Akhirnya selesai juga. Brownis banyak untuk orang yang ada di rumah. Pelayan yang bekerja di rumah Ethan begitu senang mencicip brownis. Tidak lupa satpam yang berjaga di depan juga. Mereka berterima kasih dengan wajah yang sumringah. Rasanya lega sekaligus senang bisa membuat orang lain bahagia. Aluna duduk di sofa ruang tamu. Begitupun dengan Margaret. Mereka berdua terlihat begitu lelah. “Meskipun melelahkan, tapi ini seru. Aku sudah lama tidak membuat kue sebanyak itu,” ujar Margaret mengambil kue buatan mereka berdua. “Ehm..” Margaret mengangguk. “Rasanya biasa seperti yang aku buat, selalu enak.” Aluna tertawa pelan sambil mengangguk. “Benar. Rasanya memang enak.” “MAMA NENEK!” Gio turun bersama pelayan yang menjaganya. “Mama dan nenek membuat banyak kue?” tanya Gio dengan polos. Aluna mengangguk. “Duduklah dan makan.” Gio patuh dan memakan kue dengan lahap. “Mama Gio mau main mobil…” Gio sudah pergi mengambil mainannya dengan tangan yang masih meng
“Aku sudah memberitahu mama semuanya, jangan macam-macam.” Ethan menaruh tangannya di sakunya. Margaret menyipitkan mata. Kemudian menaruh tangannya di bahu Aluna. Ethan melotot. “Jangan lakukan apapun!” menunjuk tangan mamanya dengan panik. “Kenapa?” Margaret mengalunkan tangannya di bahu Aluna. “Kita sudah berteman.” Sambil mengedipkan salah satu matanya. Ethan menatap ibunya tidak yakin. “Kenapa? kamu masih tidak yakin?” tanya Margaret. Kemudian berdiri. “Mama sudah merestui kalian.” Ethan masih tidak yakin. Sungguh! Ia tidak bisa mempercayai mamanya begitu saja. “Masih tidak percaya?” Ethan mengangguk. “Mama mencurigakan.” Margaret menghela nafas. “Mama sudah minta maaf pada Aluna. Maaf juga mau minta maaf pada kamu. Mama yang terlalu egois sampai tidak memikirkan kebahagiaan kamu.” “Tapi sekarang, Mama akan selalu dukung keputusan kamu.” “Tinggal restu papa kan? Supaya kalian bisa menikah?” tanya Margaret. Ethan mengangguk. “Gampang!” Margaret hanya menjentikkan jar
Arena berkuda. Tempat Ethan dan papanya dulu sering latihan. Bahkan Ethan pernah meraih juara dalam perlombaan. Namun, datang ke tempat ini untuk acara keluarga bukanlah keputusan yang tepat bukan? “Papa itu kuda!” Gio nampak begitu bersemangat saat melihat kuda yang begitu besar. “Mau naik?” tanya Ethan. “Mau!” jawab Gio semangat. “Papa tidak menyangka kamu mau datang.” Peter mendekati mereka. Pandangannya jatuh pada Gio yang sekarang sembunyi di balik badan Ethan. Gio hanya takut, apalagi pertemuan pertama mereka Peter hanya menunjukkan wajah yang datar. “Mau bertanding?” tanya Peter. “Tidak. Aku datang ke sini untuk mengajak Gio bermain.” Ethan menggendong Gio di lengannya. “Kamu sudah lama tidak bermain. Jangan membawa anak kecil saat menunggang kuda.” “Biar Gio bersamaku.” Peter memandang Gio yang terlihat ragu menatapnya. “Gio..” panggilnya. “Kakek akan mengajari kamu caranya berkuda.” “Apa papa yakin tidak mencelakakan Gio?” tanya Ethan yang masih ti
Ethan turun dari kuda. Ia mendekati Gio yang masih berada di atas dan di dampingi oleh Peter. “Ayo turun Gio.” Ethan menggendong Gio yang berada di atas kuda. Akhirnya bocah itu berada di pelukan Ethan. “Suka?” tanya Ethan. Gio mengangguk. “Tadi kakek sangat hebat,” puji Gio pada kakeknya. Peter yang diam-diam mendengarkan menjadi tersenyum. Ethan mengerjap. “Lebih hebat dari papa?” tanya Ethan tidak terima. “Iya!” Gio mengangguk. “Tadi papa terjatuh!” “Benar.” Peter mendekat. “Untung saja kamu berkuda dengan kakek jika bersama papamu. Kamu bisa jatuh berguling-guling seperti papamu.” Gio mengangguk setuju dengan ucapan kakeknya. “Hah! Aku tidak berguling-guling..” Ethan melotot. “Kudanya sulit dikendalikan hingga aku jatuh! Tapi aku tidak sampai berguling-guling separah itu!” Peter berdecih pelan sambil tertawa. “Lihat baju kamu. Seperti terjebur di dalam kolam lumpur!” Ethan menatap dirinya sendiri. “Ini—” “Gio ikut kakek sini..” Peter sudah merebut Gio
Ellya Winston, anak yang selama ini disembunyika, diusir dan dianggap tidak ada keberadaannya. Ethan bahkan sudah lupa dengan adiknya itu. Namun sejak kapan ia menganggap perempuan itu adiknya. Ethan menggeleng pelan setelah mendengar ucapan Papanya. “Mama sudah tahu?” “Kami sudah berdiskusi. Mama akan menerima Ellya dan akan berusaha menggapnya anak sendiri. Dia sudah terlalu lama diasingkan.” “Papa ingin menebus kesalahan Papa..” lirih Peter. “Meskipun kesalahan Papa tidak pernah dimaafkan.” Ethan mengangguk. “Setidaknya Papa sudah berusaha.” Ethan menatap Peter. “Ethan hargai usaha Papa.” Peter tersenyum. “Papa harap kamu bisa menerimanya.” “Ethan akan berusaha.” Sebagai akhir yang menyenangkan. Ethan yang berbaikan dengan ayahnya. Orang tuanya juga tidak egois dan mau belajar untuk menjadi orang tua yang lebih baik. Setelah membersihkan diri Ethan menyusul keluarganya yang berada di lantai atas. Di meja sudah penuh dengan makanan. “Waah es krimnya ena
“Waah siapa tuh kekanak-kanakan…” Ethan yang mendengar kalimat terakhir Aluna. “Bukan aku kan sayang..” Ethan mengecup pipi Aluna dari samping. Peter mengernyitkan matanya menatap Ethan. Tidak pernah melihat Ethan seceria itu. Anaknya satu itu terlihat begitu bahagia bersama Aluna. “Ya kamulah!” ucap Peter. Ethan berdecak. “Masa?” “Ethan kamu benar-benar berani ya..” ucap Peter yang terlihat kesal dan ingin sekali menepuk kepala Ethan dengan garpu yang ada di tangannya. Ethan tertawa pelan. “Aku sudah tidak takut denganmu, Pa.” Ethan menggeleng pelan. “Hanya Aluna yang bisa mengatasi kamu.” Peter menunjuk Ethan dengan dagunya. “Segera menikah saja kalian.” Peter menatap Aluna dan Ethan bergantian. Ethan mengangguk. “Bagaimana kalau minggu depan?” Aluna mengernyit. “Secepat itu? kamu tidak persiapan memangnya?” herannya. Margaret yang baru saja datang menggeleng pelan. Memang sedang dimabuk asmara jadi wajar saja. “Jangan terburu-buru. Siapkan dulu pernikaha
Entah ke mana Ethan menyetir mobil. Yang pasti mereka melewati jalan yang gelap. Mau curiga pada Ethan, tapi pria itu calon suaminya sendiri. Mau takut Ethan macam-macam, setiap hari sudah dimacam-macami. Sudahlah Aluna memejamkan saja. Pasrah di bawa ke mana oleh Ethan. Tidak ada Gio. Bocah itu dibawa ke rumah kakek dan neneknya. Sehingga orang tuanya bebas ke mana saja. “Ethan aku mengantuk ini..” Aluna bergumam. “Tidur saja.” Ethan mengusap puncak kepala Aluna. “Aku akan membangunkanmu saat sudah sampai.” Aluna membuka matanya sedikit. “Sungguh? Aku curiga kamu akan membunuhku dan mencincang tubuhku hidup-hidup.” Ethan berdecih pelan. tangannya yang besar itu membekap bibir Aluna agar tidak berbicara yang tidak-tidak. “Akh!” Ethan menarik tangannya yang digigit oleh Aluna. “Tapi ini jalan yang benar kan?” tanya Aluna yang benar-benar tidak tahu Ethan ini akan ke mana. Sudah pukul 10 malam lagi. Takut ada begal juga. Tapi untungnya jalan seram itu h
Ada helikopter yang berada di depan. Helikopter itu nampak mengibarkan sebuah banner ke bawah. Di sertai dengan letupan kembang api. Balon yang berukuran banyak itu terbang ke atas. [Will you marry me, Aluna Freya?] Tulisan yang ada di banner tersebut. Aluna menutup bibirnya. Ia tidak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh. “Will you marry me my princess?” tanya Ethan yang tengah memegang sebuah cincin berwarna silver. Aluna diam… bukan karena menolak. Tapi karena sesak. Karena tangisnya sendiri. Sialnya sampai ia tidak bisa berbicara. “Jawabannya yes or ya.” Aluna mengangguk tapi tidak bisa berucap. “Hei.. bilang iya,” Ethan mengusap air yang membasahi pipi Aluna. “Iyaa…huaa..” Aluna malah menangis. Ethan tertawa dan memasang cincin indah itu di jari manis Aluna. Setelah itu membawa Aluna ke dalam dekapannya. Bahkan semua orang yang terlibat dalam pelaksanaan lamaran ini tersenyum bahagia. Kembang api diluncurkan lebih banyak. Aluna menatapnya