Beranda / Romansa / Perjanjian Leluhur / 29. Air Mata Bidadari

Share

29. Air Mata Bidadari

"Sialan!"

Cakra jengkel melihat buntalan kosong saat bangun di pagi hari.

Kakek berselempang putih ternyata sungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia harus menunggunya buang hajat kalau semua ingin kembali. Siapa sudi!

"Perutku lapar sekali! Masa aku harus makan tanaman pagi-pagi? Apa bedanya sama si Gemblung?"

Kuda meringkik kehausan sehabis makan rumput yang tumbuh subur di sekitar.

"Aku saja belum mengisi perut, kau sudah minta minum," omel Cakra. "Dasar gemblung.... Oh iya, kau dikasih nama Gemblung kan karena kau setengah edan!"

Cakra beranjak bangkit untuk mengambil bumbung bambu di rumpun pisang.

Bumbung itu tampak hampir penuh, cukup untuk persediaan satu hari. Ia lepas tali bumbung dari batang pisang.

Kemudian Cakra menuangkan air bumbung ke dalam panci kecil sampai penuh. Dalam sekejap ludes diminum kuda.

"Haus sekali kau," kata Cakra sambil mengisi lagi panci itu, dan ludes lagi. "Sudah cukup."

Kuda meringkik keras seakan protes. Cakra jadi jengkel.

Ia tuangkan air
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status