Sehari magang sudah membuat Gaby pusing. Lalu bagaimana jika dia bekerja 24/5. Sial.. Gaby tidak bisa membayangkannya. Selama ini ia hanya sibuk belajar tanpa peduli mencari uang itu lelahnya seperti apa. Gaby duduk di kursi sembari memandang orang yang sedang meliukkan badannya. Menghembuskan asap dari alat bernama vape itu dengan santai. Ia memejamkan mata sebentar sebelum mendengar suara temannya. “Shit!” Laura baru sampai. “Aku juga lelah bekerja! kenapa Dad begitu tega menyuruhku bekerja seharian penuh! Padahal aku baru magang!” omelnya. Sebenarnya Laura lebih tua dari Gaby. Hanya dua tahun, tidak banyak. Ya karena mereka berada di jurusan yang sama dan sering berada di kelas yang sama. Akhirnya mereka berteman. Apalagi kepribadian mereka yang mirip. “Sekarang mengerti susahnya mencari uang?” tanya Gaby yang menoleh ke samping. Laura berdecak pelan. “Kau juga sama tidak usah menceramahiku..” Gaby tertawa pelan. “Setidaknya aku tidak suka menghabiskan ban
Bugh! Haven menarik kerah leher pria yang mencoba memperkaos Gaby. Kemudian melayangkan pukulannya hingga pria itu tersungkur ke lantai. Haven dudu di lantai dua saat Gaby sedang mabuk dan menari di lantai dansa. Gaby terlalu menarik perhatiannya. Bahkan ia mengikuti perempuan itu saat dibawa paksa oleh seorang pria. “Pergi dari sini sebelum aku memanggil security,” ancaman Haven ternyata berhasil. Pria itu kabur terbirit-birit. Sedangkan Gaby masih di bawah dengan mata tertutup. Bersandar di tembok. “Gabriella,” panggil Haven. Gaby mengernyit sebelum membuka mata. “Apa kau… tuan Haven?” tanya Gaby dengan mata yang sayup-sayup. Namun meskipun matanya buram… ia masih bisa melihat dengan jelas wajah Haven yang berada di hadapannya. Haven terdiam. “Kamu mabuk.” Merogoh ponselnya. Ia akan memanggil taksi untuk mengantar perempuan itu pulang. Haven membantu Gaby berdiri. Namun Gaby tidak ingin berjalan. Perempuan itu malah memandang Haven untuk beberapa detik
“Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku di sini? kenapa aku di rumahmu…” lirih Gaby. Haven bersindekap. “Perlu aku jelaskan dengan detail kejadian tadi malam?” tanyanya santai. Ingatan tentang tadi malam muncul. Sekelebat bayangan saat mereka sedang berciuman dengan gairah. “Tidak. Tidak usah..” Gaby terkekeh pelan. Ia berusaha turun dari ranjang dengan cepat. Namun ternyata selimut itu melilit tubuhnya terlalu kencang hingga membuatnya jatuh tersandung ke lantai. “Akh!” Gaby merasakan pantatnya menyentuh lantai dengan keras. Double kill. Kepalanya pusing sekarang malah pantatnya yang sakit. Haven mendekat dan mengulurkan tangannya. Dengan sedikit malu. Gaby menerima uluran tangan Haven untuk berdiri. “Kamu bisa membersihkan diri sebelum keluar….” menunjuk dengan dagu sebuah kamar mandi. Gaby mendongak menatap lebih jelas Haven yang sudah rapi dengan kemeja putih dan celana hitam. Sedangkan dirinya pasti acak-acakan seperti singa yang baru bangun tidur. Gaby
21++ Dengan tindakan Gaby yang mencium Haven lebih dulu. Perempuan itu sama saja memperjelas hubungan mereka ke arah mana. Kedua tangan Gaby mengalun di leher Haven dan mencium bibir pria itu. Gaby merasa Haven membalas ciumannya. Bahkan pria itu mengangkat tubuhnya dan mendudukkannya di atas meja. Gaby membuka mulutnya—memberikan akses untuk Haven memperdalam ciuman mereka. Saling bertukar saliva. Jemari Haven menyusuri tubuh Gaby yang terbalut dengan dress hitam pendek. “Ahh!” Gaby yang kehabisan nafas dengan ciuman mereka. Akhirnya ia mundur—namun bukannya berhenti. Haven malah beralih ke lehernya. Menghisapnya dan menandai di sana. Gaby meremas kepala Haven. Bulu pria itu mengenai kulit tubuhnya hingga menimbulkan sensasi menggelitik sekaligus menggairahkan. Bibir Haven mengecup dada Gaby yang masih tertutup dengan dress. Namun Gaby menekan kepala Haven agar terus melakukannya. Haven mendogak dan tersenyum miring. Menurunkan dress Gaby bukanlah hal yang
Gaby terdiam kaku saat mamanya memutari dirinya. Tatapan Aluna begitu intens dan menyelidik. “Ternyata mama salah…” Aluna bergumam. “Mama membiarkanmu tinggal sendiri sehingga kamu bebas berkeliaran di luar sana..” “Setiap hari ke klub..” Aluna bersindekap. “Merokok..” “Itu rokok elektrik, Ma!” balas Gaby. “Sama saja!” Aluna membalas dengan menatap tajam anak perempuannya itu. Aluna mendekat. Mengamati Gaby lebih intens. Tanpa diduga oleh Gaby, Aluna menyibak rambutnya. Disanalah Aluna melotot. Banyak sekali kissmark di leher anaknya. Aluna mundur beberapa langkah. Tubuhnya yang ingin mundur lagi di tahan oleh Ethan. “Ma…” Gaby ingin meraih tangan mamanya. Aluna menggeleng. “GABRIELLA MONA WINSTOOOON!!!!” teriak Aluna menggelegar. Bahkan suaranya memenuhi seisi mansions. Gaby maupun Ethan menutup telinganya saat Aluna berteriak dengan keras. “Sabar sayang..” Ethan mengusap bahu Aluna pelan. “Gaby apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu begitu liar di luar sana?” tanya Ethan.
Gaby tidak diperbolehkan kembali ke Apartemen sampai kekasihnya datang ke mansions. Maka satu-satunya cara untuk keluar adalah mendatangkan Haven ke mansion orang tuanya. Setelah memberitahuan Haven tentang kondisinya, akhirnya pria itu mau datang dan membantunya. Haven mau berpura-pura menjadi kekasihnya dan menemui orang tuanya.Haven mengendarai mobilnya sendiri menuju kediaman Ethan Winston. Gabrielle benar-benar membuatnya gila. Kemarin meninggalkannya dalam keadaan bergairah. Sekarang memintanya datang untuk menemui orang tua wanita itu. Sampai juga—gerbang tinggi itu terbuka dengan lebar ketika mobilnya sampai. Akhirnya Haven memberhentikan mobil sportnya di halaman mansion megah milik keluarga Gabriella. Setelah itu ia berjalan masuk—ada beberapa pelayan yang menyambutnya dan mengarahkannya ke ruang tamu. “Sayangkuuuu!” Gaby berlari ke arah Haven. Wanita itu menubrukkan tubuhnya memeluk tubuh Haven. Untungnya tubuh Haven tidak oleng menerima pelukan tiba-tiba. “Plea
Gaby menatap lurus berdiri di balkon kamarnya. Karena hari sudah malam. Aluna dan Ethan menyuruh mereka untuk menginap sehari sebelum besok pagi pulang. Gaby menghisap rokok elektriknya kemudian menghembuskannya ke udara.. “Ah melegakan..” lirihnya sembari memejamkan mata. Hembusan angin mengenai wajahnya. Gaby benar-benar menikmati udara yang berhembus mengenai dirinya. Sampai akhirnya ia membuka mata saat sebuah tangan mengambil vape-nya. “Sudah sejak kapan?” tanya Haven. “Satu tahun.” Gaby hendak meraih kembali vapenya namun Haven mengangkat tangan tinggi-tinggi. Gaby melompat pun tidak akan bisa mengambilnya. Haven tersenyum tipis—segera tangannya memasukkan vape itu ke dalam saku celananya. “Ambil..” Gaby meneguk ludahnya sendiri. bagaimana bisa ia mengambilnya di sana. Bagaimana kalau tangannya malah menyentuh hal lain? Bagaimana siapa yang akan tanggung jawab. Gaby baru saja mengulurkan tangannya. “Berhenti merokok mulai sekarang,” suara Haven mengintr
21++ Memperdalam ciumannya. Haven melumat bibir Gaby. Pria itu mengigit bibir Gaby pelan agar terbuka. Saat terbuka, lidahnya masuk dan membelai bibir Gaby degan mudah. Gaby pasrah—ciuman ini sulit ditolaknya. Lehernya terasa akan patah arena terus mendongak. Untung saja Haven menggendong tubuhnya masuk ke dalam kamar. Mendudukkan tubuhnya di atas meja. Gaby mendongak—membiarkan bibir Haven bergerak melumat bibirnya dengan rakus. Ia mengalunkan kedua tangannya di leher pria itu. Bibirnya tidak kuasa menahan desahannya saat bibir Haven membelai lehernya. Krek! Dress bagian atas yang Gaby gunakan sudah robek di tangan Haven. “Aku bukan orang yang sabar..” Haven menunduk—tangannya sudah menarik lepas pengait bra di belakang. Gaby mengusap kepala Haven saat pria itu menunduk. Haven dengan rakus melumat dada Gaby yang membusung. Menghisapnya dengan rakus berga
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
“Puas membuat kawatir orang tua? Puas bermain-main dengan acara penting?” tanya Gio pada Aiden. Aiden berhenti. pada langkah yang ketiga di tangga. Laki-laki itu berhenti dan menghadap ayahnya. “Bagaimana rasanya?” tanya Aiden sembari tersenyum. “Kalian tidak pernah datang ke acara pentingku. Jadi aku ingin melakukannya juga…” “Bagaimana rasanya?” tanyanya. “Aiden!” Gio memijit keningnya yang terasa pusing. “Kami melakukannya karena ada alasannya.” “Aku juga punya alasan untuk tidak datang ke acara itu.” Aiden memutar tubuhnya. berjalan—sampai Gio memanggilnya lagi. “Acara balapan yang kamu maksud?” tanyanya. “Balapan tidak jelas seperti itu? jika ingin balapan di sirkuit bukan di jalan raya. Kamu membahayakan orang lain. kamu juga membahayakan diri kamu sendiri.” “Aiden kamu jangan melakukan hal seperti ini lagi ya..” Agatha menatap putranya. “Mom dan Dad tidak akan melakukan hal seperti dulu lagi.” “Kalau kamu mau balapan, kamu bisa mengajak kamu ke sir
Di sinilah… Raini pergi ke atap gedung. Sendirian di tengah gelap yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang bersinar dengan terang. Raini membiarkan rambutnya tertiup angin ke sana ke mari. Kedua tangannya bersandar pada dinding pembatas. Tempatnya memang di sini. Jelas dirinya dan Aiden sangat berbeda. Aiden memang lebih cocok dengan perempuan bernama Talia itu. Tadi, Raini melihat mereka dari kejauhan. Talia pasti dari keluarga yang memiliki perusahaan besar juga. Mereka memang cocok. Lantas… Kenapa hatinya sedikit tidak rela ya? Apa mungkin ia tidak rela jika Aiden bersama perempuan lain? Tidak! Sampai kapanpun Raini tidak boleh mendambakan apa yang tidak boleh didambakan. Tempatnya di sini… Menyingkir lalu tidak terlihat oleh siapapun. “Jadi seperti ini ya pemandangan kota dari atas gedung tinggi..” Raini tersenyum pelan. “Maklum orang kampung…” Raini menggeleng pelan. “Ternyata sangat bagus. pantas saja banyak orang kampung yang berbondong-b
Seorang pemuda dengan setelan kemeja dan jas rapi baru saja turun dari mobil. Langkahnya mantap—kemudian disusul oleh perempuan yang berada di belakangnya. Perempuan cantik yang menggunakan dress berwarna putih. Nampak sangat cantik dengan rambut panjang yang digerai… Aiden menyodorkan lengannya. Raini tersenyum manis dan menggandeng tangan Aiden. Tahukah permintaan Aiden? Ya, membawa Raini untuk pergi ke pesta bersamanya. Lantas, Raini harus menuruti permintaan lelaki itu jika ingin lelaki itu hadir di pesta. Raini tidak pernah berhadapan dengan orang segila Aiden. Tapi mari imbangi kegilaan Raini. Bersikap seperti apa kemuan Aiden saja. Raini berjalan dengan hati-hati. di luar ternyata banyak sekali kamera wartawan yang menyorot dirinya. Pasti mereka akan membuat berita dan bertanya-tanya tentang identitasnya. Raini bersumpah… Pasti setelah ini, kehidupan sekolahnya kian rumit. Pasti akan muncul rumor aneh tentan dirinya dan Aiden. Aiden dan Raini b
“Dia di mana?” Agatha berkacak pinggang sembari mondar-mandir. Ia sudah berdandan rapi namun Aiden malah belum pulang… Gio menggenggam tangan Agatha. “Kali ini aku tidak bisa mentolerir perbuatannya..” “Tunggu sebentar. dia pasti pulang.” Agatha mengeluarkan ponselnya.. Melakukan panggilan berkali-kali namun satupun tidak dijawab. “Ayo kita berangkat..” nampak wajah Gio begitu dingin. Hanya berjalan beberapa langkah saja.. “Bagaimana kalau kita menunggu sedikit lebih lama..” Agatha mendongak. “Aku yakin dia akan segera pulang.” Gio menatap jam tangannya. “Kalaupun pulang dia butuh berganti pakaian segala macam. Kita tidak ada waktu sayang.” Agatha akhirnya mengangguk. menyetujui untuk berangkat. Akhirnya dengan berat hati Agatha dan Gio berangkat tanpa anak mereka. Entah, Gio tidak mau tahu keberadaan anaknya. Di sisi lain, Raini yang melihat mereka merasa ini tidak benar. Ia harus mencari Aiden dan membuat laki-laki itu datang ke pesta ulang tahun Winston.
Raini menjadi semakin panik ketika tubuh mereka terasa benar-benar menempel. “Cepat ambil,” lirih Raini. Aiden tersenyum. menunduk dan mendekatkan bibirnya pada telinga kanan perempuan itu. “Cepat ambil, aku tidak akan melihatmu,” ucap Raini. “Lantas kenapa wajahmu memerah seperti itu?” Raini mengerjap karena kesal akhirnya ia berbalik—namun kakinya tidak bisa berpijak dengan benar alhasil… Braak! Raini memejamkan mata—bersiap menerima kerasnya lantai. Tapi yang ia dapatkan adalah pelukan dari tangan seseorang. Raini membuka mata—wajah Aiden yang sudah begitu dekat di hadapannya. Kenapa… Jantungnya berdetak sangat cepat. Juga, suhu tubuhnya yang tiba-tiba memanas sampai membuat pipinya begitu panas seperti terbakar. Raini baru menyadari jika Aiden masih bertelanjang dada… “Bu-bu buahnya jatuh!” Raini melepaskan diri dari Aiden. Buru-buru mengambil buah itu dengan cepat. “Aku tidak makan buah yang sudah jatuh.” Aiden mengamati Raini yang begitu gugup memungut
“Apa aunty tahu kau menggunakan motor ke sekolah?” tanya Raini yang baru memarkirkan sepeda listriknya di halaman mansion. Aiden melepas helmnya. Pertama kalinya ia membawa motornya ke rumah. “Belum.” Aiden menggeleng. “Sekarang akan tahu.” Raini mendekati Aiden. “Bukankah bahaya?” tanyanya. “Kau belum memiliki sim juga.” “Bukan urusanmu.” Aiden menyipitkan mata. Aiden pergi begitu saja ke dalam mansion. Meninggalkan Raini yang ngomel-ngomel. Aiden pergi ke dalam rumah. disambut oleh ibunya yang selalu berada di rumah menunggunya pulang. “Kamu sudah pulang..” Agatha mendekat. “Di luar itu motor kamu?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha berhenti sejenak. “Mom marah?” tanya Aiden. Agahta menggeleng. “Itu hobi baru kamu kan?” Agatha mengusap pelan bahu Aiden. “Asalkan kamu menaikinya dengan hati-hati, jangan sampai terluka. Mom tidak masalah.” “Mom dulu juga bisa tahu naik motor. Tapi sekarang lupa caranya..” Agatha terkekeh pelan. “Mom bisa?” Agatha men