Pemilik warung di tengah hutan itu adalah perempuan kembar cantik rupawan, bernama Marina dan Marini. "Tamu yang datang ke kastil sepi sekali hari ini," kata Marina. "Apakah mereka takut kepada pendekar yang baru-baru ini membunuh Konde Cinta?" Empat pendekar berwajah sangar duduk di bangku kayu sambil minum kopi. Mereka adalah penjaga pintu masuk kubah raksasa. Kubah itu tidak terlihat secara kasat mata, tak ada perbedaan dengan pemandangan di sekitar, pepohonan besar dengan tanaman perdu dan semak. Akan tetapi, jika memasuki hutan di dalam kubah raksasa tanpa melalui gerbang resmi, maka dipastikan penyusup tersesat dan tewas. "Takut adalah perasaan yang tidak ditemukan dalam diri mereka," ujar pendekar berkumis tipis. "Tamu sepi karena Tapak Mega sedang bersemedi di ruang transisi roh." Marini terkejut, ia bertanya, "Apakah situasi sudah demikian genting sehingga Tapak Mega berusaha menghubungi Tuan Agung?" "Tapak Mega ingin meminta petunjuk," jawab pendekar berkepala plontos
Sebuah ngarai sangat dalam dan berkelok-kelok dengan tebing curam menjadi batas wilayah kerajaan Nusa Kencana dan kerajaan Utara. Panorama indah terhampar sejauh mata memandang ditingkahi gemericik air sungai dan suara binatang malam di bawah siraman cahaya bulan separuh. Di bagian selatan Bukit Penamburan terdapat jembatan memanjang untuk jalan penghubung antara dua kerajaan, dengan pos penjagaan di ujung jembatan. "Jembatan ini jarang sekali dilewati pelintas batas," kata komandan prajurit penjaga perbatasan. "Sepanjang tahun hampir tak ada pelancong masuk atau keluar." Jembatan itu sangat kokoh dengan konstruksi sejenis baja. Dibangun atas inisiatif Ratu Nusa Kencana yang ingin memperbaiki hubungan dengan kerajaan Utara. "Hubungan kedua kerajaan tak pernah membaik gara-gara sepotong cinta di masa lalu. Baginda ratu sudah terlanjur dicap sebagai pelakor." Ratu Ipritala memperoleh kesempatan untuk membalas sakit hati saat Tapak Mega meminta bala bantuan prajurit untuk menabuh ge
"Ssshht aahh...!" Ratu Purbasari mendesah nikmat dengan mata terpejam. Kakinya meronta-ronta pelan dirangsang gairah yang menderu. Sementara tangannya menjambak rambut ksatria yang menghisap puncak bukit dengan lembut. "Ouh, Cakra...!" Hisapan bergeser ke lereng bukit dan perut berkulit putih eksotik tiada cela. Ksatria muda itu sangat pandai membuai sang ratu, sehingga erangan nikmat semakin deras meluncur dari bibir yang indah. "Apa yang kau lakukan...?" Ksatria itu melepas tali cawat, satu-satunya pakaian yang tersisa di tubuh body goal itu, lalu kepalanya tenggelam di sela kaki yang tak berhenti bergerak. Ratu Purbasari melenguh nikmat. Sekujur tubuhnya berdesir panas. Ia belum pernah diperlakukan demikian liar. Ledakan hasrat menggelegak keluar mencari pelampiasan. "Cakra...!" Ratu Purbasari tidak tahu bagaimana hal ini terjadi. Ia tengah bersemedi di pesanggrahan pribadi untuk minta petunjuk dari Ratu Singkawang. Kepalanya mendadak berdenyut pusing dan tak ingat apa-apa
"Edan! Betul-betul edan!" Ki Gendeng Sejagat tertawa terbahak-bahak. "Kau sudah mempengaruhi mereka dengan ilmu Selubung Khayali dan merubah wujud Pangeran Wikudara dengan ilmu Salin Rupa!" "Tapi aku tidak bertanggung jawab kalau Ratu Singkawang murka! Semua itu idemu!" "Itu urusanku! Tapi bukan urusanku kalau gusti ratu jatuh cinta sama menantu! Ia pasti tidak seganas itu kalau tahu siapa yang mencangkul sawahnya!" "Ilmu itu jadi beban moral bagiku." "Jangan bicara moral di Kadipaten Barat! Kau semakin jauh tertinggal!" Dan semakin jauh untuk pulang ke istana, batin Cakra kelu. Ia ditunggu dua wanita, meski skandal dengan ibu mertua adalah kabar basi! Ratu Nusa Kencana pasti tak percaya kalau joki semalam adalah suaminya sendiri! "Hidup tak semanis ubi bakar," kata Cakra seraya mengambil ubi yang sudah matang di antara ranting yang membara. Saat itu mereka berada di dekat tugu terakhir di utara ngarai. "Gusti ratu minta bantuan Ratu Singkawang untuk menghukum diriku. Padahal
"Aku terlalu meremehkan mereka," kata Gagak Betina seusai mendapat pengobatan dari Gagak Jantan. Ia dan sahabat pendekar wanita duduk di balai-balai untuk mendapat pertolongan. "Pemberontak wanita itu ternyata memiliki ilmu sangat tinggi." "Aku sudah bilang kalian kejar pemberontak lain," sahut Ranggaslawi. "Biar aku menghajar mereka. Tapi kau curiga aku akan menghajarnya di kamar penginapan." "Aku tahu kualitasmu," gerutu Gagak Betina. "Sekarang saja matamu jelalatan ke dada kami." "Aku ingin memastikan kalau pengobatan berjalan lancar," dalih Ranggaslawi. "Modus." "Kalau butuh kenapa tidak kau bawa tadi di kadipaten?" "Itu kardus!" Serbuan ke istana kadipaten adalah pertarungan terberat bagi mereka. Jumlah pemberontak terlalu banyak dan berilmu tinggi. Mereka tidak tahu apa yang terjadi kalau Jendral Perang terlambat datang bersama lima puluh tokoh istana. Sekarang Adipati Bramantana sibuk mengurus korban tewas di alun-alun, sementara mereka pergi ke penginapan untuk menjalan
Lima perempuan berwajah cantik dan seksi mondar-mandir di sekitar pohon jengkol yang berbuah lebat. Hutan di Bukit Penamburan adalah hutan yang memiliki kemiripan dengan hutan tropis di negeri manusia. Penduduk kadipaten sering mendaki bukit itu jika rindu pada dunia manusia. Ubi manis, singkong mentega, petai, jengkol, dan duren montong banyak terdapat di hutan ini. Mereka tumbuh alami tanpa ada petani menanamnya. "Prajurit lagi panen hasil hutan," kata pendekar tomboy. "Cukup untuk kebutuhan mereka satu pekan." Sepintas terlihat aneh ada lima pendekar cantik berjaga di tengah hutan, mustahil menjaga jengkol yang sudah siap dipanen! Dari wanginya aroma mulut mereka dapat dipastikan mereka bukan penggemar jengkol. Mereka adalah penjaga gerbang fatamorgana istana Curug Tujuh. Mereka sedang menunggu tamu dari Utara. Tamu itu diperkirakan tiba siang ini, tokoh muda yang lagi naik daun di dunia perkelahian, tapi ia berkunjung ke istana Curug Tujuh bukan naik daun, naik kuda. "Tingga
Pendekar berselendang pelangi terbelalak. "Jadi kau puteri mahkota kerajaan Sihir?" "Kau itu bakso di dalam plastik atau sate di dalam kertas nasi?" sindir Puteri Rinjani sinis. "Masa tidak kenal puteri mahkota tercantik di dataran ini?" "Bukan Dewi Anjani?" "Kau salah informasi!" sergah Puteri Rinjani. "Tapi sudahlah. Aku malas ngomong sama penjaga yang otaknya rada lemot, bikin ilfil!" Puteri Rinjani berjalan menuju tanaman perdu yang menjadi gerbang labirin. "Kau tidak bisa masuk meski puteri mahkota," cegah ketua penjaga gerbang. "Hanya tamu undangan yang boleh masuk." Puteri Rinjani menyingkirkan pendekar berselendang pelangi yang menghalangi jalan. Wanita itu menepiskan tangannya. "Kau rupanya suka dipaksa." Puteri mahkota melepaskan pukulan beberapa kali, wanita itu menangkis dengan gesit. Puteri Rinjani melancarkan serangan kombinasi pada wajah dan kaki. Kadang tangan terkepal meninju, kadang terbuka menampar, sementara kaki berusaha menginjak tempurung pendekar bersel
"Terimalah kematian mu, kid slebew! Hiiiaaatt...!" Kelima penjaga gerbang fatamorgana menyerang Cakra dengan pukulan mematikan. Mereka begitu bernafsu untuk menghabisinya. Cakra mengeluarkan jurus Cinta di Ranting Cemara untuk menguras energi inti mereka. Ia ingin membuat mereka lemas dan berhenti menyerang secara sendirinya. Mereka butuh pertolongan untuk rehabilitasi. Mereka datang ke Bukit Penamburan bukan mendukung pemberontak, mereka ingin hidup bebas tanpa merasa terkucilkan. "Kalian salah mengartikan kebebasan!" kata Cakra. "Kalian anggap apa yang dilakukan bukan penyimpangan! Padahal mengabaikan fungsi kodrati adalah bentuk kesewenang-wenangan terhadap diri sendiri! Secara tidak langsung kalian sudah melakukan genosida untuk ras kalian di kemudian hari!" Menciptakan generasi penerus adalah tanggung jawab bersama untuk mempertahankan ras dari kepunahan. Jangan sampai sebagian menghujat sebagian lainnya sebagai makhluk tidak bertanggung jawab. Jadi bukan hanya norma yang d