Siapa yang sangka jika bocah laki-laki yang tidak diinginkannya, malah membuatnya jatuh cinta. Margaret yang awalnya tidak ingin melihat Gio. Kini malah begitu sayang dengan cucunya. Hanya dengan melihat kedua bola mata bocah laki-laki itu membuatnya langsung luluh. Apalagi dengan ketulusan dan didikan Aluna, membuat bocah itu nampak begitu pintar dan sopan. “Ya? Sayang.” Margaret menunduk ketika Gio memanggilnya. “Nenek sayang Gio?” tanya Margaret. Margaret mengangguk. “Tentu saja. kamu cucu nenek yang paling tampan dan pintar,” jawabnya tanpa berpikir lebi dahulu. “Nenek sayang juga pada mama ya…” Gio mendekat. “Karena Gio sangat sayang mama…” lirihnya. Margaret terdiam sebentar sebelum tersenyum dengan canggung. Jujur karena ia tidak bisa menerima Aluna. Aluna yang menurutnya jauh dari standar menantu idamannya. “Gio..” peringat Aluna. Gio menoleh ke belakang dan kembali menatap neneknya. “Gio ingin melihat mama dan papa bahagia.” Ucapan sederhana bocah it
“Aku harus memberitahu Mama agar tidak mengganggu kalian.” “Tidak perlu!” Aluna menggeleng.“Sepertinya mama kamu memang tulus. Dia terlihat bahagia ketika bertemu dengan Gio..” lirih Aluna. “Bagaimana dengan kamu?” tanya Ethan. “Apa kamu nyaman bertemu dengannya? jangan memikirkan orang lain dulu jika kamu tidak nyaman.” “Aku tahu kamu masih takut dengan Mamaku setelah kejadian itu.” Ethan mengusap helaian rambut Aluna. “Aku tidak takut. Hanya…” Aluna menatap lurus. “Belum bisa melupakan kejadian itu. Tapi its oke. Aku tidak ingin terus berlarut dalam masa lalu.” “Tidak usah beritahu mama kamu. biar saja kalau ingin bertemu dengan Gio. Lagipula tidak akan setiap hari ke sini.” Ethan mengangguk pasrah. Ia mendekat dan merengkuh tubuh Aluna. Terdengar helaan nafas berat dari pria itu. “Bagaimana dengan hari ini? Kamu berhasil meyakinkan investor?” tanya Aluna. “Sulit.” Ethan menyandarkan wajahnya di ceruk leher Aluna. “Aku hanya mendapatkan satu investor saja.” Ethan mengusap
“Gio….” Panggil seseorang yang baru saja masuk ke dalam rumah. Margaret masuk ke dalam rumah anaknya santai. Bukannya menanyakan Ethan, tapi langsung menanyakan langsung cucunya. Hanya beberapa hari saja tidak melihat cucunya membuatnya rindu. Setelah menyelesaikan kegiatan arisannya di luar negeri, Margaret buru-buru datang ke rumah anaknya hanya untuk menemui cucunya. Aluna menatap Margaret yang sudah berada di ruang tamu. “Di mana Gio?” tanya Margaret. “Jangan halangi aku bertemu cucuku.” Dengan mata yang menyipit sinis. “Gio sedang bermain di belakang.” Aluna menunjuk taman belakang rumah. “Baiklah.” Margaret melewati Aluna begitu saja. Aluna mengerjap. Apa mungkin ini saatnya mencari perhatian calon ibu mertuanya itu? Aluna mengangguk. Ia pergi ke dapur. Katanya, ibu mertua itu suka menantu yang bisa memasak. Jadi ia akan membuat kue untuk camilan Gio dan Margaret yang sedang bermain di belakang. Berbekal resep di youtube, Aluna nekat akan membuat browni
Akhirnya selesai juga. Brownis banyak untuk orang yang ada di rumah. Pelayan yang bekerja di rumah Ethan begitu senang mencicip brownis. Tidak lupa satpam yang berjaga di depan juga. Mereka berterima kasih dengan wajah yang sumringah. Rasanya lega sekaligus senang bisa membuat orang lain bahagia. Aluna duduk di sofa ruang tamu. Begitupun dengan Margaret. Mereka berdua terlihat begitu lelah. “Meskipun melelahkan, tapi ini seru. Aku sudah lama tidak membuat kue sebanyak itu,” ujar Margaret mengambil kue buatan mereka berdua. “Ehm..” Margaret mengangguk. “Rasanya biasa seperti yang aku buat, selalu enak.” Aluna tertawa pelan sambil mengangguk. “Benar. Rasanya memang enak.” “MAMA NENEK!” Gio turun bersama pelayan yang menjaganya. “Mama dan nenek membuat banyak kue?” tanya Gio dengan polos. Aluna mengangguk. “Duduklah dan makan.” Gio patuh dan memakan kue dengan lahap. “Mama Gio mau main mobil…” Gio sudah pergi mengambil mainannya dengan tangan yang masih meng
“Aku sudah memberitahu mama semuanya, jangan macam-macam.” Ethan menaruh tangannya di sakunya. Margaret menyipitkan mata. Kemudian menaruh tangannya di bahu Aluna. Ethan melotot. “Jangan lakukan apapun!” menunjuk tangan mamanya dengan panik. “Kenapa?” Margaret mengalunkan tangannya di bahu Aluna. “Kita sudah berteman.” Sambil mengedipkan salah satu matanya. Ethan menatap ibunya tidak yakin. “Kenapa? kamu masih tidak yakin?” tanya Margaret. Kemudian berdiri. “Mama sudah merestui kalian.” Ethan masih tidak yakin. Sungguh! Ia tidak bisa mempercayai mamanya begitu saja. “Masih tidak percaya?” Ethan mengangguk. “Mama mencurigakan.” Margaret menghela nafas. “Mama sudah minta maaf pada Aluna. Maaf juga mau minta maaf pada kamu. Mama yang terlalu egois sampai tidak memikirkan kebahagiaan kamu.” “Tapi sekarang, Mama akan selalu dukung keputusan kamu.” “Tinggal restu papa kan? Supaya kalian bisa menikah?” tanya Margaret. Ethan mengangguk. “Gampang!” Margaret hanya menjentikkan jar
Arena berkuda. Tempat Ethan dan papanya dulu sering latihan. Bahkan Ethan pernah meraih juara dalam perlombaan. Namun, datang ke tempat ini untuk acara keluarga bukanlah keputusan yang tepat bukan? “Papa itu kuda!” Gio nampak begitu bersemangat saat melihat kuda yang begitu besar. “Mau naik?” tanya Ethan. “Mau!” jawab Gio semangat. “Papa tidak menyangka kamu mau datang.” Peter mendekati mereka. Pandangannya jatuh pada Gio yang sekarang sembunyi di balik badan Ethan. Gio hanya takut, apalagi pertemuan pertama mereka Peter hanya menunjukkan wajah yang datar. “Mau bertanding?” tanya Peter. “Tidak. Aku datang ke sini untuk mengajak Gio bermain.” Ethan menggendong Gio di lengannya. “Kamu sudah lama tidak bermain. Jangan membawa anak kecil saat menunggang kuda.” “Biar Gio bersamaku.” Peter memandang Gio yang terlihat ragu menatapnya. “Gio..” panggilnya. “Kakek akan mengajari kamu caranya berkuda.” “Apa papa yakin tidak mencelakakan Gio?” tanya Ethan yang masih ti
Ethan turun dari kuda. Ia mendekati Gio yang masih berada di atas dan di dampingi oleh Peter. “Ayo turun Gio.” Ethan menggendong Gio yang berada di atas kuda. Akhirnya bocah itu berada di pelukan Ethan. “Suka?” tanya Ethan. Gio mengangguk. “Tadi kakek sangat hebat,” puji Gio pada kakeknya. Peter yang diam-diam mendengarkan menjadi tersenyum. Ethan mengerjap. “Lebih hebat dari papa?” tanya Ethan tidak terima. “Iya!” Gio mengangguk. “Tadi papa terjatuh!” “Benar.” Peter mendekat. “Untung saja kamu berkuda dengan kakek jika bersama papamu. Kamu bisa jatuh berguling-guling seperti papamu.” Gio mengangguk setuju dengan ucapan kakeknya. “Hah! Aku tidak berguling-guling..” Ethan melotot. “Kudanya sulit dikendalikan hingga aku jatuh! Tapi aku tidak sampai berguling-guling separah itu!” Peter berdecih pelan sambil tertawa. “Lihat baju kamu. Seperti terjebur di dalam kolam lumpur!” Ethan menatap dirinya sendiri. “Ini—” “Gio ikut kakek sini..” Peter sudah merebut Gio
Ellya Winston, anak yang selama ini disembunyika, diusir dan dianggap tidak ada keberadaannya. Ethan bahkan sudah lupa dengan adiknya itu. Namun sejak kapan ia menganggap perempuan itu adiknya. Ethan menggeleng pelan setelah mendengar ucapan Papanya. “Mama sudah tahu?” “Kami sudah berdiskusi. Mama akan menerima Ellya dan akan berusaha menggapnya anak sendiri. Dia sudah terlalu lama diasingkan.” “Papa ingin menebus kesalahan Papa..” lirih Peter. “Meskipun kesalahan Papa tidak pernah dimaafkan.” Ethan mengangguk. “Setidaknya Papa sudah berusaha.” Ethan menatap Peter. “Ethan hargai usaha Papa.” Peter tersenyum. “Papa harap kamu bisa menerimanya.” “Ethan akan berusaha.” Sebagai akhir yang menyenangkan. Ethan yang berbaikan dengan ayahnya. Orang tuanya juga tidak egois dan mau belajar untuk menjadi orang tua yang lebih baik. Setelah membersihkan diri Ethan menyusul keluarganya yang berada di lantai atas. Di meja sudah penuh dengan makanan. “Waah es krimnya ena
Di rooftop… Aiden pergi menemui Jacob. Ia akan mengembalikan vape ini. Aiden berhenti di ambang pintu. Julian juga ada di sana. Mereka duduk di atas sofa dengan santai. “Kalian tidak ikut kelas?” tanya Aiden. Jacob mengedikkan bahu. “Tidak, aku malas.” Segampang itu mereka menghindari kelas. Aiden mendekat—merogoh sakunya dan memberikan vape itu pada Jacob. “Aku mencobanya sedikit.” Jacob mengernyit. “Kau tidak ada penyakit menular kan?” Aiden berdecak pelan. “Tidak!” Jacob mengantongi vapenya. Sedangkan Julian sepertinya tertidur dengan buku yang berada di wajah. “Kenapa dia?” tanya Aiden. “Tidur setelah membaca buku,” balas Jacob. Aiden memasukkan kedua tangannya di dalam saku. “Apa yang kalian lakukan di sini?” tanyanya. “Bolos,” balas Julian. Lelaki itu bangun. Kemudian mengambil duduk santai. Tangannya terulur mengambil sebuah kaleng cola. Melihat wajah Julian yang babak belur pasti dipukuli orang tuanya. Ada bekas kebiruan yang masih terlihat.
Sesampainya di Mansion. Anggun mendekati mereka. Terlihat sangat khawatir. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Aiden mengangguk sekilas. Gio berkacak pinggang. menyugar rambutnya pelan sebelum menatap Aiden. “Kenapa kamu pergi ke sana?” tanyanya. Aiden yang semula mendunduk kini mendongak. “Karena bosan…” Gio mengusap wajahnya kasar. “Apa kamu tahu pesta itu seperti apa?” tanya Gio lagi. Seperti sedang mengintrogasi anaknya. “Tidak.” “Apa kamu tahu akibat dari perbuatanmu?” tanya Gio. “Bisa berpengaruh pada reputasi perusahaan Dad.” “Mulai sekarang, Dad tidak akan mengijinkan kamu berteman dengan anak-anak seperti mereka.” Aiden menyipitkan mata. Tanpa menjawab perkataan orang tuanya. Aiden langsugn pergi begitu saja. “Aiden!” panggil. Gio. Aiden berhenti. lalu membalikkan tubuhnya. “Kenapa lagi? Dad ingin menyalahkanku kan?” tanya Aiden. “Iya, memang salah Aiden. Tidak seharusnya Aiden datang ke pesta itu..” “Tidak seharusnya Aiden ditangkap polisi da
Di kantor polisi. Gio benar-benar tidak menyangka Aiden terlibat dalam pesta yang terindikasi melibatkanprostitusi dan obat-obatan terlarang. Gio datang bersama Agatha ke kantor polisi.. Aiden duduk menunduk bersama anak-anak yang lain. Agatha langsung memeluk Aiden. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Aiden mendongak. “Mom…” mengeratkan pelukannya. Agatha menangkup wajah Aiden. “Kamu baik-baik saja kan?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha mendekat. mencium aroma putranya. “Kamu tidak minum dan tidak merokok… apa yang kamu lakukan di pesta itu?” tanya Agatha. “Bosan..” balas Aiden. Agatha mengerjap. “Jangan ulangi ya. Kalau pergi ijin dulu ke mom atau Dad.” Ruangan polisi semuanya ramai. Yang datang kebanyakan orang tua para pelajar ini adalah kalangan berada. Mereka marah-marah pada anaknya. bahkan ketika datang langsung saja menampar anaknya dengan begitu keras.. Seperti… orang tua Julian yang baru saja langsung marah dan menampar anaknya. Agatha menger
Jacob dan Julian sama-sama menarik Aiden kabur. Mereka berlari—di antara kegelapan. Dari yang awalnya Aiden ditarik lari. Kini Aiden yang menarik mereka agar berlari lebih kencang. Terutama Jacob yang sangat payah dalam berlari. Lelaki itu sungguh kelelahan. Sampai mereka berhenti di jalan raya yang gelap. “Kenapa kita kabur..” Aiden dengan polosnya. “Are you stupid?” tanya Julian. “Kau bisa ditangkap jika tidak kabur..” “Aku tidak melakukan kesalahan..” Aiden mengerjapkan mata. “Aku bahkan tidak minum sama sekali. untuk apa aku ikut kabur seperti kalian.” Julian berdecak dengan kasar. Julian melirik Jacob. Maksudnya agar Jacob menjelaskan pada Aiden. Tapi Jacob justru terduduk dengan napas yang tersenggal. Seperti lari maratho puluhan kilometer. Berbeda dengan Aiden maupun Julian yang nampak biasa saja. Mungkin juga efek alkohol. Pipi Jacob memerah… wajahnya berkeringat. “Jangan mati di sini.” Julian mendekat—kemudian menggoyangkan kepala Jacob. Jacob
Semua yang ada di sini di luar perkiraan Aiden. Aiden menjaga jaraknya dengan Jacob. “Ada berapa banyak siswa Winston di sini?” tanya Aiden. Jacob mengernyit. “Aku kira tidak banyak. hanya sedikit karena yang berani datang juga sedikit..” Aiden berkacak pinggang. “Kau tahu jika hal ini sampai ketahuan..” “Maka jangan sampai ketahuan..” Jacob tersenyum. merangkul Aiden lagi. Aiden melepaskan tangan Jacob. “Aku akan di sini…. sebentar.” Aiden hanay penasaran dengan sistem kerja dari lelang itu seperti apa. Ia akan di sini sampai acara lelang itu selesai. Setidaknya bisa menjawab rasa penasarannya. Ini yang terakhir kali ia datang ke pesta seperti ini. maka ia harus mendapatkan apa yang ingin ia tahu. Aiden menjauh. Ia lebih memilih duduk di bangku kosong sendirian daripada bergabung dengan geng tadi. Keramaian juga tidak terlalu cocok dengannya. Usianya yang baru menginjak 15 tahun seharusnya masih smp kelas 3. Tapi karena ia masuk kelas akselarasi ia menjadi leb
Sebuah rumah mewah yang nampak sepi dari luar. Namun ada banyak mobil sport yang terparkir di halaman. Aiden keluar dari taksi. Apakah pakaiannya pantas pergi ke pesta? Ia hanya menggunakan celana pendek dan jersey timnya. Tidak masalah.. Aiden akan masuk sebentar dan kalau tidak asik ia akan segera pulang. Aiden akhirnya masuk ke dalam. Musik yang menggema. Lampu yang redup dan ada lampu kelap-kelip. Seperti klub yang ia lihat di video pendek ponselnya. “Aiden!” seorang laki-laki mendekat Aiden. Laki-laki itu membawa satu gelas yang terisi oleh cairan… “Waaah pangeran Winston datang ke sini..” Aiden tidak tahu siapa nama laki-laki ini. namun sepertinya memang teman sekelasnya. “Apa aku tidak boleh datang ke sini?” tanya Aiden. Hanya memastikan jika dirinya tidak masalah jika datang ke tempat ini. “Tentu saja boleh bro!” lelaki itu memeluk Aiden. “Kau ingat aku kan?” tanyanya. Aiden hanya diam. kemudian mengernyit tidak yakin. “Baiklah…” lelaki itu meng
“Minta maaf pada Mom.” Aiden menunduk sebentar. “Aiden minta maaf mom.” Setelah meminta maaf, Aiden keluar dari mobil. “Aiden kamu mau ke mana?” teriak Agatha panik. “Biar saja..” lirih Gio. Mereka berdua menatap Aiden yang berjalan sendiri kemudian mencegat taksi. Agatha menghela napas. “Jangan terlalu keras dengannya…” lirihnya. “Tapi dia membentak kamu.” Gio menatap Agatha. “Meskipun dia anakku, aku tidak akan rela istriku dibentak atau diteriaki..” Gio menoleh. “Aku saja tidak pernah membentak kamu dan tidak akan pernah. Jadi aku tidak akan membiarkan anak kita melakukan hal itu… Agatha mendekat kemudian memeluk Gio. “Aku hanya takut dia marah pada kita.” Gio mengusap pelan bahu Agatha. “Biar saja marah. Dia memang berhak marah. Aku juga tahu kesalahanku.” Agatha tidak bisa melihat taksi yang membawa anaknya lagi. “Apa dia membawa uang?” tanya Agatha. “Aku takut kalau dia tidak bawa uang untuk membayar taksi.” “Dia membawa ponsel. Aku selalu mengisi penu
Extra Part 3 GOOAL! Aiden berlari dan memeluk temannya yang berhasil mencatak gol. Di saat ia bergembira—ia menolak ke arah tribun. Tidak ada orang tuanya… Aiden mendadak lemas… Tidak ada semangat. Ia menjauh dari teman-temannya yang masih merayakan gol tersebut. Aiden berjalan dengan lesu ke arah ruang ganti pemain. Pelatih yang melihatnya langsung mengejar Aiden. “Aiden kamu kenapa?” tanya pelatih yang heran dengan Aiden. Aiden menggeleng. anak itu menunduk—membuka loker dan mengambil satu handuk. “Apa yang terjadi?” tanya pelatih. “Permainanmu tadi bagus..” pelatih itu memeluk Aiden. Kemudian menepuk pelan bahu Aiden. “Orang tuaku…” Aiden duduk. “Orang tuaku datang menonton tapi mereka tetap sibuk…” “Dari dulu sering seperti itu..” Aiden menghela napas panjang. Bahkan teman-teman satu timnya yang baru saja masuk saja sampai bingung melilhat Aiden. “Aku ingin pulang.” Aiden berjalan membawa tasnya. “Kita maka bersama supaya sedih kamu
Extra Part 2 5 tahun kemudian… Tidak banyak yang berubah. Tapi, orang tua Aiden berusaha untuk meluangkan waktu untuk putranya. Setiap satu bulan sekali mereka biasanya menghabiskan waktu bersama pergi ke sebuah tempat.. Lalu, mereka juga datang ke pertandingan. Seperti saat ini. Pertandingan di mulai. Gio dan Agatha berada di tribun untuk menyaksikan putranya yang bertanding. “Bukankah dia sangat tampan…” lirih Agatha. Kagum dengan anaknya sendiri. memuji anaknya sendiri. Agatha menoleh—banyak perempuan yang datang. Mereka berteriak mendukung Aiden. “Dia punya banyak penggemar..” Agatha menggeleng pelan. “Pesona anakku akan sulit ditolak perempuan. Aku harap dia tidak menjadi pemain perempuan di masa depan.” Gio mengangguk setuju dengan ucapan istrinya. “Melihat Aiden yang seperti ini. sungguh mengingatku dulu. aku juga punya banyak penggemar…” Agatha menatap Gio dari samping. “Ingat umur kamu. kamu sudah tua!” Gio menoleh. Mengusap rambutn