Cakra mengangkat tubuh Dewi Anjani yang bersimpuh di depannya sambil berkata, "Jangan terlalu tinggi memandangku. Cermin Mustika belum tentu menunjukku jadi maharaja." Cakra tidak tertarik untuk jadi maharaja. Ia ikut pulang ke istana karena ingin menanam benih di rahim puteri mahkota secara resmi, sesuai permintaan gurunya, kemudian pergi ke Bukit Penamburan untuk melaksanakan tirakat di tujuh air terjun. Ia ingin segera pulang ke rumah. Cakra bisa saja berendam di air mata pengukuhan di istana. Jadi tidak perlu susah payah memiliki ilmu Salin Raga. Tapi kepergiannya diketahui pihak kerajaan. Mahameru dan tokoh istana pasti menyusul ke kampungnya jika ia tidak kembali. Cakra berjalan di samping Dewi Anjani yang naik kuda jantan, di belakang mengikuti Nirmala dengan naik kuda betina. "Kelihatannya kanda sangat gelisah," kata Dewi Anjani. "Bolehkah aku tahu apa sebabnya?" "Aku tidak menemukan Fredy di Hutan Gerimis," sahut Cakra. "Aku kuatir sahabatku sudah tewas tanpa nisan." "A
"Pangeran Penamburan sungguh licik," geram Mahameru. "Ia memobilisasi rakyat untuk tameng." Cakra bertanya untuk memastikan, "Jadi mereka adalah rakyat yang dipersenjatai?" "Mereka adalah para pemuda yang dipaksa jadi balatentara karena keluarganya diancam akan dibunuh." "Kalau begitu kau dan rombongan segera pergi untuk menyongsong musuh di depan, aku menghadang mereka di sini." Dewi Anjani kaget. "Bukankah kata kanda mereka jumlahnya hampir dua ratusan?" "Aku kira hanya beberapa belas saja yang berilmu tinggi, selebihnya adalah prajurit yang tidak layak mati. Mereka adalah rakyat Nusa Kencana yang teraniaya. Aku sudah seharusnya menyelamatkan mereka." Mahameru memandang heran, "Bagaimana Tuan Muda menyelamatkannya sementara mereka berada di bawah tekanan Pangeran Penamburan?" "Kau urus saja para penghadang di depan, para pemberontak bagianku." "Baik, Tuan Muda." Mahameru tidak membantah, meski sangsi apakah Cakra sanggup menghadapi balatentara yang begitu banyaknya. "Seluru
"Sering-sering mengeluarkan ajian itu," kata Gentong Ketawa. "Saya jadi awet muda." Musuh tidak ada yang tersisa. Mereka tersapu bersih. Cakra sengaja memusatkan pukulan pada penunggang kuda sehingga pohon dan tanaman perdu tidak terkena dampaknya. Cakra mampu mengendalikan ajian Badai Cemara sesuai kebutuhan. Hal yang sulit dilakukan gurunya sendiri. Dewi Anjani bertanya dengan cemas, "Apakah para prajurit yang tersapu angin itu akan tewas, kanda?" "Aku kira tidak ada yang tewas," jawab Cakra. "Beberapa prajurit mungkin mengalami patah tulang saat terjatuh ke bumi. Hal itu susah dihindari untuk pasukan yang begitu banyak." Gentong Ketawa membela Cakra, "Betul, Tuan Puteri. Korban jiwa pasti tak terhindarkan kalau bentrok dengan pasukan pengawal kerajaan." "Aku mau menyusul Mahapatih dan pasukan," kata Cakra. "Mereka butuh bantuan." "Kita pergi bersama-sama saja, kanda," sahut Dewi Anjani. "Kau naik kuda saja, sepasang sejoli itu sebentar lagi selesai bercinta." Gentong Ketaw
"Hiiaaatt!" Tujuh Malaikat Pencabut Nyawa dari kerajaan Utara serempak menyerbu. Cakra meladeni dengan santai. Mahameru jadi semakin curiga kalau pemuda itu bukan calon pangeran kedelapan. Ilmu tembus pandangnya sulit untuk melihat siapa raga aslinya. "Cakra tidak mungkin memiliki ilmu yang demikian tinggi dalam waktu tujuh bulan," kata Mahameru. "Aku curiga ia jelmaan bangsa siluman." "Hanya Cermin Mustika yang dapat mengetahui siapa ia sebenarnya," sahut Bagaspati. "Aku sulit menerawang, ada cahaya putih melindungi, semakin keras aku berusaha semakin silau cahaya itu." Cakra seakan bermain-main menghadapi mereka. Padahal tujuh tokoh sakti dari Utara bukan musuh kaleng-kaleng! "Dua tukang kentut!" seru Cakra saat berhasil menepuk pantat salah satu dari mereka sehingga mengeluarkan bunyi kentut. Mahameru adalah panglima balatentara berumur separuh baya dan tidak hidup di jaman Ksatria Bayangan saat menguasai dunia perkelahian. Jadi ia belum pernah menyaksikan kehebatan jurus Ci
"Mau lari ke mana kalian, tujuh tukang kentut?" Cakra melesat terbang ke pucuk pohon dengan menggunakan ilmu Tapak Layang dan mencegat Tujuh Malaikat Pencabut Nyawa yang hendak kabur. "Tinggalkan seluruh pakaian kalian, baru boleh pergi. Atau aku paksa kalian untuk melepas baju." Mereka sebenarnya layak untuk mati mengingat sepak terjangnya yang kejam dan bengis. Tapi Cakra ingin memberi pelajaran yang lebih menderita dari kematian, menanggung malu seumur hidup! Mereka pasti mencari pakaian ke perkampungan penduduk, suatu kehinaan yang sehina-hinanya bagi tokoh sakti muncul di depan umum dalam keadaan telanjang. "Cepatlah copot pakaian kalian!" bentak Cakra. "Atau kalian meminta aku sekalian mencopot terong kalian!" Hanya pendekar yang memiliki ilmu Cipta Saji Paripurna yang terhindar dari hal memalukan itu. Ia bisa menciptakan pakaian pengganti dengan segera. Cakra sudah membuat belasan tokoh kelas satu mengalami kejadian memalukan. Maka dapat dipastikan, beberapa tahun
"Salam kami untuk Raja Agung." Mereka memberi penghormatan secara serempak sambil bersimpuh. "Apa-apaan kalian?" hardik Cakra kaget. "Bangkitlah." Mereka bangkit berdiri. Prajurit pengawal kelihatan berseri meski menderita akibat pertarungan yang sangat berat. Semua bergembira mendapati kenyataan bahwa ksatria yang berdiri di hadapan mereka adalah Raja Agung yang ditunggu-tunggu. "Aku tidak mau diperlakukan secara berlebihan sebelum Cermin Mustika menobatkan siapa aku," tegur Cakra. "Aku tidak mau bernasib seperti sahabatku." Dewi Anjani memandang pujaan hatinya dengan sukacita. "Aku yakin kanda adalah Raja Agung yang ditunggu-tunggu, yang mengembalikan kejayaan kerajaan di masa lampau, menciptakan masyarakat adil makmur gemah ripah loh jinawi." "Bagaimana kau bisa yakin kalau aku adalah Raja Agung? Padahal sebelumnya Mahameru curiga berat kalau aku ini jelmaan putera mahkota dari kerajaan Sihir." "Menurut keterangan di dalam lembaran suci kerajaan, pertanda nyata dari Raja A
Matahari sudah tidur nyenyak di peraduan. Malam hampir mencapai puncak. Keadaan sekitar sangat lengang. Sejak roh Laraswati pergi dengan penyekaran air mata bidadari, tidak ada lagi keramaian pada tengah malam. "Aku bikin kereta kalau kamu siap jadi kuda," kata Cakra. "Ilmu Cipta Saji Paripurna tidak bisa menciptakan makhluk hidup, meski sekedar tumbuhan." Gentong Ketawa menggerutu, "Kira-kira saja saya jadi kuda, Tuan Muda." "Maka itu hidup jangan mau enaknya saja. Aku menggunakan ilmu Cipta Saji dalam keadaan darurat saja, dan tidak ada ilmu yang sempurna yang bisa mengatasi segalanya." "Tapi bisa kan kalau mengatasi perut lapar?" Mereka berdua terjaga di bawah pohon, berlindung dari rintik hujan yang tinggal sisa-sisanya. Mahameru dan Bagaspati duduk di sekitar tenda puteri mahkota. Mereka mengambil alih tugas jaga karena prajurit kelelahan dan banyak yang terluka. Kereta kuda dari Kadipaten Selatan sebentar lagi tiba, tapi Mahameru memutuskan untuk berangkat esok pagi. Ia
"Kau pura-pura tidak tahu saja," kata Cakra. "Kita tunggu apa yang dilakukan putera mahkota dari kerajaan Sihir." "Baik, Tuan Muda," sahut Mahameru. "Bukankah pesan Ksatria Bayangan ia tidak boleh dibunuh?" Cakra tersenyum. "Aku tidak terpaku pada permintaan. Aku bisa melenyapkan siapapun kalau layak untuk ditumpas." "Tapi Ksatria Bayangan adalah guru Tuan Muda. Permintaannya adalah titah yang wajib dilaksanakan muridnya." "Aku tidak cinta buta pada guruku, di mana harus melakukan apapun yang diperintahkan. Aku hanya mengabulkan permintaan yang sesuai nurani dan kebenaran." "Apakah permintaan untuk tidak membunuh Pangeran Bramantana tidak sesuai dengan nurani dan kebenaran?" Mahameru khawatir jika Cakra tidak mengabulkan permintaan itu, gurunya mengamuk dan mengobrak-abrik kerajaan. Apakah ia sanggup mengatasi? "Maka itu kita tunggu apa yang dilakukan," kata Cakra. "Apakah ia layak untuk hidup?" Mahameru mengingatkan, "Pangeran Bramantana adalah anak kandung leluhur kerajaan."