Selesai nyekar, mereka naik kuda dan menelusuri padang rumput yang diselimuti kabut tebal. "Aku sudah berikrar untuk mewariskan semua ilmu kepada pangeran dari generasi kedelapan, yang menemukan air mata bidadari," kata Ki Gendeng Sejagat. "Aku senang calon muridku sesuai dengan keinginan." "Aku tidak mata keranjang, Kek," protes Cakra. "Alah, kau sering lihat bokong kerbau betina!" ejek si kakek. "Bagaimana tidak sering lihat, ia tidak pernah pakai baju!" balik Cakra. "Jadi aku murid yang tidak sesuai dengan keinginan kakek!" "Konyolnya sama! Gantengnya juga!" "Konyol iya! Tapi aku mana tahu kakek dulunya ganteng?" Kuda berjalan lambat menelusuri pesisir jurang. Malam jadi semakin gelap karena sinar rembulan sulit menembus kepekatan kabut. "Aku tidak mau jadi muridmu, Kek," tolak Cakra. "Takut ketularan mata keranjang." "Aku juga tidak mau jadi gurumu," sahut si kakek. "Takut ketularan slebew. Tapi kau harus mempelajari semua ilmu yang aku miliki untuk dapat melewati gerbang
"Cepat sedikit!" seru Ki Gendeng Sejagat yang sudah berada jauh di depan. "Kau manusia apa siput?" "Siput!" Cakra balas berteriak. "Ketimbang aku mati ditelan jurang!" "Kau rupanya takut mati juga!" "Aku menolak mati sebelum bertemu orang tuaku!" Cakra rela menantang bahaya demi Abah dan Ambu. Menuruni tangga batu dalam balutan kabut tebal begini adalah perbuatan nekat, kalau tidak boleh disebut bosan hidup. Untung matanya sudah didoping air mata bidadari sehingga dapat melihat tangga batu cukup jelas. Ki Gendeng Sejagat menggendong Cakra karena tidak sabar. Entah kapan sampainya kalau berjalan lambat begitu. "Nah, begini kan enak," kicau Cakra sambil merangkul lehernya. "Ini leher apa kayu lapuk? Kisut betul!" "Sudah ditolong masih berani menghina!" geram si kakek. "Aku lempar ke jurang kau jadi perkedel!" "Aku tahu kau tidak akan membiarkan diriku mati!" Ki Gendeng Sejagat hanya butuh beberapa kali lompatan untuk sampai di dasar lembah. Padahal jurang itu sangat dalam tanpa
Kebiasaan Cakra tidur saat menerima pelajaran tidak membuat Ki Gendeng Sejagat gusar. Ia mulai dapat memahami keanehan yang terjadi pada muridnya. Ia teringat pada petuah pangeran generasi kedua, "Suatu saat akan muncul masa di mana pangeran malas untuk belajar ilmu kanuragan, dan hal ini berbahaya untuk kelangsungan kerajaan." Pada generasi ketujuh sudah terbukti kalau Pangeran Wikudara tidak mempunyai kesaktian. Ia dilarang untuk belajar ilmu kanuragan oleh Ratu Purbasari. Pangeran ketujuh jadi pemalas karena baginda ratu terlalu cinta padanya. Padahal kekacauan di wilayah barat butuh penanganannya secara langsung. Generasi kedelapan menjalani siklus baru dan ia tak percaya dengan perjanjian leluhur. Ia bukan hanya tidak berminat mempelajari ilmu kanuragan, juga tidak tertarik untuk tinggal di istana. "Pangeran kedelapan paling parah," keluh Ki Gendeng Sejagat. "Cakra bersikeras ingin pulang untuk memenuhi janji kepada orang tuanya. Tapi takdir menuntunnya untuk menemukan air m
Cakra mengalami perkembangan luar biasa dalam belajar ilmu kanuragan. Ki Gendeng Sejagat jadi percaya kalau tidur adalah tirakat muridnya. Jadi kakek sakti itu membiarkan saja Cakra tertidur pulas ketika ia mengajarkan ajian Badai Cemara. Dalam tidurnya, pemuda itu pasti menyimak dengan bantuan dua air mustika yang mengalir dalam darahnya. Cakra tidak terbangun ketika angin topan melanda lembah di sekitar goa. Pohon meliuk dihantam deru angin yang hebat. Beberapa dahan patah. "Aku ingin tahu seberapa pulas ia tertidur." Ki Gendeng Sejagat menambah kekuatan tenaga dalam, tangannya bergerak memutar dan mendorong ke depan dengan telapak tangan terbuka. Angin dahsyat menerjang pepohonan, tanaman perdu tercabut bersama akarnya dan beterbangan di udara, kemudian jatuh menimbun pemuda yang tergeletak di batu ceper. Cakra bangun, tangannya menggeliat, serta merta angin topan musnah. Ia heran melihat tanaman perdu berserakan di sekitar batu. "Siapa yang mencabut tebu hutan ini?" ge
Cakra dan Ki Gendeng Sejagat membersihkan areal sekitar goa yang porak poranda. "Mulai saat ini kau tidak boleh tidur lagi saat latihan," kata kakek sakti itu. "Kau sangat pemalas, leluhurmu sampai turun tangan untuk mengajari dalam mimpi." "Ngomong saja kau merasa tersaingi." "Berhentilah bercanda, anak muda." "Bagaimana aku berhenti bercanda sementara kau minta makanan model seronok setiap hari?" "Aku hentikan fantasiku, maka kamu juga hentikan malasmu! Kita serius berlatih!" "Belajar ilmu kanuragan dalam mimpi itu enak, tidak perlu keluar keringat." "Leluhurmu butuh energi besar untuk masuk ke dalam mimpimu. Kau tidak kasihan pada pangeran pertama?" "Aku tidak minta diajari. Pangeran Restusanga datang sendiri dalam mimpiku." "Air kehidupan memanggilnya." "Kenapa air kehidupan tidak memanggilmu yang ada di depanku? Kenapa air itu memanggil pangeran pertama yang sudah hidup tenang di alamnya?" "Buat apa aku masuk ke dalam mimpimu?" "Buat mengajari aku." "Aku tidak sudi m
"Kenapa aku tidak dapat membuka tabir mimpiku, Kek?" tanya Cakra penasaran. "Mimpi adalah dimensi roh," jawab Ki Gendeng Sejagat. "Kau bisa membuka tabir mimpi kalau sudah jadi roh." Cakra ingat sesuatu. "Eh, bukankah kau berjuluk manusia separuh roh, selain ksatria bayangan? Kau berarti bisa membuka tabir mimpiku." "Itu kan julukan, anak muda. Nyatanya aku bukan roh." "Padahal jadi roh saja sekalian." "Sialan kau!" "Mereka seharusnya jangan menjuluki manusia separuh roh, tapi setengah edan!" "Brengsek!" "Kau minta makanan apa sebelum aku tirakat, Kek?" "Tirakat untuk apa?" "Aku ingin mengetahui nasib temanku dengan ilmu Tembus Pandang." "Tirakat adalah melatih kepekaan panca indera untuk menerima getaran negatif dan positif dari sekitar." "Lalu aku harus bagaimana?" "Kau duduk tafakur, pusatkan titik pandang dalam kegelapan, pikiran fokus pada apa yang kau inginkan." Cakra duduk bersila di atas batu ceper, dan mulai memusatkan perhatian dengan mata terpejam. Ia ingin mel
Cakra berdiri di tengah Lembah Cemara, tangannya bergerak melingkar secara unik, kemudian tangan kanan terentang ke depan dengan telapak tangan terbuka, tangan kiri menggantung di depan dada. Ia tengah mengerahkan ajian Grebek Nyawa. Sekilas tidak ada perubahan pada tebing karang di depannya. Tebing itu tetap berdiri kokoh membentengi lembah. Kemudian dinding karang retak-retak dan perlahan ambruk jadi butiran debu. "Sungguh mengerikan ajian Grebek Nyawa," kata Cakra. "Seandainya diarahkan kepada makhluk hidup, maka tubuhnya akan hancur menjadi butiran debu." Kemudian Cakra mengedarkan pandang mencari gurunya, tidak ditemukan, ia bergumam, "Apakah kakek edan itu tertimbun longsoran debu karang? Bodo amat!" Cakra pergi ke batu ceper di depan goa, lalu rebahan beristirahat. Semilir angin sejuk menerpa tubuhnya. Gundukan debu karang tiba-tiba berhamburan, dari dalam gundukan melesat keluar kakek berselempang putih dan mendarat dengan sempurna di dekat batu ceper. Tubuh kakek itu kot
Cakra duduk bersila di atas batu ceper. Ia tengah bersiap untuk mengeluarkan pelajaran terakhir dari Lembah Cemara, ilmu pamungkas dari leluhur kerajaan Nusa Kencana, ajian Lampus Umur. Gerakan yang dilakukan Cakra adalah gerakan jurus masa lampau, sehingga kelihatan aneh karena jurus itu sudah punah dan tidak terlihat lagi. Pewaris terakhir jurus langka itu adalah Ki Gendeng Sejagat dan ia jarang sekali mengembara, beberapa puluh tahun belakangan bahkan ia tirakat di dalam goa di Lembah Cemara. "Kakek!" seru Cakra. "Kau di mana? Jangan sampai kau jadi es krim!" "Aku di sampingmu, anak muda." Ki Gendeng Sejagat tidak berani main-main dengan ajian yang satu ini. Kena hawanya saja bisa tewas! Maka itu ia tak berani berada di daerah di hadapan Cakra. Ia menunggu di sampingnya. Cakra menoleh dan berkata, "Oh iya, aku kira pohon hangus." "Sontoloyo!" Cakra mengepalkan tangan kiri, lalu tangan itu meliuk-liuk melakukan gerakan unik, sementara tangan kanan terlipat di dada. Kemudian
"Kau bukan tandinganku...!" Cakra mengingatkan Chu Phang Yu yang hendak menyerangnya. "Aku tidak mau kau mati sia-sia...!"Chu Phang Yu adalah tokoh muda sakti mandraguna yang sangat ditakuti di Hutan Utara, sehingga ia memperoleh gelar Ratu Hutan Utara.Tiada pendekar berani berbuat konyol di Hutan Utara, kecuali ingin mengantarkan nyawa.Betapa nekatnya Cakra memandang remeh Chu Phang Yu."Kau sungguh tidak menghormati diriku!" geram Ratu Hutan Utara. "Apakah kau masih memiliki kehormatan?""Bedebah...! Aku ingin tahu seberapa pantas kau merendahkan diriku!""Sangat pantas...!"Cakra melayani serbuan Chu Phang Yu dengan jurus Hati Di Ranting Cemara.Ia berkata, "Aku juga ingin tahu seberapa pantas kau jadi calon permaisuri Raja Agung!""Aku belum memberi jawaban kepada Anjani! Aku berpikir ulang menjadi permaisuri kesebelas melihat kesombongan dirimu!"Dewi Anjani menetapkan lima belas calon permaisuri untuk Pangeran Nusa Kencana, namun hanya sepuluh yang diumumkan dalam testimoni,
Chu Phang Yu mengintip lewat rumpun bunga tulip, rumpun bunga itu terletak di tepi telaga kecil.Chu Phang Yu tersenyum saat kuda coklat mendatangi kuda betina yang lagi makan rumput di seberang telaga."Jebakanku berhasil...!" gumam Chu Phang Yu. "Daging kuda itu pasti sangat lezat.""Kau sedang apa?"Sebuah pertanyaan dari belakang mengejutkan Chu Phang Yu.Ia menoleh dan menemukan bangsawan muda sangat tampan tengah tersenyum.Bagaimana dirinya sampai tidak mengetahui kedatangan pemuda itu?"Aku kira lagi mpup," kata Cakra. "Kok tidak buka cawat? Apa mpup di celana?""Kurang ajar...!" geram Chu Phang Yu. "Makhluk apa kau tidak ketahuan datangnya olehku?""Kau terlalu khusyuk melihat kelamin kudaku, sehingga tidak tahu kedatangan diriku.""Rupanya kau bangsawan cabul...! Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa!""Aku sedang berhadapan dengan perempuan cantik jelita yang mempunyai kegemaran mengintip binatang kawin.""Aku adalah Chu Phang Yu! Penguasa Hutan Utara yang akan menghukum p
"Bersiaplah...!"Cakra menempelkan ujung tongkat pada kening topeng lalu mengalirkan energi roh, asap berbau busuk mengepul dari sela topeng. Ratu Utara mengerahkan energi inti untuk membantu proses pengobatan, dan menutup jalur pernafasan, mencegah terhirupnya aroma busuk dan beracun.Ratu Utara membuka topeng ketika dirasa wajahnya sudah kembali seperti sediakala, dan mengenakan pakaian."Aku kagum denganmu," puji Ratu Utara. "Kau mampu berkonsentrasi melakukan pengobatan dengan pesonaku terpampang jelas di matamu.""Ada saatnya aku menikmati keindahan perempuan, ada saatnya menutup mata," sahut Cakra. "Aku minta kau memenuhi janji untuk menemui Ratu Purbasari. Permusuhan kalian mesti diakhiri di atas traktat.""Tiada alasan bagiku untuk mengingkari janji. Kutukan akan kembali menimpa diriku jika aku ingkar."Cakra tersenyum miris. Ratu Utara sudi berdamai bukan atas kesadaran diri sendiri, tapi takut kena karma.Kiranya sulit melupakan masa lalu, padahal Pangeran Wikudara mengikat
Cakra senang mendengar kehamilan permaisuri ketiga. Pantas saja Maharini tidak pernah sambung kalbu, ia sudah kehilangan ilmu itu secara sendirinya.Ilmu Sambung Kalbu dan Sambung Rasa akan muncul kembali setelah ia melewati masa lahiran."Puteri mahkota akan tinggal di istana Miring sampai masa lahiran selesai," kata Ratu Utara. "Ia mesti dijaga dari segala pengaruh pria jahat.""Aku heran bagaimana puteri mahkota mempunyai banyak musuh sehingga banyak pria yang ingin mencelakai dirinya," ujar Cakra. "Apakah ia banyak memberi harapan kepada mereka sewaktu masih lajang?""Maharini senang pengembara, kehidupannya banyak dihabiskan di luar istana, ia mempunyai beberapa teman dekat yang sakit hati karena pernikahannya dengan pangeran Nusa Kencana begitu mendadak.""Aku kira mereka salah mengartikan kebaikan puteri mahkota, mereka seharusnya tahu bahwa sejak awal ia sudah menentukan pilihan hidupnya, yaitu Pendekar Lembah Cemara.""Mereka tahu kalau aku tidak setuju puteriku mengikat jan
"Maksudmu ingin menyumpal mulutku dengan bibir topeng?" Cakra memandang Ratu Topeng dengan kurang ajar. "Mendingan disumpal dengan mulut kuda sekalian!""Kau sangat menyinggung harga diriku!" geram Ratu Topeng marah. "Padahal belum pernah ada bangsawan Bunian yang berani menghinaku!""Aku tersanjung menjadi yang pertama."Cakra meminta si Gemblung untuk berjalan lewat gili-gili karena perempuan bertopeng tidak bergeser dari tengah jalan."Aku bertanya sekali lagi...!" tegas Ratu Topeng. "Ada kepentingan apa kau datang malam-malam ke wilayah Utara?""Aku kemalaman, aku kurang nyaman menginap di wilayah Barat, perempuannya bau asem seperti dirimu.""Aku kira ada masalah dengan hidungmu!""Hey, ratu ronggeng...! Kau tidak dapat mencium bau dirimu karena memakai topeng! Maka itu buka dulu topengmu agar bisa menikmati bau asem tubuhmu!"Padahal perempuan bertopeng beraroma mirabilis, wanginya sangat menyegarkan pernafasan.Cakra sampai berfantasi dengan body goal-nya. Wangi mirabilis adal
Cakra pergi meninggalkan prajurit kerajaan, kembali ke dangau di perkebunan jeruk di mana si Gemblung menunggu.Kemudian Cakra berangkat ke perbatasan dengan berkendara kuda coklat itu."Kau benar, Gemblung," kata Cakra. "Kita mestinya melanjutkan perjalanan ke wilayah Utara. Sepasang Pengemis Gila akan menjadi tanggung jawab tokoh istana untuk melumpuhkannya.""Bagaimana kita melewati pintu gerbang, Yang Mulia?" tanya si Gemblung. "Apakah penjaga perbatasan sudi membuka gerbang tengah malam buta begini?""Bagiku tidak ada rintangan yang tak dapat dilewati," sahut Cakra. "Aku adalah calon Raja Agung, aku harus mampu membuktikan ketangguhan diriku."Cakra dapat menggunakan ilmu Selubung Khayali untuk mempengaruhi mereka agar menuruti keinginannya. Ia bahkan dapat berbuat apa saja.Cakra biasa menggunakan ilmu itu dalam situasi darurat, karena cukup menguras energi, terutama untuk makhluk yang berotak jernih.Cakra cukup menggerakkan kepala kepada penjaga perbatasan untuk membuka pintu
"Terima kasih atas informasinya, tuan...!" Kepala prajurit istana dan anak buahnya pergi ke perkebunan apel menyusul Sepasang Pengemis Gila. "Mereka tak percaya dengan penjelasan Yang Mulia," kata si Gemblung. "Mereka pikir Yang Mulia adalah bangsawan edan." "Kau kurang ajar sekali kepada majikanmu...!" gerutu Cakra. "Bangsawan edan mana mungkin mempunyai 5.000 keping emas dan perak?" Cakra bangkit dari balai kayu, berjalan mondar-mandir seperti orang bingung."Ada apa Yang Mulia bolak-balik kayak gergaji mesin?" tanya si Gemblung. "Sepasang Pengemis Gila adalah tokoh sakti mandraguna yang malang-melintang di kerajaan Dublek, kemampuan mereka setingkat sahabatku, pasti cukup merepotkan." Istana Dublek mempunyai tokoh sakti sangat banyak, sehingga cukup disegani meski kerajaan kecil. "Lalu Yang Mulia akan menyusul mereka?" "Ya. Kau tunggu di sini." Cakra merasa bertanggung jawab karena puteri Marina adalah calon permaisuri. "Aku pasti terlambat menyelamatkan puteri mahkota ka
"Kita terpaksa menempuh jalan setapak."Cakra meminta si Gemblung untuk memasuki jalan kecil berkerikil di antara pohon apel yang berderet rapi."Puteri Marina pasti mengenali diriku jika kita lewat jalan umum.""Bagaimana ia mengenali Yang Mulia padahal belum pernah bertemu?""Ratu Barat pasti sudah memberi gambaran secara virtual."Cakra sulit menolak jika puteri Marina mengundang untuk menghadiri pesta. Perjalanan menuju kerajaan Utara jadi terhambat.Cakra hanya mempunyai waktu tiga pekan untuk menyambangi permaisuri, pada saat itu sayembara di kota Dublek sudah memasuki babak akhir.Kesempatan terbaik bagi Cakra untuk mengambil alih istana, tanpa perlu melumpuhkan prajurit."Yang Mulia mestinya senang bertemu puteri Marina. Yang Mulia pasti diminta menginap di rumah singgah, dan bisa test drive.""Kau itu kendaraan calon Raja Agung, pikiran kotormu mestinya dihilangkan.""Barangkali aku ketularan."Cakra mendelik. "Ketularan aku maksudnya?""Bukan aku yang bilang."Hari sudah mal
Cakra segera mengadakan ikatan janji suci dengan puteri mahkota begitu tiba di istana Bunian.Cakra tinggal selama dua hari di istana megah itu. Setelah muncul titik hitam di kening Bidasari, pertanda datang masa kehamilan, ia pergi ke istana Utara untuk menyambangi Maharini.Bidasari melepas kepergian sang ksatria dengan berat."Aku akan selalu merindukan kedatangan dirimu," kata puteri mahkota Bunian. "Jadikanlah aku pengisi bilik hatimu di antara permaisuri lain." Cakra senang Bidasari sudah memasuki masa kehamilan, sehingga tanggung jawabnya untuk mencetak penerus dinasti sudah tertunaikan.Cakra menempuh perjalanan lewat kerajaan Barat, ia belum pernah berkunjung ke negeri kecil yang makmur itu."Aku heran dengan leluhur Nusa Kencana," kata Cakra sambil menunggang kuda coklat dengan santai. "Ia tidak menjodohkan diriku dengan puteri Marina, padahal negeri ini perlu menjadi anggota persemakmuran.""Puteri Marina masih di bawah umur, Yang Mulia," sahut si Gemblung. "Barangkali itu