"Kau mau ke mana?" Perempuan bercadar heran melihat Cakra menempuh jalan setapak menuju ke hutan hijau. "Bukankah jalan ke kota Telagasari belok kiri?" "Kau sudah dengar dari Bao Yu bahwa adipati menunggu kedatangan Pendekar Lembah Cemara." Adipati bahkan sudah menyiapkan penyambutan meriah untuk Cakra sebagai pahlawan pergerakan. Cakra enggan menyambangi, perjuangan masih panjang, belum saatnya berpesta. "Maka itu aku bertanya, kenapa kau pergi ke Utara?" "Aku kira di Kadipaten Telagasari tidak ada masalah, aku mau pergi ke kadipaten Selawangi, di keraton banyak pejabat busuk." "Kau mesti menyelesaikan kekacauan di istana Selatan. Mereka lagi heboh akibat perbuatanmu. Sungguh tidak pantas selaku putera mahkota meninggalkan tanggung jawab." Cakra kesal juga disebut tidak bertanggung jawab, padahal perempuan itu berotak cetek. Dinasti istana Selatan telah jatuh. Kekacauan timbul karena terjadi kekosongan kekuasaan. Mereka menunggu kedatangan Indrajaya yang takkan pernah muncu
"Pengorbanan mu sangat besar untuk ayahandamu." Cakra duduk bersandar ke tiang dangau sambil memperhatikan perempuan bercadar yang tidur tergeletak di bawah, karena balai bambu belum jadi. Cakra sulit mengabulkan permintaan perempuan bercadar, padahal ia sampai rela tidur di lantai. Cakra terenyuh juga melihatnya. "Aku tidak dapat memaksa Nyi Ratu Suri untuk pulang ke istana roh," kata Cakra. "Ibundamu siap mengambil pilihan terburuk jika dipaksa...bercerai." Nyi Ratu Suri sudah kehilangan makna cinta sejak dibiarkan berjuang sendiri untuk melawan ketua Dewan Agung. Kini setelah badai berlalu, garwanya datang dengan penyesalan. Terlambat. Sekarang puteri bungsunya mendesak Cakra untuk membantu. Ia bukan siapa-siapa meski pernah melewati hari-hari indah bersama. "Aku terpaksa mesti menjaga tidurmu," keluh Cakra. "Aku tidak mau kau viral karena tidur seperti gelandangan, pasti aku disalahkan." Semestinya perempuan secantik bidadari dan dimuliakan sepanjang masa merajut mimpi di
"Barangkali karma kau menghantam aku di tanah!" Kejengkelan perempuan bercadar lenyap saat mengetahui siapa pendekar yang dikejar-kejar itu. "Sepasang Belalang Sakti. Mereka adalah telik sandi Nusa Kencana." "Berarti tidak sakti lagi kalau dikejar-kejar!" gerutu Cakra kesal. "Jadi belalang kupu-kupu!" Perempuan bercadar tersenyum melihat wajah kusut putera mahkota. "Aku juga jengkel berhenti sebelum finish. Jadi mukanya jangan dilipat begitu." "Kau sudah lima kali orgasme!" "Kau menghitungnya? Aku saja tidak tahu berapa kali. Perhatian banget kamu ya?" Cakra heran perempuan bercadar mendadak lembut, padahal Nyi Ageng Kencana dan Ratu Purbasari terkenal sebagai ratu jutek sepanjang masa. Cakra jadi berpikir Ratu Purbasari juga pasti berubah romantis kalau sudah merasakan peluru kendalinya! Tapi tidak mungkin! Ia tak dapat disogok dengan kemesraan! Cakra segera menghalau pikiran ngawur itu. "Aku akan menolong mereka...!" Perempuan bercadar melompat ke udara lalu berguling dua
Mak Mampir berusia lima ratus tahun, ia termasuk srikandi di dunia perkelahian pada jamannya. Ia sempat merajut kasih bersama Wiraswara, dan terjebak cinta satu malam tanpa mengadakan acara ritual. Ia terkena kutukan dan menjadi insan tercampakkan dalam lingkungan puteri bangsawan. "Bukan alasan bagimu untuk membenci kakek buyutku," kata perempuan bercadar. "Bukankah ia juga menjadi buruk rupa?" "Wiraswara sengaja menolak acara ritual supaya aku tidak menjadi rebutan para ksatria," sahut Mak Mampir dengan dendam membara. "Sedangkan ia dapat melihatku dengan wujud asli, padahal aku hanyalah kekasih gelapnya." "Begitulah kalau terlalu memuja cinta," kicau Cakra sambil terkantuk-kantuk di teras dangau. "Kesalahanmu adalah mengikuti keinginannya, padahal tahu ia buaya darat, laut, dan udara." "Seharusnya kau ada rasa santun kepada gurumu," tegur perempuan bercadar. "Bukan menjelekkan dirinya." "Ia justru marah kalau aku memujinya, sebab ia tidak mempunyai kebagusan di istana, ia ter
Cakra merasa tidak perlu menjawab secara benar. Bagi Mak Mampir yang menganggap dirinya negatif, apapun yang dikatakan adalah negatif. "Kau sungguh hebat, anak muda," puji Mak Mampir. "Apakah kau pernah berguru kepada ratu bidadari sehingga kau memiliki energi roh?" "Kau sedikit sopan mengatakan aku berguru, biasanya mereka mengatakan bercinta. Tapi aku kira berguru atau bercinta tidak penting bagimu." "Tidak ada ksatria yang mampu mematahkan tongkatku, kecuali kau." "Aku ingin mengingatkanmu, sudah bau tanah masih saja memikirkan tongkat. Rupanya tongkat guruku begitu bertuah bagimu sehingga sulit dilupakan." "Mulutmu lemes sekali, anak muda," geram Mak Mampir. "Aku akan mengajarimu sopan santun." "Bodo amat!" Mak Mampir mulai membuka jurus tangan kosong dengan menggunakan chi sempurna, sehingga setiap gerakannya berbunyi menderu. "Jurus petani menabur benih," kata Cakra. "Guruku pernah bilang sangat menyukai jurus itu, tapi ia tidak mengatakan siapa pemiliknya, jurus itu me
Serangkum angin panas bertemu dengan selarik angin dingin sehingga terjadi ledakan hebat. Cakra mengerahkan energi roh sepenuhnya untuk mendorong angin panas. Secara perlahan angin panas terdesak mundur. Mak Mampir berusaha bertahan mati-matian. "Kesaktianmu bukan untuk kebaikan," kata Cakra. "Jadi percuma kau mempunyai ajian tertinggi di mayapada kalau untuk kejelekan." Angin panas terus merambat mundur terdorong oleh seberkas angin berkilau putih. Kemudian angin panas lenyap dan sekujur tubuh Mak Mampir tertutup salju. Perempuan bercadar memandang takjub. Pertarungan dengan tiga murid Mak Mampir berhenti karena mereka harus menghindari ledakan dan menahan hawa dingin serta hawa panas yang begitu dahsyat. "Kenapa tubuh Mak Mampir tidak mencair?" tanya perempuan bercadar kepada Cakra yang datang mendekat. "Aku kira ilmu Tabur Jiwa membentengi raganya dan ..." Cakra membaca firasat jelek. Ia meraih pinggang perempuan bercadar dan mereka lenyap secara tiba-tiba. Bersamaan de
Angin badai menghantam prajurit kadipaten.Mereka beterbangan laksana anai-anai dan berjatuhan ke bumi, tanpa ada korban tewas.Beberapa pendekar yang sudah terdesak bernafas lega."Aku kira mendapat pertolongan alam," kata pendekar berikat kepala putih. "Tak tahunya ada ksatria membantu kita dari atas benteng.""Entah siapa," sahut temannya. "Aku belum pernah mendengar tokoh muda di tatar Selatan mempunyai kesaktian sedahsyat itu.""Kau pernah mendengar tokoh muda berjuluk Pendekar Lembah Cemara?""Tentu saja.""Ialah orangnya."Mereka masuk ke dalam benteng, membantu kawan seperjuangan menghadapi kelompok pendukung adipati.Kemenangan kelompok pergerakan sudah tergambar di depan mata. Korban berjatuhan dari pihak pendukung adipati. Sebagian kabur dari peperangan. Tapi mereka kembali terkepung oleh Belalang Jantan dan beberapa tokoh sakti yang mengejarnya."Tidak ada yang boleh pergi dari kastil tanpa meninggalkan nyawa," kata Belalang Jantan.Cakra membiarkan mereka untuk menghukum
"Jadi aku tidak boleh jatuh cinta kepadamu?" tanya perempuan bercadar."Semua perempuan bermata pasti jatuh cinta kepadaku," jawab Cakra sangat percaya diri. "Tapi inilah anehnya hukum di Nusa Kencana. Kau tidak boleh jatuh cinta kepadaku, karena aku garwa klan mu, tapi kau boleh bercinta denganku.""Bercinta tanpa cinta adalah tradisi pangeran selama masa kehamilan permaisuri. Bercinta dengan cinta adalah tradisi pangeran dengan permaisuri.""Jadi aku bercinta dengan selir sekedar syahwat?""Begitu tradisinya."Cakra sulit mencari pembenaran dari tradisi itu, tapi tradisi tidak butuh pembenaran.Tradisi adalah kearifan lokal yang mempunyai kaidah tertentu.Kaidah itu menjadi keunikan tersendiri bagi bangsa Incubus."Aku mencoba menikmati keunikan itu, ketimbang memperdebatkan denganmu."Mereka tiba di air terjun dengan air berbuih-buih jatuh ke telaga, bergemuruh.Di sekeliling air terjun terdapat bunga hutan bermekaran.Cakra duduk bersila di batu ceper, batu itu terletak di tepi te