Cakra berdiri di tengah Lembah Cemara, tangannya bergerak melingkar secara unik, kemudian tangan kanan terentang ke depan dengan telapak tangan terbuka, tangan kiri menggantung di depan dada. Ia tengah mengerahkan ajian Grebek Nyawa. Sekilas tidak ada perubahan pada tebing karang di depannya. Tebing itu tetap berdiri kokoh membentengi lembah. Kemudian dinding karang retak-retak dan perlahan ambruk jadi butiran debu. "Sungguh mengerikan ajian Grebek Nyawa," kata Cakra. "Seandainya diarahkan kepada makhluk hidup, maka tubuhnya akan hancur menjadi butiran debu." Kemudian Cakra mengedarkan pandang mencari gurunya, tidak ditemukan, ia bergumam, "Apakah kakek edan itu tertimbun longsoran debu karang? Bodo amat!" Cakra pergi ke batu ceper di depan goa, lalu rebahan beristirahat. Semilir angin sejuk menerpa tubuhnya. Gundukan debu karang tiba-tiba berhamburan, dari dalam gundukan melesat keluar kakek berselempang putih dan mendarat dengan sempurna di dekat batu ceper. Tubuh kakek itu kot
Cakra duduk bersila di atas batu ceper. Ia tengah bersiap untuk mengeluarkan pelajaran terakhir dari Lembah Cemara, ilmu pamungkas dari leluhur kerajaan Nusa Kencana, ajian Lampus Umur. Gerakan yang dilakukan Cakra adalah gerakan jurus masa lampau, sehingga kelihatan aneh karena jurus itu sudah punah dan tidak terlihat lagi. Pewaris terakhir jurus langka itu adalah Ki Gendeng Sejagat dan ia jarang sekali mengembara, beberapa puluh tahun belakangan bahkan ia tirakat di dalam goa di Lembah Cemara. "Kakek!" seru Cakra. "Kau di mana? Jangan sampai kau jadi es krim!" "Aku di sampingmu, anak muda." Ki Gendeng Sejagat tidak berani main-main dengan ajian yang satu ini. Kena hawanya saja bisa tewas! Maka itu ia tak berani berada di daerah di hadapan Cakra. Ia menunggu di sampingnya. Cakra menoleh dan berkata, "Oh iya, aku kira pohon hangus." "Sontoloyo!" Cakra mengepalkan tangan kiri, lalu tangan itu meliuk-liuk melakukan gerakan unik, sementara tangan kanan terlipat di dada. Kemudian
Cakra berseru dengan kalap, "Aku tidak akan pergi sebelum kau keluar!" "Anak muda!" Suara Ki Gendeng Sejagat membahana memenuhi lembah. "Kita bertemu di waktu tidak diduga! Kita berpisah juga di masa tidak dikira! Usiaku hanya untuk menunggumu tiba! Laraswati sudah menjemputku! Selamat tinggal, anak muda!" "Ijinkan aku melihatmu untuk terakhir kali, Kek!" Sungguh perpisahan yang sangat tragis, padahal Cakra sudah menyiapkan hidangan istimewa untuk perjamuan mereka yang terakhir: Barbeque dengan model Adriana Chechik, bintang film dewasa peraih AVN Awards! Ki Gendeng Sejagat pasti ketagihan! "Aku berharap tidak ada terakhir kali, anak muda!" "Apa maksudmu, Kek? Apakah aku akan segera menyusul dan kita bertemu di alam roh?" Sunyi. Hanya desiran angin berbisik. Barangkali Ki Gendeng Sejagat sudah pergi. Cakra duduk bersimpuh dan menangis sedih. "Guru.... Maafkan muridmu yang kurang ajar ini...!" Cakra sadar bahwa waktu untuk berpisah telah tiba. Tujuh purnama mereka bersama, te
"Kau yakin kuda betina hamil karena dirimu?" tanya Cakra sambil menunggangi si Gemblung dengan santai. Kuda betina mengikuti di belakang. "Bukan sama majikannya?" "Majikannya perempuan, Yang Mulia." Cakra mengernyitkan alis sedikit, lalu berkata, "Patih Mahameru adalah ksatria pinilih, masa tega membunuh perempuan?" "Perempuan itu tokoh utama pemberontak berilmu tinggi. Jika tidak dihabisi, ia pasti menghabisi Patih Mahameru." "Jadi hanya pembunuhan solusinya?" "Memangnya di negeri Yang Mulia perempuan tidak boleh dibunuh?" "Perempuan di negeriku pengennya disayang." "Tidak ada yang kejam dan jahat?" "Tidak ada...tidak ada bedanya dengan di negerimu." Cakra tertawa kecil. "Perempuan di negeriku membunuh laki-laki tidak perlu dengan senjata, cukup dengan cinta." "Hebat sekali perempuan dari bangsa manusia." "Kehebatan mereka tidak cukup diceritakan dalam satu hari." "Bagaimana dengan kuda betina di negeri Yang Mulia?" "Aku kira lebih terhormat kuda betina di negerimu. Mereka
"Kau betul-betul slebor, Yang Mulia," kata si Gemblung. "Kau permainkan dua tokoh muda berilmu tinggi dengan seenaknya." Cakra mengernyitkan alis. "Slebor.... Aku jadi ada ide, kau setuju kalau aku menyandang gelar kid slebor? Mereka pasti terkecoh, karena kid slebew adalah orang tidak mengerti ilmu kanuragan." "Cocoknya kau memakai julukan Pangeran Lembah Cemara, sesuai dengan penampilanmu yang sangat keren." "Aku merasa kurang sreg, borju banget.... Nah, Pendekar Lembah Dosa saja, karena di lembah itu aku banyak berbuat dosa, bagaimana?" "Kau sekarang saja banyak berbuat dosa, Yang Mulia. Kau sudah meremas, meraba, dan mencolek perempuan yang bukan hakmu." "Julukan itu berarti cocok." "Jangan suka membuka aib sendiri, itu kebiasaan tidak baik. Yang Mulia adalah calon pangeran, jadi perlu menjaga sikap." "Kau sudah kenyang menggagahi kuda betina baru ngomong soal moral." "Aku adalah makhluk tidak bermoral, Yang Mulia." "Oh iya, aku lupa. Kau adalah binatang, bisa menggagahi
Sebuah kereta mewah melintas di jalan setapak yang sunyi. Dikawal satu peleton prajurit pilihan di bawah pimpinan Brajaseta. Di dalam kereta, Dewi Anjani duduk dengan wajah muram. Nirmala dan Gentong Ketawa mendampingi di belakang. Hutan Gerimis yang terkenal tenteram dan damai mendadak panas membara sejak calon pangeran dikabarkan hilang tanpa jejak. "Banyak pendekar kelas satu berkeliaran karena hadiah sayembara yang sangat menggiurkan," kata Dewi Anjani. "Padahal mereka tidak tahu bagaimana rupa orang yang dicari. Bagaimana mereka menemukan kid slebew?" Dewi Anjani bersikeras untuk pergi mencari Cakra Agusti Bimantara saat menerima berita puteri mahkota dari kerajaan sekitar meramaikan perburuan. "Aku yakin Cakra belum keluar dari Hutan Gerimis," ucap Dewi Anjani. "Ia berada di suatu tempat yang sangat indah, setiap pagi mengambil ikan di telaga kecil, tidur di batu ceper, begitu gambaran yang muncul di dalam mimpiku." Tokoh istana tidak ada yang tahu lokasi yang digambarkan.
"Sungguh besar nyalimu membawa puteri kerajaan dengan pengawalan seadanya." Sangkulara berdiri dengan pongahnya di depan rombongan kerajaan bersama Tongkat Bertuah, si Sanggul Miring, dan Setan Pajak. "Apakah kau merasa sudah demikian hebat sehingga kami tidak berani menghadang kalian?" Prajurit pengawal segera turun dari kuda tunggangan membentuk formasi melindungi kereta. Beberapa prajurit berilmu tinggi siap siaga menunggu perintah untuk menghajar para pemberontak yang menghalangi jalan. "Kita sungguh beruntung," kata Setan Pajak. "Puteri mahkota hanya dikawal cecunguk, sungguh tangkapan besar bagi kita." "Aku akan membawa Dewi Anjani ke pesanggrahanku," tukas Sangkulara. "Aku tidak tertarik dengan hadiah dari Tapak Mega." "Jangan cari perkara kau, Sangkulara," sergah Tongkat Bertuah. "Kau akan diburu Tapak Mega kemana pun bersembunyi." "Aku rela mati demi bidadari itu." Sangkulara tertawa senang. "Aku ingin mempersuntingnya dan bulan madu di kerajaan Sihir, negeri yang sanga
Tongkat sakti melesat dengan cepat ke arah Nirmala yang sibuk menangkis jurus andalan si Sanggul Miring. Di saat bersamaan, Gentong Ketawa kewalahan menghadapi pengeroyokan Kupu-kupu Madu dan Setan Pajak. Ia terlempar dan jatuh terduduk kena pukulan Kupu-kupu Madu. Setan Pajak maju menerjang dengan tendangan mematikan, sambil berteriak, "Ciiiaaatt...!" Dewi Anjani tahu kedua pelayannya dalam bahaya besar, tapi ia sulit untuk menolong. Sangkulara dan Bidadari Penabur Cinta tidak memberi kesempatan sedikitpun. Brajaseta sulit diharapkan bantuannya. Ia sibuk melayani Tongkat Bertuah yang mulai mengeluarkan jurus pamungkas, dan sesekali dibantu Kupu-kupu Madu. Dewi Anjani hanya bisa mengingatkan, "Awas! Bibi Nirmala! Gentong Ketawa!" Satu hasta lagi serangan maut mendarat di leher mereka, dua kepala ikan salmon tiba-tiba melesat di udara, satu menghantam tongkat sehingga patah dua, satu lagi meluncur masuk ke mulut Setan Pajak yang berteriak sehingga membuatnya gelagapan. Pertaru