"Jadi Mahameru gagal memboyong calon pangeran ke istana?" Lelaki berbadan tegap dan berwajah tampan itu tertawa senang mendengar penuturan ahli nujum. Semua tokoh golongan hitam hadir dalam perjamuan itu, di antaranya Tongkat Bertuah, si Sanggul Miring, Bidadari Penabur Cinta, dan Setan Pajak. "Apakah pemuda yang bernama Cakra Agusti Bimantara itu berilmu tinggi, Renggana? Ia pantas bersanding dengan Srikiti kalau benar demikian." Gadis berparas cantik yang duduk di sampingnya menggerutu, "Memangnya aku cangklong ditawarkan kepada setiap lelaki?" "Aku tidak menawarkan kamu kepada setiap lelaki, aku menawarkan anakku kepada lelaki dari bangsa manusia. Aku sangat ingin memiliki cucu dari perkawinan antar bangsa." Pangeran Penamburan menatap ayahnya separuh protes. "Jadi aku tidak berguna bagi Daddy?" "Tentu saja sangat berguna! Aku ingin kau menikah dengan Dewi Anjani agar kita bisa menguasai seluruh wilayah kerajaan!" Pangeran Penamburan adalah putra sulung Tapak Mega. Ia gemb
Hari menjelang senja. Cakra melambatkan lari kuda dan berhenti di bawah pohon rindang. Kuda sangat lincah dan tangguh, larinya jauh lebih cepat dari kuda Thoroughbred pemegang Guinness World Records. "Kau belum punya nama, aku kasih nama apa ya?" ujar Cakra sambil menambatkan tali kuda pada akar yang menonjol di permukaan tanah. "Aku kasih nama Kylian Mbappe...fansnya pasti marah. Aku kasih nama koruptor...kamu pasti marah. Ya sudah...Gemblung saja." Kuda ini membutuhkan cukup banyak air. Cakra membawa bumbung panjang untuk persediaan. Satu tabung bambu cukup untuk persediaan air satu hari. Untuknya, wedang lemon separuh kantong cukup untuk beberapa hari perjalanan. Cakra diberi tahu Gayatri kalau di Hutan Gerimis tidak ada persediaan air dan makanan. Hanya pendekar yang memiliki ilmu Cipta Saji berani mengembara di hutan itu. Banyak pohon buah-buahan tumbuh tapi tidak pernah berbuah. Umbi-umbian juga begitu. "Aku tidak percaya di hutan ini tidak ada yang bisa dimakan atau dimin
"Sialan!" Cakra jengkel melihat buntalan kosong saat bangun di pagi hari. Kakek berselempang putih ternyata sungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia harus menunggunya buang hajat kalau semua ingin kembali. Siapa sudi! "Perutku lapar sekali! Masa aku harus makan tanaman pagi-pagi? Apa bedanya sama si Gemblung?" Kuda meringkik kehausan sehabis makan rumput yang tumbuh subur di sekitar. "Aku saja belum mengisi perut, kau sudah minta minum," omel Cakra. "Dasar gemblung.... Oh iya, kau dikasih nama Gemblung kan karena kau setengah edan!" Cakra beranjak bangkit untuk mengambil bumbung bambu di rumpun pisang. Bumbung itu tampak hampir penuh, cukup untuk persediaan satu hari. Ia lepas tali bumbung dari batang pisang. Kemudian Cakra menuangkan air bumbung ke dalam panci kecil sampai penuh. Dalam sekejap ludes diminum kuda. "Haus sekali kau," kata Cakra sambil mengisi lagi panci itu, dan ludes lagi. "Sudah cukup." Kuda meringkik keras seakan protes. Cakra jadi jengkel. Ia tuangkan air
"Aku mencium bau manusia," kata si Sanggul Miring. "Kid slebew pasti ada di sekitar sini." Si Sanggul Miring bersama Bidadari Penabur Cinta dan Kupu-kupu Madu berlari dengan cepat di udara. Mereka menjadikan pucuk daun sebagai titian. "Beruntung sekali kita," sahut Kupu-kupu Madu. "Baru sampai di Hutan Gerimis langsung bertemu dengan orang yang kita cari." Di kejauhan terlihat Cakra memacu kuda sekencang-kencangnya di antara pepohonan. "Nah, itu orangnya!" seru si Sanggul Miring. "Ayo kita kejar!" Mereka mempercepat larinya memburu kuda yang berlari kencang melewati pepohonan. Jarak mereka semakin dekat. Cakra merasa tidak ada kesempatan untuk kabur, ia berkata, "Berhenti, Gemblung! Percuma kau keluarkan seluruh tenaga, mereka mampu mengejar." Kuda berhenti berlari. "Lalu bagaimana nasib Yang Mulia?" "Jangan panggil aku kid slebew kalau tertangkap oleh perempuan." "Jangan takabur, Yang Mulia." Si Sanggul Miring dan komplotannya mendarat dengan ringan di tanah. Cakra duduk d
Cakra jadi mengetahui bahaya sejak dini dengan adanya perubahan secara drastis pada kemampuan panca inderanya, sehingga perjalanan hari itu aman dari gangguan. Jika ada suara mendekat, ia segera menjauh. Cakra beristirahat di bawah pohon besar saat matahari tenggelam di ufuk barat. Ia duduk di antara dua akar pipih sehingga cukup tersembunyi dari penglihatan para pendekar yang memburunya. "Kau sembunyi di rumpun tanaman perdu, Gemblung," kata Cakra sambil meneguk air mata bidadari. "Jadi tidak gampang ketahuan oleh mereka." "Aku takut, Yang Mulia. Biasanya di tengah malam muncul suara-suara seram." "Masa kamu takut sama suara seram? Suaramu jauh mengerikan!" "Jangan menghinaku, Yang Mulia." "I'm sorry if those words offended you." "Bahasa apa itu, Yang Mulia?" "Bahasa pemersatu dunia." "Pasti tidak termasuk duniaku." Cakra tidak banyak bercakap lagi. Rasa kantuk menyergap matanya. Ia tertidur sampai kemudian terbangun tengah malam karena mendengar suara perempuan menyanyikan
Kakek berselempang putih memeluk Cakra ketika sepasang suami istri melompat turun dari pucuk daun dan mendarat dengan sempurna di tanah berumput di sekitar mereka. "Kek...," bisik Cakra kaget. "Jangan begini.... Aku suka perempuan...!" "Aku juga," sahut si kakek pelan. "Perempuan di depan kita sangat cantik dan seksi, bagaimana menurutmu?" "Aku setuju. Jadi tolong lepaskan pelukanmu." "Aku suka geregetan ingin memeluk kalau lihat perempuan cantik." "Iya...tapi jangan lampiaskan ke aku." "Terus sama siapa?" "Di sampingmu ada yang lebih menggairahkan." "Memeluk kuda maksudmu?" belalak kakek berselempang putih. "Sialan kau, anak muda!" Cakra kenal dengan sepasang suami istri itu. Mereka pernah bertemu di Puri Mentari saat menonton pertunjukan tari erotis. "Sepasang Gagak Putih....!" seru Cakra tercekat. "Mereka juga turun tangan untuk mencariku...!" "Rupanya kau sudah tahu siapa pendekar yang mencarimu. Mereka adalah tokoh terpandang dalam dunia perkelahian di seantero keraja
"Kau harapanku satu-satunya, Kek," kata Cakra sambil meneguk air bumbung. "Cuma kau yang bisa membantu." "Aku sudah bilang tidak ada pintu keluar selain empat gerbang labirin," tegas Ki Gendeng Sejagat seolah ingin membuat kuncup hatinya. "Semua penduduk yang ingin bepergian ke duniamu pasti menghindari gerbang labirin kalau ada pintu yang lebih gampang." "Kau bohong," sergah Cakra tidak senang. "Menurut Iblis Cinta, satu-satunya penduduk yang bisa keluar masuk seenaknya adalah kau." "Iblis Cinta terlalu berlebihan. Gerbang labirin adalah pintu keimigrasian di bangsamu. Hanya warga yang memenuhi syarat yang bisa keluar masuk." "Jadi kakek tidak mau menolongku?" tatap Cakra kecewa. "Tentu saja aku mau menolong," sahut si kakek garuk-garuk kepala, serba salah. "Tapi...." "Tapi apa, Kek?" desak Cakra penuh harap. "Bayarannya mahal? Aku punya uang emas dan perak masing-masing delapan puluh keping." "Kaya sekali kau, anak muda." "Uang itu pemberian Iblis Cinta." "Ia bangsawan Asi
"Kita sudah sampai, anak muda," kata Ki Gendeng sejagat ketika mereka tiba di dekat pohon cemara kecil. Cakra heran melihat pohon cemara tumbuh terpencil di padang rumput, berada di pinggir jurang yang sangat dalam dan berkabut. Mereka turun dari kuda. "Kau tahu berapa usia pohon cemara ini?" tanya Ki Gendeng sejagat dengan air muka berawan, seakan ada kisah pilu yang terpendam. "Lima sampai sepuluh tahun," jawab Cakra. Pohon cemara itu hanya setinggi mereka. "Empat ratus tahun." Cakra memandang kakek berselempang putih dengan tak percaya. "Kok tidak tumbuh besar?" "Pohon cemara ini saat pertama kali tumbuh sudah sebesar ini, bersama dengan munculnya roh Laraswati di Hutan Gerimis." Nama itu tidak asing di telinga Cakra. Abah sering bercerita tentang perjanjian leluhur dari masa ke masa dan nama itu pernah disebutnya. "Aku pernah dengar nama itu dalam babad perjanjian leluhur. Laraswati adalah calon istri Wiraswara, generasi ketiga klan Bimantara yang menolak perjanjian le