Share

Kacau

Haruna membuka mata perlahan ketika merasakan tubuhnya yang kedinginan, dia pun meraba ke atas nakas dan mengambil remot, lalu memilih untuk mematikan AC tersebut. Saat hendak kembali terlelap, ia mendengar suara ponsel yang berdering, karena kepala yang terasa sedikit lebih berat, wanita itu memilih untuk tetap memejamkan mata dengan meraba-raba kasur mencari ponselnya.

Haruna mengusap tombol hijau dan menempelkan ponsel di telinga. “Halo, kenapa malem-malem gini telpon, sih?” protesnya yang tau kalau si penelponnya adalah sang manager.

“Apa lo bilang? Malem? Sekarang udah jam setengah sembilan pagi, Na! Lo ada syuting jam sepuluh, tapi sebelum itu, lo ke kantor agensi dulu,” jelas Chasel yang membuat Haruna langsung membuka matanya lebar dan melihat ke arah jam dinding. Wanita itu terlihat jelas kalau ia lupa dengan jadwal syutingnya, ini semua gara-gara pernikahannya dengan Ravindra yang dipercepat. “Halo, lo denger, kan?”

“Iya, gue denger, udah dulu.” Haruna mematikan sambungan telpon dan beranjak dari tempat tidur. Meski kepala terasa berat, tapi dia berusaha untuk tidak merasakan sakitnya itu.

Membutuhkan waktu dua puluh menit untuknya bersiap-siap. Melihat puluhan panggilan tak terjawab dari sang manager, dia bergegas keluar kamar. Satu panggilan dari sang manager kembali berdering, dengan cepat ia mengangkatnya.

“Halo, Na, lo di mana? Yang lain udah pada dateng,” tanya sang manager.

“Iya, gue udah jalan, macet nih,” alibi Haruna agar sang manager tidak terus menerus menelponnya. Setelah panggilan tersebut berakhir, ia memasukan ponsel ke tas dengan helaan napas lega.

“Pembohong handal,” sindir Ravindra yang duduk tak jauh dari Haruna.

Haruna yang mendengar perkataan lelaki itu menoleh dengan decakan. “Gue nggak ada waktu buat bertengkar sama lo!”

“Nanti sore gue jemput,” ucap Ravindra membuat Haruna mengangkat satu alisnya.

“Hah? Nggak perlu, lo lupa sama perjanjian kontrak kita?”

“Gue nggak lupa, tapi terpaksa,” jawabnya seraya meletakkan cangkir kopi ke meja.

“Maksud lo?”

Ravindra menoleh dan menatap Haruna dengan tatapan dingin. “Gue disuruh sama nyokap.”

“Ternyata lo anak mama yang selalu patuh sama perintahnya?” sindir Haruna membuat Ravindra berdecak.

“Kalo ini nggak berhubungan sama perusahaan, gue juga nggak mau!”

Haruna menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan, dia menatap Ravindra dengan raut wajah datar. “Gue rasa lo nggak perlu jemput, gue nggak tau selesai syuting jam berapa,” ucapnya seraya bergegas pergi meninggalkan Ravindra.

***

“Na, lo sakit?” tanya Chasel yang menyadari wajah pucat Haruna.

Haruna yang sedari tadi merasakan kepalanya yang sakit hanya bisa menggeleng agar Chasel tidak khawatir. “Gue baik-baik aja. Jadi jadwal gue hari ini apa?” tanyanya mengambil tab yang dipegang oleh sang manager dan membaca tiga jadwalnya.

“Lo cuma ada syuting series beberapa scene, pemotretan, sama syuting iklan,” ucapnya menjelaskan semua pekerjaan Haruna.

Haruna yang merasa pekerjaannya semakin sedikit tampak merasa iri dengan artis lainnya yang tampak padat. Chasel yang menyadari perubahan wajah Haruna pun menepuk pundaknya guna memberikan semangat. “Percaya sama gue, suatu saat lo bakal ada di fase nggak ada waktu buat istirahat, dan terus-terusan syuting, Na. Lo harus semangat, jangan nyerah sama karier lo.”

Haruna menoleh dan tersenyum. “Lo emang manager terbaik, Sel. Sekarang kita ke lokasi syuting?” Chasel mengangguk dan berdiri lebih dulu. Saat Haruna berdiri, tiba-tiba saja ia sedikit kehilangan keseimbangan karena pandangannya tiba-tiba gelap. Beruntung Chasel langsung membantu Haruna.

“Lo beneran nggak sakit, kan? Kalo lo nggak enak badan, bilang ke gue.”

“Iya, tenang aja, cuma pusing dikit aja.” Haruna berjalan lebih dulu dan naik ke mobil. Chasel masih menatap Haruna curiga, karena wanita itu memang sering berbohong kalau sedang sakit.

***

“Cut!! Kita ulang dari awal! Haruna, fokus! Ini sudah kesepuluh kalinya kau mengulang! Mau sampai take berapa agar hasilnya bagus?!” tanya sang sutradara yang berteriak dari tempat duduknya dan membuat Haruna merasa sangat bersalah.

Entah kenapa hari ini dia merasa sangat tidak fokus, ditambah kepalanya yang terasa semakin pusing. Haruna yang sudah berkeringat dingin hanya bisa berusaha untuk tetap bertahan dan menyelesaikan scene ini.

Semua kru yang ada di lokasi pun kembali mengatur tempat seperti semula, Haruna yang memperhatikan tampak merasa bersalah, dan berharap kalau kali ini ia akan berhasil.

“Scene 23, take 11! Action!”

Haruna kembali mengulang aktingnya dari awal, sementara sutradara terus mengamati dari layar, raut wajahnya tampak menunjukkan ekspresi masam. Chasel yang memperhatikan sang sutradara merasa kalau Haruna harus mengulang lagi.

“Cut!! Haruna, kali ini mimik sedih mu kurang dapat! Saya tidak bisa merasakan kesedihan si karakter! Ada apa denganmu? Kenapa hari ini kau sangat kacau?! Kita istirahat sepuluh menit!” Sang sutradara pergi begitu saja.

Chasel pun segera menghampiri Haruna dan memberikan sebotol air mineral. “Na, lo baik-baik aja, kan? Wajah lo makin keliatan pucet,” tanyanya yang khawatir.

“Iya, gue baik-baik aja, kok, mungkin gara-gara terlalu mikirin masalah kontrak, jadi kepala gue sekarang sakit,” bohong Haruna. Namun, semua itu tidak sepenuhnya berbohong. Saat ini yang sedang ia pikirkan memang lah masalah kontrak pada agensi. “Sel, masalah ini nggak akan sampai ke agensi, kan?”

“Kalo sutradara nggak hubungi agensi, seharusnya Pak Ares nggak akan tau, Na. Sekarang lo duduk, jangan terlalu pikirin, nanti biar gue yang bilang ke sutradara kalo lo lagi sakit. Gue beli obat pusing dulu.”

“Nggak perlu, gue udah minum obat tadi di rumah. Oh iya, ponsel gue mana?” tanyanya seraya duduk.

Chasel memberikan ponsel pada Haruna. Wanita itu yakin kalau Ravindra pasti akan memaksanya dengan mengirimkan banyak pesan. Namun, saat melihat tidak ada pesan satu pun dari Ravindra membuatnya mengangkat satu alisnya. Haruna seketika teringat kalau ia tak sempat bertukar nomor, dan itu membuat wanita itu langsung tersenyum.

“Untung aja dia nggak punya nomer gue, capek juga harus terus-terusan akting sama tuh cowok!” gumamnya.

“Lo ngomong apa, Na?” tanya Chasel.

Haruna langsung merapatkan kedua bibirnya dengan menggelengkan kepala. “Nggak, gue nggak ngomong apa-apa.” Dia memilih untuk kembali melihat layar ponsel.

Cahaya ponsel yang terang itu membuat wanita itu merasakan semakin pusing, pandangannya seketika berubah menjadi buram, dan tubuh yang mendadak lemas membuat ponselnya terjatuh begitu saja. Chasel yang menyadari itu tampak terkejut, raut wajahnya juga terlihat sangat khawatir. Dengan sigap sang manager menahan tubuh Haruna agar tidak terjatuh.

“Na, lo kenapa? Na, bertahan!” Sang manager itu terus memanggil nama Haruna. “Tolong! Panggil ambulan!” ucapnya pada salah satu kru yang mendekat. Chasel membulatkan matanya lebar saat Haruna sudah tidak sadarkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status