“Aku hanya belum terbiasa dengan mobil balap listrik itu, Dad,” sanggah Louis.Mereka berada dalam ruang pribadi pembalap. Pelatih, manager serta promotor Louis seketika sibuk. Mereka langsung mengobservasi kendaraan yang digunakan Louis.“Kalau belum terbiasa, mengapa langsung menyetirnya dengan kecepatan sangat tinggi?” William menaikkan alisnya.“Memang aku harus mencoba kecepatan maksimalnya. Dad.”“Tapi itu berbahaya sekali. Mobil itu bisa panas, lalu terbakar.”Louis terdiam. Dugaan Daddy memang ada benarnya. Ia lalu memilih tidak berkomentar lagi pada pernyataan Daddynya yang sedang emosi.“Keyna, temani Louis. Aku mau bicara dengan timnya lebih dulu.” William segera keluar dari ruang pribadi pembalap.Keyna terkesiap. William memanggil namanya. Bukan panggilan sayang seperti yang selalu ia ucapkan. Lagi-lagi, wanita itu merasa sedih.Namun begitu, Keyna tidak m
Makan malam hari ini dipenuhi cerita tentang latihan Louis. Fred dan Sacha terlihat terkejut mendengar mobil balap yang dikendarai adiknya berasap tebal saat digunakan. Mereka menggelengkan kepala dengan raut wajah khawatir."Untung saja kesehatan Daddy sudah membaik sehingga tidak kambuh sakit jantungnya.""Bagaimana dengan jantungmu? Aman?"Fred dan Sacha saling mengungkapkan rasa khawatir. Louis menenangkan dengan berkata bahwa kejadian tersebut sudah biasa terjadi di sirkuit. Ia juga berkata jantungnya saat ini baik-baik saja."Benar jantungnya tidak apa-apa setelah mengalami kejadian tak terduga itu?" Sacha bertanya pada Keyna."Aku langsung mengecek detak nadi dan jantung Louis. Aman," balas Keyna."Syukurlah." Sacha dan Fred menyahut bersamaan."Daddy tidak apa-apa?" Fred bertanya pada William."Daddy marah-marah pada timku." Louis mengadu.Fred tersenyum menanggapi pernyataan Louis. "Aku yakin begitu.""Daddy hanya memastikan bahwa timmu mengecek segala persiapan kendaraan yan
Di balkon ruang kerja, William dan Jaslan duduk santai sambil mengisap cerutu. Keduanya mengembuskan napas dan mengeluarkan asap bersamaan. Mereka tampak menikmati pemandangan malam dengan tenang."Apa Keyna tau kau memiliki banyak cerutu di sini?" tanya Jaslan."Tidak. Sejak Keyna di sini aku jarang sekali mengisap cerutu," jawab William."Akan aku beritahu.""Sial kau!"Jaslan terkekeh menyebalkan. "Aku yakin ia tidak suka kau mengoleksi cerutu. Siapa tau dia akan membuang koleksimu itu. Saat hari itu tiba, aku akan bilang berapa harga cerutumu, lalu dia akan sangat kaget. Kemudian akan memberikannya kepadaku.""Sejak kapan kau jadi paranormal?""Aku sudah banyak memiliki profesi sejak bersahabat denganmu. Perawat, dokter, pebisnis, bos, detektif, negosiator, dan sekarang paranormal.""Kau belum menyebutkan pembual.""Itu bukan profesi."Lalu keduanya diam. Menikmati cerutu masing-masing. Para pebisnis biasanya mengisap cerutu untuk merayakan suatu keberhasilan."Aku yakin pernikaha
Setelah Jaslan pulang, William termenung sendirian. Ia masih berada di balkon ruang kerjanya. Memikirkan apa yang baru saja ia dan sahabatnya bicarakan.Kematian. Dulu ia berpikir, hal tersebut adalah wajar. Semua mahluk akan kembali pada penciptanya, bukan? Tidak ada yang bisa mencegah itu terjadi. Kedokteran paling canggih di dunia pun tidak ada yang bisa memghindari takdir Tuhan tersebut.Tetapi kini ia jadi takut. Bagaimana jika itu terjadi pada dirinya, anak-anaknya dan ... Keyna? William menggeleng keras."Aku belum rela kehilangan mereka," gumam William."Jika aku mati, lalu siapa yang akan menjaga Keyna? Apa ia akan menikah lagi? Tidak, Tuhan. Aku yakin jasadku pun tidak akan tenang di alam lain." William terus berkata dalam hati.Perlahan ia keluar dari ruang kerja. Gelak tawa dari taman belakang mansion terdengar. Ia melangkahkan kakinya ke arah suara-suara tersebut.Keyna, Sacha dan Louis sedang bermain monopoli. Ketiganya tampak asyik bercengkrama. Namun begitu, ia tidak m
"Wah, ibu tiri mulai menampakkan tanduknya." Sacha terkekeh."Maksudku, hati-hati ya, Cha." Keyna memelankan nada suaranya."Hehe tak apa. Aku senang ada yang perhatian padaku."Mereka terdiam. Keyna ingin sekali mengatakan pada Sacha bahwa ia bukan tipe wanita yang melakukan hubungan bebas dengan lelaki. Namun ia harus menahan diri untuk belum ikut campur banyak. Ia tidak ingin hubungannya dengan Sacha yang kini membaik akan buyar karena berbeda pendapat."Kalau boleh tau, kamu kehilangan keperawanan di umur berapa, Key?"Pernyataan Sacha sontak membuatnya terjaga dari lamunan. Ia menatap wanita cantik di depannya dengan mengerjapkan mata. Tentu saja ia kaget mendapat pertanyaan tersebut."Maaf. Kalau kamu keberatan menjawab pertanyaanku, gak papa kok," ucap Sacha.Keyna tersenyum simpul. "Tidak, sih. Hanya sedikit terkejut saja mendengar pertanyaanmu."Mata Sacha berkilat senang. "Jadi? Umur berapa?""Umur dua puluh enam. Enam bulan setelah menikah dengan William."Dahi Sacha berker
Keyna tidak langsung menjawab. Ia memutar tubuhnya perlahan. Kini wajah Keyna dan William saling menatap beberapa saat."Kenapa kamu bilang begitu?""Kematian adalah suatu hal yang pasti. Kita tidak mungkin bisa menghindarinya."Wajah Keyna menjadi sendu. "Apa kamu sedang teringat kematian mendiang istrimu?""Hey, Baby." Tangan William terjulur mengelus sayang pipi istrinya. "Ini tentang kita."Air mata mulai mengalir di pipi mulus Keyna. "Kenapa tiba-tiba kamu mengatakan itu? Apa kamu sakit?"Kini William merasa sangat bersalah mengungkit masalah ini. Istrinya jadi bersedih. Dan ia sangat tidak menyukai wajah cantik itu menjadi murung."Maafkan aku." William menarik Keyna ke pelukannya."Kamu tidak menjawab pertanyaanku." Keyna mendongakkan kepala menatap suaminya dengan mata berair.Hembusan napas berat terdengar dari hidung William. "Usiaku membuat aku berpikir ke sana, Baby. Bisa saja aku akan pergi lebih dulu, bukan?""Tapi Tuhan tidak hanya memanggil hambanya yang berusia banyak
Keyna masih saja memberengutkan wajah hingga pagi hari. Pembicaraan terakhir mereka menjelang tidur ternyata membawa pengaruh buruk bagi hatinya. William sampai ekstra perhatian untuk membuat Keyna tersenyum kembali."Baby, nanti duduknya jangan di atas, ya. Di bawah saja."Keyna hanya mengangguk tanpa menjawab."Kamu mau sarapan di kamar atau di ruang makan?"Keyna kembali tidak menjawab. Selesai berpakaian rapi, memoles wajahnya dengan skincare, ia merapikan barang-barangnya. Lalu, tanpa pamit pada William, wanita itu membuka pintu untuk keluar dari kamar."Baby!" panggil William. Dengan cepat, lelaki itu menahan lengan istrinya agar tidak melangkah lebih jauh darinya."Aku mau ke ruang makan.""OK. Tapi kita harus selesaikan masalah di sini dulu.""Masalah apa?""Masalah yang membuatmu cemberut sejak semalam.""Aku tidak apa-apa.""Kalau tidak apa-apa, wajah cantikmu tidak akan datar begitu, Baby."Keyna mengembuskan napas panjangnya. "Kamu yang salah!" tuduh Keyna."OK. Aku minta
"Tumben sekali kamu menanyakan masalah ranjang padaku. Apa beberapa hari terakhir ini kau dan Edith jarang bercinta?" tebak William."Jangankan bercinta, berbicara saja kami hampir tidak pernah." Jaslan mengaku.Mereka menghentikan percakapan sejenak. Panitia mengarahkan mereka pada kursi para petinggi universitas. Sekali lagi, William mendapat banyak uluran tangan yang menyambutnya.Acara akan segera dimulai. Gedung auditorium mewah dengan kursi bertingkat layaknya sebuah bioskop telah penuh terisi oleh para mahasiswa-mahasiswi. Seorang pembawa acara mengumumkan agenda acara hari ini.William tersenyum pada kursi bagian depan. Keyna menuruti kemauannya untuk duduk di bawah. Lelaki itu mengarahkan kameranya dan mengabadikan istrinya."Aku langsung menemukan sosokmu di antara sekian banyak orang." William menuliskan pesan itu pada istrinya.Bilioner itu melirik Keyna. Wanita itu tampak belum membaca pesan karena sibuk dengan lembaran kertas di depannya. Ia juga melihat Keyna bersalaman