mobil. Mereka kini saling berhadapan, Edgar mengernyitkan dahi melihat air muka Dave yang terlihat kurang tidur. Tidak aneh sebenarnya, ini pasti karena kejadian kemarin. Keadaan Alexa ataupun Dave sama-sama terlihat me
“ALEXA!” suara Elena yang berteriak membuat Alexa dan Dave saling tatap. “Kita ke dalam,” ujar Alexa diangguki Dave. Mereka berdua menghampiri Elena dan Edgar di ruang tengah. Beberapa koran berserakan di atas meja. Alexa mengambil duduk di sebelah Elena kemudian bertanya mengenai teriakan Elena tadi, “Ada apa?” “Lihat ini!” Elena memperlihatkan salah satu berita di koran pada Alexa. Perempuan berambut pirang yang duduk di sebelah Alexa ini melebarkan senyumannya. “Ternyata di pusat perbelanjaan Victorious ada satu toko yang menjual berbagai aksesoris wanita dari seluruh dunia. Aku sudah beberapa kali pergi ke pusat perbelanjaan itu tapi aku tidak pernah tahu ada hal seperti itu,” sambungnya dengan raut wajah berubah cemberut. Elena ini sangat fanatik dengan hal berbau fashion, make-up, aksesoris dan hal lainnya yang berhubungan dengan wanita. Alexa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya, “Elena, aku pikir kamu berteriak tadi k
Alexa mengendarai mobilnya keluar dari basemen apartemen. Hari ini, ia akan ke Andover menjenguk papanya di kantor polisi Hampshire. Ia harus memastikan kondisi Alan baik-baik saja. Perempuan berusia 22 tahun itu memfokuskan pandangannya ke depan, Alexa mengendarai mobilnya hati-hati karena jalanan hari ini lumayan licin akibat salju yang turun semalam. Matanya melirik panggilan telepon di head unit mobil yang sudah tersambung dengan ponsel pintarnya. Ia menjawab panggilan dari Elena tanpa mengalihkan pandangannya yang menatap ke depan. “Ada apa, Elena?” tanya Alexa setelah panggilan tersambung. “Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin mengajakmu ke kafe biasa. Mau, kan?” sahut Elena suaranya terdengar memelas. “Tentu. Tapi, setelah aku menjenguk papa,” jawab Alexa menyetujui. “Ah, kamu sedang menjenguk paman Alan?” Kali ini nada suara Elena terdengar merasa bersalah. Mungkin Elena berpikir kalau dirinya telah mengganggu Alexa yang tengah berbincan
“Willy?” panggil Alexa. Pemuda jangkung bernama lengkap Willy Anderson itu menoleh kemudian berdiri tegap. Ia tersenyum memesona dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana jeans. Pemuda dengan lensa mata biru itu menatap lekat Alexa yang berhenti di hadapannya. “Alexa ... ” ucapannya menggantung, kedua tangannya yang hangat menangkup pipi Alexa secara tiba-tiba. “Kamu sakit?” Alexa menjauhkan tangan Willy dari pipinya. Ia kurang nyaman dengan tindakan yang dilakukan Willy barusan. Alexa tersenyum kaku kemudian membalas ucapan Willy, “Aku baik-baik saja.” “Ada keperluan apa kamu ke apartemenku?” tanya Alexa. “Papa ingin bertemu denganmu, Alexa,” imbuh Willy tatapan matanya tidak beralih sedetik pun dari Alexa. “Mengapa tidak menelepon saja? Jadi, kamu tidak perlu repot ke sini.” Alexa sudah salah bertanya, karena setelah ini Willy pasti memberikan jawaban yang membuatnya semakin tidak nyaman. “Tidak masalah. Memangnya salah
“Kamu ingat kejadian tahun lalu?”Mata Alexa menatap Mike dengan harapan anak laki-laki itu tahu sesuatu. Uraian kejadian tahun lalu mungkin terjadi di hadapan Mike dan Mary. Alexa percaya kalau anak kecil memiliki daya ingat yang kuat, mereka bisa menangkap memori yang mereka alami.Beberapa saat kemudian Mike menganggukkan kepala, “Aku ingat.”Napas Alexa yang terasa tercekat karena menunggu jawaban anak laki-laki di hadapannya kini berangsur lega. Ia meminta Mike menceritakan sesuatu yang terjadi di musim dingin tahun lalu.“Apakah kamu bisa menceritakannya?” tanya Alexa.Mike kembali mengangguk, “Waktu itu, aku dan Mary ada di sana.” Jari telunjuk Mike menunjuk ke arah bangku panjang yang berada di depan Moore’s Boutique.“Paman pemilik toko roti—”Alexa menghentikan ucapan Mike, “Kamu bisa memanggilnya paman Alan.”“Baiklah,” sa
Alexa memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah, seperti permintaan Alan agar Alexa mengunjungi rumah sesekali. Jadi, di sinilah ia sekarang, tengah membuka pintu utama menggunakan kunci yang ia punya. Hawa dingin menyerbunya saat pintu terbuka. Alexa mendekati tungku perapian untuk menyalakan kembali api yang sempat ia padamkan sebelum pergi dari rumah.Ia memakai sarung tangan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Selanjutnya, Alexa membersihkan abu yang berada di tungku perapian sebelum meletakan kayu bakar di sana. Api mulai merambat pada kayu yang diletakkan menyilang. Alexa memastikan kobaran api ditungku tidak terlalu besar setelah itu menyimpan kembali sarung tangan yang telah ia lepaskan.Alexa memandang pigura besar berisi potret Alan, Xania dan dirinya. Ia sangat bersyukur lahir di keluarga dengan orang tua yang menyayanginya begitu tulus. Mereka merawat Alexa penuh kasih sayang, mengajarkan Alexa tentang dunia. Seketika Alexa merasa merindukan kebersa
“Kalau begitu, aku akan mengunjungi apartemenmu setiap hari.” Mata Alexa melebar mendengar perkataan yang dilontarkan Willy. Pemuda dengan gaya rambut spike itu melebarkan senyuman di wajah hingga terlihat deretan gigi putihnya. Satu pertanyaan yang muncul di pikiran Alexa, apakah Willy tidak memiliki kegiatan lain selain mengurusi hidup Alexa? “Tidak per—” ucapan Alexa terpotong oleh Grace yang tiba-tiba berbicara. “Ya, itu bagus, Alexa,” ujar Grace menghadap Alexa sepenuhnya. “Willy akan memastikan kamu aman setiap harinya.” Grace tertawa cekikikan, Alexa membalasnya dengan suara tawa yang terdengar dipaksakan. Ia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal dan bergumam dalam hati. Sebenarnya ada apa dengan keluarga ini, mengapa mereka begitu overprotective terhadap dirinya? “Alexa, karena kamu ada di sini, Tante ingin mengajakmu melihat taman hias yang Tante rawat. Kamu mau, kan, Sayang?” tanya Grace. “Ah, tentu saja aku mau, Tante.” Alex
FLASHBACK ON Alan memeluk Xania begitu erat, ia tidak bisa berhenti menangis. Senyuman Xania tadi pagi teringat di benaknya. Alan tidak pernah menyangka kalau itu menjadi senyuman terakhir wanita yang dicintainya. Bahunya bergetar, sesuatu seperti mengimpit dadanya, terasa begitu sesak. Siapa yang tega melakukan hal sekejam ini pada istrinya. Xania bukanlah orang yang senang mencari musuh, justru ia lebih sering mengalah untuk menghindari pertengkaran. Suara rintihan kesakitan beberapa saat lalu masih terekam jelas di indra pendengarannya. Jika menukar nyawa itu bisa, Alan akan menukar nyawanya dengan Xania. Ia yang akan menanggung semua rasa sakit istrinya. Alan menatap wajah Xania, terlihat menenangkan. Xania terlihat sedang tertidur dan Alan harap Xania hanya tertidur. Alan ingin bangun, ia ingin bangun dari mimpi buruk ini. “Di sini!” seorang petugas polisi berteriak memberitahu pada anggota yang lain keberadaan orang yang mereka cari. Ala
“Willy?” panggil Alexa. Pemuda jangkung bernama lengkap Willy Anderson itu menoleh kemudian berdiri tegap. Ia tersenyum memesona dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana jeans. Pemuda dengan lensa mata biru itu menatap lekat Alexa yang berhenti di hadapannya. “Alexa ... ” ucapannya menggantung, kedua tangannya yang hangat menangkup pipi Alexa secara tiba-tiba. “Kamu sakit?” Alexa menjauhkan tangan Willy dari pipinya. Ia kurang nyaman dengan tindakan yang dilakukan Willy barusan. Alexa tersenyum kaku kemudian membalas ucapan Willy, “Aku baik-baik saja.” “Ada keperluan apa kamu ke apartemenku?” tanya Alexa. “Papa ingin bertemu denganmu, Alexa,” imbuh Willy tatapan matanya tidak beralih sedetik pun dari Alexa. “Mengapa tidak menelepon saja? Jadi, kamu tidak perlu repot ke sini.” Alexa sudah salah bertanya, karena setelah ini Willy pasti memberikan jawaban yang membuatnya semakin tidak nyaman. “Tidak masalah. Memangnya salah
Alexa mengendarai mobilnya keluar dari basemen apartemen. Hari ini, ia akan ke Andover menjenguk papanya di kantor polisi Hampshire. Ia harus memastikan kondisi Alan baik-baik saja. Perempuan berusia 22 tahun itu memfokuskan pandangannya ke depan, Alexa mengendarai mobilnya hati-hati karena jalanan hari ini lumayan licin akibat salju yang turun semalam. Matanya melirik panggilan telepon di head unit mobil yang sudah tersambung dengan ponsel pintarnya. Ia menjawab panggilan dari Elena tanpa mengalihkan pandangannya yang menatap ke depan. “Ada apa, Elena?” tanya Alexa setelah panggilan tersambung. “Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin mengajakmu ke kafe biasa. Mau, kan?” sahut Elena suaranya terdengar memelas. “Tentu. Tapi, setelah aku menjenguk papa,” jawab Alexa menyetujui. “Ah, kamu sedang menjenguk paman Alan?” Kali ini nada suara Elena terdengar merasa bersalah. Mungkin Elena berpikir kalau dirinya telah mengganggu Alexa yang tengah berbincan
“ALEXA!” suara Elena yang berteriak membuat Alexa dan Dave saling tatap. “Kita ke dalam,” ujar Alexa diangguki Dave. Mereka berdua menghampiri Elena dan Edgar di ruang tengah. Beberapa koran berserakan di atas meja. Alexa mengambil duduk di sebelah Elena kemudian bertanya mengenai teriakan Elena tadi, “Ada apa?” “Lihat ini!” Elena memperlihatkan salah satu berita di koran pada Alexa. Perempuan berambut pirang yang duduk di sebelah Alexa ini melebarkan senyumannya. “Ternyata di pusat perbelanjaan Victorious ada satu toko yang menjual berbagai aksesoris wanita dari seluruh dunia. Aku sudah beberapa kali pergi ke pusat perbelanjaan itu tapi aku tidak pernah tahu ada hal seperti itu,” sambungnya dengan raut wajah berubah cemberut. Elena ini sangat fanatik dengan hal berbau fashion, make-up, aksesoris dan hal lainnya yang berhubungan dengan wanita. Alexa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya, “Elena, aku pikir kamu berteriak tadi k
Pagi ini, suhu di kota London menunjukkan angka tujuh derajat celcius. Seorang pemuda yang baru saja keluar dari mobilnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel agar lebih hangat. Sebuah tas hitam tersampir di kedua bahunya yang lebar. Langkah kakinya tiba-tiba berhenti saat melihat mobil yang ia kenali terparkir di basemen apartemen. Mendekati mobil tersebut lalu mengetuk kaca mobil sebelah kiri. “Edgar?” gumam pemuda pemilik mobil yang terduduk di kursi kemudi. Ia menurunkan jendela mobil, menampakkan wajah pada Edgar yang berdiri di luar mobilnya. “Dave, sedang apa kamu di sini?” tanya Edgar pada pemuda seusianya. “Sorry, maksudku, mengapa di sini dan tidak ke unit Alexa?” Edgar mundur beberapa langkah karena Dave akan keluar dari mobil. Mereka kini saling berhadapan, Edgar mengernyitkan dahi melihat air muka Dave yang terlihat kurang tidur. Tidak aneh sebenarnya, ini pasti karena kejadian kemarin. Keadaan Alexa ataupun Dave sama-sama terlihat me
FLASHBACK ON Alan tersenyum, “Papa juga bangga padamu, Sayang.” “Sudah dulu ya, Pa, oma memanggilku. Oma ingin aku menemaninya minum teh,” tutur Alexa. “Baiklah, sampaikan salam Papa pada oma. Katakan padanya jangan terlalu banyak menambahkan gula ke dalam teh,” sahut Alan. “Aku akan menyampaikan pesanmu padanya, Tuan Smith,” canda Alexa dengan memanggil nama Alan dengan formal. Alan mengakhiri panggilan teleponnya dengan Alexa. Ia berencana mengunjungi wanita yang telah melahirkannya besok, Alan juga akan mengajak Xania untuk ikut bersamanya. Ibunya, Xania dan Alexa entah mengapa sangat cocok jika disatukan, mereka seperti teman seumuran yang membicarakan banyak hal saat bertemu. Tetapi hal itulah yang membuatnya bahagia. Suasana hangat dan tenang di toko rotinya membuat Alan teringat pada kedua anak yang baru ia temui beberapa saat lalu. Mike dan Mary, mereka berdua tengah melahap roti pemberiannya. Mereka ter