"Tersangka mengerucut dengan adanya bukti dari Wiguna." Kecurigaan Cakra mulai mengarah kepada istri Erlangga dengan ditemukannya kemasan racun arsenik di saku blus. Kemungkinan kecil kalau Erlangga menyisipkan kemasan itu ke dalam saku istrinya. Waktu yang ada tidak cukup karena Abah meninggalkan TKP kurang dari dua menit. "Pikiranku sangat gelap untuk mengetahui apa motif wanita itu meracuni diri sendiri dan suaminya," keluh Cakra. "Apa wanita itu mengalami gangguan jiwa?" "Bisa saja orang rumah menyimpan kemasan itu di kantong istrinya saat memberikan pertolongan," kata Melati. "Aku kira kematiannya membuat penyidik merasa tidak perlu mencari barang bukti secara detail pada korban." "Kecurigaan untuk orang rumah kecil sekali karena saat kejadian mereka lagi keluar, tetangga yang membantu Abah membawa mereka ke rumah sakit." "Ada rentang waktu cukup lama dengan kedatangan polisi ke TKP, ada banyak kesempatan untuk membersihkan TKP." "Kalau seperti itu dugaanmu, secara logika
Pagi-pagi Priscillia sudah datang ke rumah Cakra. Matanya kelihatan sembab seperti habis menangis. "Apakah Erlangga melakukan KDRT?" tanya Cakra menaruh simpati. "Kau mestinya lapor polisi." "Aku menangis karena memikirkan nasibmu," jawab Priscillia. "Erlangga melaporkan dirimu ke polisi pagi ini karena sudah mengintimidasi pelayan baru." Cakra tersenyum kecut. "Bagaimana ia tahu kalau aku mengintimidasi pelayan baru? Ia tidak kenal diriku." "Tapi security mengenalmu dan tahu kalau kau adalah anak terpidana." Erlangga sangat gegabah kalau melaporkan dirinya hanya berdasarkan asumsi. Cakra dapat menyangkal keterangan pelayan yang mencari perhatian tuannya itu. Bukti verval sangat tergantung kepada kepintaran orang untuk berbicara. "Aku pikir kau bercerita kepada suamimu." "Aku tidak tahu apa-apa dalam kasus Abah." "Kau sekarang sudah melibatkan diri. Kedatanganmu ke rumahku membahayakan dirimu kalau Erlangga tahu." "Aku tidak peduli." Cakra kuatir ucapan itu timbul akibat be
Hasil uji forensik membuktikan kalau kemasan itu adalah kemasan racun arsenik dan surat wasiat itu merupakan tulisan tangan istri Erlangga. Erlangga menyangkal telah menghancurkan surat wasiat itu, ia bahkan tidak tahu menahu tentang surat itu. Ia juga menolak ingin menguasai seluruh harta titipan karena sudah menulis perjanjian di atas kertas bermaterai, ia akan mengembalikan separuh harta pada tanggal yang telah ditetapkan. "Bagaimana tuan?" Pengacara meminta pendapat Cakra. "Terus terang saya tidak percaya dengan keterangan Pak Erlangga. Apakah tuan akan membuka kasus ini kembali?" "Aku hanya menginginkan ayahku bebas," jawab Cakra. "Tapi ada permintaan kepada Erlangga yang tidak ada hubungannya dengan kasus ini." "Permintaan apa itu?" "Aku menginginkan Erlangga mengundurkan diri sebagai calon bupati, ia tidak pantas menjadi pemimpin." "Tuan ada gantinya? Sekalian membantu partai yang mengusung Erlangga." "Apa urusan anda dengan partai?" "Saya pengurus partai." "Aku kira i
Beberapa pria perlente itu ternyata pengurus partai yang mengusung Erlangga. "Kedatangan kami untuk meminta kesediaan Pak Cakra menjadi calon bupati," kata ketua partai. "Ibu Priscillia sebagai wakilnya." Cakra memperoleh dukungan dari berbagai eksponen partai, namanya viral karena perjuangan untuk menegakkan keadilan. Ia tidak menuntut hakim dan Erlangga, padahal netizen sangat mendukung untuk menjadi pelajaran. Cakra pikir ia tidak mendapatkan apa-apa dengan pelajaran seperti itu, selain menabur dendam. "Basic ku teknologi industri," kata Cakra. "Ibu Priscillia sarjana sosial. Apa tidak terbalik, Pak?" "Begitu keinginan Ibu Priscillia, basic menurutnya nomor sekian. Terpenting, Pak Cakra bersedia berkomitmen untuk memperjuangkan aspirasi rakyat." "Bagaimana dapat memperjuangkan aspirasi rakyat kalau saya tidak mempunyai basic yang sesuai? Ujung-ujungnya berlagak jadi orang pintar!" Cakra tidak mengerti dengan dunia politik. Kalau knowledge tidak penting, lalu standarnya apa u
Sejak tersiar kabar Ambu menjadi bakal calon bupati, rumah tak pernah sepi dari tamu. Penampilan Ambu pun di make over sehingga warga pangling melihatnya, bahkan ia terlihat seperti ratu kecantikan ketimbang calon bupati. "Ambu mesti terlihat cantik di depan konstituen," kata Cakra. "Bertutur lemah lembut, rendah hati, jangan terpancing emosi, begitulah strateginya untuk mengambil simpati." "Aku lulus cum laude." "Pemimpin di kabupaten ini tidak perlu berotak cerdas, yang penting mengerti rakyat." "Maksudmu jadi pelayan rakyat kan?" "Jadi budak rakyat yang baik, tahan terhadap cacian dan fitnah, karena baru sebatas itu pemahaman mereka tentang kebebasan berpendapat. Jangan menghujat orang bejat karena ia akan semakin bejat dengan kata-katanya." "Masa sampai segitunya?" "Begitulah kenyataannya." Cakra membentuk tim sukses untuk membantu kelancaran sosialisasi. Jadi Ambu tidak repot menerima tamu. Tapi pagi itu penampilan Ambu kembali seperti biasanya. "Ambu mau pergi ke mana
"Aku ini sebenarnya mirip perempuan Timur Tengah atau Tiongkok?" Pertanyaan Melati membuat Cakra makin pusing. Mirip perempuan mana pun ia tidak bersedia menjadi istri. Cakra baru saja menerima kedatangan tamu dari sebuah kecamatan. Ia menjadwalkan kunjungan ke beberapa wilayah di kecamatan itu. Pada rombongan tamu, Cakra memperkenalkan Melati sebagai sekretaris berkebangsaan Tiongkok, tapi cerita ke Ambu berkebangsaan Timur Tengah. "Setahuku puteri mahkota yang mirip perempuan Tiongkok, bukan aku." "Terserah kau mau mirip perempuan Dubai atau Shanghai. Tidak penting juga kan?" "Tentu saja penting. Tuan mesti menetapkan aku mirip perempuan bangsa mana. Aku kuatir tuan disebut mencla-mencle." "Bodo amat." Melati tidak tahu kalau kepolosannya kepada Ambu membawa bencana bagi Cakra. Ambu mengultimatum ingin melihatnya menikah sebelum pilkada. Melati menyatakan bersedia. Di bangsanya menikah berarti kawin, atau bercampur tanpa ikatan. "Aku sudah bilang banyak perbedaan istilah
Pagi buta Cakra sudah bersiap-siap berangkat ke bandara untuk terbang ke Timur Tengah. Ia tak mau kepergian mereka diketahui banyak warga. Cukup keluarga yang tahu. "Kepergianku sebenarnya bukan di waktu yang tepat," kata Cakra. "Ambu minggu depan daftar calon peserta Pilkada, pasti semakin sibuk." "Jangan jadi pikiran," sahut Ambu. "Ada tim sukses, mereka dapat dipercaya untuk mengurus semua schedule. Pikirkan saja pernikahanmu di Dubai." "Ambu dan Abah mestinya ikut bersamaku." Cakra merasa ucapan itu sangat basi, sebab ia tak mengharapkan mereka pergi bersamanya. Dubai adalah kota romantis di mana menjadi tempat pernikahan yang tak pernah terjadi. Cakra berencana akan membawa mereka liburan ke Kota Emas di lain waktu. "Aku sudah mengagendakan untuk liburan ke Dubai setelah Pilkada," ujar Ambu. "Sekalian ketemu besan." Berarti Cakra mesti bersandiwara lagi nanti. Ia perlu mencari orang Dubai untuk menjadi besan pura-pura. Cakra perlu menghubungi teman kuliahnya yang bekerj
Cakra mengerahkan ilmu Tembus Pandang Paripurna dengan keringat mengucur di kening. Energinya sangat terkuras dan segera menghentikan penerawangan sebelum kehabisan tenaga. Gelombang udara di negeri manusia menjadi hambatan sehingga butuh energi besar untuk mengetahui kejadian di tempat lain. "Ambu sedang menerima lima pria berpakaian dandy, kelihatannya pengusaha. Buat apa Ambu memintaku balik lagi?" Cakra tidak sempat bertanya karena Ambu sudah lebih dahulu menutup komunikasi. Ia sudah mencoba menghubungi kembali tapi tidak diangkat. Barangkali sibuk kongkow dengan tamu besar itu. "Aku kira pengusaha itu ada hubungannya dengan firma yang tuan dirikan." "Firma tidak ada sangkut pautnya dengan mereka, target operasinya penduduk kampung yang butuh wadah untuk penampungan hasil panen." "Pasti ada masalah penting sehingga tuan diminta pulang kembali. Barangkali lima pengusaha itu ingin menjadi sponsor Ambu." "Kalau kedatangan mereka untuk menjadi sponsor, Ambu sudah tahu solusin