Alexa mengusap air matanya kemudian menatap bangunan bergaya klasik victorian yang menjadi tempat tinggal paling nyaman di hidupnya. Ia melangkah masuk untuk mematikan seluruh lampu di setiap ruangan, mematikan tungku perapian juga, entah sampai kapan rumah ini akan merasakan dingin.
Setelah itu, Alexa pergi menuju toko roti yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Tulisan Smith's Bakery yang tertera di jendela bangunan dilihatnya sekilas sebelum memasuki toko roti. Alexa mendekati lemari kayu yang berada di pojok ruangan lalu membukanya. Masih ada beberapa syal yang terlipat rapi di dalam lemari, Alexa mengambilnya satu. Air matanya kembali luruh, bukan karena perihal Alan melainkan rasa rindunya pada sang mama. Ia telah ditinggalkan oleh Xania untuk selamanya, kabar duka itu datang saat Alexa tengah berkunjung ke kota lain untuk menjenguk omanya. Setelah kematian Xania, satu bulan kemudian omanya juga menyusul.
Alexa tersenyum getir, pada akhirnya ia hanya dapat bergantung pada dirinya sendiri. Bahunya bergetar, ia menangis terisak. Selama ini Alexa sanggup menahan semuanya karena ada sosok Alan sebagai penghambat kesedihannya. Tanpa ia sadari tangannya terkepal kuat, Alexa bergegas pergi. Ia harus menemui keluarga Edwards karena dirinya memiliki dugaan besar kalau merekalah yang telah menuntut papanya.
Mobil Alexa diberhentikan di depan gerbang mansion keluarga Edwards oleh salah satu dari dua penjaga yang Alexa lihat saat pertemuan keluarga kemarin.
“Ada keperluan apa Nona kemari?” tanya penjaga yang menghampiri mobilnya.
“Saya mau menemui keluarga Edwards,” jawab Alexa memberitahu maksud dari tujuannya.
“Apakah sudah memiliki janji sebelumnya?” tanyanya lagi.
Alexa menghembuskan napas kasar, “Beritahu Dave, kalau saya Alexa Smith datang untuk menemuinya,” ucap Alexa tegas, ia tidak ingin penjaga yang berdiri di dekat pintu mobilnya ini banyak bertanya.
“Baik, tunggu sebentar, Nona.”
Penjaga tadi terlihat berbicara dengan penjaga yang satunya. Salah satu dari mereka berkomunikasi menggunakan earpeace. Beberapa menit kemudian gerbang terbuka, kedua penjaga tersebut memberi kode pada Alexa kalau ia dipersilakan untuk masuk.
Alexa menghentikan mobilnya tepat di depan bangunan megah nan mewah yang baru saja ia kunjungi kemarin. Ia dapat melihat Dave yang berdiri di luar pintu masuk. Tatapannya terlihat marah dan kecewa.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Dave datar saat Alexa telah berhenti di hadapannya.
“Keluargamu yang telah menuntut papaku, kan?!” Alexa bertanya dengan nada tinggi tidak peduli kalau suaranya dapat menarik perhatian penjaga di sekitarnya. “Dave, papaku tidak membunuh orang tuamu.”
“Maksud kamu apa, Alexa?” tanya Dave.
“Maksudku? Ck, oma atau pamanmu pasti telah menuntut papaku! Aku tegaskan kalau papaku tidak bersalah dan akan aku buktikan!” kilatan matanya penuh tekad, Alexa yakin kalau Alan tidak bersalah dan ia akan membuktikan bagaimanapun caranya.
Dave menatap Alexa dengan tatapan yang sulit diartikan. Untuk beberapa saat tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Dave membuat Alexa geram. Saat Dave bersuara dan mengatakan sesuatu, mata Alexa membulat tidak percaya.
“Keluargaku tidak pernah menuntut papamu,” ungkap Dave.
Bahu Alexa melemas, kalau bukan keluarga Dave lalu siapa? Otak Alexa bekerja lebih keras memikirkan seseorang yang memungkinkan sebagai penuntut papanya. Namun nihil, karena divideo itu sudah jelas kalau orang tua Dave yang menjadi korban. Keluarga Edwards-lah yang berpeluang besar untuk menuntut Alan.
“Tidak mungkin, itu pasti kalian, kan?!” Alexa mencengkeram lengan Dave kuat. Ia merasa frustrasi sekarang, papanya ditahan dan ia tidak tahu siapa orang yang melaporkannya.
“Alexa!” Kepalanya refleks menengok Martha yang baru memanggilnya.
Martha melangkah mendekati Alexa lalu melepaskan tangan Alexa yang mencengkeram lengan Dave secara paksa. Martha menatap Alexa sama seperti Dave menatapnya pertama kali untuk hari ini. Penuh amarah dan kecewa.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu mau melukai Dave seperti papamu yang telah menghilangkan nyawa Dean dan Vega?!” bentak Martha. Sebuah perubahan drastis yang tidak pernah diduga sebelumnya. Martha yang terlihat hangat kemarin kini berubah dingin.
Alexa menggelengkan kepala lalu berkata, “Itu bukan papa, Oma. Alexa yakin.”
“Percuma, mau seyakin apa pun kamu, Alan tetap bersalah dan dia harus dihukum!” tegasnya.
“Oma yang telah menuntut papa?” tanya Alexa datar.
Martha menautkan alisnya samar. Ia mencerna maksud dari perkataan Alexa, “Jadi, papamu sudah dituntut?”
“Baguslah kalau begitu. Saya tidak tahu siapa yang menuntut, tapi saya sangat berterima kasih padanya,” ucap Martha melanjutkan kalimat yang tertunda.
Alexa bergeming, jadi Martha bukan yang menuntut papa dan Martha pun baru tahu hal ini. Apa yang harus ia lakukan jika sekarang saja ia tidak tahu siapa orang yang sebenarnya melaporkan Alan atas kejadian satu tahun lalu?
“Silakan pergi, sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi,” Martha membalikkan badan untuk melangkah masuk.
Kedua tangannya terkepal, Alexa tidak bisa menahannya lagi. Maka dari itu, Alexa mengatakan sesuatu yang membuat Martha, Dave dan beberapa penjaga di sini terkejut. Alexa berucap dengan intonasi tinggi, “Keluarga kalian juga pembunuh!”
Matanya kembali berkaca-kaca dan sebisa mungkin Alexa menahannya agar tidak mengalir bebas di pipinya. Ia tidak boleh lemah karena saat ini keluarga satu-satunya yang ia miliki hanya sang papa. Tatapannya menatap tajam pada Martha yang kembali berbalik dan berdiri di hadapannya.
“Jaga ucapanmu!” Martha memperingati Alexa untuk tidak asal berucap.
“Mengapa? Kalian takut dihukum? Takut dituntut seperti papaku?” tanya Alexa tersenyum menyeramkan.
“Alexa, berhenti omong kosong, kamu mau menjatuhkan keluargaku?!” Dave bersuara tegas. Beberapa saat kemudian ia melanjutkan ucapannya, “Sudah sepantasnya yang bersalah itu dihukum!”
Alexa berdecak, “‘Sudah sepantasnya' kamu bilang, Dave? Tinggal papaku satu-satunya keluarga yang aku punya! Sekarang dia dituntut menjadi tersangka pembunuhan hanya karena video yang tidak jelas asal usulnya!”
Ia menghapus kasar air mata yang berhasil lolos dari pelupuk matanya. Perkataan Dave benar-benar menyakitinya. Jelas, ini bukan Dave yang Alexa kenal. Karena video yang tidak jelas asalnya dari mana membuat hidup Alexa menjadi pelik.
“Kalau memang sudah sepantasnya yang bersalah itu dihukum, seharusnya keluargamu juga, Dave! Karena orang tuamu telah membunuh mamaku!” Alexa sudah hilang kendali, sesuatu yang seharusnya ia sembunyikan kini ia beberkan.
Ucapannya barusan membuat Martha dan Dave terkejut. Mereka diam untuk beberapa saat. Sampai Martha yang pertama sadar dari keterkejutannya melontarkan perkataan yang membuat Alexa tertawa sumbang.
“Dean dan Vega tidak mungkin melakukan itu!” bentak Martha membantah persepsi Alexa.
“Mengapa Oma sangat yakin kalau mereka tidak membunuh mamaku, Xania?” tanya Alexa mengangkat sebelah alisnya.
“Karena saya mengenal Dean dan Vega, saya tahu mereka itu seperti apa,” tutur Martha penuh penekanan di setiap ucapannya.
“Ya! Itu yang Alexa rasakan sekarang. Hanya Alexa yang mengenal dan tahu seperti apa papa, hanya Alexa yang yakin kalau papa tidak bersalah dan tidak membunuh orang tua Dave. Lalu, Oma dengan mudahnya berkata kalau papa tetap bersalah dan harus dihukum?!” Alexa menggertakkan giginya.
Definisi manusia yang mudah berkata, namun sulit memahami kondisi lawannya. Martha tidak memahami perasaan Alexa karena Martha tidak mengalami apa yang tengah Alexa hadapi. Sekarang Martha sendiri merasakan seperti apa rasanya jika anaknya menjadi pembunuh, orang yang menurutnya paling dikenal.
“Dean dan Vega tidak mungkin melakukan hal itu. Kamu jangan asal bicara saat kamu sendiri tidak memiliki bukti yang menunjukkan kalau anak saya telah membunuh mamamu!” ujar Martha menahan amarahnya.
“Bukti? Apakah keluarga Edwards siap jika buktinya diserahkan ke pihak berwajib? Mungkin nasib kalian akan sama seperti papa.” Alexa membalas ucapan Martha. Ini hanya sebagai pelampiasan amarahnya pada keluarga Edwards karena sudah memandang Alan sebelah mata. Bukti? Bukti apa? Nyatanya Alexa tidak memiliki bukti apa pun selain ucapan Alan saat itu.
Martha menatap Alexa nyalang. Ia menyuruh beberapa penjaga untuk membawa Alexa pergi, “Bawa dia pergi dari sini!”
“Saya tidak akan pernah merestui hubungan Dave dengan kamu!” tegas Martha.
•To Be Continued•
Alexa kembali ke apartemen dengan keadaan yang memprihatinkan. Tubuhnya terlihat lemas karena seharian ini ia belum sempat makan sesuatu. Alexa terduduk di sofa memandangi foto dirinya dan kedua orang tuanya yang menggantung di dinding. Kepalanya mendadak berat mengingat kejadian hari ini belum lagi matanya yang sembap karena banyak menangis. Suara bel apartemen terdengar memecah suasana hening di ruang tamunya. Alexa bangkit untuk membukakan pintu setelah sebelumnya melihat siapa tamu yang datang melalui monitor. Sahabatnya, Elena White dan pacarnya, Edgar Wilson datang menemui Alexa. Ia mempersilakan keduanya masuk. “Alexa, what happened? (Alexa, apa yang terjadi?)” tanya Elena yang menyadari raut wajah sahabatnya ini. “You don't look fine. (Kamu tidak terlihat baik-baik saja)” Edgar yang mendengar perkataan kekasihnya langsung memandang Alexa yang terduduk di sebelah Elena. Edgar juga mendadak penasaran dengan apa yang terjadi pada Alexa. Ia da
Dua jam yang lalu. Rumah dua lantai bergaya Eropa klasik berdiri kokoh di halaman yang luas. Fasad batu alam menjadi material utama untuk mempercantik tampilan bangunan. Di atap sebelah kiri terdapat cerobong asap yang mengeluarkan asap sisa pembakaran kayu di perapian. Walau hanya dua lantai desain rumah ini terlihat tampak megah karena memiliki langit-langit atap yang tinggi dan jendela-jendela besar dengan jenis double-hung yang berguna sebagai sirkulasi udara dan cahaya. Seorang pemuda memarkirkan mobilnya tepat di pekarangan rumah. Dirinya berjalan tergesa-gesa menuju pintu utama. Di samping tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua terdapat pintu kayu yang menjadi tujuannya. Pemuda itu adalah Edgar yang sekarang tengah sibuk menggerakkan knop pintu untuk membukanya, namun tidak membuahkan hasil, pintunya terkunci. Edgar menggaruk tengkuknya melihat sebuah wadah anyaman yang berisi kunci-kunci di atas meja samping pintu. Entah ada berapa ku
FLASHBACK ON Alan tersenyum, “Papa juga bangga padamu, Sayang.” “Sudah dulu ya, Pa, oma memanggilku. Oma ingin aku menemaninya minum teh,” tutur Alexa. “Baiklah, sampaikan salam Papa pada oma. Katakan padanya jangan terlalu banyak menambahkan gula ke dalam teh,” sahut Alan. “Aku akan menyampaikan pesanmu padanya, Tuan Smith,” canda Alexa dengan memanggil nama Alan dengan formal. Alan mengakhiri panggilan teleponnya dengan Alexa. Ia berencana mengunjungi wanita yang telah melahirkannya besok, Alan juga akan mengajak Xania untuk ikut bersamanya. Ibunya, Xania dan Alexa entah mengapa sangat cocok jika disatukan, mereka seperti teman seumuran yang membicarakan banyak hal saat bertemu. Tetapi hal itulah yang membuatnya bahagia. Suasana hangat dan tenang di toko rotinya membuat Alan teringat pada kedua anak yang baru ia temui beberapa saat lalu. Mike dan Mary, mereka berdua tengah melahap roti pemberiannya. Mereka ter
Pagi ini, suhu di kota London menunjukkan angka tujuh derajat celcius. Seorang pemuda yang baru saja keluar dari mobilnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel agar lebih hangat. Sebuah tas hitam tersampir di kedua bahunya yang lebar. Langkah kakinya tiba-tiba berhenti saat melihat mobil yang ia kenali terparkir di basemen apartemen. Mendekati mobil tersebut lalu mengetuk kaca mobil sebelah kiri. “Edgar?” gumam pemuda pemilik mobil yang terduduk di kursi kemudi. Ia menurunkan jendela mobil, menampakkan wajah pada Edgar yang berdiri di luar mobilnya. “Dave, sedang apa kamu di sini?” tanya Edgar pada pemuda seusianya. “Sorry, maksudku, mengapa di sini dan tidak ke unit Alexa?” Edgar mundur beberapa langkah karena Dave akan keluar dari mobil. Mereka kini saling berhadapan, Edgar mengernyitkan dahi melihat air muka Dave yang terlihat kurang tidur. Tidak aneh sebenarnya, ini pasti karena kejadian kemarin. Keadaan Alexa ataupun Dave sama-sama terlihat me
“ALEXA!” suara Elena yang berteriak membuat Alexa dan Dave saling tatap. “Kita ke dalam,” ujar Alexa diangguki Dave. Mereka berdua menghampiri Elena dan Edgar di ruang tengah. Beberapa koran berserakan di atas meja. Alexa mengambil duduk di sebelah Elena kemudian bertanya mengenai teriakan Elena tadi, “Ada apa?” “Lihat ini!” Elena memperlihatkan salah satu berita di koran pada Alexa. Perempuan berambut pirang yang duduk di sebelah Alexa ini melebarkan senyumannya. “Ternyata di pusat perbelanjaan Victorious ada satu toko yang menjual berbagai aksesoris wanita dari seluruh dunia. Aku sudah beberapa kali pergi ke pusat perbelanjaan itu tapi aku tidak pernah tahu ada hal seperti itu,” sambungnya dengan raut wajah berubah cemberut. Elena ini sangat fanatik dengan hal berbau fashion, make-up, aksesoris dan hal lainnya yang berhubungan dengan wanita. Alexa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya, “Elena, aku pikir kamu berteriak tadi k
Alexa mengendarai mobilnya keluar dari basemen apartemen. Hari ini, ia akan ke Andover menjenguk papanya di kantor polisi Hampshire. Ia harus memastikan kondisi Alan baik-baik saja. Perempuan berusia 22 tahun itu memfokuskan pandangannya ke depan, Alexa mengendarai mobilnya hati-hati karena jalanan hari ini lumayan licin akibat salju yang turun semalam. Matanya melirik panggilan telepon di head unit mobil yang sudah tersambung dengan ponsel pintarnya. Ia menjawab panggilan dari Elena tanpa mengalihkan pandangannya yang menatap ke depan. “Ada apa, Elena?” tanya Alexa setelah panggilan tersambung. “Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin mengajakmu ke kafe biasa. Mau, kan?” sahut Elena suaranya terdengar memelas. “Tentu. Tapi, setelah aku menjenguk papa,” jawab Alexa menyetujui. “Ah, kamu sedang menjenguk paman Alan?” Kali ini nada suara Elena terdengar merasa bersalah. Mungkin Elena berpikir kalau dirinya telah mengganggu Alexa yang tengah berbincan
“Willy?” panggil Alexa. Pemuda jangkung bernama lengkap Willy Anderson itu menoleh kemudian berdiri tegap. Ia tersenyum memesona dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana jeans. Pemuda dengan lensa mata biru itu menatap lekat Alexa yang berhenti di hadapannya. “Alexa ... ” ucapannya menggantung, kedua tangannya yang hangat menangkup pipi Alexa secara tiba-tiba. “Kamu sakit?” Alexa menjauhkan tangan Willy dari pipinya. Ia kurang nyaman dengan tindakan yang dilakukan Willy barusan. Alexa tersenyum kaku kemudian membalas ucapan Willy, “Aku baik-baik saja.” “Ada keperluan apa kamu ke apartemenku?” tanya Alexa. “Papa ingin bertemu denganmu, Alexa,” imbuh Willy tatapan matanya tidak beralih sedetik pun dari Alexa. “Mengapa tidak menelepon saja? Jadi, kamu tidak perlu repot ke sini.” Alexa sudah salah bertanya, karena setelah ini Willy pasti memberikan jawaban yang membuatnya semakin tidak nyaman. “Tidak masalah. Memangnya salah
FLASHBACK ON Alan memeluk Xania begitu erat, ia tidak bisa berhenti menangis. Senyuman Xania tadi pagi teringat di benaknya. Alan tidak pernah menyangka kalau itu menjadi senyuman terakhir wanita yang dicintainya. Bahunya bergetar, sesuatu seperti mengimpit dadanya, terasa begitu sesak. Siapa yang tega melakukan hal sekejam ini pada istrinya. Xania bukanlah orang yang senang mencari musuh, justru ia lebih sering mengalah untuk menghindari pertengkaran. Suara rintihan kesakitan beberapa saat lalu masih terekam jelas di indra pendengarannya. Jika menukar nyawa itu bisa, Alan akan menukar nyawanya dengan Xania. Ia yang akan menanggung semua rasa sakit istrinya. Alan menatap wajah Xania, terlihat menenangkan. Xania terlihat sedang tertidur dan Alan harap Xania hanya tertidur. Alan ingin bangun, ia ingin bangun dari mimpi buruk ini. “Di sini!” seorang petugas polisi berteriak memberitahu pada anggota yang lain keberadaan orang yang mereka cari. Ala
“Kamu ingat kejadian tahun lalu?”Mata Alexa menatap Mike dengan harapan anak laki-laki itu tahu sesuatu. Uraian kejadian tahun lalu mungkin terjadi di hadapan Mike dan Mary. Alexa percaya kalau anak kecil memiliki daya ingat yang kuat, mereka bisa menangkap memori yang mereka alami.Beberapa saat kemudian Mike menganggukkan kepala, “Aku ingat.”Napas Alexa yang terasa tercekat karena menunggu jawaban anak laki-laki di hadapannya kini berangsur lega. Ia meminta Mike menceritakan sesuatu yang terjadi di musim dingin tahun lalu.“Apakah kamu bisa menceritakannya?” tanya Alexa.Mike kembali mengangguk, “Waktu itu, aku dan Mary ada di sana.” Jari telunjuk Mike menunjuk ke arah bangku panjang yang berada di depan Moore’s Boutique.“Paman pemilik toko roti—”Alexa menghentikan ucapan Mike, “Kamu bisa memanggilnya paman Alan.”“Baiklah,” sa
Alexa memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah, seperti permintaan Alan agar Alexa mengunjungi rumah sesekali. Jadi, di sinilah ia sekarang, tengah membuka pintu utama menggunakan kunci yang ia punya. Hawa dingin menyerbunya saat pintu terbuka. Alexa mendekati tungku perapian untuk menyalakan kembali api yang sempat ia padamkan sebelum pergi dari rumah.Ia memakai sarung tangan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Selanjutnya, Alexa membersihkan abu yang berada di tungku perapian sebelum meletakan kayu bakar di sana. Api mulai merambat pada kayu yang diletakkan menyilang. Alexa memastikan kobaran api ditungku tidak terlalu besar setelah itu menyimpan kembali sarung tangan yang telah ia lepaskan.Alexa memandang pigura besar berisi potret Alan, Xania dan dirinya. Ia sangat bersyukur lahir di keluarga dengan orang tua yang menyayanginya begitu tulus. Mereka merawat Alexa penuh kasih sayang, mengajarkan Alexa tentang dunia. Seketika Alexa merasa merindukan kebersa
“Kalau begitu, aku akan mengunjungi apartemenmu setiap hari.” Mata Alexa melebar mendengar perkataan yang dilontarkan Willy. Pemuda dengan gaya rambut spike itu melebarkan senyuman di wajah hingga terlihat deretan gigi putihnya. Satu pertanyaan yang muncul di pikiran Alexa, apakah Willy tidak memiliki kegiatan lain selain mengurusi hidup Alexa? “Tidak per—” ucapan Alexa terpotong oleh Grace yang tiba-tiba berbicara. “Ya, itu bagus, Alexa,” ujar Grace menghadap Alexa sepenuhnya. “Willy akan memastikan kamu aman setiap harinya.” Grace tertawa cekikikan, Alexa membalasnya dengan suara tawa yang terdengar dipaksakan. Ia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal dan bergumam dalam hati. Sebenarnya ada apa dengan keluarga ini, mengapa mereka begitu overprotective terhadap dirinya? “Alexa, karena kamu ada di sini, Tante ingin mengajakmu melihat taman hias yang Tante rawat. Kamu mau, kan, Sayang?” tanya Grace. “Ah, tentu saja aku mau, Tante.” Alex
FLASHBACK ON Alan memeluk Xania begitu erat, ia tidak bisa berhenti menangis. Senyuman Xania tadi pagi teringat di benaknya. Alan tidak pernah menyangka kalau itu menjadi senyuman terakhir wanita yang dicintainya. Bahunya bergetar, sesuatu seperti mengimpit dadanya, terasa begitu sesak. Siapa yang tega melakukan hal sekejam ini pada istrinya. Xania bukanlah orang yang senang mencari musuh, justru ia lebih sering mengalah untuk menghindari pertengkaran. Suara rintihan kesakitan beberapa saat lalu masih terekam jelas di indra pendengarannya. Jika menukar nyawa itu bisa, Alan akan menukar nyawanya dengan Xania. Ia yang akan menanggung semua rasa sakit istrinya. Alan menatap wajah Xania, terlihat menenangkan. Xania terlihat sedang tertidur dan Alan harap Xania hanya tertidur. Alan ingin bangun, ia ingin bangun dari mimpi buruk ini. “Di sini!” seorang petugas polisi berteriak memberitahu pada anggota yang lain keberadaan orang yang mereka cari. Ala
“Willy?” panggil Alexa. Pemuda jangkung bernama lengkap Willy Anderson itu menoleh kemudian berdiri tegap. Ia tersenyum memesona dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana jeans. Pemuda dengan lensa mata biru itu menatap lekat Alexa yang berhenti di hadapannya. “Alexa ... ” ucapannya menggantung, kedua tangannya yang hangat menangkup pipi Alexa secara tiba-tiba. “Kamu sakit?” Alexa menjauhkan tangan Willy dari pipinya. Ia kurang nyaman dengan tindakan yang dilakukan Willy barusan. Alexa tersenyum kaku kemudian membalas ucapan Willy, “Aku baik-baik saja.” “Ada keperluan apa kamu ke apartemenku?” tanya Alexa. “Papa ingin bertemu denganmu, Alexa,” imbuh Willy tatapan matanya tidak beralih sedetik pun dari Alexa. “Mengapa tidak menelepon saja? Jadi, kamu tidak perlu repot ke sini.” Alexa sudah salah bertanya, karena setelah ini Willy pasti memberikan jawaban yang membuatnya semakin tidak nyaman. “Tidak masalah. Memangnya salah
Alexa mengendarai mobilnya keluar dari basemen apartemen. Hari ini, ia akan ke Andover menjenguk papanya di kantor polisi Hampshire. Ia harus memastikan kondisi Alan baik-baik saja. Perempuan berusia 22 tahun itu memfokuskan pandangannya ke depan, Alexa mengendarai mobilnya hati-hati karena jalanan hari ini lumayan licin akibat salju yang turun semalam. Matanya melirik panggilan telepon di head unit mobil yang sudah tersambung dengan ponsel pintarnya. Ia menjawab panggilan dari Elena tanpa mengalihkan pandangannya yang menatap ke depan. “Ada apa, Elena?” tanya Alexa setelah panggilan tersambung. “Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin mengajakmu ke kafe biasa. Mau, kan?” sahut Elena suaranya terdengar memelas. “Tentu. Tapi, setelah aku menjenguk papa,” jawab Alexa menyetujui. “Ah, kamu sedang menjenguk paman Alan?” Kali ini nada suara Elena terdengar merasa bersalah. Mungkin Elena berpikir kalau dirinya telah mengganggu Alexa yang tengah berbincan
“ALEXA!” suara Elena yang berteriak membuat Alexa dan Dave saling tatap. “Kita ke dalam,” ujar Alexa diangguki Dave. Mereka berdua menghampiri Elena dan Edgar di ruang tengah. Beberapa koran berserakan di atas meja. Alexa mengambil duduk di sebelah Elena kemudian bertanya mengenai teriakan Elena tadi, “Ada apa?” “Lihat ini!” Elena memperlihatkan salah satu berita di koran pada Alexa. Perempuan berambut pirang yang duduk di sebelah Alexa ini melebarkan senyumannya. “Ternyata di pusat perbelanjaan Victorious ada satu toko yang menjual berbagai aksesoris wanita dari seluruh dunia. Aku sudah beberapa kali pergi ke pusat perbelanjaan itu tapi aku tidak pernah tahu ada hal seperti itu,” sambungnya dengan raut wajah berubah cemberut. Elena ini sangat fanatik dengan hal berbau fashion, make-up, aksesoris dan hal lainnya yang berhubungan dengan wanita. Alexa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya, “Elena, aku pikir kamu berteriak tadi k
Pagi ini, suhu di kota London menunjukkan angka tujuh derajat celcius. Seorang pemuda yang baru saja keluar dari mobilnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel agar lebih hangat. Sebuah tas hitam tersampir di kedua bahunya yang lebar. Langkah kakinya tiba-tiba berhenti saat melihat mobil yang ia kenali terparkir di basemen apartemen. Mendekati mobil tersebut lalu mengetuk kaca mobil sebelah kiri. “Edgar?” gumam pemuda pemilik mobil yang terduduk di kursi kemudi. Ia menurunkan jendela mobil, menampakkan wajah pada Edgar yang berdiri di luar mobilnya. “Dave, sedang apa kamu di sini?” tanya Edgar pada pemuda seusianya. “Sorry, maksudku, mengapa di sini dan tidak ke unit Alexa?” Edgar mundur beberapa langkah karena Dave akan keluar dari mobil. Mereka kini saling berhadapan, Edgar mengernyitkan dahi melihat air muka Dave yang terlihat kurang tidur. Tidak aneh sebenarnya, ini pasti karena kejadian kemarin. Keadaan Alexa ataupun Dave sama-sama terlihat me
FLASHBACK ON Alan tersenyum, “Papa juga bangga padamu, Sayang.” “Sudah dulu ya, Pa, oma memanggilku. Oma ingin aku menemaninya minum teh,” tutur Alexa. “Baiklah, sampaikan salam Papa pada oma. Katakan padanya jangan terlalu banyak menambahkan gula ke dalam teh,” sahut Alan. “Aku akan menyampaikan pesanmu padanya, Tuan Smith,” canda Alexa dengan memanggil nama Alan dengan formal. Alan mengakhiri panggilan teleponnya dengan Alexa. Ia berencana mengunjungi wanita yang telah melahirkannya besok, Alan juga akan mengajak Xania untuk ikut bersamanya. Ibunya, Xania dan Alexa entah mengapa sangat cocok jika disatukan, mereka seperti teman seumuran yang membicarakan banyak hal saat bertemu. Tetapi hal itulah yang membuatnya bahagia. Suasana hangat dan tenang di toko rotinya membuat Alan teringat pada kedua anak yang baru ia temui beberapa saat lalu. Mike dan Mary, mereka berdua tengah melahap roti pemberiannya. Mereka ter