"Bercanda." Dewi Anjani tersenyum, udara semakin sejuk karenanya. "Aku tidak mau berendam di sungai suci dan menyucikan." "Jadi hukumannya cuma berendam di sungai?" ujar Cakra. "Aku kira terlalu remeh jika disebut cuma. Sungai suci sangat dingin dan bisa membuat kita mati beku. Hanya jejaka dan perawan yang bisa selamat." "Kenapa begitu?" "Untuk mereka ada pengampunan, begitu menurut lembaran suci. Ada adipati selingkuh dengan wakilnya. Mereka terperangkap di sungai suci sampai mati, padahal mereka berilmu tinggi." "Jadi kita ada pengampunan?" Dewi Anjani balik bertanya, "Kanda ingin bercinta sebelum ritual penyatuan?" Cakra tersenyum samar. "Berarti tawaranmu untuk tidur satu tenda hanya basa-basi." "Aku tidak basa-basi," sahut Dewi Anjani serius. "Sudah disiapkan dua tempat tidur di dalam tenda utama." "Oh, aku kira...." "Betapapun inginnya, kita harus menahan hasrat sebelum ritual penyatuan." Aku tidak ada keinginan denganmu, keluh Cakra dalam hati. Ia merasa tak ada g
Gerimis mulai mengguyur perkemahan. Penjaga di tenda utama bertahan untuk tidak berlindung. Prajurit piket masuk ke dalam tenda. Cakra duduk bersandar ke batang pohon. Ia tidak terkena gerimis karena daun yang rimbun. Cakra kasihan melihat prajurit penjaga terguyur hujan, ia berseru, "Berteduhlah kalian." "Siap, Tuan Muda." Prajurit segera mencari tempat berlindung, tapi tidak jauh dari tenda induk tempat puteri mahkota beristirahat. Tenda induk sebenarnya tidak perlu dijaga karena berada persis di depan Cakra, dan puteri mahkota sanggup melindungi diri sendiri. Tapi protokol kerajaan harus dilaksanakan. Gentong Ketawa datang dan duduk di dekatnya. Ia habis mengembalikan cawat Nirmala ke kereta jemur. "Boleh aku bertanya, Tuan Muda?" Cakra menoleh dengan acuh tak acuh. "Tanya apa?" "Tuan Muda dapat cawat dari mana? Kok pas betul?" "Mestinya berterima kasih kalau pas, bukan bertanya." "Terima kasih, Tuan Muda. Dipakainya enak lagi." Cakra menggunakan ilmu Cipta Saji Paripur
Bidasari memperhatikan pemuda yang duduk di dekatnya dengan tak percaya, dan bertanya untuk memastikan, "Apakah benar kau adalah Cakra Agusti Bimantara?" "Hanya puteri mahkota dari Nusa Kencana yang percaya aku adalah pangeran kedelapan," jawab Cakra. Bidasari memandang tak percaya. "Bagaimana mungkin! Kekuatan apa yang membuatmu jadi tokoh sakti mandraguna dalam tujuh bulan?" Cakra membetulkan letak topinya, pura-pura bingung. "Kekuatan apa ya?" Janji untuk pulang ke rumah adalah kekuatan yang membuat Cakra nekat minum air kehidupan sehingga ia jadi manusia abadi. Cakra pasti sulit hidup tenang di dunia manusia. Ia pasti jadi obyek penelitian para ilmuwan dari berbagai negara. Cakra hanya bisa hidup nyaman di jazirah ini. Apakah ini takdir untuk tinggal di Nusa Kencana? "Apa yang kamu lakukan pada calon suamiku?" Dewi Anjani berdiri di depan Bidasari. Matanya bersinar tajam laksana belati. Bidasari bangkit dari duduknya dan menjawab dengan tenang, "Aku hanya mampi
"Bangunkan semua prajurit!" perintah Dewi Anjani pada kepala penjaga tenda induk. "Kita segera pergi dari tempat ini!" "Kau begitu takutnya pada Pangeran Tengkorak," sindir Cakra santai. "Apa takut ketahuan lagi berduaan denganku?" Dewi Anjani menjawab dengan tegas, "Pangeran Tengkorak bukan untuk main-main, kanda. Ia raja dari kerajaan Timur yang sangat sakti. Kata kanda ada tiga pemuda mendatangi kita, berarti ia membawa pengawal utama. Kita berada dalam bahaya besar." "Ia berarti takut untuk pergi sendiri kalau bawa pengawal," kata Cakra seolah meremehkan. "Jangan-jangan takut ketemu roh Hutan Gerimis." Dewi Anjani berusaha menahan sabar. "Kanda, sekarang bukan waktu yang tepat untuk bergurau." Prajurit sudah berkumpul, Brajaseta datang menghadap. "Pasukan sudah siap berangkat, Tuan Puteri," lapornya. "Kalau boleh patik tahu, ada apa gerangan sehingga kita pergi dengan terburu-buru?" "Pangeran Tengkorak dan dua pengawalnya sedang menuju ke mari." Wajah Brajaseta pucat seketi
Pangeran Tengkorak mengeluarkan tiga buah pin dari balik jubah dan dilemparkan secara tiba-tiba disertai tenaga dalam penuh. Pin melesat di udara tanpa tertangkap oleh mata biasa saking cepatnya. Pin itu bergambar tengkorak dan merupakan senjata rahasia beracun, belum ada pendekar yang mampu menghindar dan berakhir dengan kematian. "Kau sangat merendahkan diriku," kata Cakra. "Jangan mimpi bisa menghabisi murid Ksatria Bayangan dalam sekali gebrak." Cakra dapat melihat gerakan tiga buah pin yang melesat di udara, tapi ia tidak berusaha mengelak, ia tangkap dengan mulut dan jepitan jari kedua tangannya. Gerakan kilat yang sungguh luar biasa dan mengundang kagum pasukan kerajaan Nusa Kencana dan pengawal Pangeran Tengkorak. Air kehidupan yang mengalir dalam darah Cakra menetralkan racun dari pin yang digigitnya sehingga mengeluarkan asap tipis. Cakra membuang ketiga pin ke tanah, dan berkata, "Aku heran kenapa pasukan kerajaan gentar pada durjana yang membawa mainan perempuan."
Pangeran Tengkorak terkejut, ia membentak, "Mengapa kalian menyerangku? Apa kalian sudah gila?" Pangeran Tengkorak bingung apa yang terjadi dengan mereka. Tapi tidak ada waktu untuk berpikir, ia pasti mati konyol kalau membiarkan serangan itu, ia tahu bagaimana ganasnya ajian Samber Nyawa. "Kalian benar-benar cari mampus!" geram Pangeran Tengkorak sambil mengeluarkan ajian Halimun Senja. Brajaseta memerintahkan kepada anak buahnya untuk menjauh dari areal pertarungan, "Lekaslah kalian menyingkir! Berlindung di pohon besar!" Ajian Halimun Senja terkenal sangat kejam, mengandung hawa dingin dan beracun. Siapapun yang terkena hawa itu darahnya akan membeku dan mati. Pukulan beracun dari dua pengawal itu dapat dimentahkan dan hawa dingin melaju kencang menghantam tubuh mereka. Sekejap dua pendekar itu berdiri kaku, kemudian tumbang meregang nyawa. "Mereka mati di tangan majikan sendiri," kata Gentong Ketawa. "Tuan Muda sudah mempengaruhi pikiran mereka untuk berkhianat." Cakra tida
Dewi Anjani keluar dari persembunyian, ia mendatangi Cakra dan memujinya, "Kau sungguh hebat, kanda. Kerajaan tenteram dan damai berada di bawah kekuasaanmu." Nirmala memandang kagum. "Tuan Muda kini jadi penguasa dunia perkelahian. Tidak ada yang perlu ditakuti lagi dengan ancaman dari dalam dan luar." "Aku tidak pernah takut selama berpijak pada kebenaran," kata Cakra. "Kematian Pangeran Tengkorak membuatku makin banyak musuh, hal yang sebenarnya ingin aku hindari." Gentong Ketawa salah sambung, "Tuan Muda tidak perlu menghindari mereka. Mereka pasti kecut untuk bertarung dengan Tuan Muda." Cakra menjelaskan dengan sabar, "Maksudnya aku tidak mau punya musuh, bukan kabur kalau berjumpa dengan musuh." Nirmala berpantun, "Ikan kembung menari badut...salah sambung Gendut!" "Aku heran mereka begitu bebas masuk ke Hutan Gerimis," ujar Cakra. "Apakah hutan ini berbatasan dengan kerajaan Timur?" "Hutan ini berbatasan dengan jalur perdagangan internasional," jawab Dewi Anjani. "Jalu
Cakra mengangkat tubuh Dewi Anjani yang bersimpuh di depannya sambil berkata, "Jangan terlalu tinggi memandangku. Cermin Mustika belum tentu menunjukku jadi maharaja." Cakra tidak tertarik untuk jadi maharaja. Ia ikut pulang ke istana karena ingin menanam benih di rahim puteri mahkota secara resmi, sesuai permintaan gurunya, kemudian pergi ke Bukit Penamburan untuk melaksanakan tirakat di tujuh air terjun. Ia ingin segera pulang ke rumah. Cakra bisa saja berendam di air mata pengukuhan di istana. Jadi tidak perlu susah payah memiliki ilmu Salin Raga. Tapi kepergiannya diketahui pihak kerajaan. Mahameru dan tokoh istana pasti menyusul ke kampungnya jika ia tidak kembali. Cakra berjalan di samping Dewi Anjani yang naik kuda jantan, di belakang mengikuti Nirmala dengan naik kuda betina. "Kelihatannya kanda sangat gelisah," kata Dewi Anjani. "Bolehkah aku tahu apa sebabnya?" "Aku tidak menemukan Fredy di Hutan Gerimis," sahut Cakra. "Aku kuatir sahabatku sudah tewas tanpa nisan." "A