Mereka mendarat di atap tanpa menimbulkan suara pada genteng sirap yang diinjak. Minarti menutup kembali kisi-kisi atap. Kemudian ia mengenakan pakaian yang sudah disiapkan di atas sirap. "Bagaimana mereka bisa percaya keping emas sisa lima?" tanya Cakra heran. "Padahal semuanya cuma ada delapan puluh keping." Minarti tersenyum kecil. "Itulah laki-laki. Mereka tidak melihat caraku menghitung, mereka melihat tubuhku yang tanpa busana." "Kau pasti mempengaruhi mereka dengan ajian Pemikat Cinta. Secepat apapun kau menghitung, tokoh utama pasti dapat melihat kecurangan itu." "Hanya calon terpilih yang tidak tertarik melihat kemolekanku, padahal sangat dekat." "Aku bukan calon terpilih," bantah Cakra. "Sudahlah, jangan berdusta di depanku. Sepasang Gagak Putih pasti tahu kau adalah manusia. Maka itu aku segera membawamu ke atap karena Gagak Betina sangat menginginkan untuk bercinta dengan manusia." "Gagak Jantan pasti marah." "Bukan karena bercintanya, tapi karena kau calon pangera
Malam sangat larut ketika Cakra tiba di ujung kampung. Ia melambatkan lari kuda. Suasana sangat sepi. Penduduk sudah beranjak ke peraduan untuk menyongsong hari esok. "Rumah-rumah ini disewakan, tapi pemilik satu pun tak ada yang duduk di luar," gumam Cakra cemas. "Apa mungkin sudah penuh?" Barangkali Jaka mesti tidur seperti gelandangan. Tapi tidur di sisi jalan takut terlindas kereta kuda yang sering lewat. Lagi pula, mana ada bangsawan jadi gembel? Kecuali bangsawan bangkrut! Cakra tersenyum saat melihat kakek berjubah hitam duduk di beranda sebuah rumah dengan secangkir minuman di meja. "Akhirnya ada juga rumah sewa yang kosong." Cakra turun dari kuda dan memasuki halaman. Di pintu pagar terdapat sederet tulisan aksara kuno. Barangkali papan nama rumah sewa ini. "Permisi," kata Cakra. "Saya kemalaman di jalan. Apa ada kamar untuk bermalam?" Kakek berjanggut pendek itu memandang heran. "Apa kau tidak baca tulisan di depan itu? Rumah ini tidak disewakan, tapi dijual!" Cakra
"Kau mau bermalam di sini, anak muda?" tanya Tabib Kebab. "Bagaimana kalau prajurit kerajaan datang lagi?" "Mereka pasti mengira aku sudah pergi ke perbatasan dengan jalan kaki," jawab Cakra. "Jadi kemungkinan kecil datang lagi." Tabib Kebab tersenyum. "Kau sungguh cerdik. Kau bisa memperdaya prajurit kerajaan, berarti kau juga bisa menipu aku dengan mudah." "Jadi kau curiga aku akan menipumu?" tatap Cakra tidak enak. "Baiklah, aku bayar di muka. Berapa sewa kamarnya?" "Kamar tidak disewakan. Aku menerimamu karena kau kesulitan mencari tempat bermalam." "Lalu apa maksudnya aku bisa menipumu dengan mudah?" tanya Cakra penasaran. Tabib Kebab menatap dengan selidik. "Mengapa kau mengajak bertukar jubah? Apa jubah itu bermasalah?" "Katamu jubah ini biasa dipakai para pangeran. Aku bukan pangeran. Maka itu aku mengajak tukaran." "Kau adalah bangsawan Asir. Jadi sangat pantas memakai jubah itu. Yang aku heran, bangsawan Asir memiliki jubah tersendiri, mengapa kau tidak memakainya?"
"Calon pangeran pergi ke perbatasan kadipaten?" Mahameru yang sedang menikmati hidangan pagi menatap prajurit di hadapannya tanpa berkedip. "Ya tuanku," jawab prajurit senior. "Satu pleton anggota pasukan lagi menyusul." Pria gagah yang menyamar dengan berpakaian pendekar itu terduduk lemas di kursi, menunda makan. Pencarian jadi semakin sulit. Cakra sangat cerdik sehingga dapat mengelabui prajurit yang berjaga di perbatasan. Penampilan Cakra sungguh meyakinkan sebagai anak buah Tabib Kebab yang hendak mencari bumbu di hutan. Mereka baru sadar telah terperdaya saat pekerja yang biasa mencari bumbu muncul. "Calon terpilih bisa mati kelaparan di Hutan Gerimis," kata Bagaspati yang menemani mahapatih makan pagi. Mereka bersantap di sebuah restoran penginapan mewah. "Hutan itu sangat indah dan asri, namun tak ada penyambung kehidupan." "Ia terlalu pintar untuk mati kelaparan," kata Mahameru. "Aku malu pada baginda ratu, melaksanakan tugas kecil saja tidak mampu." "Maafkan aku sela
"Jadi Mahameru gagal memboyong calon pangeran ke istana?" Lelaki berbadan tegap dan berwajah tampan itu tertawa senang mendengar penuturan ahli nujum. Semua tokoh golongan hitam hadir dalam perjamuan itu, di antaranya Tongkat Bertuah, si Sanggul Miring, Bidadari Penabur Cinta, dan Setan Pajak. "Apakah pemuda yang bernama Cakra Agusti Bimantara itu berilmu tinggi, Renggana? Ia pantas bersanding dengan Srikiti kalau benar demikian." Gadis berparas cantik yang duduk di sampingnya menggerutu, "Memangnya aku cangklong ditawarkan kepada setiap lelaki?" "Aku tidak menawarkan kamu kepada setiap lelaki, aku menawarkan anakku kepada lelaki dari bangsa manusia. Aku sangat ingin memiliki cucu dari perkawinan antar bangsa." Pangeran Penamburan menatap ayahnya separuh protes. "Jadi aku tidak berguna bagi Daddy?" "Tentu saja sangat berguna! Aku ingin kau menikah dengan Dewi Anjani agar kita bisa menguasai seluruh wilayah kerajaan!" Pangeran Penamburan adalah putra sulung Tapak Mega. Ia gemb
Hari menjelang senja. Cakra melambatkan lari kuda dan berhenti di bawah pohon rindang. Kuda sangat lincah dan tangguh, larinya jauh lebih cepat dari kuda Thoroughbred pemegang Guinness World Records. "Kau belum punya nama, aku kasih nama apa ya?" ujar Cakra sambil menambatkan tali kuda pada akar yang menonjol di permukaan tanah. "Aku kasih nama Kylian Mbappe...fansnya pasti marah. Aku kasih nama koruptor...kamu pasti marah. Ya sudah...Gemblung saja." Kuda ini membutuhkan cukup banyak air. Cakra membawa bumbung panjang untuk persediaan. Satu tabung bambu cukup untuk persediaan air satu hari. Untuknya, wedang lemon separuh kantong cukup untuk beberapa hari perjalanan. Cakra diberi tahu Gayatri kalau di Hutan Gerimis tidak ada persediaan air dan makanan. Hanya pendekar yang memiliki ilmu Cipta Saji berani mengembara di hutan itu. Banyak pohon buah-buahan tumbuh tapi tidak pernah berbuah. Umbi-umbian juga begitu. "Aku tidak percaya di hutan ini tidak ada yang bisa dimakan atau dimin
"Sialan!" Cakra jengkel melihat buntalan kosong saat bangun di pagi hari. Kakek berselempang putih ternyata sungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia harus menunggunya buang hajat kalau semua ingin kembali. Siapa sudi! "Perutku lapar sekali! Masa aku harus makan tanaman pagi-pagi? Apa bedanya sama si Gemblung?" Kuda meringkik kehausan sehabis makan rumput yang tumbuh subur di sekitar. "Aku saja belum mengisi perut, kau sudah minta minum," omel Cakra. "Dasar gemblung.... Oh iya, kau dikasih nama Gemblung kan karena kau setengah edan!" Cakra beranjak bangkit untuk mengambil bumbung bambu di rumpun pisang. Bumbung itu tampak hampir penuh, cukup untuk persediaan satu hari. Ia lepas tali bumbung dari batang pisang. Kemudian Cakra menuangkan air bumbung ke dalam panci kecil sampai penuh. Dalam sekejap ludes diminum kuda. "Haus sekali kau," kata Cakra sambil mengisi lagi panci itu, dan ludes lagi. "Sudah cukup." Kuda meringkik keras seakan protes. Cakra jadi jengkel. Ia tuangkan air
"Aku mencium bau manusia," kata si Sanggul Miring. "Kid slebew pasti ada di sekitar sini." Si Sanggul Miring bersama Bidadari Penabur Cinta dan Kupu-kupu Madu berlari dengan cepat di udara. Mereka menjadikan pucuk daun sebagai titian. "Beruntung sekali kita," sahut Kupu-kupu Madu. "Baru sampai di Hutan Gerimis langsung bertemu dengan orang yang kita cari." Di kejauhan terlihat Cakra memacu kuda sekencang-kencangnya di antara pepohonan. "Nah, itu orangnya!" seru si Sanggul Miring. "Ayo kita kejar!" Mereka mempercepat larinya memburu kuda yang berlari kencang melewati pepohonan. Jarak mereka semakin dekat. Cakra merasa tidak ada kesempatan untuk kabur, ia berkata, "Berhenti, Gemblung! Percuma kau keluarkan seluruh tenaga, mereka mampu mengejar." Kuda berhenti berlari. "Lalu bagaimana nasib Yang Mulia?" "Jangan panggil aku kid slebew kalau tertangkap oleh perempuan." "Jangan takabur, Yang Mulia." Si Sanggul Miring dan komplotannya mendarat dengan ringan di tanah. Cakra duduk d