"Aku mencium bau manusia," kata si Sanggul Miring. "Kid slebew pasti ada di sekitar sini." Si Sanggul Miring bersama Bidadari Penabur Cinta dan Kupu-kupu Madu berlari dengan cepat di udara. Mereka menjadikan pucuk daun sebagai titian. "Beruntung sekali kita," sahut Kupu-kupu Madu. "Baru sampai di Hutan Gerimis langsung bertemu dengan orang yang kita cari." Di kejauhan terlihat Cakra memacu kuda sekencang-kencangnya di antara pepohonan. "Nah, itu orangnya!" seru si Sanggul Miring. "Ayo kita kejar!" Mereka mempercepat larinya memburu kuda yang berlari kencang melewati pepohonan. Jarak mereka semakin dekat. Cakra merasa tidak ada kesempatan untuk kabur, ia berkata, "Berhenti, Gemblung! Percuma kau keluarkan seluruh tenaga, mereka mampu mengejar." Kuda berhenti berlari. "Lalu bagaimana nasib Yang Mulia?" "Jangan panggil aku kid slebew kalau tertangkap oleh perempuan." "Jangan takabur, Yang Mulia." Si Sanggul Miring dan komplotannya mendarat dengan ringan di tanah. Cakra duduk d
Cakra jadi mengetahui bahaya sejak dini dengan adanya perubahan secara drastis pada kemampuan panca inderanya, sehingga perjalanan hari itu aman dari gangguan. Jika ada suara mendekat, ia segera menjauh. Cakra beristirahat di bawah pohon besar saat matahari tenggelam di ufuk barat. Ia duduk di antara dua akar pipih sehingga cukup tersembunyi dari penglihatan para pendekar yang memburunya. "Kau sembunyi di rumpun tanaman perdu, Gemblung," kata Cakra sambil meneguk air mata bidadari. "Jadi tidak gampang ketahuan oleh mereka." "Aku takut, Yang Mulia. Biasanya di tengah malam muncul suara-suara seram." "Masa kamu takut sama suara seram? Suaramu jauh mengerikan!" "Jangan menghinaku, Yang Mulia." "I'm sorry if those words offended you." "Bahasa apa itu, Yang Mulia?" "Bahasa pemersatu dunia." "Pasti tidak termasuk duniaku." Cakra tidak banyak bercakap lagi. Rasa kantuk menyergap matanya. Ia tertidur sampai kemudian terbangun tengah malam karena mendengar suara perempuan menyanyikan
Kakek berselempang putih memeluk Cakra ketika sepasang suami istri melompat turun dari pucuk daun dan mendarat dengan sempurna di tanah berumput di sekitar mereka. "Kek...," bisik Cakra kaget. "Jangan begini.... Aku suka perempuan...!" "Aku juga," sahut si kakek pelan. "Perempuan di depan kita sangat cantik dan seksi, bagaimana menurutmu?" "Aku setuju. Jadi tolong lepaskan pelukanmu." "Aku suka geregetan ingin memeluk kalau lihat perempuan cantik." "Iya...tapi jangan lampiaskan ke aku." "Terus sama siapa?" "Di sampingmu ada yang lebih menggairahkan." "Memeluk kuda maksudmu?" belalak kakek berselempang putih. "Sialan kau, anak muda!" Cakra kenal dengan sepasang suami istri itu. Mereka pernah bertemu di Puri Mentari saat menonton pertunjukan tari erotis. "Sepasang Gagak Putih....!" seru Cakra tercekat. "Mereka juga turun tangan untuk mencariku...!" "Rupanya kau sudah tahu siapa pendekar yang mencarimu. Mereka adalah tokoh terpandang dalam dunia perkelahian di seantero keraja
"Kau harapanku satu-satunya, Kek," kata Cakra sambil meneguk air bumbung. "Cuma kau yang bisa membantu." "Aku sudah bilang tidak ada pintu keluar selain empat gerbang labirin," tegas Ki Gendeng Sejagat seolah ingin membuat kuncup hatinya. "Semua penduduk yang ingin bepergian ke duniamu pasti menghindari gerbang labirin kalau ada pintu yang lebih gampang." "Kau bohong," sergah Cakra tidak senang. "Menurut Iblis Cinta, satu-satunya penduduk yang bisa keluar masuk seenaknya adalah kau." "Iblis Cinta terlalu berlebihan. Gerbang labirin adalah pintu keimigrasian di bangsamu. Hanya warga yang memenuhi syarat yang bisa keluar masuk." "Jadi kakek tidak mau menolongku?" tatap Cakra kecewa. "Tentu saja aku mau menolong," sahut si kakek garuk-garuk kepala, serba salah. "Tapi...." "Tapi apa, Kek?" desak Cakra penuh harap. "Bayarannya mahal? Aku punya uang emas dan perak masing-masing delapan puluh keping." "Kaya sekali kau, anak muda." "Uang itu pemberian Iblis Cinta." "Ia bangsawan Asi
"Kita sudah sampai, anak muda," kata Ki Gendeng sejagat ketika mereka tiba di dekat pohon cemara kecil. Cakra heran melihat pohon cemara tumbuh terpencil di padang rumput, berada di pinggir jurang yang sangat dalam dan berkabut. Mereka turun dari kuda. "Kau tahu berapa usia pohon cemara ini?" tanya Ki Gendeng sejagat dengan air muka berawan, seakan ada kisah pilu yang terpendam. "Lima sampai sepuluh tahun," jawab Cakra. Pohon cemara itu hanya setinggi mereka. "Empat ratus tahun." Cakra memandang kakek berselempang putih dengan tak percaya. "Kok tidak tumbuh besar?" "Pohon cemara ini saat pertama kali tumbuh sudah sebesar ini, bersama dengan munculnya roh Laraswati di Hutan Gerimis." Nama itu tidak asing di telinga Cakra. Abah sering bercerita tentang perjanjian leluhur dari masa ke masa dan nama itu pernah disebutnya. "Aku pernah dengar nama itu dalam babad perjanjian leluhur. Laraswati adalah calon istri Wiraswara, generasi ketiga klan Bimantara yang menolak perjanjian le
Selesai nyekar, mereka naik kuda dan menelusuri padang rumput yang diselimuti kabut tebal. "Aku sudah berikrar untuk mewariskan semua ilmu kepada pangeran dari generasi kedelapan, yang menemukan air mata bidadari," kata Ki Gendeng Sejagat. "Aku senang calon muridku sesuai dengan keinginan." "Aku tidak mata keranjang, Kek," protes Cakra. "Alah, kau sering lihat bokong kerbau betina!" ejek si kakek. "Bagaimana tidak sering lihat, ia tidak pernah pakai baju!" balik Cakra. "Jadi aku murid yang tidak sesuai dengan keinginan kakek!" "Konyolnya sama! Gantengnya juga!" "Konyol iya! Tapi aku mana tahu kakek dulunya ganteng?" Kuda berjalan lambat menelusuri pesisir jurang. Malam jadi semakin gelap karena sinar rembulan sulit menembus kepekatan kabut. "Aku tidak mau jadi muridmu, Kek," tolak Cakra. "Takut ketularan mata keranjang." "Aku juga tidak mau jadi gurumu," sahut si kakek. "Takut ketularan slebew. Tapi kau harus mempelajari semua ilmu yang aku miliki untuk dapat melewati gerbang
"Cepat sedikit!" seru Ki Gendeng Sejagat yang sudah berada jauh di depan. "Kau manusia apa siput?" "Siput!" Cakra balas berteriak. "Ketimbang aku mati ditelan jurang!" "Kau rupanya takut mati juga!" "Aku menolak mati sebelum bertemu orang tuaku!" Cakra rela menantang bahaya demi Abah dan Ambu. Menuruni tangga batu dalam balutan kabut tebal begini adalah perbuatan nekat, kalau tidak boleh disebut bosan hidup. Untung matanya sudah didoping air mata bidadari sehingga dapat melihat tangga batu cukup jelas. Ki Gendeng Sejagat menggendong Cakra karena tidak sabar. Entah kapan sampainya kalau berjalan lambat begitu. "Nah, begini kan enak," kicau Cakra sambil merangkul lehernya. "Ini leher apa kayu lapuk? Kisut betul!" "Sudah ditolong masih berani menghina!" geram si kakek. "Aku lempar ke jurang kau jadi perkedel!" "Aku tahu kau tidak akan membiarkan diriku mati!" Ki Gendeng Sejagat hanya butuh beberapa kali lompatan untuk sampai di dasar lembah. Padahal jurang itu sangat dalam tanpa
Kebiasaan Cakra tidur saat menerima pelajaran tidak membuat Ki Gendeng Sejagat gusar. Ia mulai dapat memahami keanehan yang terjadi pada muridnya. Ia teringat pada petuah pangeran generasi kedua, "Suatu saat akan muncul masa di mana pangeran malas untuk belajar ilmu kanuragan, dan hal ini berbahaya untuk kelangsungan kerajaan." Pada generasi ketujuh sudah terbukti kalau Pangeran Wikudara tidak mempunyai kesaktian. Ia dilarang untuk belajar ilmu kanuragan oleh Ratu Purbasari. Pangeran ketujuh jadi pemalas karena baginda ratu terlalu cinta padanya. Padahal kekacauan di wilayah barat butuh penanganannya secara langsung. Generasi kedelapan menjalani siklus baru dan ia tak percaya dengan perjanjian leluhur. Ia bukan hanya tidak berminat mempelajari ilmu kanuragan, juga tidak tertarik untuk tinggal di istana. "Pangeran kedelapan paling parah," keluh Ki Gendeng Sejagat. "Cakra bersikeras ingin pulang untuk memenuhi janji kepada orang tuanya. Tapi takdir menuntunnya untuk menemukan air m