"Jangan salahkan aku berbuat kejam!" Jendral Perang mengirimkan pukulan sakti untuk menghentikan perlawanan dua pendekar tersisa, mereka terlempar menghantam dinding istana dan jatuh terhempas meregang nyawa. "Kalian memilih menyerahkan nyawa ketimbang menyerahkan diri!" Seluruh anak buah rabi Isnani berhasil ditaklukkan, sebagian besar tewas, sisanya menderita luka dalam. Beberapa belas pelayan menyerahkan diri. Mereka digiring bersama prajurit pemberontak ke kaki bukit untuk dibawa ke pusat rehabilitasi, di bawah pengawalan pendekar wanita. Sementara beberapa pendekar pria menghadapi rabi Isnani, beberapa pendekar lagi bersama Jendral Perang memasang bahan peledak di berbagai lokasi di dalam istana. "Bagaimana rabi Isnani mempunyai pentolite sedemikian banyak?" cetus Fredy. "Apakah ia melakukan perdagangan gelap dengan manusia?" "Bahan peledak semacam ini banyak terdapat di kerajaan Ungu," jawab Jendral Perang. "Barang ini masuk secara ilegal, tidak ada cap KDI." "KDI? Konser
Ctar! Bunyi cemeti membelah angkasa laksana petir. Kemudian Cakra muncul sambil menggenggam cemeti emas yang merupakan perubahan bentuk dari Tongkat Petir. Rabi Isnani urung meremas Golok Santet menjadi ayam penyet karena tangannya terasa pedih tercambuk cemeti. Golok Santet terlepas dari genggaman. Ia segera jungkir balik menjauh. Nyawanya nyaris melayang gara-gara nekat menebas kaki rabi Isnani dengan golok pusaka. "Baru jadi sugar baby Nyi Ageng Permata saja belagu!" ledek Cakra. "Aku jadi sugar baby mommy-nya woles saja!" Nyi Ratu Suri yang berdiri di sampingnya mendelik. Tapi rabi Isnani tidak mengenali dirinya, disangkanya Dewi Anjani. "Berani sekali bicara begitu di depan puteri mahkota! Kau lihat ia ingin menelanmu bulat-bulat!" "Kau tahu saja ia suka yang bulat-bulat! Ia lagi ilfil karena purnama kemarin pas haid!" Nyi Ratu Suri jadi meradang. "Kau mau menghentikan kebiadaban rabi Isnani atau menggosip tentang aku?" "Aku lagi membicarakan istriku. Kau tidak dengar rab
"Mengapa kau tidak mengambil gundik?" Nyi Ratu Suri heran Cakra bertahan dengan dua permaisuri. Padahal ia bisa mengambil selir segampang mengambil mangga dari pohon roboh. Jangankan perempuan lajang, sudah bersuami pun pasti antri jika ada woro-woro. Cakra Agusti Bimantara adalah pangeran tertampan dari delapan generasi. Selir seolah menjadi branded bagi pangeran. Wiraswara adalah pangeran terbanyak yang mempunyai selir, sedangkan selir tersedikit adalah Wikudara, ia memiliki dua selir, dan jarang sekali dikunjungi kecuali Ratu Nusa Kencana lagi berhalangan. "Aku menunggu keikhlasan mu menjadi sugar momma." "Aku sudah berusia seribu tahun." "Tapi casing dan spek seperti berusia tiga puluh tahun." "Sotoy." "Aku yakin sekali kau leluhur rasa lelahar, menarik minat banyak lelaki untuk menumpahkan lahar." "Apakah omonganmu begini juga di depan Anjani?" "Tentu saja tidak! Ia sudah memberikan segalanya sebelum dipinta! Jadi buat apa diomongin?" Cakra tahu semakin banyak selir sem
"Bagaimana kalau kau menghirup kabut racun asmara?" Cakra tahu Nyi Ratu Suri tidak mempunyai pertahanan terhadap racun di dalam tubuhnya. Cakra adalah satu-satunya makhluk yang minum air mata bidadari dan air kehidupan. "Kau sudi bersusah payah menetralkan dengan energi inti? Atau mau ambil mudahnya bercinta denganku?" Cakra melihat ke arah Nyi Ratu Suri yang berbaring di atas pangkuannya. Ratu bidadari itu tampak tertidur pulas. "Sialan. Aku ngomong sendiri dari tadi." Nyi Ratu Suri kelihatan sangat lelah. Ia kurang istirahat karena menjadi buronan di alam roh. Ia rela jadi pengembara di alam nyata ketimbang menjadi permaisuri ketua baru Dewan Agung. Sebuah kesetiaan konyol kepada lelaki pecundang. "Kau jadi sengsara akibat leluhurku tidak bertanggung jawab. Kasihan sekali." Raden Mas Arya Bimantara seharusnya mengutamakan keselamatan istrinya, bukan menyerahkan kepada klan untuk melindunginya. Nyi Ratu Suri pasti merasa terpinggirkan melihat suaminya mementingkan tahta. Pa
"Oh, saung satu lagi." Cakra berjalan ke dangau yang diselubungi kabut. Ia sudah khawatir Nyi Ratu Suri diculik utusan ketua baru Dewan Agung. "Aku hampir kalang kabut ke mana mesti mencari." Nyi Ratu Suri tampak duduk bersila dengan mata terpejam di balai bambu. Ia tengah menetralkan pengaruh kabut racun asmara dengan energi inti. Ia mengenakan kemben dan rok bersulam emas. Belahan rok sangat tinggi sehingga terlihat pahanya yang sangat mulus. Baju terusan transparan tak mampu menutup pesona yang sangat menggairahkan itu. "Untung mereka sudah mati. Kalau masih hidup, aku tidak tahu apa yang terjadi. Yang jelas mereka takkan membawamu ke istana ketua baru." Cakra duduk di dekatnya. Tarikan nafasnya sangat halus sehingga sepintas terlihat seperti tak bernyawa. "Kau benar-benar mirip dengan puteri mahkota. Aku pasti mengira kalian kembar siam kalau lahir di era yang sama." Barangkali penampilan saja yang membedakan mereka, Nyi Ratu Suri lebih berani, perilakunya juga lebih slenge
"Jangan salahkan kabut racun asmara." Nyi Ratu Suri tersenyum berlumur madu sambil mengenakan pakaian, lalu duduk di samping Cakra yang sudah rapi. "Kita sama-sama menginginkan." "Seharusnya tidak terjadi." "Seharusnya terjadi sejak awal. Kau begitu tangguh menahan hasrat, padahal pengantin baru." Cakra sampai lupa kalau ia belum lama mengikat janji suci bersama Puteri Rinjani. Tapi kenangan yang tercipta lebih membekas bersama Nyi Ratu Suri. Barangkali karena ikatan itu terjadi bukan atas nama cinta. "Jadi kau menunggu?" "Aku tidak menunggu! Tapi siapa pikirmu yang mampu menolak ksatria setampan dirimu?" Kegalakan Nyi Ratu Suri rupanya hanya benteng untuk mencegah terjadinya kemesraan, namun runtuh juga. "Aku membiarkan kabut racun asmara mempengaruhi jiwaku. Aku bersemedi untuk mengatur hasrat supaya tidak kelihatan seperti perempuan murahan." "Bagaimana kalau aku tidak menginginkan?" "Pikirmu ksatria mana yang mampu bertahan dari keindahan ratu bidadari?" "Pede banget."
"Kabut kenikmatan datang." Cakra memandang Nyi Ratu Suri penuh arti. Kabut racun asmara turun menyapa alam sekitar dengan aroma khas. "Kau yakin mau lagi?" Nyi Ratu Suri merasa tersanjung Cakra sangat berhasrat kepadanya. Padahal sepanjang siang hujan deras dan mereka mengisi waktu dengan keringat cinta. Ia merelakan pemuda itu memanjakan tubuhnya jengkal demi jengkal. Jeda hanya saat makan. Cakra seakan tidak merasa lelah menjadi joki, selalu ada dorongan untuk memulai, padahal ratu bidadari bukan kuda binal. "Pertanyaan itu untuk ksatria bodoh." "Bagaimana dengan lima perempuan yang bersembunyi di balik pohon?" Lima pendekar wanita sudah mengintai di kegelapan sebelum turun kabut. "Justru aku menginginkan mereka keluar dengan mencumbu dirimu." "Kau tidak malu?" "Memberi tontonan gratis lagi marak di Bukit Penamburan." "Maksudku kau tidak malu pendekar besar dianggap stres ngomong sendiri?" Cakra baru sadar Nyi Ratu Suri tidak menampakkan diri secara kasat mata. Hanya ia
"Jadi kau calon selir ketua baru?" Cakra mendatangi Selendang Ungu yang berdiri dengan tangan terentang ke depan mirip vampir. Empat pendekar lain masih terduduk kelelahan di tanah. "Bagaimana ketua baru bisa mengambil selir dari bangsa Incubus yang belum menjadi roh?" "Aku calon selir di alam nyata." "Enak sekali jadi ketua Dewan Agung, bisa mengambil selir sesuka hati. Lucunya kau bangga menjadi budak seks!" "Suatu kehormatan menjadi selir bagi ketua. Mereka adalah perempuan pilihan di jazirah ini." "Bullshit! Tahta membuatmu silau! Sudi mencampakkan pangeran dari kerajaan Tandem yang ingin mempersunting mu menjadi istri!" Selendang Ungu terkejut. "Bagaimana kau tahu?" "Aku tahu semua kejadian di daratan ini. Semut pun tak luput dari perhatianku." Padahal Cakra mendapat bisikan dari Nyi Ratu Suri. Ia malas menerawang sampai sejauh itu. "Berarti benar kau adalah calon Raja Agung." Hanya Raja Agung yang mempunyai kepedulian pada semua makhluk di dataran ini. Ia akan menghuk