Cakra mengalami perkembangan luar biasa dalam belajar ilmu kanuragan. Ki Gendeng Sejagat jadi percaya kalau tidur adalah tirakat muridnya. Jadi kakek sakti itu membiarkan saja Cakra tertidur pulas ketika ia mengajarkan ajian Badai Cemara. Dalam tidurnya, pemuda itu pasti menyimak dengan bantuan dua air mustika yang mengalir dalam darahnya. Cakra tidak terbangun ketika angin topan melanda lembah di sekitar goa. Pohon meliuk dihantam deru angin yang hebat. Beberapa dahan patah. "Aku ingin tahu seberapa pulas ia tertidur." Ki Gendeng Sejagat menambah kekuatan tenaga dalam, tangannya bergerak memutar dan mendorong ke depan dengan telapak tangan terbuka. Angin dahsyat menerjang pepohonan, tanaman perdu tercabut bersama akarnya dan beterbangan di udara, kemudian jatuh menimbun pemuda yang tergeletak di batu ceper. Cakra bangun, tangannya menggeliat, serta merta angin topan musnah. Ia heran melihat tanaman perdu berserakan di sekitar batu. "Siapa yang mencabut tebu hutan ini?" ge
Cakra dan Ki Gendeng Sejagat membersihkan areal sekitar goa yang porak poranda. "Mulai saat ini kau tidak boleh tidur lagi saat latihan," kata kakek sakti itu. "Kau sangat pemalas, leluhurmu sampai turun tangan untuk mengajari dalam mimpi." "Ngomong saja kau merasa tersaingi." "Berhentilah bercanda, anak muda." "Bagaimana aku berhenti bercanda sementara kau minta makanan model seronok setiap hari?" "Aku hentikan fantasiku, maka kamu juga hentikan malasmu! Kita serius berlatih!" "Belajar ilmu kanuragan dalam mimpi itu enak, tidak perlu keluar keringat." "Leluhurmu butuh energi besar untuk masuk ke dalam mimpimu. Kau tidak kasihan pada pangeran pertama?" "Aku tidak minta diajari. Pangeran Restusanga datang sendiri dalam mimpiku." "Air kehidupan memanggilnya." "Kenapa air kehidupan tidak memanggilmu yang ada di depanku? Kenapa air itu memanggil pangeran pertama yang sudah hidup tenang di alamnya?" "Buat apa aku masuk ke dalam mimpimu?" "Buat mengajari aku." "Aku tidak sudi m
"Kenapa aku tidak dapat membuka tabir mimpiku, Kek?" tanya Cakra penasaran. "Mimpi adalah dimensi roh," jawab Ki Gendeng Sejagat. "Kau bisa membuka tabir mimpi kalau sudah jadi roh." Cakra ingat sesuatu. "Eh, bukankah kau berjuluk manusia separuh roh, selain ksatria bayangan? Kau berarti bisa membuka tabir mimpiku." "Itu kan julukan, anak muda. Nyatanya aku bukan roh." "Padahal jadi roh saja sekalian." "Sialan kau!" "Mereka seharusnya jangan menjuluki manusia separuh roh, tapi setengah edan!" "Brengsek!" "Kau minta makanan apa sebelum aku tirakat, Kek?" "Tirakat untuk apa?" "Aku ingin mengetahui nasib temanku dengan ilmu Tembus Pandang." "Tirakat adalah melatih kepekaan panca indera untuk menerima getaran negatif dan positif dari sekitar." "Lalu aku harus bagaimana?" "Kau duduk tafakur, pusatkan titik pandang dalam kegelapan, pikiran fokus pada apa yang kau inginkan." Cakra duduk bersila di atas batu ceper, dan mulai memusatkan perhatian dengan mata terpejam. Ia ingin mel
Cakra berdiri di tengah Lembah Cemara, tangannya bergerak melingkar secara unik, kemudian tangan kanan terentang ke depan dengan telapak tangan terbuka, tangan kiri menggantung di depan dada. Ia tengah mengerahkan ajian Grebek Nyawa. Sekilas tidak ada perubahan pada tebing karang di depannya. Tebing itu tetap berdiri kokoh membentengi lembah. Kemudian dinding karang retak-retak dan perlahan ambruk jadi butiran debu. "Sungguh mengerikan ajian Grebek Nyawa," kata Cakra. "Seandainya diarahkan kepada makhluk hidup, maka tubuhnya akan hancur menjadi butiran debu." Kemudian Cakra mengedarkan pandang mencari gurunya, tidak ditemukan, ia bergumam, "Apakah kakek edan itu tertimbun longsoran debu karang? Bodo amat!" Cakra pergi ke batu ceper di depan goa, lalu rebahan beristirahat. Semilir angin sejuk menerpa tubuhnya. Gundukan debu karang tiba-tiba berhamburan, dari dalam gundukan melesat keluar kakek berselempang putih dan mendarat dengan sempurna di dekat batu ceper. Tubuh kakek itu kot
Cakra duduk bersila di atas batu ceper. Ia tengah bersiap untuk mengeluarkan pelajaran terakhir dari Lembah Cemara, ilmu pamungkas dari leluhur kerajaan Nusa Kencana, ajian Lampus Umur. Gerakan yang dilakukan Cakra adalah gerakan jurus masa lampau, sehingga kelihatan aneh karena jurus itu sudah punah dan tidak terlihat lagi. Pewaris terakhir jurus langka itu adalah Ki Gendeng Sejagat dan ia jarang sekali mengembara, beberapa puluh tahun belakangan bahkan ia tirakat di dalam goa di Lembah Cemara. "Kakek!" seru Cakra. "Kau di mana? Jangan sampai kau jadi es krim!" "Aku di sampingmu, anak muda." Ki Gendeng Sejagat tidak berani main-main dengan ajian yang satu ini. Kena hawanya saja bisa tewas! Maka itu ia tak berani berada di daerah di hadapan Cakra. Ia menunggu di sampingnya. Cakra menoleh dan berkata, "Oh iya, aku kira pohon hangus." "Sontoloyo!" Cakra mengepalkan tangan kiri, lalu tangan itu meliuk-liuk melakukan gerakan unik, sementara tangan kanan terlipat di dada. Kemudian
Cakra berseru dengan kalap, "Aku tidak akan pergi sebelum kau keluar!" "Anak muda!" Suara Ki Gendeng Sejagat membahana memenuhi lembah. "Kita bertemu di waktu tidak diduga! Kita berpisah juga di masa tidak dikira! Usiaku hanya untuk menunggumu tiba! Laraswati sudah menjemputku! Selamat tinggal, anak muda!" "Ijinkan aku melihatmu untuk terakhir kali, Kek!" Sungguh perpisahan yang sangat tragis, padahal Cakra sudah menyiapkan hidangan istimewa untuk perjamuan mereka yang terakhir: Barbeque dengan model Adriana Chechik, bintang film dewasa peraih AVN Awards! Ki Gendeng Sejagat pasti ketagihan! "Aku berharap tidak ada terakhir kali, anak muda!" "Apa maksudmu, Kek? Apakah aku akan segera menyusul dan kita bertemu di alam roh?" Sunyi. Hanya desiran angin berbisik. Barangkali Ki Gendeng Sejagat sudah pergi. Cakra duduk bersimpuh dan menangis sedih. "Guru.... Maafkan muridmu yang kurang ajar ini...!" Cakra sadar bahwa waktu untuk berpisah telah tiba. Tujuh purnama mereka bersama, te
"Kau yakin kuda betina hamil karena dirimu?" tanya Cakra sambil menunggangi si Gemblung dengan santai. Kuda betina mengikuti di belakang. "Bukan sama majikannya?" "Majikannya perempuan, Yang Mulia." Cakra mengernyitkan alis sedikit, lalu berkata, "Patih Mahameru adalah ksatria pinilih, masa tega membunuh perempuan?" "Perempuan itu tokoh utama pemberontak berilmu tinggi. Jika tidak dihabisi, ia pasti menghabisi Patih Mahameru." "Jadi hanya pembunuhan solusinya?" "Memangnya di negeri Yang Mulia perempuan tidak boleh dibunuh?" "Perempuan di negeriku pengennya disayang." "Tidak ada yang kejam dan jahat?" "Tidak ada...tidak ada bedanya dengan di negerimu." Cakra tertawa kecil. "Perempuan di negeriku membunuh laki-laki tidak perlu dengan senjata, cukup dengan cinta." "Hebat sekali perempuan dari bangsa manusia." "Kehebatan mereka tidak cukup diceritakan dalam satu hari." "Bagaimana dengan kuda betina di negeri Yang Mulia?" "Aku kira lebih terhormat kuda betina di negerimu. Mereka
"Kau betul-betul slebor, Yang Mulia," kata si Gemblung. "Kau permainkan dua tokoh muda berilmu tinggi dengan seenaknya." Cakra mengernyitkan alis. "Slebor.... Aku jadi ada ide, kau setuju kalau aku menyandang gelar kid slebor? Mereka pasti terkecoh, karena kid slebew adalah orang tidak mengerti ilmu kanuragan." "Cocoknya kau memakai julukan Pangeran Lembah Cemara, sesuai dengan penampilanmu yang sangat keren." "Aku merasa kurang sreg, borju banget.... Nah, Pendekar Lembah Dosa saja, karena di lembah itu aku banyak berbuat dosa, bagaimana?" "Kau sekarang saja banyak berbuat dosa, Yang Mulia. Kau sudah meremas, meraba, dan mencolek perempuan yang bukan hakmu." "Julukan itu berarti cocok." "Jangan suka membuka aib sendiri, itu kebiasaan tidak baik. Yang Mulia adalah calon pangeran, jadi perlu menjaga sikap." "Kau sudah kenyang menggagahi kuda betina baru ngomong soal moral." "Aku adalah makhluk tidak bermoral, Yang Mulia." "Oh iya, aku lupa. Kau adalah binatang, bisa menggagahi