21++ Dengan tindakan Gaby yang mencium Haven lebih dulu. Perempuan itu sama saja memperjelas hubungan mereka ke arah mana. Kedua tangan Gaby mengalun di leher Haven dan mencium bibir pria itu. Gaby merasa Haven membalas ciumannya. Bahkan pria itu mengangkat tubuhnya dan mendudukkannya di atas meja. Gaby membuka mulutnya—memberikan akses untuk Haven memperdalam ciuman mereka. Saling bertukar saliva. Jemari Haven menyusuri tubuh Gaby yang terbalut dengan dress hitam pendek. “Ahh!” Gaby yang kehabisan nafas dengan ciuman mereka. Akhirnya ia mundur—namun bukannya berhenti. Haven malah beralih ke lehernya. Menghisapnya dan menandai di sana. Gaby meremas kepala Haven. Bulu pria itu mengenai kulit tubuhnya hingga menimbulkan sensasi menggelitik sekaligus menggairahkan. Bibir Haven mengecup dada Gaby yang masih tertutup dengan dress. Namun Gaby menekan kepala Haven agar terus melakukannya. Haven mendogak dan tersenyum miring. Menurunkan dress Gaby bukanlah hal yang
Gaby terdiam kaku saat mamanya memutari dirinya. Tatapan Aluna begitu intens dan menyelidik. “Ternyata mama salah…” Aluna bergumam. “Mama membiarkanmu tinggal sendiri sehingga kamu bebas berkeliaran di luar sana..” “Setiap hari ke klub..” Aluna bersindekap. “Merokok..” “Itu rokok elektrik, Ma!” balas Gaby. “Sama saja!” Aluna membalas dengan menatap tajam anak perempuannya itu. Aluna mendekat. Mengamati Gaby lebih intens. Tanpa diduga oleh Gaby, Aluna menyibak rambutnya. Disanalah Aluna melotot. Banyak sekali kissmark di leher anaknya. Aluna mundur beberapa langkah. Tubuhnya yang ingin mundur lagi di tahan oleh Ethan. “Ma…” Gaby ingin meraih tangan mamanya. Aluna menggeleng. “GABRIELLA MONA WINSTOOOON!!!!” teriak Aluna menggelegar. Bahkan suaranya memenuhi seisi mansions. Gaby maupun Ethan menutup telinganya saat Aluna berteriak dengan keras. “Sabar sayang..” Ethan mengusap bahu Aluna pelan. “Gaby apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu begitu liar di luar sana?” tanya Ethan.
Gaby tidak diperbolehkan kembali ke Apartemen sampai kekasihnya datang ke mansions. Maka satu-satunya cara untuk keluar adalah mendatangkan Haven ke mansion orang tuanya. Setelah memberitahuan Haven tentang kondisinya, akhirnya pria itu mau datang dan membantunya. Haven mau berpura-pura menjadi kekasihnya dan menemui orang tuanya.Haven mengendarai mobilnya sendiri menuju kediaman Ethan Winston. Gabrielle benar-benar membuatnya gila. Kemarin meninggalkannya dalam keadaan bergairah. Sekarang memintanya datang untuk menemui orang tua wanita itu. Sampai juga—gerbang tinggi itu terbuka dengan lebar ketika mobilnya sampai. Akhirnya Haven memberhentikan mobil sportnya di halaman mansion megah milik keluarga Gabriella. Setelah itu ia berjalan masuk—ada beberapa pelayan yang menyambutnya dan mengarahkannya ke ruang tamu. “Sayangkuuuu!” Gaby berlari ke arah Haven. Wanita itu menubrukkan tubuhnya memeluk tubuh Haven. Untungnya tubuh Haven tidak oleng menerima pelukan tiba-tiba. “Plea
Gaby menatap lurus berdiri di balkon kamarnya. Karena hari sudah malam. Aluna dan Ethan menyuruh mereka untuk menginap sehari sebelum besok pagi pulang. Gaby menghisap rokok elektriknya kemudian menghembuskannya ke udara.. “Ah melegakan..” lirihnya sembari memejamkan mata. Hembusan angin mengenai wajahnya. Gaby benar-benar menikmati udara yang berhembus mengenai dirinya. Sampai akhirnya ia membuka mata saat sebuah tangan mengambil vape-nya. “Sudah sejak kapan?” tanya Haven. “Satu tahun.” Gaby hendak meraih kembali vapenya namun Haven mengangkat tangan tinggi-tinggi. Gaby melompat pun tidak akan bisa mengambilnya. Haven tersenyum tipis—segera tangannya memasukkan vape itu ke dalam saku celananya. “Ambil..” Gaby meneguk ludahnya sendiri. bagaimana bisa ia mengambilnya di sana. Bagaimana kalau tangannya malah menyentuh hal lain? Bagaimana siapa yang akan tanggung jawab. Gaby baru saja mengulurkan tangannya. “Berhenti merokok mulai sekarang,” suara Haven mengintr
21++ Memperdalam ciumannya. Haven melumat bibir Gaby. Pria itu mengigit bibir Gaby pelan agar terbuka. Saat terbuka, lidahnya masuk dan membelai bibir Gaby degan mudah. Gaby pasrah—ciuman ini sulit ditolaknya. Lehernya terasa akan patah arena terus mendongak. Untung saja Haven menggendong tubuhnya masuk ke dalam kamar. Mendudukkan tubuhnya di atas meja. Gaby mendongak—membiarkan bibir Haven bergerak melumat bibirnya dengan rakus. Ia mengalunkan kedua tangannya di leher pria itu. Bibirnya tidak kuasa menahan desahannya saat bibir Haven membelai lehernya. Krek! Dress bagian atas yang Gaby gunakan sudah robek di tangan Haven. “Aku bukan orang yang sabar..” Haven menunduk—tangannya sudah menarik lepas pengait bra di belakang. Gaby mengusap kepala Haven saat pria itu menunduk. Haven dengan rakus melumat dada Gaby yang membusung. Menghisapnya dengan rakus berga
Setelah kejadian itu, Gaby dan Haven tidak pernah bertemu. Meski pagi dimana Gaby pulang ke Apartemen, mereka sempat berciuman mesra. Gaby tidak masalah. Lagipula ketika mereka bertemu mereka tidak bisa berbuat lebih. Hal itu juga semakin membuatnya tersiksa. Mungkin juga karena Haven yang sibuk bekerja. Gaby sempat dihubungi oleh Haven, pria itu akan pergi ke London untuk melakukan perjalanan dinas. Namun tadi siang Haven mengiriminya pesan untuk mereka bertemu di sebuah restoran. Gaby menggunakan dress min berwarna hitam. Sengaja, karena tubuhnya yang sempurna pasti menggoda bagi pria manapun. Termasuk Haven. “Sorry aku telat.” Gaby mengambil duduk di hadapan Haven. Haven mengetuk jam tangannya. “Telat lima menit. Saya tidak suka dengan orang yang telat, Gabriella.” Gaby mengerucutkan bibirnya. “Hanya lima menit kan? Lagipula aku kan berdandan. Nanti kalau alisku tinggi sebelah bagaimana? Membuat alisku ini yang paling lama….” Omelnya sambil menunjuk alis hitamn
Setelah makan, Gaby bersama Haven turun. Tujuan Haven adalah mengantar Gaby pulang ke Apartemen. Tidak boleh ke klub. Apalagi keliaran saat malam hari. Kecuali saat bersamanya. Gaby menatap punggung Haven yang berjalan di depannya. Tidak ada romantis-romantisnya! Bisa kek digandeng tangannya ini! Gaby menatap tangannya yang nganggur dan hanya membawa tasnya saja. Gaby berjalan dengan jas Haven berada di pinggangnya. Untuk menutupi pahanya yang terbuka! Gaby menghela nafas sebelum mendekati Haven yang berada di samping mobilnya. “Menggunakan mobilku?” Haven mengangguk. “Lalu mobilmu?” “Ada orang yang akan membawanya..” Haven mengadahkan tangannya meminta kunci mobil Gaby. “Aku tidak akan mengijinkanmu menyetir kalau masih kebut-kebutan di jalan.” Haven menatap Gaby. God! Gaby tidak bisa. Ia menggeleng. “No!” Gaby tidak bisa berkutik karena kuncinya sudah diserahkan pada Haven. “Menyetir itu aturan Gabriella. Kalau mau kebut-kebutan itu di arena sirkuit
Terdiam sepanjang perjalanan ke Apartemen Gaby. Gaby masih terngiang-ngiang dengan ucapan Haven tadi di parkiran. Sedendam apapun dengan orang, ia tidak akan berani sampai menghancurkan hidup orang itu. Meski ia punya kuasa untuk melakukan hal itu. Tapi Gaby hanya mengancam saja, tidak pernah melakukan hal seperti itu. “Ada apa Gabriella?” tanya Haven ketika selesai memarkirkan mobil Gaby di basement. Gaby menoleh ke samping. “Apa kau akan benar-benar menghancuran hidup Aldi?” Haven mengernyit. “Kenapa? kamu takut saya menghancurkan hidup mantan kekasih kamu?” “Aku tidak takut… tapi—” Gaby menghela nafas. “Aku tidak punya hubungan lagi dengannya. Tapi menghancurkan hidup orang lain itu keterlaluan.” Haven tersenyum miring. “Kamu masih mencintainya?” Gaby menggeleng. “Aku tidak pernah menyukainya apalagi mencintainya.” “Lantas kenapa kamu menghalangi saya untuk menghancurkan hidupnya?” “Dia mengganggu milik saya dan artinya juga menggangu saya. Kejadian di klu
“Kau menyukainya?” tanya Julian membuat Aiden yang sedang minum hampir tersedak. “Apa wajahku terlihat menyukainya?” tanya Aiden kembali. Julian maupun Jacob menggeleng. “Tidak bisa diukur dari wajahmu. Tapi kepedulianmu. Kau sangat peduli pada…” Jacob mengernyit. “Siapa namanya tadi…” Jacob mencoba mengingat. Ia tadi membaca kok nam tag Raini hanya saja lupa. “Raini..” lirihnya. “Ya, Raini. Kau peduli sekali dengan dia.” Aiden menatap mereka berdua. “Jadi…” Ia menceritakan bagaimana Raini datang ke rumahnya. Bagaimana hubungannya dengan Raini. Mereka mengangguk paham. “Pantas saja kau begitu peduli. Karena itu memang perintah orang tuamu.” Jacob mengangguk pelan. “Tapi bisa sangat pas begitu ya..” lirihnya. “Kalian bertemu sebelum dia datang ke rumahmu.” “Sepereti takdir yang sengaja membuat kalian bertemu…” Jacob tersenyum. Aiden menggeleng pelan. tidak pernah berpikir terlalu jauh seperti itu. “Kalau kalian terlihat dekat…” Jacob menatap Aiden. “Ada peremp
Jacob mengernyit… “Tapi…” menatap Raini dari atas hingga bawah. “Dari wajahnya memang pantas dibuli.” Raini mengerjap. “Apa maksudmu kak?” tanya Raini. Raini mendekati Aiden. “Mereka temanmu kan? Berarti umur mereka diatas kita ya kan?” tanyanya memastikan. Aiden menjauh. Malah duduk meninggalkan Raini yang masih berdiri sembari nyengir. Julian memandang Raini. “Beritahu aku saja siapa yang membulimu.” Julian mengangkat tangannya. “Aku akan menghajarnya, hitung-hitung latihan.” Raini menutup bibirnya yang reflek terbuka. Kemudian memberikan jempolnya. “Kamu keren kak!” mengangguk dan memberikan dua jempolnya tanpa ragu. Dengan tatapan yang berbinar dan kagum. Julian menoleh ke samping. mencoba menahan senyumnya. Dari wajahnya memang terlihat sumringah setelah dipuji. Jacob mengerjap. tidak mau kalah dengan Julien. “Beritahu aku—” Julian menoleh. “Tidak usah meniruku.” Jacob berdehem pelan. “Beritahu pada semua orang yang berniat membulimu, bahwa..” Menunj
PESAN MOM. [JAGA RAINI SEPERTI ADIK KAMU SENDIRI!] Aiden berdiri… Di atas tribun. Di lapangan basket ini, anak baru dikumpulkan. Tapi melihat 5 anak dibariskan sendiri. Mereka diberi wejangan oleh anak osis. Aiden menatap perempuan yang mencatat dengan sungguh-sungguh. Mendengarkan anggota osis itu berbicara dengan serius. Tak lama mereka pergi… Entah ke mana… Aiden mengedikkan bahu dan memilih pergi saja daripada di sini. sepertinya dia bisa mengatasi semuanya sendiri. Apakah ini waktunya pergi saja ke rooftop dan bermain game di sana? Aiden berjalan keluar dari lapangan. Namun langkahnya malah tertahan dan mengikuti perempuan yang sedang berjalan itu. Raini terus berjalan—meminta tandatangan pada setiap siswa yang ia lewati. Aiden masih mengikutinya dari belakang. Sampai Raini masuk area kantin. Di sana sangat banyak siswa yang sedang makan siang. Aiden berdiri santai dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku. Masih menatap Raini yang perlahan meminta
Hari semakin berjalan… Dan akhirnya Raini diterima… Dengan segala kerja kerasnya belajar dan didukung oleh prestasinya di sekolahnya dulu. Akhirnya Raini masuk ke Winston highschool. “ini hari pertama kamu. Biar di antar sopir saja ya?” tanya Agatha. Raini menggeleng. “Raini sangat senang Aunty membelikan sepeda listrik ini. Raini mau menggunakannya dengan baik. karena itu Raini berangkat menggunakan skuter ini saja.” Sebagai hadiah karena Raini berhasil masuk ke Winston highschool dengan hasil jerih payah sendiri. Agatha memberikan sebuah sepeda listrik berwarna pink. Tidak lupa helm yang berwarna pink juga. Tidak tahu kenapa Agatha selalu membelikan Raini barang berwarna pink. Yang pasti barang berwarna pink itu terlihat sangat lucu. “Kamu tidak malu kan menggunakan barang-barang dari aunty?” tanya Agatha melihat Raini yang menggunakan barang pembeliannya. Lucu sih… Tapi kalau Raini merasa risih, Agatha tidak akan memaksanya. Mungkin bisa disimpan atau di pakai
“Kau baik-baik saja?” tanya Raini yang juga kaget melihat Aiden terjatuh. Aiden berdecak pelan. ia menepis pelan tangan Raini yang terulur ingin membantunya. Raini mencebikkan bibirnya. mengambil lagi tangannya… “Aku bukan hantu loh. Kenapa kau begitu terkejut?” tanya Raini. Aiden memasukkan tangannya di dalam saku. Menatap Raini heran. “Kenapa kau di sini?” tanyanya. “Aku anak bibi Mina yang baru datang.” Raini tersenyum. kemudiang mengepalkan tangannya dan mengulurkannya pada tangan Aiden. Karena tadi tidak mau bersalaman, yasudah tos saja. “Aku Raini, salam kenal, Aiden.” Aiden menyipitkan mata. “kau tahu aku?” Raini mengangguk. “Tentu saja. Aunty Agatha menceritakanmu. Kita juga seumuran. Oh kau lebih tua beberapa bulan denganku.” “oh ya, kau sungguh hebat ya..” Raini belum selesai tapi perhatiannya teralihkan pada kaki Aiden. “Kakimu sudah sembuh? Kau baik-baik saja?” tanya Raini. Aiden menggendong kucing dan dibawanya duduk. “Sudah,” balas Aiden. Ra
Seorang perempuan sedang melihat kamar barunya. Sangat bagus. meskipun kamar ini berada di belakang… Tapi sangat luas… Kamarnya yang tiba-tiba menajdi serba pink. Tapi perempuan itu sangat menyukainya. “Bagaimana kamu suka?” tanya Agatha yang berada di belakang perempuan itu. Gadis itu terhenyak sebentar. “Suka nyo..nya…” Agatha mengerucutkan bibirnya. “Jangan memanggilku seperti itu. panggil aku aunty saja..” “Kamu anak sahabatku..” Agatha mendekat dan memeluk gadis itu. “Senang sekali bisa bertemu dengan kamu secara langsung.” Gadis itu tersenyum. “Kamu tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, Raini.” Raini Maheswari… Putri dari Mina yang cantik… Dengan rambut panjang hitam yang sedikit bergelombang. “Baik.. aunty..” Agatha tersenyum. “Jangan ikut bekerja di sini. kamu fokus saja belajar…” Agatha sangat senang bisa bertemu dengan Raini. Dari dulu ia mendambakan ingin memiliki seorang anak perempuan. Tapi ternyata… Usahanya tidak berhasil. Hingga
“Agatha!” “Hai!” Agatha memeluk Mina. Mina, sahabatnya yang dulu juga bekerja sebagai maid di rumahnya. Sudah lama sekali tidak bertemu dengan Mina. Bahkan mereka kehilangan kontak. Tidak tahu apa yang terjadi pada Mina. Tapi melihat wanita itu baik-baik saja membuat Agatha lega. “Kau baik-baik saja?” tanya Agatha membawa Mina masuk ke dalam. “Aku masih ingat kau akan berkunjung ke sini saat ada waktu. Tapi kau tidak pernah datang.” Agatha berdecak. Mina tersenyum pelan. “Maaf..” “Kau baik-baik saja kan?” tanya Agatha. Mina mengangguk. ia berdiri ketika Gio datang. Berjabat tangan dengan formal… “Maaf kalau aku datang tiba-tiba…” “Tidak masalah.” Agatha menoleh ke belakang. “Anggun juga masih bekerja di sini.” “Sebenarnya..” Mina ragu untuk mengungkapkan keinginannya datang ke sini. “Sebenarnya aku ingin minta bantuan kalian.” Dengan malu-malu. “Katakan saja.” Agatha saling berpandang dengan Gio sebelum mengangguk. “Bolehkah aku bekerja di sini lagi?” tanya
Arena jalanan yang semula sepi kini ramai dengan orang-orang. Ada banyak sekali motor yang berjajar. Aiden bersama Julian dan Jacob. Bisa dibilang Aiden dan Jacob raja jalanan. Aiden yang baru belajar motor saja bisa langsung mengendarinya dengan mudah. Bahkah memenangkan balapan liar ini. Diam-diam membeli motor dengan uangnya sendiri. Aiden berada di atas motornya yang berwarna hitam. Helmnya sudah terpasang di kepalanya dengan pas. Banyak orang yang berjajar di tepi jalanan. Mereka menanti siapakah yang akan menang kali ini. Bendera dikibarkan kemudian dihitung mundur. Dan Bruuum! Dua motor melaju dengan sangat kencang. Aiden sangat fokus pada pertandingan kali ini. Tapi motor di sampingnya itu tidak bisa menyalipnya dan malah mendekatinya. Aiden berusaha menghindar namun sayang… Motor itu menyesek samping motornya hingga ia oleng… BRAAAK! Aiden terjatuh… Gelap… Ia memejamkan mata—tubuhnya tergeletak dengan motor yang berada di sampingnya. Bunyi
“Jangan keluyuran Aiden. Kamu akan ujian semester…” ucap Gio yang berada di meja makan. Aiden yang semula memakan makanan dengan tenang kini berhenti. “Walaupun aku keluyuran nilaiku akan tetap bagus..” Gio menghela napas. “Aiden kamu belajar di rumah. Kami itu kawatir.” Aiden mengambil tasnya. Berjalan begitu saja meninggalkan ruang makan. “Aiden!” panggil Gio. “Kamu tidak mendengarkan Dad?” tanya Gio. Aiden memutar tubuhnya. “Yang Dad butuhkan nilai dan prestasi yang bagus kan?” tanyanya. “Aiden sudah melakukannya. Aiden memberikan semua yang kalian inginkan.” “Sekarang..” Aiden menatap ayahnya itu. “Aiden hanya ingin melakukan apapun yang Aiden ingin lakukan.” Gio menggeleng. “Dad tidak akan mengijinkan jika itu hal yang buruk. Dad akan menentang kegiatan buruk kamu di luar sana…” Aiden mengernyit. “Hal buruk itu membuatku senang daripada di rumah..” “Aiden, Mom akan pensiun. Mom akan sering di rumah. kita bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama..” Agat