“Saya ingin mengakhiri kontrak kerja sama,” ucap laki-laki setengah baya itu dengan wajah datar dan tatapan mata sedikit tajam.
Haruna terlihat sangat terkejut, dia membulatkan mata sempurna, dan tak percaya dengan apa yang dia dengar. Itu artinya karier yang selama ini dia rintis akan berakhir begitu saja? Haruna yang masih bingung harus bicara apa langsung menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan.
“Untuk apa saya mempertahankan artis yang tidak berkembang? Hanya bisa membuat agensi rugi! Apa kau pikir saya tidak rugi? Kau itu tidak ada kemampuan apapun, kemampuan akting mu juga kurang di mata sutradara, apa kau tidak menyadari hal itu? Kau hanya penghambat, Haruna. Bahkan, Emili rela mengalah dengan mu,” ucap Ares, CEO agensi yang membuat Haruna tampak menahan diri untuk tidak melawan atasannya meski pria itu terus berkata buruk.
“Saya sudah berusaha meningkatkan akting saya, Pak, bahkan beberapa orang sudah mengakui kemampuan—”
“Beberapa orang? Apakah semua sutradara mengakui kemampuan mu? Sejujurnya, saya sedikit menyesal telah merekrutmu menjadi aktris di agensi ini. Saya pikir, dalam dua tahun ini kau akan memberikan keuntungan untuk agensi,” sela Ares yang sudah terlihat sangat marah.
“Pak, tapi saya juga sudah berusaha keras untuk agensi.”
“Apa semua usaha mu sudah ada hasilnya? Keputusan saya sudah bulat, Haruna.”
“Tapi masa kontrak saya masih tersisa lima bulan, Pak.”
Ares kembali melihat ke arah Haruna dengan senyuman meremehkan. “Lalu? Apa kau bisa menjadi terkenal dalam waktu lima bulan? Jangan mimpi, Haruna.”
“Tolong berikan saya satu kesempatan satu kali lagi, Pak, saya akan berusaha lebih keras,” mohon Haruna yang tidak ingin mengakhiri kontraknya begitu saja. Apalagi mengingat kerja kerasnya saat sebelum dan sesudah menjadi aktris. Sungguh tidak mudah.
Ares menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan, dia menatap Haruna dengan serius dan memberikan satu anggukan. “Baiklah, saya akan memberikan kesempatan terakhir. Dalam lima bulan ini kau harus bisa menepati janjimu, kalau tidak … saya tidak akan mau memperpanjang kontrak. Paham?”
Haruna mengangguk dan merasa senang karena pihak agensi memberikan satu kesempatan terakhir. “Kalau begitu, saya kembali ke ruang latihan,” pamitnya sopan dan langsung berjalan keluar ruangan.
***
Ketiga wanita itu berhenti latihan akting dengan senyuman, karena latihannya lebih sempurna dibanding sebelumnya. Mereka pun kembali duduk di kursi dan masing-masing manager mereka mendekat untuk memberikan minum.
“Akting lo gue lihat udah meningkat,” puji Davina, wanita rambut pendek yang menoleh pada teman di sampingnya.
“Iya, itu juga berkat lo yang selalu bantu gue,” jawab Emily dengan senyuman dan membuat Cherly ikut menoleh melihat Emily.
“Lo harus terus tingkatin kemampuan lo, Em, jangan kayak Haruna yang jadi penghambat," ucapnya yang baru saja selesai minum. Saat melihat kedua temannya menggelengkan kepala, membuat wanita itu tampak bingung. Namun, melihat kode yang diberikan oleh Emily, wanita itu langsung menoleh ke belakang dan terkejut melihat Haruna berdiri di ambang pintu. Cherly pun langsung memberikan senyuman palsu pada Haruna.
“Gimana? Pak Ares bilang apa?” tanya Davina yang beranjak dari duduknya dan berjalan mendekat diikuti oleh Emily dan Cherly di belakang.
“Pak Ares … mau akhiri kontrak gue di agensi ini,” jelas Haruna yang membuat Davina dan Emily terkejut, tidak dengan Cherly yang hanya menunjukkan raut datar.
“Hah, serius? Lo nggak bercanda, kan?” tanya Davina yang masih tidak percaya dengan perkataan Haruna. Dia tau sendiri bagaimana perkembangan temannya itu.
“Lo pikir hal kayak gini bisa dibercandain?” tanya Haruna yang menahan rasa kesalnya agar tidak bertengkar. “Tapi … agensi masih kasih kesempatan lima bulan buat pembuktian kalau gue bisa jadi aktris terbaik di agensi ini,” lanjutnya dengan senyuman optimis.
“Aktris terbaik? Jangan terlalu percaya diri, Haruna. Gue liat, akting lo nggak ada perkembangan,” sarkas Cherry yang membuat Davina langsung menyenggol lengan temannya itu agar tidak memperkeruh masalah.
“Na, jangan dengerin Cherly, gue yakin lo pasti bisa,” ucap Davina yang memberikan semangat untuk Haruna.
“Agensi cuma kasih waktu lo lima bulan, apa lo bisa? Selama syuting, lo orang pertama yang jadi penghambat, Na! Lo penghambat kita semua!"
“Cher, udah, jangan dilanjut!” ujar Emily yang menarik tubuh Cherly ke belakang.
“Lepas, Em! Haruna harus sadar diri kalo dia nggak pantes jadi akrtis!” ujar Cherly yang memberontak.
Haruna yang mendengar semua perkataan Cherly hanya terdiam, dia tidak ingin membuat keadaan semakin buruk. Wanita itu menundukkan kepala sembari menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan dengan mengepalkan tangannya. Dalam waktu lima detik, Haruna kembali mengangkat kepalanya dan menatap Cherly dengan senyuman tipis.
“Gue bakal buktiin ke lo kalo gue pantes buat jadi aktris!” Haruna langsung mengambil tas miliknya dan berjalan keluar dari ruang latihan, tidak peduli dengan Davina yang berusaha untuk menahan Haruna.
***
Haruna berdiri di depan rumah mewah dan sangat besar, dia sendiri tidak kenal kenal siapa pemilik rumah ini. Kenapa sang mama menyuruhnya untuk datang ke sini? Apa yang dia rencanakan? Lagi-lagi feeling terasa tidak enak, apa hari ini adalah hari sialnya? Haruna menggelengkan kepala cepat, lalu menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan.
“Maaf, Anda siapa? Ada keperluan apa?” tanya pria berbadan besar dan berwajah seram yang berdiri di depan Haruna.
“Ah, saya Haruna, saya hanya disuruh untuk datang ke sini,” jawab Haruna sopan dengan senyuman.
Pria berbadan besar itu melihat ke ponsel untuk mengecek sesuatu, lalu kembali menatap Haruna. “Mari saya antar,” ucapnya berjalan lebih dulu dan diikuti oleh Haruna. Pria tersebut mengantarkan Haruna ke meja makan,
Haruna melihat satu persatu orang yang duduk di meja makan, tidak ada satupun orang yang dia kenali. Saat melihat sang mama mengangkat tangan, Haruna langsung tersenyum dan berjalan menghampiri, lalu langsung duduk di sampingnya.
“Kenapa lama sekali?” tanya sang mama berbisik.
“Macet, tau sendiri ini weekend,” jawab Haruna.
“Ah, jadi ini Haruna, ya? Cantik sekali,” ucap wanita setengah baya yang duduk di hadapan sang mama.
Haruna yang mendengar langsung melihat ke arah wanita itu dengan senyuman canggung, pasalnya dia sama sekali tidak kenal dengan mereka. “Iya, tante, saya Haruna,” sapanya dengan sopan. Pandangan Haruna seketika tertuju pada laki-laki yang duduk di hadapannya. Wajah dingin dan tatapan maja tajam.
“Oke, karena Haruna sudah datang, mari kita langsung saja bahas,” ucap Adele, mama Haruna.
“Ma, bahas apa? Mama punya hutang sama keluarga ini?” tanya Haruna dengan suara pelan.
“Jangan sembarangan bicara kamu, Na. Mama cuma ingin menjodohkan kamu dengan Ravindra,” ujar Adele membuat Haruna membelalakkan mata lebar.
“Apa? Jadi ini acara penting yang mama bilang? Perjodohan?!”
“Na, kamu jangan bikin malu mama!” ucap Adele dengan suara penuh penekanan dan membuat Haruna menatap tajam dengan tatapan sulit dipercaya. Saat ini Haruna dan sang mama berada di taman samping rumah, sehingga tidak ada orang lain yang mendengar percapakan mereka.“Ma, aku udah berapa kali bilang, aku nggak mau dijodohin! Aku juga mau fokus—”“Kamu mau fokus sama karier mu yang nggak jelas itu? Ini juga demi kebaikan mu, Na.”“No, ini untuk kebaikan mama, kan?”“Pokoknya mama nggak mau tau, kamu harus terima perjodohan ini!”“Agensi nggak ngebolehin adanya percintaan, Ma. Aku udah susah payah buat mempertahankan karier ku ini, kenapa mama nggak pernah mau ngertiin aku? Kenapa harus aku yang selalu ngertiin mama?” tanya Haruna yang sudah tidak tahan lagi dengan sikap sang mama yang selalu egois.“Buat apa kamu mempertahankan karier mu yang nggak mempunyai masa depan, Haruna? Menikah dengan lelaki kaya raya adalah keputusan yang tepat, percaya sama mama,” ucap Adele yang berusaha membuj
“Mama sejak kapan ada di sini?” tanya Ravindra yang terkejut melihat sang mama yang berdiri tak jauh dari mereka. Lelaki itu pun segera mendekat diikuti Haruna di belakang. “Ada apa, Ma?” tanyanya lagi.“Kamu nggak ngerencanain sesuatu yang aneh, kan?” tanya sang mama melihat mereka secara bergantian dengan curiga. “Rencana? Aku sama Haruna cuma ngobrol biasa,” alibi Ravindra. Namun, tampaknya wanita setengah baya itu tidak mempercayai anaknya, dan memilih menoleh pada Haruna.“Bener, Na? Anak tante nggak bikin rencana aneh, kan?” tanya Delia, mama yang membuat Haruna terdiam sejenak sampai akhirnya Ravindra sedikit menggerakkan lengan, seolah memberikan kode pada wanita itu.Haruna langsung memberikan senyuman dan menganggukkan kepala. “Iya, tante, dia nggak bikin rencana yang aneh, kok. Tante nggak perlu khawatir,” jawabnya sedikit melihat ke arah Ravindra.“Kok masih panggil tante, sih, Haruna bisa panggil dengan sebutan mama juga, bagaimanapun kalian kan segera menikah,” ucap De
“Lo yakin kalo Mama Delia nggak bakal curiga?” tanya Haruna seraya memakai sabuk pengaman dan sekilas melihat Ravindra yang sedang memainkan ponsel.“Yakin, percaya sama gue. Kalo dia sampe curiga, itu salah lo,” ucap Ravindra tanpa menoleh sedikitpun, dia masih fokus dengan ponsel hingga membuat Haruna hanya berdecak, wanita itu tidak mempermasalahkan karena dia sendiri sudah lelah.Haruna memutuskan untuk mengambil ponsel dari tas dan terkejut melihat sepuluh panggilan tak terjawab dari sang manager. Tanpa pikir panjang, wanita itu pun menelpon kembali karena takut ada hal penting.“Halo, ada apa? Maaf, tadi ponsel gue mode silent,” tanya Haruna.“Malem ini bukannya lo harus live? Masih ada waktu,” ucap Chasel membuat Haruna melihat jam tangan yang menunjukkan pukul sembilan malam.“Tolong ambilin map coklat yang ada di kursi belakang.” Ravindra yang tiba-tiba bersuara membuat Haruna refleks menutup speaker ponsel dengan membulatkan matanya lebar dan menoleh. “Kenapa?” tanya lelaki
“Lo kenapa nggak pake baju?!” tanya Haruna ketika sudah mengakhiri siaran langsung dan menoleh pada Ravindra yang sedang memasak untuk sarapan.“Sorry, gue lupa kalo di rumah ini ada lo,” jawabnya tanpa menoleh dan fokus mengiris daging. Haruna yang mendengar alasan itu hanya bisa menghela napas panjang, dia juga tak bisa menyalahkan kesalahan lelaki itu karena itu sedikit masuk akal.Haruna yang tidak mempermasalahkan hal itu pun langsung berdiri dari duduknya. “Tadi nyokap bilang kalo kita berangkat jam sembilan.”“Ke mana?” tanya Ravindra sekilas melihat ke Haruna.“Butik. Lo lupa?” Ravindra yang mendengar itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya paham dan Haruna hanya menggelengkan kepala pelan lalu berjalan menaiki anak tangga untuk kembali ke kamarnya.Wanita kembali merebahkan tubuhnya dan berniat untuk tidur beberapa menit sebelum harus bersiap-siap untuk pergi ke butik. Namun, saat ia hendak memejamkan mata, suara ponsel yang tiba-tiba berdering membuatnya berdecak dan mengam
“Lo yakin kita harus ngelakuin sejauh ini?” tanya Haruna yang meragukan strategi Ravindra. Lelaki itu menoleh sekilas dengan satu anggukan.“Semakin kita romantis, gue yakin nyokap nggak akan curiga,” jawab Ravindra seraya merangkul pinggang Haruna. “Senyum,” peringatnya yang membuat wanita itu langsung tersenyum.Mereka mendekati Della dan Delia yang sudah menunggu di depan butik. Haruna pun memberikan kode pada Ravindra untuk melepas rangkulannya, tapi Ravindra menolak dengan satu decakan dan gelengan kepala.Delia yang memperhatikan hanya menggelengkan kepala dengan kekehan pelan. “Kalian belum menikah saja sudah nempel seperti ini, apalagi kalau sudah menikah? Berarti nggak salah dong kalau mama minta cucu dalam waktu dekat ini?” tanya wanita setengah baya itu yang berhasil membuat Ravindra langsung melepaskan rangkulannya.“Ma, bukannya aku udah bilang kalau aku nggak mau punya anak dalam waktu dekat ini?” tanya Ravindra yang membuat Delia tertawa kecil.“Iya, mama inget, tenang
Haruna membuka mata perlahan ketika merasakan tubuhnya yang kedinginan, dia pun meraba ke atas nakas dan mengambil remot, lalu memilih untuk mematikan AC tersebut. Saat hendak kembali terlelap, ia mendengar suara ponsel yang berdering, karena kepala yang terasa sedikit lebih berat, wanita itu memilih untuk tetap memejamkan mata dengan meraba-raba kasur mencari ponselnya.Haruna mengusap tombol hijau dan menempelkan ponsel di telinga. “Halo, kenapa malem-malem gini telpon, sih?” protesnya yang tau kalau si penelponnya adalah sang manager.“Apa lo bilang? Malem? Sekarang udah jam setengah sembilan pagi, Na! Lo ada syuting jam sepuluh, tapi sebelum itu, lo ke kantor agensi dulu,” jelas Chasel yang membuat Haruna langsung membuka matanya lebar dan melihat ke arah jam dinding. Wanita itu terlihat jelas kalau ia lupa dengan jadwal syutingnya, ini semua gara-gara pernikahannya dengan Ravindra yang dipercepat. “Halo, lo denger, kan?”“Iya, gue denger, udah dulu.” Haruna mematikan sambungan te
“Gue di mana?” tanya Haruna yang baru saja sadar dari pingsannya.Chasel yang awalnya sibuk dengan ponselnya pun menoleh dan berdiri dari duduknya dengan senyuman. “Akhirnya lo sadar juga, Na. Gue khawatir banget sama lo. Kenapa lo bisa lupa sama alergi sendiri? Lo alergi udang, Na. Kapan lo makan udang? Lo mau mati?” tanyanya yang terlihat masih khawatir dengan keadaan Haruna. “Gue udah pernah bilang kalau reaksi alergi lo nggak langsung, kenapa lo bisa lupa masalah ini? Ini bukan masalah sepele, Na!”Haruna hanya diam mendengar perkataan sang sahabat sekaligus managernya yang panjang lebar karena merasa bersalah, wanita itu sendiri memang lupa kalau dia ada alergi udang. Tidak heran kalau Chasel akan marah seperti itu. “Iya, maaf, gue beneran lupa.”“Lo kapan makan udang?” tanya Chasel kembali duduk.Haruna terdiam, dia mencoba mengingat apa yang ia makan hari ini dan kemarin. Tiba-tiba saja ingatan saat Ravindra memberikan udang terlintas. Kemarin ia memang tidak sadar memakan udan
Haruna membuka mata perlahan dan terkejut mendapati Ravindra yang duduk di sampingnya. “Lo kenapa ada di sini?”“Nyokap lo telpon gue,” jawabnya tanpa menoleh dan sibuk dengan laptop yang ada dipangkuan. Haruna yang mendengar itu hanya mengangguk-angguk dan merasa tidak heran karena sang mama memang sejak dulu tak pernah peduli dengannya.Suasana pun mendadak hening, tidak ada percakapan diantara mereka berdua. Haruna hanya diam menatap langit-langit, ia sendiri juga bingung harus berbicara apa dengan lelaki di sampingnya, apalagi Ravindra tampak sibuk. Ditambah dia tidak tau di mana letak ponselnya, mengingat tadi malam dia melempar benda itu tanpa arah.Selain masalah yang terjadi, ia juga memikirkan kapan Ravindra datang. Apakah tadi malam ia sudah datang? Mengingat lelaki itu tau dari sang mama, itu artinya ia ditelpon malam itu juga. “Apa dia lihat semuanya?” pikirnya yang teringat kalau tadi malam ia sangat kacau.Haruna melirik ke arah Ravindra, wajahnya terlihat sangat serius