“Mama sejak kapan ada di sini?” tanya Ravindra yang terkejut melihat sang mama yang berdiri tak jauh dari mereka. Lelaki itu pun segera mendekat diikuti Haruna di belakang. “Ada apa, Ma?” tanyanya lagi.
“Kamu nggak ngerencanain sesuatu yang aneh, kan?” tanya sang mama melihat mereka secara bergantian dengan curiga.
“Rencana? Aku sama Haruna cuma ngobrol biasa,” alibi Ravindra. Namun, tampaknya wanita setengah baya itu tidak mempercayai anaknya, dan memilih menoleh pada Haruna.
“Bener, Na? Anak tante nggak bikin rencana aneh, kan?” tanya Delia, mama yang membuat Haruna terdiam sejenak sampai akhirnya Ravindra sedikit menggerakkan lengan, seolah memberikan kode pada wanita itu.
Haruna langsung memberikan senyuman dan menganggukkan kepala. “Iya, tante, dia nggak bikin rencana yang aneh, kok. Tante nggak perlu khawatir,” jawabnya sedikit melihat ke arah Ravindra.
“Kok masih panggil tante, sih, Haruna bisa panggil dengan sebutan mama juga, bagaimanapun kalian kan segera menikah,” ucap Delia yang membuat Haruna hanya tersenyum canggung dan menganggukkan kepala. “Coba panggil mama,” lanjutnya.
“Ma, udah, jangan bikin Haruna canggung. Kita juga setuju buat saling mengenal dulu, jadi nikahnya—”
“Jadi … Haruna sudah menerima perjodohan ini?” tanya Delia menyela perkataan sang anak dengan senyuman senang.
“Iya, tan—eh, Ma,” ucap Haruna yang menuruti kemauan Delia untuk memanggilnya dengan sebutan mama.
Delia tampak tak bisa menyembunyikan rasa senangnya, dia langsung merangkul lengan Haruna sehingga membuat gandengan Ravindra lepas begitu saja, lalu keduanya masuk secara bersamaan meninggalkan lelaki itu yang masih berdiri di luar.
“Adele, kau harus tau kalau—”
“Kalau Haruna menolak perjodohan ini, bukan? Saya juga tau itu, dia sangat sulit dibujuk,” sela Adele yang enggan menatap anaknya karena masih marah dengan keputusan Haruna.
“Tidak, justru Haruna sudah menerima perjodohan ini!” seru Delia dengan senyuman bahagia dan membuat Adele menoleh dengan tatapan tak percaya, dia juga terlihat senang. Haruna yang melihat keduanya hanya bisa mengembuskan napas pelan dan memberikan senyuman paksa.
“Senyum yang bener!” peringat Ravindra yang sudah berdiri di samping Haruna.
Haruna pun sekilas menoleh dan refleks berjalan satu langkah ke arah kanan guna menjaga jarak. Namun, saat kedua mama kembali melihat ke arahnya, Ravindra juga refleks menarik Haruna dan merangkul dengan mesra.
“Ternyata kamu maunya dibujuk langsung sama calon suami mu?” canda Adele yang membuat Haruna tak tahu lagi harus menjawab apa.
“Biasa, anak muda. Saya sendiri juga terkejut kalau Ravindra berhasil membujuk Haruna. Oh iya, gimana kalau pernikahannya dipercepat aja? Kalau bisa minggu ini, biar kita bisa cepat gendong cucu,” saran Delia pada Adela yang membuat Haruna membulatkan matanya lebar.
“Apa? Percepat—” Haruna terhenti saat Ravindra menahan pergelengan tangan wanita itu untuk tidak melanjutkan ucapannya. “Kenapa lo malah diem aja?”
“Biarin mereka bahagia, gue udah bilang di awal, kita cuma pura-pura jadi pasangan di depan mereka,” jawabnya dengan berbisik. Haruna menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan, dia tak bisa lagi melakukan perlawanan.
“Kita harus siapin seribu undangan,” ucap Adele yang membuat Haruna lagi-lagi terkejut.
“Ma, aku terima perjodohan ini, tapi ada syarat dari aku yang nggak bisa diganggu gugat,” ucap Haruna membuat kedua mama itu menoleh.
“Syarat?”
“Aku nggak mau semua orang tau tentang pernikahan ini, jadi aku mau acaranya tertutup. Undangan cuma boleh antar keluarga, itupun nggak boleh ada yang ngerekam ataupun memotret. Mama tau kan kalau aku artis baru, agensi punya peraturan sendiri buat talentnya,” jelas Haruna yang membuat suasana seketika menjadi hening.
Haruna yang merasakan perubahan atmosfer pun menutup kedua bibirnya rapat karena takut kalau ia salah bicara dan menyinggung perasaan mereka.
Adele pun tersenyum dan berjalan menghampiri Haruna, lalu merangkulnya dengan tawa kecil. “Oh, ternyata kamu sudah memikirkan semua ini? Jadi, sejak awal kau sudah setuju dengan perjodohan ini, kan?” tanya sang mama yang membuat Delia juga ikut tertawa.
Haruna hanya bisa menghela napas panjang karena lega kalau mereka mengerti kemauannya. Melihat Ravindra yang menahan tawa, wanita itu melototkan mata dan membuat Ravindra langsung bungkam.
“Baik lah, mama mengerti, yang penting kalian menikah. Kalau begitu, mulai hari ini Haruna tidak perlu tinggal apartemen agensi,” ujar Adele dengan senyuman penuh rencana.
“Maksud mama?”
“Mulai hari ini kau bisa tinggal di rumah Ravindra, itung-itung buat saling kenal satu sama lain.”
“Ma, tapi aku sama dia belum—”
“Udah, jangan dipikirkan. Toh, dalam hitungan hari kalian sah di mata hukum, jadi nggak masalah kalau satu rumah lebih awal,” sela Delia yang menyetujui saran sahabatnya. “Oh iya, besok libur kan? Gimana kalau besok kita ke butik buat liat dress pernikahan?”
Haruna yang sudah tidak ada tenaga lagi hanya bisa menganggukkan kepala. “Ini … sudah tidak ada yang dibahas, kan? Kalau tidak ada, aku mau pamit pulang karena udah capek banget hari ini.”
“Rav, kau sudah membersihkan kamar untuk Haruna, kan?” tanya Delia yang dijawab satu anggukan oleh Ravindra. “Bagus, kalau gitu sekarang kalian pulang, kasihan Haruna sudah kelelahan hari ini.”
“Tidak, tidak, aku harus pulang ke apartemen, aku nggak bawa baju ganti.”
“Udah, tenang aja, jangan khawatir masalah pakaian.”
Ravindra menoleh pada Haruna dan mendekatkan bibirnya ke telinga, lalu mengatakan, “Ayo, pulang, lo nggak perlu buang tenaga buat lawan emak-emak, lo bakal kalah telak.”
Haruna yang merasa geli pun refleks tertawa dan sedikit menjauhkan telinganya. Karena telinga wanita itu sangat sensitif, membuat telinga itu memerah sehingga membuat Adele dan Delia yang melihat interaksi mereka langsung berpikir yang tidak-tidak.
“Nggak salah kita jodohin mereka berdua,” gumam Delia pada Della.
“Benar, mereka baru bertemu, tapi sudah terlihat sangat dekat.”
“Ma, aku pulang dulu,” pamit Haruna dan Ravindra secara bersamaan.
“Iya, hati-hati,” jawab Adele dengan senyuman hangat.
“Jangan ngebut, Rav, apalagi yang duduk di sampingmu adalah calon istri!” peringat Delia yang membuat Ravindra memberikan senyuman manis dan satu anggukan.
“Mama tenang saja, aku akan menjaga calon istriku dengan baik,” jawab Ravindra lembut dan membuat Haruna yang mendengar langsung merasa merinding. Lelaki itu menggandeng tangan Haruna, saat wanita itu hendak melepas gandengan itu, Ravindra justru menahannya. “Akting kita belum berakhir,” bisiknya.
Haruna hanya bisa mengembuskan napas panjang dan berjalan lebih dulu, lalu diikuti Ravindra yang bisa secara langsung menyamakan langkah wanita itu. Adele dan Delia yang masih memperhatikan mereka berdua pun tampak semakin senang.
“Semoga mereka benar-benar akan saling mencintai,” ucap Delia saat kedua anaknya sudah benar-benar keluar.
“Maksudnya? Apa mereka cuma akting?” tanya Adele yang tidak mengerti maksud Delia.
“Tadi aku tak sengaja dengar mereka ngomongin nikah kontrak, bagaimana kalau mereka hanya terpaksa melakukan perjodohan ini?” tanya Delia yang terlihat khawatir. “Apa kau tidak curiga dengan Haruna yang tiba-tiba setuju? Apa Ravindra ada ancam Haruna?”
“Lo yakin kalo Mama Delia nggak bakal curiga?” tanya Haruna seraya memakai sabuk pengaman dan sekilas melihat Ravindra yang sedang memainkan ponsel.“Yakin, percaya sama gue. Kalo dia sampe curiga, itu salah lo,” ucap Ravindra tanpa menoleh sedikitpun, dia masih fokus dengan ponsel hingga membuat Haruna hanya berdecak, wanita itu tidak mempermasalahkan karena dia sendiri sudah lelah.Haruna memutuskan untuk mengambil ponsel dari tas dan terkejut melihat sepuluh panggilan tak terjawab dari sang manager. Tanpa pikir panjang, wanita itu pun menelpon kembali karena takut ada hal penting.“Halo, ada apa? Maaf, tadi ponsel gue mode silent,” tanya Haruna.“Malem ini bukannya lo harus live? Masih ada waktu,” ucap Chasel membuat Haruna melihat jam tangan yang menunjukkan pukul sembilan malam.“Tolong ambilin map coklat yang ada di kursi belakang.” Ravindra yang tiba-tiba bersuara membuat Haruna refleks menutup speaker ponsel dengan membulatkan matanya lebar dan menoleh. “Kenapa?” tanya lelaki
“Lo kenapa nggak pake baju?!” tanya Haruna ketika sudah mengakhiri siaran langsung dan menoleh pada Ravindra yang sedang memasak untuk sarapan.“Sorry, gue lupa kalo di rumah ini ada lo,” jawabnya tanpa menoleh dan fokus mengiris daging. Haruna yang mendengar alasan itu hanya bisa menghela napas panjang, dia juga tak bisa menyalahkan kesalahan lelaki itu karena itu sedikit masuk akal.Haruna yang tidak mempermasalahkan hal itu pun langsung berdiri dari duduknya. “Tadi nyokap bilang kalo kita berangkat jam sembilan.”“Ke mana?” tanya Ravindra sekilas melihat ke Haruna.“Butik. Lo lupa?” Ravindra yang mendengar itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya paham dan Haruna hanya menggelengkan kepala pelan lalu berjalan menaiki anak tangga untuk kembali ke kamarnya.Wanita kembali merebahkan tubuhnya dan berniat untuk tidur beberapa menit sebelum harus bersiap-siap untuk pergi ke butik. Namun, saat ia hendak memejamkan mata, suara ponsel yang tiba-tiba berdering membuatnya berdecak dan mengam
“Lo yakin kita harus ngelakuin sejauh ini?” tanya Haruna yang meragukan strategi Ravindra. Lelaki itu menoleh sekilas dengan satu anggukan.“Semakin kita romantis, gue yakin nyokap nggak akan curiga,” jawab Ravindra seraya merangkul pinggang Haruna. “Senyum,” peringatnya yang membuat wanita itu langsung tersenyum.Mereka mendekati Della dan Delia yang sudah menunggu di depan butik. Haruna pun memberikan kode pada Ravindra untuk melepas rangkulannya, tapi Ravindra menolak dengan satu decakan dan gelengan kepala.Delia yang memperhatikan hanya menggelengkan kepala dengan kekehan pelan. “Kalian belum menikah saja sudah nempel seperti ini, apalagi kalau sudah menikah? Berarti nggak salah dong kalau mama minta cucu dalam waktu dekat ini?” tanya wanita setengah baya itu yang berhasil membuat Ravindra langsung melepaskan rangkulannya.“Ma, bukannya aku udah bilang kalau aku nggak mau punya anak dalam waktu dekat ini?” tanya Ravindra yang membuat Delia tertawa kecil.“Iya, mama inget, tenang
Haruna membuka mata perlahan ketika merasakan tubuhnya yang kedinginan, dia pun meraba ke atas nakas dan mengambil remot, lalu memilih untuk mematikan AC tersebut. Saat hendak kembali terlelap, ia mendengar suara ponsel yang berdering, karena kepala yang terasa sedikit lebih berat, wanita itu memilih untuk tetap memejamkan mata dengan meraba-raba kasur mencari ponselnya.Haruna mengusap tombol hijau dan menempelkan ponsel di telinga. “Halo, kenapa malem-malem gini telpon, sih?” protesnya yang tau kalau si penelponnya adalah sang manager.“Apa lo bilang? Malem? Sekarang udah jam setengah sembilan pagi, Na! Lo ada syuting jam sepuluh, tapi sebelum itu, lo ke kantor agensi dulu,” jelas Chasel yang membuat Haruna langsung membuka matanya lebar dan melihat ke arah jam dinding. Wanita itu terlihat jelas kalau ia lupa dengan jadwal syutingnya, ini semua gara-gara pernikahannya dengan Ravindra yang dipercepat. “Halo, lo denger, kan?”“Iya, gue denger, udah dulu.” Haruna mematikan sambungan te
“Gue di mana?” tanya Haruna yang baru saja sadar dari pingsannya.Chasel yang awalnya sibuk dengan ponselnya pun menoleh dan berdiri dari duduknya dengan senyuman. “Akhirnya lo sadar juga, Na. Gue khawatir banget sama lo. Kenapa lo bisa lupa sama alergi sendiri? Lo alergi udang, Na. Kapan lo makan udang? Lo mau mati?” tanyanya yang terlihat masih khawatir dengan keadaan Haruna. “Gue udah pernah bilang kalau reaksi alergi lo nggak langsung, kenapa lo bisa lupa masalah ini? Ini bukan masalah sepele, Na!”Haruna hanya diam mendengar perkataan sang sahabat sekaligus managernya yang panjang lebar karena merasa bersalah, wanita itu sendiri memang lupa kalau dia ada alergi udang. Tidak heran kalau Chasel akan marah seperti itu. “Iya, maaf, gue beneran lupa.”“Lo kapan makan udang?” tanya Chasel kembali duduk.Haruna terdiam, dia mencoba mengingat apa yang ia makan hari ini dan kemarin. Tiba-tiba saja ingatan saat Ravindra memberikan udang terlintas. Kemarin ia memang tidak sadar memakan udan
Haruna membuka mata perlahan dan terkejut mendapati Ravindra yang duduk di sampingnya. “Lo kenapa ada di sini?”“Nyokap lo telpon gue,” jawabnya tanpa menoleh dan sibuk dengan laptop yang ada dipangkuan. Haruna yang mendengar itu hanya mengangguk-angguk dan merasa tidak heran karena sang mama memang sejak dulu tak pernah peduli dengannya.Suasana pun mendadak hening, tidak ada percakapan diantara mereka berdua. Haruna hanya diam menatap langit-langit, ia sendiri juga bingung harus berbicara apa dengan lelaki di sampingnya, apalagi Ravindra tampak sibuk. Ditambah dia tidak tau di mana letak ponselnya, mengingat tadi malam dia melempar benda itu tanpa arah.Selain masalah yang terjadi, ia juga memikirkan kapan Ravindra datang. Apakah tadi malam ia sudah datang? Mengingat lelaki itu tau dari sang mama, itu artinya ia ditelpon malam itu juga. “Apa dia lihat semuanya?” pikirnya yang teringat kalau tadi malam ia sangat kacau.Haruna melirik ke arah Ravindra, wajahnya terlihat sangat serius
“Lo yakin nggak mau di sini lebih lama? Biar gue juga tenang kalo lo beneran udah sehat,” tanya Chasel terlihat tidak setuju dengan keputusan Haruna yang ingin pulang lebih awal, apalagi sang dokter juga menyuruhnya untuk dirawat tiga hari. “Gue nggak mau di sini lama-lama, Sel. Lo tau sendiri kalo gue nggak suka di rumah sakit,” jawab Haruna yang masih sibuk dengan ponselnya. “Oh, iya, lo nggak perlu anter gue pulang.” “Kali ini gue nggak setuju, gue harus pastiin lo sampe rumah dengan selamat. Gimana kalo tiba-tiba lo pingsan di jalan? Apalagi mobil dari agensi lagi dipake dan nggak bisa jemput lo,” tutur Chasel yang terlihat khawatir pada Haruna. Haruna menunjukkan layar ponselnya dengan senyuman. “Gue udah pesen taksi online, jadi lo tenang aja. Gue nggak akan pingsan di jalan.” Chasel menghela napas panjang dan memasang raut wajah pasrah, dia benar-benar tidak bisa sepenuhnya menangani Haruna yang terkadang keras kepala. “Telpon gue kalo udah sampe, paham?” Suara ponsel yang t
Ravindra langsung memundurkan tubuh dan membenarkan posisi duduknya. Haruna yang masih terkejut hanya bisa diam tanpa mengatakan apapun, ia hanya bisa menggigit bibir bawahnya dan mengalihkan pandangan. Suasana canggung pun menghantui mereka berdua. “Sial, mana itu ciuman pertama gue!” gerutunya dari dalam hati.Selama perjalanan pulang, keduanya hanya diam, tidak ada obrolan apapun diantaranya sampai mobil terhenti di halaman rumah, Haruna pun segera turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Dia berjalan cepat untuk ke kamarnya. “Kenapa hari ini gue sial banget, sih?!”Suara ponsel yang tiba-tiba berdering membuatnya terlonjak kaget dan langsung mengambil dari saku. Haruna berdecak pelan saat melihat nama Chasel terpampang di layar. Namun, meski begitu ia segera mengangkat telpon itu.“Halo, udah sampe rumah? Kenapa lo nggak telpon gue?” “Barusan aja sampe, lumayan macet. Gue mau telpon, tapi lo duluan yang hubungi gue.”“Alasan! Sekarang lo istirahat, besok gue ke apartemen lo bua